"Serena dalam bahaya? Lalu bagaimana denganku? Apa aku tidak perlu bantuan kalau dalam bahaya?" Leina menggerutu di sepanjang jalan.
Dia sudah lima belas menit berjalan di trotoar. Pikirannya kemana-mana sehingga tak bisa fokus ke jalanan. Kedua matanya mulai sembab, tapi dia sanggup menahan diri agar tak menangis.Dia menggerutu lagi, "lagipula siapa yang butuh bantuannya? Detektif apanya? ... dia itu 'kan cuma pria brengsek yang tergila-gila dengan wanita penggoda itu!"Karena melamun itulah, dia tak sadar sedang berpapasan dengan seodang wanita cantik berambut panjang.Wanita itu berpenampilan begitu menarik, blazer hitam dengan rok span dengan belahan di paha kiri.Ia menyapa, "Leina?"Suaranya sontak membangkitkan amarah dalam diri Leina. Dia berhenti berjalan, lalu menoleh.Iya, itu adalah Serena. Wanita yang paling membuatnya cemburu berat.Serena tersenyum. "Ada apa denganmu? Kamu kelihatan marah? Ada masalah dengan Arsen?""Bukan urusanmu.""Kamu mau ke mana? Belanja untuk makan malam? Mau aku temani? Kebetulan nanti 'kan aku harus menginap di rumah kalian, jadi aku ingin membantu memasak.""Apa— menginap?“"Arsen belum bilang? Dia sudah setuju menjagaku dari ancaman pembunuhan 'kan, jadi dia ingin aku tinggal di rumah kalian untuk beberapa hari.""Aku tidak diberitahu apapun tentang ini!”"Mungkin nanti kamu akan diberitahu.""Pokoknya tidak boleh! Di rumah kami hanya ada dua kamar tidur, kamu mau tidur di mana?""Mungkin di kamar Arsen.""Kamu sudah gila, ya?"Memangnya kenapa? Arsen pasti senang sekali tidur denganku 'kan?""Kamu jangan seenaknya ngomong!“"Tidak masalah 'kan? Atau kamu cemburu?""Aku tidak cemburu!“"Kalau begitu aku tidur denganmu.""Ranjangku hanya untuk satu orang!""Kamu saja yang tidur dengan Arsen, dan aku tidur di kamar kamu?""Apa—” Wajah Leina memerah. Antara marah, cemburu dan juga malu. Dia membayangkan hal-hal yang akan terjadi di dalam kamar. "Ja-Jangan sembarangan kamu!""Ya kalau tidak mau, berarti aku yang tidur dengan Arsen.""Tidak boleh, enak saja!"Serena tersenyum kecil, merasa berhasil menggoda Leina. "Kamu terang-terangan sekali kalau sangat tergila-gila dengan Arsen.""Sudah kubilang jangan sembarangan ngomong! Aku tidak tergila-gila dengannya!“"Tuh 'kan cemburu.""Jangan mempermainkanku!"Serena menahan tawa melihat tingkah Leina selalu saja cemburu padanya. Dia berkata, "Sudahlah. Bagaimana kalau kita belanja bareng, kita bisa masak bareng juga.""Tidak usah sok baik.“ Leina benar-benar dilanda kecemburuan. Dia merasa diejek, dipermainkan. "Aku tahu kamu cuma mau berdekatan dengan Arsen!”Dia tidak suka dengan nada bicara Serena yang ramah. Dia yang paling tahu kalau wanita itu menggunakan mulut manisnya untuk memanfaatkan orang.Serena terus menggoda Leina, "kalau misalnya aku memang ingin berdekatan dengan Arsen, hak kamu apa melarangku?“"Aku ini asistennya!”"Terus?“" ...” Leina tertegun. Dia baru sadar kalau memang tidak punya hak melarang Arsen bersama siapapun.Tetapi, selama tiga tahunan ini mereka sudah bersama, tinggal di satu rumah, meskipun beda kamar— tetap saja, harusnya mereka lebih dari rekan kerja 'kan?Tidak.Arsen tidak mencintainya.Serena berkata lagi, "aku tahu kalian tinggal bersama, tapi bukankah itu karena kamu tidak punya tempat lain? Arsen menerima kamu karena berhutang budi pada mendiang ayahmu, Dokter Gio.“Kasihan?Jadi, perasaan Arsen padanya hanyalah kasihan. Leina makin patah hati.Tak cukup disitu, Serena kembali bicara, "selain itu, kamu juga lebih mirip pembantu rumah tangga di rumah Arsen. Semua kebutuhannya kamu penuhi 'kan?”Memasak, mencuci baju, menyiapkan kopi— semua itu sudah menjadi rutinitas Leina. Dia tak bisa membantah kalau posisinya lebih pantas disebut pembantu daripada asisten.Selama ini, Hans si informan lebih banyak tahu tentang pekerjaan Arsen sebagai detektif daripada dirinya.Tak bisa menjawab apa-apa, Leina kemudian pergi dengan cepat. Wajahnya dipenuhi perasaan amarah sekaligus sedih.Serena hanya melihatnya menjauh. Dia menghela napas panjang, kemudian bergumam, "sepertinya aku sedikit berlebihan menggodanya. Dia mudah sekali cemburu. Lucunya."***Leina menuruti permintaan Arsen untuk menginap di rumah Dokter Tony. Dialah yang menyiapkan makan malam untuk mereka semua.Dokter Tony sampai takjub dengan makanan yang ada di meja. Dia melihat Arsen dan Leina yang sudah duduk di kursi masing-masing."Rasanya seperti punya putra dan menantu yang baik," katanya sesekali tersenyum pada Arsen.Arsen fokus makan saja, tak mau menanggapi ucapan bermakna ganda dari pria itu. Iya, dia tahu kalau kemungkinan Dokter Tony sudah menduga niatnya mengajak Leina bermalam di situ."Ngomong-ngomong Leina, kamu harusnya tidak perlu memasak sebanyak ini, kamu pasti lelah—“ kata Dokter Tony.Leina tersenyum. "Tidak masalah, Dok. Aku suka masak, kok ... Lagian ..." Ucapannya terhenti, mana mungkin dia mengatakan kalau dia memang masak banyak untuk memperingati ulang tahunnya besok. "Tidak apa, pokoknya aku senang masak banyak.”Tidak ada yang bicara setelah itu. Baik Arsen maupun Leina sama-sama diam. Iya, apalagi Arsen yang sedikit gugup. Bagaimana tid
Leina mengunjungi Arsen di tempat Dokter beberapa hari sekali. Itupun dia hanya datang untuk mengantarkan sesuatu, entah itu masakannya atau barang-barang yang mungkin bisa membuat Arsen ingat. Dia jarang berinteraksi dengan Arsen sendiri.Arsen merasa jaraknya menjadi lebih jauh dari Leina. Akan tetapi, itu malah membuatnya merasa kalau wanita itu memang dekat dengannya. Dia ingin mengobrol dengannya.Hari ini, Leina datang hanya untuk mengantarkan saus daging buatannya karena Arsen menyukainya. Setelah itu, dia berpamitan pulang.Akan tetapi, saat berjalan menuju gerbang keluar dari rumah tersebut, dia langsung dihadang oleh Arsen. Leina kaget, kenapa pria itu ada di luar rumah?"Pulang lebih cepat tanpa menemuiku dulu?" tanya Arsen dengan suara datar. Dia sepertinya kecewa karena Leina seolah menjaga jarak.Leina menoleh ke arah rumah, lalu kembali menatap Arsen. Dia bertanya, "kenapa kamu malah di sini? Kamu 'kan lagi pengobatan? Cepat masuk— lagian kalau ada kenal sama kamu giman
Hans membuka mata.Untuk sesaat, dia masih memproses apa yang terjadi. Dia melihat langit-langit. Kemudian, dia melihat dirinya sendiri yang terbaring di atas ranjang— di dalam kamar yang tidak asing.Pandangannya mengarah ke luar jendela yang tengah terbuka. Udara pagi terasa sejuk dan menenangkan.Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka, dan seseorang masuk. Dia adalah Ritta— yang langsung kaget melihat pria itu sudah bangun."Hans!“ panggilnya cepat. Dia buru-buru mendekati ranjang. ”Kamu sudah siuman?“Hans bangun dari ranjang. Tubuhnya masih sakit semua, tapi setidaknya sudah baik-baik saja. Dia menatap Ritta, lalu tersenyum. Dia tidak terlalu ingat apa yang terjadi sebelum dia tak sadarkan diri, tapi setidaknya dia berhasil membuat Ritta aman dan Tino ditangkap."Syukurlah kamu baik-baik saja,” katanya.Ritta ingin menangis melihat pria itu. Kedua matanya berair, benar-benar lega. Dia duduk di tepian ranjang, lalu tanpa mengatakan apapun, dia memeluk pria itu dengan seerat mu
Arsen hanya diam saat disuguhi oleh pasta saus daging buatan Leina. Dia masih melihat makanan di atas meja makan depannya itu. Pandangannya menjadi lebih tenang.Entah kenapa— rasanya seperti nostalgia, dan dia sadar akan hal tersebut.Aroma saus yang ada di atas pasta itu menggugah selera, tapi juga membuat sekilas ingatan muncul di kepala. Walaupun, tetap saja— dia masih belum ingat apapun.Dia menatap Leina yang duduk di kursi yang berseberangan meja dengannya. Wanita itu duduk manis sambil memandangi dia. Senyum hangat tampak menghiasi bibirinya.Aneh.Kenapa wanita itu tidak takut? Kenapa masih bisa tersenyum padanya? Kenapa tidak menunjukkan niat membunuh?Padahal tadi dia sudah berbuat kasar, melukainya, membuatnya hampir mati tercekik. Tetapi, senyum hangat tanlepas dari bibirnya.Aneh.Leina heran karena dipandangi terus. Dia bertanya dengan ragu, "ada apa? Kamu ... Kamu tidak suka?“Nasibnya bergantung dari suasana hati Arsen sekarang. Kalau pria itu tidak suka, maka dia sun
Ciuman yang diberikan oleh Leina sangat mengejutkan diri Arsen. Dia tidak mampu bertindak apapun, tidak sanggup melakukan apapun, tidak menolak juga. Bibir wanita itu terasa lembut dan mampu menghangatkan bibirnya yang dingin.Selama beberapa detik, dia hanya terdiam dengan napas yang tertahan. Arsen benar-benar diluluhkan oleh ciuman itu. Untuk sekejap, dia seperti lupa siapa dirinya dan untuk apa di sini. Yang dia pikirkan hanyalah— kenapa rasa ciuman ini begitu hangat?Leina ...Nama itu terlintas di pikiran Arsen. Dia masih betah dengan merasakan ciuman Leina. Dia seperti tertawan oleh bibir wanita itu, seakan tidak sanggup untuk berhenti. Bahkan, dia bak rela kehabisan napas jika itu bisa terus berciuman seperti ini.Segala pemikiran buruknya menjadi sirna untuk sesaat. Hatinya menjadi damai. Dia merasa hidup. Perasaan hangat yang belum pernah dirasakan—Atau ... dia lupakan?Tetapi, dia kemudian tersadar, lalu menjauh dari Leina sehingga ciuman mereka terlepas. Dia menarik napas
Para anak buah Tino membawa pergi Ritta pergi keluar rumah. Ini memaksa Hans untuk berlari mengejarnya. Dia khawatir juga pada Leina, tapi situasinya sangat sulit.Leina sendiri masih berada dalam cengkraman sang kekasih. Dia makin sedih— tidak pernah membayangkan kalau Arsen akan kehilangan ingatannya tentang mereka semua.Butir demi butir air mata mengalir keluar dari kedua matanya. Hanya kesedihan yang menerpanya sekarang."Arsen ... tolong sadarlah!“ pintanya.Dia sama sekali tidak peduli dengan cekikan Arsen yang makin erat. Napasnya sudah sangat terbatas. Ini membuat dada sesak dan pandangan mulai kabur karena pasokan oksigen ke otak menipis.Arsen masih memandangi wajah Leina, berusaha mengingat wanita itu, tapi masih ada kabut hitam yang menyelimutinya. "Aku tidak kenal siapa kamu, tapi kamu memang sepertinya—"Ucapannya terhenti kala merasakan sakit kepala lagi. Entah mengapa, tatapan Leina yang dibanjiri air mata membuatnya tidak nyaman.Ada apa ini?Dia merasa dadanya ikuta