Langit malam yang gelap pekat di atas taman terasa semakin mencekam bagi Clara. Ia masih duduk sendirian di bangku itu, jaket parasut tipis yang dikenakannya tak mampu menghangatkan tubuhnya yang mulai menggigil.
Pikirannya kacau balau, dipenuhi rasa sakit dan kesepian.
Tiba-tiba, suara tawa dan derap langkah kaki yang berat, memecah keheningan. bukan sepasang kaki, melainkan derap langkah beberapa orang. Clara bergidik, Clara mendongak, matanya membelalak saat melihat sekelompok pemuda mabuk berjalan sempoyongan ke arahnya.
"Wah, wah... lihat siapa yang kesepian di sini," ujar salah satu dari mereka, dengan seringai cabul. Cepat-cepat Clara menyeka air mata yang jatuh ke pipinya.
"Sendirian, nona manis, lho, mengapa kamu menangis sendiri disini?" tambah pemuda lainnya, matanya jelalatan menatap Clara.
Clara segera bangkit, tubuhnya serasa lelah untuk menanggapi pemuda-pemuda itu, ia mencoba berbalik dan berlari, tetapi langkahnya terhenti.
Mereka sudah mengepungnya, menghadang dari segala arah. Jantung Clara berdegup kencang, ia merasa seperti tikus yang terperangkap. Ia mundur, menjauhkan dirinya dari sentuhan kotor mereka. Bukan karena ia takut, tapi ia merasa malas meladeni pemuda-pemuda mabuk yang sudah pasti bukan lawannya.
"Mau lari ke mana, sayang?" Pemuda yang paling dekat mengulurkan tangannya, mencoba meraih lengan Clara.
"Pergi ! Kalian akan menyesal berurusan denganku !" Teriak Clara dengan penuh keberanian. Meskipun saat ini, hatinya begitu pedih. Hidupnya yang kesepian, dan kini masalah datang pun saat ia sendirian harus menghadapinya.
"Wah,..wah,.. nona cantik ini rupanya galak juga, ya.." Ujar salah seorang pemuda mabuk yang bertubuh tegap, sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya seolah memberi pemanasan sebelum menangkap mangsa.
"Bagus sekali, Nona, aku paling suka perempuan galak. Mulut yang pedas, akan membuat kami makin semangat !" pemuda yang lainnya menimpali.
Clara memasang kuda-kuda. Ia ahli dalam bela diri. sejak kakeknya merawatnya, kakeknya juga rutin melatihnya ilmu beladiri karate dan belajar langsung dari seorang ahli karate terkemuka di negaranya.
Clara dengan santai mengikat rapi rambutnya, dan matanya memancarkan ketenangan yang tajam. Di hadapannya, empat orang pemuda mabuk itu mengelilinginya, tawa sinis mereka memecah kesunyian malam.
Salah satu pemuda maju dengan wajah penuh nafsu, tangannya hendak meraih Clara. Tanpa ragu, Clara melakukan Gedan Barai, menangkis tangan pemuda mabuk itu dengan cepat. Gerakannya halus, namun penuh kekuatan. Pemuda itu terkejut, langkahnya mundur sesaat.
Melihat temannya diserang, dua pemuda lain menyerang dari samping. Clara dengan sigap melakukan tendangan lurus ke arah perut preman di sebelah kanannya, membuatnya terhuyung-huyung. Kemudian, ia memutar tubuhnya dan dengan cepat melancarkan Gyaku Zuki, pukulan lurus ke arah wajah pemuda gemuk di sebelah kiri. Suara pukulan itu menggema di keheningan malam.
Melihat teman-temannya jatuh, pemuda yang paling tegap maju. Ia menyerang Clara dengan pukulan yang kuat. Clara tidak menghindar. Ia menerima serangan itu dengan tangkisan lengan bawah yang kuat. Ia lalu membalas dengan serangan siku yang telak mengenai ulu hati pemuda itu, membuatnya sesak napas.
Clara berdiri tegak, napasnya teratur. Keringat membasahi pelipisnya, tetapi ekspresi wajahnya tetap tenang. Ia menatap ke empat pemuda mabuk yang tergeletak, lalu dengan tenang membenarkan jaket parasutnya.
Setelah memastikan semuanya aman, ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan taman sepi itu. Di sekelilingnya, malam kembali hening, seolah-olah pertarungan sengit itu tidak pernah terjadi.
Saat Clara hendak meninggalkan taman dengan terburu-buru, tubuhnya menabrak dada bidang seorang pria yang aromanya sangat Clara kenal. Dewa !
Clara mundur beberapa langkah, memegangi keningnya yang sedikit sakit. Dewa menatapnya penuh kekhawatiran. "Untuk apa kamu kesini ?!" Tanya Clara ketus. Dewa tak menjawab. Namun, dengan gerakan secepat kilat, Dewa memeluk Clara dan melakukan tendangan memutar yang akurat mengenai kepala pemuda mabuk bertubuh gemuk yang hendak mengayunkan pisau ke arah Clara. Dengan jurus pamungkas dari Dewa itu, Pemuda bertubuh gemuk itu akhirnya tak berdaya.Aakhhh,…Clara menjerit, saat Dewa memutar tubuhnya tiba-tiba. ia sempat mendengar suara 'Srak..' sebelum suara rintihan pemuda gemuk itu yang hanya sesaat. Pemuda itu sudah terkapar tak berdaya di detik berikutnya.
Clara membuka matanya. Di hadapannya, berdiri sosok Dewa, dengan tatapan tajam dan rahang mengeras. Pemuda yang tadi hendak mengayunkan pisau ke arahnya kini sudah tergeletak di tanah.
"Dewa, kakimu berdarah...," Clara melihat ke arah celana Dewa yang sobek oleh pisau dan melukai kakinya di bagian betis.
Dewa menggelengkan kepala, agar Clara tak khawatir.
Dewa adalah seorang ahli bela diri tingkat tinggi. Gerakannya begitu luwes dan mematikan, seperti tarian yang indah namun penuh kekuatan. Ia memegang sabuk hitam karate, dan itu terlihat dari pukulannya yang terarah dan tendangannya yang mematikan.
Dengan satu tangan, sementara tangan lainnya masih memeluk Clara, Dewa menghubungi kantor polisi. "Halo, di taman kencana ada empat pemuda mabuk membuat onar, mohon segera ditangani." Klik, Dewa menutup telepon dan cepat-cepat membawa Clara ke mobil.
Di dalam mobil, Dewa menoleh ke arah Clara. Clara masih mematung, tubuhnya menggigil. Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca, dan bibirnya bergetar. Dewa segera melepas jaket tebal yang ia kenakan, lalu dengan lembut menyampirkannya di bahu Clara.
Dewa menatap wajah cantik Clara dengan penuh kekhawatiran.
"Nona Clara, katakan, apakah ada yang terluka..?"
"Aku tahu, Dewa," suara itu kembali terdengar. "Aku tahu kau rela melakukan apa saja untuk wanita ini. Kau rela mengorbankan segalanya, bahkan nyawamu." Suara itu berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Kau tahu, aku sangat suka menonton drama. Dan sekarang, aku akan menciptakan sebuah drama untukmu. Kau tahu, satu tepuk, dua nyamuk tertangkap. Kamu dan dia akan segera mati.""Apa maumu?" tanya Dewa, suaranya dingin."Mudah saja. Aku ingin kau berlutut di hadapanku," kata suara itu. "Jika kau berlutut, aku akan melepaskan wanita ini. Dan kau... kau akan mendapatkan hadiah dariku."Dewa membeku. Ia tidak pernah berlutut di hadapan siapa pun. Bahkan di hadapan kakeknya sendiri. Berlutut di hadapan orang yang tidak ia kenal, itu adalah sebuah penghinaan. Namun, ia tidak peduli. Ia akan berlutut. Ia akan melakukan apa saja untuk Clara.Clara, yang mendengar perkataan itu, langsung menggelengkan kepalanya. Air matanya mengalir deras. Ia tidak ingin Dewa berlutut.
Clara merasa takut. Apalagi membayangkan jika penculiknya tidak akan segan-segan untuk mencelakai Dewa. Ia pun mencoba berteriak lagi, memanggil nama Dewa."Jangan khawatir," lanjut suara itu. "Aku akan memastikan dia datang kemari. Dan dia akan melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana kami memperlakukan wanita yang dicintainya."Clara membelalakkan matanya. Jantungnya berdebar kencang. Suara itu tertawa, lalu melanjutkan, "Kalian tahu apa yang harus dilakukan."Para pria berpakaian hitam itu mulai mendekat. Clara merasa panik. Ia mencoba berteriak, mencoba melarikan diri, tetapi ia tidak bisa. Ia tidak berdaya. Ia merasa sangat takut. Salah satu dari mereka menunduk, lalu menarik kerah gaunnya. Kain satin yang ia kenakan robek, memperlihatkan pundaknya yang mulus. Clara menangis, air matanya membasahi lakban yang menutup mulutnya."Jangan takut, Nona. Ini hanya akan menyakitkan sebentar," bisik salah satu dari mereka, dengan suara serak. "Tuan kami hanya ingin bersenang-senan
"Sebelum lanjut kita ke markas dulu!" Seru Dewa penuh antisipasi. Dewa tiba di markasnya, sebuah bangunan minimalis di kawasan elit Jakarta. Ruangan itu dipenuhi dengan monitor yang menampilkan berbagai grafik dan data. Begitu ia melangkah masuk, semua orang langsung berdiri, menyambutnya dengan hormat. Dewa tidak membuang waktu. Ia berjalan ke meja utama. "Cek semua CCTV di kota ini yang dilewati mobil itu," perintah Dewa, suaranya dipenuhi otoritas yang tak terbantahkan. "Aku ingin kalian lacak pergerakannya dengan teliti!"Kevin dan timnya segera bekerja. Jari-jari mereka menari di atas keyboard komputer, mata mereka fokus pada monitor yang menampilkan ribuan rekaman CCTV dari berbagai sudut kota. Suara klik tombol dan bisikan-bisikan pelan memenuhi ruangan.Dewa menatap monitor, hatinya berdebar kencang. Ia tahu, Clara dalam bahaya. Ia tahu, ia harus menemukannya secepat mungkin. Rasa bersalah dan penyesalan menggerogoti hatinya. Ia seharusnya tidak membiarkan Clara sendirian.
Dewa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan Jakarta yang ramai di pagi hari. Hatinya dipenuhi tekad, ia harus menemui Clara dan meluruskan semua kesalahpahaman. Ia tahu, foto-foto itu adalah kebohongan yang disebarkan untuk menghancurkan mereka.Sesampainya di kantor Clara, Dewa langsung berlari ke dalam gedung. Ia tidak memedulikan satpam yang berteriak padanya. Ia masuk ke dalam lift, menekan tombol lantai Clara, hatinya berdebar kencang. Ia berharap Clara masih berada di ruangannya, menunggu Dewa. Namun, saat pintu lift terbuka, Dewa langsung menuju ruangan Clara. "Clara...?!"Ia menemukan ruangan Clara kosong. Komputer Clara mati, dan tidak ada tanda-tanda Clara di sana.Dewa segera berbalik dan berlari ke meja keamanan. Ia menemui satpam yang berada di sana, satpam yang tadi berteriak padanya. "Di mana Nona Clara?" tanya Dewa, suaranya dipenuhi rasa panik."Nona Clara? Tadi pagi, keluarga Wijaya datang menjemputnya untuk persiapan pertunangan," jawa
Dewa mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan Jakarta yang ramai di pagi hari. Namun, pandangannya kosong, dan hatinya terasa hancur berkeping-keping. Ucapan Clara terngiang-ngiang di telinganya. Silakan ajukan resign. Aku akan mencari asisten lain yang lebih profesional. Lupakan saja. Semalam tidak pernah terjadi. Kata-kata itu begitu tajam, begitu dingin, begitu berbeda dari Clara yang ia kenal semalam.Sambil mengemudi, Dewa mengambil ponselnya, lalu menghubungi seseorang. "Halo, Tunda acara lamaran siang ini," katanya dengan suara tegas. "Aku ingin kau selidiki siapa di balik penyerangan tadi malam. Aku mau tahu siapa dalangnya."Ia lalu menghubungi nomor lain, nomor kakeknya. "Kakek... maaf, aku harus membatalkan acara lamaran siang ini.""Apa?! Kenapa?!" Suara kakeknya terdengar kaget dan marah. "Semua sudah siap! Kenapa kamu batalkan, Dewa?!""Ada hal yang harus aku selesaikan, Kek," jawab Dewa, suaranya dipenuhi rasa frustrasi. "Maafkan aku."Ia meng
Clara menatap Dewa dengan mata yang dingin, menyembunyikan badai di dalam hatinya. Dewa merasa hatinya sangat sakit, ia menatap dalam ke arah Clara mencoba menggali kebenaran dalam tatapan dingin itu. Dewa perlahan meraih tubuh ramping Clara dan memeluknya perlahan. sebuah pelukan yang terasa rapuh, tak bertenaga, dan begitu lembut. Clara diam. Ia tak menolak. Anggap saja ini pelukan terakhir kita, batin Clara. Dewa yang merasa Clara tak menolaknya namun juga tak membalas pelukannya, menatap Clara sekilas. Wajah cantik itu masih sedingin es, Dewa memeluk Clara semakin erat. di telinga Clara, Dewa berbisik, "Bahkan kamu bisa menghukumku jika aku salah, asal Kamu tidak menikahi orang lain. " Suara Dewa terdenga bergetar. tidak seperti suaranya yang selalu lantang dan tegas saat presentasi. atau sikapnya yang selalu profesional. Dewa kini memperlihatkan sisi rapuhnya. Pelukan itu sudah lebih dari lima menit, semakin lama memeluk Clara, Dewa semakin hancur karena Clara seperti