Share

Bab 7

Penulis: Athena Hexa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-31 22:33:12

Clara duduk sendirian di bangku taman, tempat Dewa meninggalkannya.

 Udara malam terasa dingin menusuk kulit, tapi hatinya jauh lebih dingin. Jaket parasut tipis yang ia kenakan tak mampu menghangatkan hatinya.

Air mata sudah mengering di pipinya, menyisakan jejak asin yang perih. Ia menatap langit malam yang gelap, yang dipenuhi bintang-bintang yang berkedip. Ia merasa begitu kecil, begitu sendirian. Selalu begitu. Sejak dulu.

 "Kenapa? Kenapa ini harus terjadi lagi?" bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya parau.

 Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke saat-saat di mana ia merasa dunianya hancur. Ia masih ingat betul, saat ia berusia sepuluh tahun, ibunya meninggal karena keracunan makanan.

Clara kecil yang lugu tidak tahu apa-apa, ia hanya tahu bahwa ibunya pergi dan tidak akan kembali. Ia merasa sangat kehilangan. Ia sering bertanya pada ayahnya, "Ayah, Ibu akan kembali, kan?"

 Ayahnya hanya diam, menatap Clara dengan pandangan kosong. Namun, belum genap sebulan ibunya meninggal, ayahnya membawa pulang seorang wanita yang tidak ia kenal. Wanita itu bernama Wina, dan di sampingnya, berdiri seorang gadis kecil yang seumuran dengannya, bernama Belinda.

 "Clara, ini Wina. Dia akan menjadi ibumu," kata ayahnya dengan nada datar. "Dan ini Belinda, adikmu."

 Clara kecil yang masih berduka merasa bingung. "Adik? Tapi... aku anak satu-satunya..."

 "Tidak lagi," jawab ayahnya. "Ayah sudah punya keluarga lain. Mereka akan tinggal bersama kita."

 Clara merasa dunianya hancur berkeping-keping. Ayahnya yang ia cintai, yang seharusnya menjadi pelindungnya, kini membawa orang asing ke dalam rumahnya dan mengatakan bahwa mereka adalah keluarganya.

Clara kecil yang naif mencoba untuk menerima mereka, mencoba untuk bersikap baik. Tapi, Wina dan Belinda tidak pernah bersikap baik padanya.

 "Anak pembawa sial. Ibunya mati karena keracunan, kamu juga pasti akan bernasib sama," bisik Wina saat ayahnya tidak ada.

 "Gaun ini bagus. Aku ambil ya," kata Belinda sambil merebut gaun yang baru dibelikan ayahnya untuk Clara.

 Clara kecil hanya bisa diam, menahan air mata. Ia tidak berani mengadu pada ayahnya. Ia takut ayahnya akan marah dan meninggalkannya.

Setiap kali ayahnya pergi, ia selalu disiksa oleh Wina dan Belinda. Semua miliknya direbut. Mainannya, bajunya, bahkan buku-buku pelajarannya.

 "Semua yang kamu punya itu milikku," kata Belinda dengan angkuh. "Kamu tidak pantas memilikinya."

 Clara tumbuh dengan perlakuan seperti itu. Ia tumbuh menjadi gadis yang pendiam dan pemalu. Hingga suatu hari, ia menemukan pelarian. Melukis. Ia melukis semua perasaannya di dalam buku lukisnya. Ia melukis wajah ibunya, melukis pemandangan indah, dan melukis... wajah Dewa.

 Clara bertemu Dewa saat ia SMP. Dewa adalah ketua OSIS yang sangat dikagumi. Dewa tegas, tetapi di balik ketegasannya, ia sangat lembut dan penyayang. Clara sering melihat Dewa membela anak-anak yang tertindas.

Melihat Dewa, Clara merasa ia punya harapan. Ia mulai melukis wajah Dewa, dengan setiap guratan pensil, ia menumpahkan semua perasaannya.

 "Dewa..." bisik Clara saat ia menatap lukisan Dewa. Lukisan itu begitu hidup, seolah Dewa ada di sana, menatapnya. "Aku sangat menyukaimu."

 Tapi, suatu hari, saat ia sedang melamun menatap lukisan Dewa, Belinda datang dan merebut buku lukisnya. "Apa ini? Kamu melukis wajah siapa, apakah itu Kak Dewa?"

 "Bukan! Itu bukan urusanmu!" teriak Clara.

 Belinda membuka buku itu dan melihat lukisan ibunya dan lukisan Dewa. Belinda tertawa. "Oh, jadi ini yang kamu sukai? Pria aneh ini? Apa-apaan ini? Dia jelek!"

 "Kembalikan bukuku!" teriak Clara, air matanya sudah mengalir deras.

 "Tidak akan! Aku akan beritahu Kak Dewa, bahwa kamu pengagum rahasianya. Bukan itu saja, kamu adalah seorang penguntit, hahaha, kita lihat nanti, seberapa jijik Kak Dewa padamu," kata Belinda, lalu berlari pergi.

Saat itu Clara snagat panik dan ketakutan. I sangat takut perasaannya akan diketahui Dewa, apalagi jika Belinda menyebutnya penguntit, Dewa pasti akan merasa risih dan membencinya, Clara sunguh tak ingin Dewa membencinya.

Berhari-hari berlalu, Clara tidak pernah melihat buku itu lagi. Ia mencari di tempat sampah, ia mencari di seluruh rumah, tetapi buku itu tidak pernah ditemukan. Hatinya hancur. Bukan hanya karena lukisan Dewa, tetapi juga karena lukisan ibunya ada di sana, dan yang lebih membuatnya hancur adalah, ia meyakini bahwa buku itu sudah sampai di tangan Dewa.

 Tak lama setelah itu, saat Clara pulang sekolah dengan sepeda mininya, ia melihat Dewa dikeroyok preman karena Dewa memberi makan pengamen kecil yang sedang mengamen di lampu merah. Preman itu menginginkan uang bukan makanan. Rupanya, preman itu adalah bos para tunawisma disana.

“Hei, anak kecil, jangan sok pahlawan !” Seorang preman dengan tato dan anting-anting besar di telinga mendorong Dewa dengan kasar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 9

    Langit malam yang gelap pekat di atas taman terasa semakin mencekam bagi Clara. Ia masih duduk sendirian di bangku itu, jaket parasut tipis yang dikenakannya tak mampu menghangatkan tubuhnya yang mulai menggigil.Pikirannya kacau balau, dipenuhi rasa sakit dan kesepian.Tiba-tiba, suara tawa dan derap langkah kaki yang berat, memecah keheningan. bukan sepasang kaki, melainkan derap langkah beberapa orang. Clara bergidik, Clara mendongak, matanya membelalak saat melihat sekelompok pemuda mabuk berjalan sempoyongan ke arahnya."Wah, wah... lihat siapa yang kesepian di sini," ujar salah satu dari mereka, dengan seringai cabul. Cepat-cepat Clara menyeka air mata yang jatuh ke pipinya."Sendirian, nona manis, lho, mengapa kamu menangis sendiri disini?" tambah pemuda lainnya, matanya jelalatan menatap Clara.Clara segera bangkit, tubuhnya serasa lelah untuk menanggapi pemuda-pemuda itu, ia mencoba berbalik dan berlari, tetapi langkahnya terhenti.Mereka sudah mengepungnya, menghadang dari s

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 8

    Preman itu menginginkan uang bukan makanan. Rupanya, preman itu adalah bos para tunawisma disana.“Hei, anak kecil, jangan sok pahlawan !” Seorang preman dengan tato dan anting-anting besar di telinga mendorong Dewa dengan kasar. Dewa yang saat itu berusia 14 tahun terjerembab jatuh di trotoar berdebu.“Aku hanya memberinya makanan, adik itu menangis kelaparan,” Jawab Dewa masih berusaha tenang. Clara melihat semuanya dari balik gerobak pedangan somay yang berada tak jauh dari tempat Dewa. Sepeda mininya, ia parkir di sebelah gerobak somay itu.“Jangan banyak omong, anak kecil!” salah satu preman yang lain, yang bertubuh paling kurung, mengangkat kerah Dewa hingga tubuh Dewa ikut terangkat, “Kalau punya uang, kasih, kami gak butuh makanan !” Ujar preman itu lalu kembali menghempas tubuh Dewa ke Trotoar. Tak hanya itu, tiga orang preman lalu mengeroyok Dewa, dan merampas uang milik Dewa dan juga ponselnya. Clara ketakutan dan menutup mulutnya sendiri, lalu dengan berani, ia memutuskan

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 7

    Clara duduk sendirian di bangku taman, tempat Dewa meninggalkannya. Udara malam terasa dingin menusuk kulit, tapi hatinya jauh lebih dingin. Jaket parasut tipis yang ia kenakan tak mampu menghangatkan hatinya.Air mata sudah mengering di pipinya, menyisakan jejak asin yang perih. Ia menatap langit malam yang gelap, yang dipenuhi bintang-bintang yang berkedip. Ia merasa begitu kecil, begitu sendirian. Selalu begitu. Sejak dulu. "Kenapa? Kenapa ini harus terjadi lagi?" bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya parau. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke saat-saat di mana ia merasa dunianya hancur. Ia masih ingat betul, saat ia berusia sepuluh tahun, ibunya meninggal karena keracunan makanan.Clara kecil yang lugu tidak tahu apa-apa, ia hanya tahu bahwa ibunya pergi dan tidak akan kembali. Ia merasa sangat kehilangan. Ia sering bertanya pada ayahnya, "Ayah, Ibu akan kembali, kan?" Ayahnya hanya diam, menatap Clara dengan pandangan kosong. Namun, belum genap sebulan ibunya mening

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 6

    Setelah mengantar Belinda ke Lobi dan memastikannya pulang dengan aman, Dewa kembali ke kantor dengan langkah tergesa. Ia harus kembali ke Clara dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bahwa ia tidak percaya Belinda begitu saja. Namun, saat ia melangkah di lobi, sebuah mobil mewah berhenti di depan gedung. Seorang pria berjas hitam, bertubuh tegap, keluar dan menghampirinya. "Tuan Dewa," sapa ajudan itu dengan hormat, suaranya tenang dan tegas. "Sudah waktunya Anda pulang." Dewa menghentikan langkahnya, menatap ajudan itu dengan tatapan tajam. "Pulang? Aku sudah bilang, aku belum akan pulang. Ada urusan yang harus kuselesaikan." "Tetapi Tuan Besar sudah menanti, Tuan. Misi Anda di sini sudah terlalu lama," ucap ajudan itu lagi, matanya menyiratkan peringatan. "Aku yang menentukan kapan misiku selesai, bukan dia. Aku akan pulang jika waktunya sudah tepat," jawab Dewa, suaranya mengandung otoritas. Ajudan itu mengangguk, lalu berbalik, kembali ke mobilnya. Tak lama kemudian, p

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 5

    Keesokan paginya, Suara ketukan di pintu ruangan Clara terdengar ragu. Clara, yang sedang menandatangani beberapa berkas, mendongak. Dewa masuk dengan raut wajah tenang seperti biasa. Ia mengenakan kemeja putih yang pas di tubuhnya, memperlihatkan otot-otot lengannya yang terbentuk. Penampilannya yang selalu sempurna adalah satu-satunya hal yang bisa mengalihkan perhatian Clara dari tumpukan pekerjaan. "Ada apa, Dewa?" tanya Clara. "Maaf mengganggu,Nona Clara. Ada tamu yang datang untuk menemuimu. Dia tidak punya janji, tapi dia bilang ini penting," jawab Dewa. Clara mengernyit. "Siapa?" Dewa tampak sedikit ragu. "Belinda." Mendengar nama itu, Clara menghela napas. "Suruh dia masuk," katanya, nada suaranya berubah dingin. Dewa mengangguk, lalu keluar. Tak lama kemudian, Belinda masuk dengan senyum manis yang dipaksakan. Ia mengenakan gaun berwarna peach dan riasan yang sedikit tebal. Dewa tetap berdiri di ambang pintu, tetapi Belinda langsung menyuruhnya pergi. "Dewa,

  • Asisten Pribadiku Lelaki Pilihanku   Bab 4

    Jas Dewa yang tebal dan hangat langsung melingkari bahu Clara. Aroma maskulin yang menguar dari jas itu menenangkan Clara. Jas itu menutupi noda sirup di dada Clara dengan sempurna. Dewa kemudian merangkul bahu Clara, membawanya menjauh dari kerumunan, melindungi Clara dari tatapan sinis dan bisikan-bisikan yang menyakitkan. "Maafkan aku yang lengah melindungimu. " Ujar Dewa nampak menyesal. Sekilas ia melirik ke arah Belinda yang nampak angkat bahu dengan wajah innocent, lalu ia menatap Wina yang tersenyum miring dan David yang bingung harus berbuat apa. "Kita pulang," kata Dewa dengan suara tegas, "tugasmu di sini sudah selesai. Kamu sudah melakukan bagianmu." Belinda, yang merasa Dewa tidak menghiraukannya, berteriak, "Dewa! Kenapa kamu menolong dia? Dia kan cuma kakak tiriku yang selalu bikin masalah!" "Dia adalah atasan saya," jawab Dewa dingin tanpa menoleh sedikit pun. "Tugas saya adalah melindunginya." Belinda tercengang. Ia tidak menyangka Dewa akan bersikap dem

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status