Gedung Arsen memiliki tiga tingkat. Dasarnya adalah kantor detektif, sementara, dua tingkat di atas merupakan tempat tinggalnya bersama Leina selama ini.
Sudah tiga tahun mereka hidup bersama. Saat itu— Leina masih berusia tujuh belas tahun, baru lulus SMA. Dia dititipkan setelah ayahnya, Dokter Gio, meninggal dunia akibat kecelakaan. Karena tak punya sanak saudara lain, Arsen menerimanya tinggal bersama.Arsen menganggap Leina seperti adik sendiri atau malah anak sendiri. Tetapi, dia sadar perasaan di hatinya tidak demikian.Hari sudah malam, tapi ternyata suasana di dalam rumah sangat sepi. Dia lantas menuju ke dapur. Terlihat, meja makan masih kosong."Leina tidak pulang ...“ Arsen sudah bisa menduga kalau wanita itu ngambek perkara tadi pagi.Dia mengambil ponselnya, lalu memeriksa aplikasi GPS khusus. Selama ini, dia selalu merasa aman karena memasang alat pelacak di ponsel Leina.Akan tetapi, saat ini alat pelacaknya tak terdeteksi. Sontak saja, dia menjadi panik. "Ponselnya mati? Ke mana dia?"Ada suara langkah kaki.Arsen menoleh, tak kaget melihat sosok Serena datang dengan membawakan sekantong makanan."Jangan cemas, Leina baik-baik saja," kata Serena kemudian."Serena?""Karena asisten pencemburumu itu tidak pulang, jadi aku belikan makanan untuk kita. Kita bisa bahas masalah pekerjaan setelah makan.""Apa yang kamu sembunyikan?""Apa maksudmu?”Pandangan Arsen meruncing kepada Serena. Sorot matanya begitu dingin. Suasana hatinya sangat buruk karena khawatir pada Leina.Serena menaruh kantong belanjanya di atas meja makan. Dia menghindari pandangan dengan Arsen.Sambil mengeluarkan kardus-kardus makanan, dia berkata, "oke, oke, aku tadi cuma menggoda Leina sedikit, aku tidak mengira kalau dia malah makin marah sampai pergi dari rumah."Emosi, Arsen menyambar lengan Serena, mencengkeramnya agak kasar.Dia menatap tajam wanita itu, lalu membentak, "apa sebenarnya niatmu! Apa yang kamu katakan padanya! Apa kamu sengaja ingin membuatnya pergi dari sini! Apa ini rencanamu!"Serena terkejut. Baru kali ini, dia melihat Arsen yang biasanya tak banyak bicara, nyaris tak pernah emosi berlebihan bisa menjadi begini. "Arsen?""Kamu tahu dia cemburuan! Jangan-jangan kamu yang memberitahunya kalau aku menerima kamu jadi klien? Dia tadi pagi memarahiku karenamu!""Aku tidak memberitahunya.""Sekarang dia pergi! Kalau dia dalam bahaya bagaimana!"Serena menampar pipi Arsen untuk menyadarkannya. "Tenangkan dirimu! Mana mungkin aku ingin dia pergi dari rumah?"Arsen tersadar dari kemarahannya. Dia melepaskan tangan Serena, kemudian berkata lirih, "maaf."Serena menatap Arsen yang sangat gelisah itu. Dia berkata, "kamu tidak pernah begini. Kamu kacau sekali.""Aku ...""Aku tahu kamu cemas karena ini pertama kalinya Leina tidak pulang."Arsen kelihatan gelisah.Serena berkata lagi, "aku sungguh tidak mengerti dengan sikapmu. Kamu selalu menghindari Leina, kamu tahu dia mencintaimu, tapi tak mau membalas cintanya. Di sisi lain, kamu juga tidak mau dia pergi.“Tidak ada jawaban.Tatapan mata Serena menjadi sendu. Dia merasakan keseriusan di mimik wajah Arsen. "Iya, aku sudah tahu alasannya. Kamu jatuh cinta padanya.”Masih tidak ada jawaban dari bibir Arsen. Dia benar-benar tidak sanggup membahas hal ini.Serena duduk di salah satu kursi meja makan. Dia terus menatap Arsen yang sedih.Dia lantas berkata, "kamu tidak mau terikat dengan Leina karena takut dia dalam bahaya. Pekerjaanmu terkadang berurusan dengan kriminal— jadi, mungkin saja mereka akan balas dendam kepada Leina. Tapi, kamu juga tidak mau dia pergi darimu.“"Aku tidak mau membahasnya.”"Jujur saja, Arsen, aku agak cemburu sekarang. Aku tidak mengira— pria yang dulu sering menggodaku sekarang jatuh cinta pada wanita lain.“"Sudahlah. Sekarang, katakan padaku, di mana Leina? kamu tahu ke mana dia?""Dia di rumah adikku.""Adikmu yang playboy itu?""Iya.""Kamu membiarkan Leina ada di rumah adik playboy-mu?""Kenapa? Takut asisten kesayanganmu itu tergoda oleh pesona adikku?"Arsen kesal, malas menjawab. Dia duduk di salah satu kursi yang tersisa, menghindari pandangan dengan Serena.Serena menyeringai. "Cemburu? Sebelumnya Leina tak pernah serumah dengan pria lain selain dirimu.""Jangan berkata aneh-aneh. Leina itu masih kecil. Aku khawatir padanya karena dia tanggungjawabku."“Kecil? Dia sudah dua puluh tahun, dia sudah dewasa, Arsen. Terserah dia mau bersama pria manapun 'kan? Dia tak perlu kamu rawat. Sudahlah, tidak perlu berbohong segala. Aku tahu kamu cemburu dan takut dia digoda adikku."Arsen tidak menjawab, membuktikan kalau dia memang tidak sanggup membantah lagi. Suasana hatinya sangat buruk dan gelisah.Ini pertama kalin Leina pergi dari rumah— dan rasanya seakan ada lubang menganga di dada.***Leina sebenarnya tidak suka berada di rumah Liam. Bagaimana pun, ini adalah rumah dari adiknya Serena, saingannya dalam hal cinta. Tetapi, dia sengaja datang ke sini juga demi mencari informasi.Liam adalah seorang pemuda dua puluh tahunan yang memiliki paras tampan. Saat ini, statusnya adalah dokter magang di salah satu rumah sakit ternama.Dia sudah mengenal Leina sejak lama juga. Dahulu, Dokter Gio, ayah dari Leina adalah dosen yang pernah mengajarnya dulu.Pria itu membukakan pintu kamar tamu, lalu berkata, "ini kamarnya. Bilang saja kalau butuh sesuatu.""Aku tidak berencana menginap. Aku ke sini cuma ingin tahu tentang kakakmu," kata Leina yang enggan masuk."Sekarang sudah malam. Kamu mau ke mana memangnya? Kata kakakku, kamu sedang marahan dengan Arsen, jadi tidak mau pulang. Jadi, lebih baik istirahat saja di sini.""Jangan terus mengubah topik obrolan ya—" "Apa, sih?""Jelaskan padaku dahulu tentang bahaya apa yang menimpa kakakmu? Itu cuma bohongan 'kan? Dia ngarang cerita
Leina duduk di pinggiran ranjang sambil melihat albm foto lawas. Satu per satu halaman dia buka. Terlihat jelas kalau dahulu— Arsen, Hans dan Serena adalah teman baik."Arsen, kamu tidak pernah bercerita tentang masa lalumu, aku bahkan tidak tahu kapan ulang tahunmu, kamu tidak pernah mau merayakannya denganku ..." Leina bergumam sendiri. Suaranya begitu lirih nan sedih. Dia semakin terpukul karena menyadari kalau kemungkinan Arsen tidak pernah menganggapnya sebagai asisten.Dia bergumam lagi, "jangan-jangan benar kata Serena ... kamu cuma mengasuhku saja untuk balas budi ke papa, kamu menerimaku di rumahmu cuma karena kasihan ... kamu tidak mau aku hadir di hidupmu. Kamu pasti sudah tahu aku mencintaimu, tapi kamu selalu menghindariku."Air mata menetes di pipinya. Sudah jam sepuluh malam, dan tidak ada tanda-tanda kalau Arsen mencarinya. ... Arsen tidak peduli? ... Arsen sama sekali tidak peduli?... Bahkan, setelah pergi sampai malam pun, pria itu tidak mencarinya?Itulah seder
Keesokan harinya ...Leina terbangun. Untuk satu menit pertama, dia masih bengong, melihat sekitarnya. Aneh, semalam— dia merasa bermimpi sedang digendong oleh Arsen.Mimpi— cuma mimpi."Mimpi 'kan ..." Leina akhirnya tersadar kalau sudah berada di kamar tidur sendiri. "Loh?"Dia segera turun dari ranjangnya, lalu membuka tirai jendela. Suasana pagi jalanan depan gedung kantor detektif milik Arsen langsung terlihat.Kamarnya dan kamar tidur Arsen berada di lantai teratas. Dari situ, dia bisa melihat kondisi sekitar jalanan depan gedung ini dengan jelas..Banyak gedung-gedung pertokoan di luar. Tepat di seberang jalan, ada deretan toko baju. Berhubung sekarang masih jam tujuh pagi, jadi belum ada toko yang buka."Kenapa aku di sini? Aku di rumah Liam 'kan? Arsen ... apa mimpi itu beneran ..." Leina ingin memastikannya dengan pergi keluar kamar.Dia menuruni anak tangga, menuju ke ruang makan yang ada di lantai dua. Biasanya, setiap pagi— dia akan menyiapkan sarapan serta membuatkan kop
Pintu dibuka.Leina tidak melihat siapapun ada di dalam. Suasana kamar tidur Arsen masih rapi seperti biasa. Tetapi, dia bisa mencium aroma parfum khas dari Serena."Serena, keluar kamu!" teriaknya.Arsen berhenti di ambang pintu, lalu bersandar di sekitar situ. Dia menahan tawa melihat Leina yang mencari-cari Serena.Dia berkata, "Dia sudah pergi dari semalam, dia ada di rumah Hans sekarang.""Apa yang kamu lakukan dengannya?""Lakukan apa?""Jangan bohong kamu." Leina mendadak menyesal karena kemarin malah pergi dari rumah. Coba saja dia tetap di sini, pasti dia bisa menjauhan Arsen dari Serena.Dia mendekati pria itu, lalu berjinjit agar bisa menyambar kerah kemeja tidurnya. "Katakan padaku, Arsenio! Apa yang kalian lakukan semalam?""Entahlah.""Arsen!""Untuk apa aku menjelaskannya padamu, ini salahmu sendiri karena minggat dari rumah, jadi kamu tidak tahu."Leina mencekik pria itu dengan emosi tinggi. Dia marah besar. "Katakan apa yang sudah kalian lakukan atau aku akan berhenti
Sudah satu jam lamanya, Arsen menemani Leina jalan-jalan di pertokoan sekitar. Sudah ada sepuluh kantong belanja yang dia bawa.Dan, Leina masih belum puas. Tampaknya dia ingin balas dendam kepada Arsen dengan membelanjakan semua bayaran dari Serena kemarin. Dia berhenti di depan kaca toko baju yang memajang gaun cantik. "Wah, ini bagus banget."Arsen sampai bersadar di tembok toko itu, terlalu capek. Dia menaruh kantong belanja di sekitar kakinya."Awas jangan sampai kantong belanjaanku jatuh, awas saja kalau baju-bajuku kotor." Leina masih betah memandangi gaun yang dipajang di manekin. "Kamu belum puas juga belanja? Kamu sudah belanja banyak sekali ini ...""Sampai pembayaran dari Serena belum habis, aku tidak akan berhenti belanja."Arsen menggerutu lirih, "Sampai segitunya kamu tidak suka Serena. Dasar pencemburu."Leina meliriknya tajam. "Mmm? Ngomong apa barusan?"Arsen agak takut dengan lirikan itu. Dia mengalah, "oke, oke, maaf— uangnya milikmu. Kamu boleh belanja apapun ya
Leina sangat bersemangat sehingga tak terasa seharian jalan-jalan dengan Arsen. Dia benar-benar tidak ingin hari ini berakhir. Hari ini— dia bisa merasakan rasanya menjadi pasangan Arsen.Tetapi, Arsen sudah sangat letih. Dia merasa sudah seperti mengasuh anak yang aktif. Untuk seorang pria yang hobinya duduk dan minum kopi, dia tidak betah berlama-lama berada di luar.Dia sudah ingin sekali pulang, tapi tak tega melihat Leina yang semangatnya minta ampun. Beruntung, matahari akhirnya sudah tenggelam. Mau tidak mau— kencan hari ini harus berakhir.Begitu membuka pintu rumah, dia bergumam, "akhirnya ... penderitaanku berakhir."Leina yang berdiri di belakang pria itu mendengar. Dia meliriknya. "Hah? Bicara apa kamu?“"Tidak. Tidak ada. Aku capek—” balas Arsen buru-buru, lalu masuk ke dalam. Daripada diomeli lagi, mending melarikan diri.Dia menaruh seluruh kantong belanja Leina di atas meja ruang tamu. Baru setelah itu, dia berkata, “aku mau mandi, lalu tidur.”"Kamu tidak may kubuatk
Leina merasa dadanya sesak, otot tubuh seakan tegang seketika. Dia tidak bisa membayangkan Arsen melakukan hal itu dengan wanita lain.Dia melirik pria itu. "Kenapa kamu menyingkir dariku?""Tidak apa.""Cepat jujur, Arsen, kamu ... kamu punya anak?""Sebentar— tenang dulu, Leina," pinta Arsen mundur lagi, menjaga jarak dari wanita itu. Dia buru-buru menjelaskan, "Ini tidak beres, pasti ini ulah Hans. Dia yang menaruh anak ini di sini, dia bisa masuk ke rumah kita.""Kenapa juga ditaruh di kamar kamu!""Mana kutahu!""Pantas kamu baik sekali padaku hari ini! Kamu menyembunyikan anak dariku!""Maksudmu apa? Kamu serius percaya tulisan orang tidak jelas begini?"Leina mendekatinya. Lalu, dia menyambar kemeja yang dipakai Arsen, mengoyaknya.Dia mengomel, "tega sekali kamu! Saat aku di rumah mengkhawatirkanmu kalau pulang telat, kamu malah di luaran sana buat anak?""Hei ... jangan bodoh, kapan aku buat anaknya? Aku selalu di rumah sebelum jam sepuluh— kamu memberikanku jam malam!""Iya j
Keesokan harinya ...Leina terbangun pagi-pagi buta karena mendengar suara tangisan bayi. Dia baru ingat kalau sekarang di rumah mereka ada anak yang harus diurus.Anak perempuan itu tidur di kamar Arsen. Tangisannya yang makin menggila membuat Leina khawatir.Wanita itu pun turun ranjang, dan keluar kamar. Dia berjalan menghampiri kamar tidur Arsen yang hanya terpisah dua ruangan kosong dari kamarnya.Dia mengetuk pintu. "Arsen? Vera menangis itu— periksa popoknya!“Tidak ada jawaban, kecuali tangisan bayi saja."Aku masuk!" Leina membuka pintu kamar itu, lalu melihat di ranjang cuma ada bayi, sementara Arsen tidak ada di manapun. "Arsen!"Dia mendekati bayi itu, lalu memeriksa popoknya— dan ternyata memang sudah penuh.”Kemana dia itu!“ Leina jengkel. Dia menggendong bayi tersebut, lalu pergi ke kamar mandi untuk mengganti popok. "Teganya meninggalkan bayi sendiri di kamar!"Namun, tangisan bayi perempuan itu tidak berhenti juga meskipun popoknya sudah kering lagi. "UWAAH~ UWAAH~~”