Preman itu menginginkan uang bukan makanan. Rupanya, preman itu adalah bos para tunawisma disana.
“Hei, anak kecil, jangan sok pahlawan !” Seorang preman dengan tato dan anting-anting besar di telinga mendorong Dewa dengan kasar. Dewa yang saat itu berusia 14 tahun terjerembab jatuh di trotoar berdebu.
“Aku hanya memberinya makanan, adik itu menangis kelaparan,” Jawab Dewa masih berusaha tenang. Clara melihat semuanya dari balik gerobak pedangan somay yang berada tak jauh dari tempat Dewa. Sepeda mininya, ia parkir di sebelah gerobak somay itu.
“Jangan banyak omong, anak kecil!” salah satu preman yang lain, yang bertubuh paling kurung, mengangkat kerah Dewa hingga tubuh Dewa ikut terangkat, “Kalau punya uang, kasih, kami gak butuh makanan !” Ujar preman itu lalu kembali menghempas tubuh Dewa ke Trotoar. Tak hanya itu, tiga orang preman lalu mengeroyok Dewa, dan merampas uang milik Dewa dan juga ponselnya.
Clara ketakutan dan menutup mulutnya sendiri, lalu dengan berani, ia memutuskan bersepeda ke pos polisi terdekat, dan saat polisi datang, para preman itu lari, meninggalkan dewa yang hampir pingsan. Polisi segera mengejar preman untuk menangkapnya.
Clara yang panik membawa Dewa di boncengan sepedanya lalu pergi ke klinik tak jauh dari lokasi, disana dewa mendapatkan pertolongan pertama. Saat tiba di klinik, Dewa hampir pingsan karena lukanya cukup parah.
“Ka…kamu…?” Dewa menatap Clara yang memapahnya. Clara gadis 13 Tahun dengan rambut dikepang dua dan pin bintang di kerahnya.
Clara yang tiba-tiba menyadari Dewa memandangnya, langsung memalingkan wajah, “Aku bukan siapa-siapa, kamu bisa melupakan aku. Tapi, kumohon, kamu harus bertahan, kamu harus selamat ya !” Ujar Clara gugup. Ia snagat takut jika Dewa mengenalisnya sebagai Clara si penguntit.
Clara yang tergesa-gesa pun segera pergi, saat tenaga medis membawa Dewa dengan brankar. Saking gugup dan paniknya Clara, ia tak sadar jika Dewa menarik pin bintang di kerahnya. Dewa masuk ke IGD menggenggam pin bintang itu.
Sejak saat itu, Clara tak pernah lagi bertemu Dewa. Baik di jalan, maupun di sekolah. Dewa pindah sekolah. Clara merasa dunia kembali hancur. Ia tidak punya harapan lagi. Ia merasa sangat sendirian.
Bukan saja kehilangan Dewa, Sejak hari Clara membawa Dewa ke puskesmas, Clara menyadari bahwa pin bintangnya juga telah hilang. Ia telah mencarinya di semua tempat, di tas, di kamar, di sekolah, di jalan. Nmaun, pin itu tak juga ia temukan.
“Dimana kuletakkan pin bintang itu?” berkali-kali Clara mencari pin itu, namun tak dapat ia temukan. Pin itu sangat berarti baginya, karena merupakan pemberian terakhir Ibunya sebelum wafat. Di balik pin itu, ada pesan khusus dari ibunya untuknya, pesan yang beitu manis, “Selalu semangat, ya !” tulis ibunya dengan pulpen khusus sehingga tulisannya berukuran sangat kecil namun masih bisa terbaca.
Hidupnya kini terasa begitu sepi, keluarganya tidak menyayanginya, smenagat hidupnya telah pindah sekolah, bahkan kenangan terakhir ibunya kini tak lagi ia simpan. Namun, kesendirian itu akhirnya berakhir, Kakeknya dari pihak ibu, mengetahui perlakuan buruk keluarganya yang ia terima, datang menjemputnya. "Cucu Kakek, kamu tidak akan tinggal di sini lagi. Kamu akan tinggal bersama Kakek," kata Kakeknya dengan lembut.
Clara akhirnya hidup bersama kakeknya. Kakeknya adalah pria yang sangat baik. Kakeknya mengajarkannya banyak hal, memberikan kasih sayang yang tidak pernah ia dapatkan dari ayahnya. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Kakeknya meninggal saat ia berusia 18 tahun.
Clara kembali sendirian, tetapi kali ini, ia tidak tinggal bersama Wina dan Belinda. Ia tinggal di rumah besar yang merupakan warisan ibunya. Ia juga mewarisi perusahaan periklanan besar yang merupakan milik ibunya. Ia menjadi CEO di usia 23 tahun.
"Aku akan membuktikan pada mereka, bahwa aku bisa menjadi orang yang sukses tanpa bantuan mereka," batin Clara.
Clara menyeka air matanya. Ia menyadari, dirinya kembali ke titik nol. Ia kembali merasa sendirian. Dewa yang ia cintai sejak dulu, yang ia pikir akan menjadi pelindungnya, ternyata sama saja dengan yang lain. Ia memilih untuk percaya pada Belinda, ia memilih untuk pergi dan meninggalkannya.
"Apakah aku tidak pantas dicintai?" bisik Clara, suaranya pecah. "Apakah aku tidak pantas bahagia?"
Ia kembali menangis, kali ini dengan suara yang keras. Suara tangisnya memenuhi kesunyian malam,
Dari Belakang, terdengar suara derap langkah mendekati bangku tempat Clara berada.
bukan hanya sepasang kaki, namun suara derap langkah beberapa orang, membuat Clara bergidik.
seolah memanggil kembali kenangan-kenangan pahit yang selama ini ia coba lupakan.Langit malam yang gelap pekat di atas taman terasa semakin mencekam bagi Clara. Ia masih duduk sendirian di bangku itu, jaket parasut tipis yang dikenakannya tak mampu menghangatkan tubuhnya yang mulai menggigil.Pikirannya kacau balau, dipenuhi rasa sakit dan kesepian.Tiba-tiba, suara tawa dan derap langkah kaki yang berat, memecah keheningan. bukan sepasang kaki, melainkan derap langkah beberapa orang. Clara bergidik, Clara mendongak, matanya membelalak saat melihat sekelompok pemuda mabuk berjalan sempoyongan ke arahnya."Wah, wah... lihat siapa yang kesepian di sini," ujar salah satu dari mereka, dengan seringai cabul. Cepat-cepat Clara menyeka air mata yang jatuh ke pipinya."Sendirian, nona manis, lho, mengapa kamu menangis sendiri disini?" tambah pemuda lainnya, matanya jelalatan menatap Clara.Clara segera bangkit, tubuhnya serasa lelah untuk menanggapi pemuda-pemuda itu, ia mencoba berbalik dan berlari, tetapi langkahnya terhenti.Mereka sudah mengepungnya, menghadang dari s
Preman itu menginginkan uang bukan makanan. Rupanya, preman itu adalah bos para tunawisma disana.“Hei, anak kecil, jangan sok pahlawan !” Seorang preman dengan tato dan anting-anting besar di telinga mendorong Dewa dengan kasar. Dewa yang saat itu berusia 14 tahun terjerembab jatuh di trotoar berdebu.“Aku hanya memberinya makanan, adik itu menangis kelaparan,” Jawab Dewa masih berusaha tenang. Clara melihat semuanya dari balik gerobak pedangan somay yang berada tak jauh dari tempat Dewa. Sepeda mininya, ia parkir di sebelah gerobak somay itu.“Jangan banyak omong, anak kecil!” salah satu preman yang lain, yang bertubuh paling kurung, mengangkat kerah Dewa hingga tubuh Dewa ikut terangkat, “Kalau punya uang, kasih, kami gak butuh makanan !” Ujar preman itu lalu kembali menghempas tubuh Dewa ke Trotoar. Tak hanya itu, tiga orang preman lalu mengeroyok Dewa, dan merampas uang milik Dewa dan juga ponselnya. Clara ketakutan dan menutup mulutnya sendiri, lalu dengan berani, ia memutuskan
Clara duduk sendirian di bangku taman, tempat Dewa meninggalkannya. Udara malam terasa dingin menusuk kulit, tapi hatinya jauh lebih dingin. Jaket parasut tipis yang ia kenakan tak mampu menghangatkan hatinya.Air mata sudah mengering di pipinya, menyisakan jejak asin yang perih. Ia menatap langit malam yang gelap, yang dipenuhi bintang-bintang yang berkedip. Ia merasa begitu kecil, begitu sendirian. Selalu begitu. Sejak dulu. "Kenapa? Kenapa ini harus terjadi lagi?" bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya parau. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke saat-saat di mana ia merasa dunianya hancur. Ia masih ingat betul, saat ia berusia sepuluh tahun, ibunya meninggal karena keracunan makanan.Clara kecil yang lugu tidak tahu apa-apa, ia hanya tahu bahwa ibunya pergi dan tidak akan kembali. Ia merasa sangat kehilangan. Ia sering bertanya pada ayahnya, "Ayah, Ibu akan kembali, kan?" Ayahnya hanya diam, menatap Clara dengan pandangan kosong. Namun, belum genap sebulan ibunya mening
Setelah mengantar Belinda ke Lobi dan memastikannya pulang dengan aman, Dewa kembali ke kantor dengan langkah tergesa. Ia harus kembali ke Clara dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bahwa ia tidak percaya Belinda begitu saja. Namun, saat ia melangkah di lobi, sebuah mobil mewah berhenti di depan gedung. Seorang pria berjas hitam, bertubuh tegap, keluar dan menghampirinya. "Tuan Dewa," sapa ajudan itu dengan hormat, suaranya tenang dan tegas. "Sudah waktunya Anda pulang." Dewa menghentikan langkahnya, menatap ajudan itu dengan tatapan tajam. "Pulang? Aku sudah bilang, aku belum akan pulang. Ada urusan yang harus kuselesaikan." "Tetapi Tuan Besar sudah menanti, Tuan. Misi Anda di sini sudah terlalu lama," ucap ajudan itu lagi, matanya menyiratkan peringatan. "Aku yang menentukan kapan misiku selesai, bukan dia. Aku akan pulang jika waktunya sudah tepat," jawab Dewa, suaranya mengandung otoritas. Ajudan itu mengangguk, lalu berbalik, kembali ke mobilnya. Tak lama kemudian, p
Keesokan paginya, Suara ketukan di pintu ruangan Clara terdengar ragu. Clara, yang sedang menandatangani beberapa berkas, mendongak. Dewa masuk dengan raut wajah tenang seperti biasa. Ia mengenakan kemeja putih yang pas di tubuhnya, memperlihatkan otot-otot lengannya yang terbentuk. Penampilannya yang selalu sempurna adalah satu-satunya hal yang bisa mengalihkan perhatian Clara dari tumpukan pekerjaan. "Ada apa, Dewa?" tanya Clara. "Maaf mengganggu,Nona Clara. Ada tamu yang datang untuk menemuimu. Dia tidak punya janji, tapi dia bilang ini penting," jawab Dewa. Clara mengernyit. "Siapa?" Dewa tampak sedikit ragu. "Belinda." Mendengar nama itu, Clara menghela napas. "Suruh dia masuk," katanya, nada suaranya berubah dingin. Dewa mengangguk, lalu keluar. Tak lama kemudian, Belinda masuk dengan senyum manis yang dipaksakan. Ia mengenakan gaun berwarna peach dan riasan yang sedikit tebal. Dewa tetap berdiri di ambang pintu, tetapi Belinda langsung menyuruhnya pergi. "Dewa,
Jas Dewa yang tebal dan hangat langsung melingkari bahu Clara. Aroma maskulin yang menguar dari jas itu menenangkan Clara. Jas itu menutupi noda sirup di dada Clara dengan sempurna. Dewa kemudian merangkul bahu Clara, membawanya menjauh dari kerumunan, melindungi Clara dari tatapan sinis dan bisikan-bisikan yang menyakitkan. "Maafkan aku yang lengah melindungimu. " Ujar Dewa nampak menyesal. Sekilas ia melirik ke arah Belinda yang nampak angkat bahu dengan wajah innocent, lalu ia menatap Wina yang tersenyum miring dan David yang bingung harus berbuat apa. "Kita pulang," kata Dewa dengan suara tegas, "tugasmu di sini sudah selesai. Kamu sudah melakukan bagianmu." Belinda, yang merasa Dewa tidak menghiraukannya, berteriak, "Dewa! Kenapa kamu menolong dia? Dia kan cuma kakak tiriku yang selalu bikin masalah!" "Dia adalah atasan saya," jawab Dewa dingin tanpa menoleh sedikit pun. "Tugas saya adalah melindunginya." Belinda tercengang. Ia tidak menyangka Dewa akan bersikap dem