"Kenapa kamu tidak mau membantuku?"
"Kamu lihat sendiri. Aku sibuk.""Sibuk apanya? Kamu cuma baca koran sejak pagi!"Tidak ada jawaban.Kerutan di kening Leina makin banyak, membuktikan betapa kesal dia melihat Arsen, pria tiga puluh tahunan yang duduk santai membaca koran di balik meja kerjanya.Leina sudah setengah jam berdiri di hadapan pria itu, mengomel tanpa henti. Akan tetapi, dia masih tak dipedulikan."Arsen! Kamu beneran tidak mau membantu sekalipun aku yang minta tolong!" teriaknya."Tidak.""Keterlaluan!" Leina mengamuk sampai menggebrak meja. Gebrakan tersembut sampai membuat tumpukan buku di pinggir meja berjatuhan.Arsen menghela napas panjang, lalu melipat korannya dan ditaruh di meja. Dia mengangkat wajah sehingga bisa melihat raut wajah marah sang asisten itu.Seperti biasa, dia selalu memperlihatkan sorot mata acuh dan datar. Tidak ada seorang pun yang paham apa yang dia pikirkan."Kamu benar-benar tidak punya hati, aku kecewa padamu!" lanjut Leina dipenuhi perasaan murka. Dia menuding pria itu, lalu menuduh, "aku tahu kenapa kamu tidak mau membantuku ... Kamu diam-diam menerima permintaan kasus dari Serena, iya 'kan?""Memang iya.""Kenapa kamu mau menerima permintaannya?""Kamu sendiri yang bilang kita tidak boleh pilih kasih klien, Serena menyewa jasaku, jadi apa salahnya?""Dia 'kan juga detektif, kenapa selalu saja minta tolong kamu yang menyelesaikan kasusnya? Kalian itu bukan rekan kerja!""Kali ini dia bukan ingin menyelesaikan kasus orang lain, tapi dia yang dalam masalah. Karena itulah dia menyewaku jadi bodyguard.""Dalam bahaya apanya! Kamu cuma mau berdekatan dengannya saja!""Sudahlah, jangan mengomel terus. Lebih baik kamu buatkan aku kopi, oke?"Leina seperti ingin menangis. Dia marah, cemburu, semuanya jadi satu. Kepalanya menggeleng tidak percaya— ternyata Arsen lebih memilih membantu saingan bisnis mereka ketimbang dirinya sekarang.Arsen bertanya, "kenapa kamu melihatku seperti itu?""Padahal aku yang meminta tolong, aku asistenmu 'kan? Tapi kamu selalu mementingkan detektif wanita itu.""Apa ini sikapmu kalau meminta tolong? Barusan menggebrak meja, lalu mengomeliku?"Tak ada sahutan dari mulut Leina. Rasa cemburu terhadap Serena terlalu memenuhi hati dan pikirannya.Arsen berdiri dari tempatnya duduk. Setelahnya, dia memutari meja, mendekati sang asisten itu.Dia menyentuh dagu Leina, dipaksa agar menatap wajahnya. Dengan suara pelan, dia berkata, "oke. kamu bilang kamu mau minta tolong? Kalau begitu coba minta tolong dengan lebih lembut."Napas Leina tertahan. Berdekatan dengan Arsen sangat mendebarkan jantung. Jarang sekali pria ini memperlakukannya begini. Di posisi begitu, wajah mereka begitu berdekatan.Wajah tampan mempesona, sorot mata yang begitu menawan. Itulah yang dipikirkan oleh Leina saat menatap Arsen. Sudah tiga tahun dia bekerja untuk pria itu, dan selama itu pula— dia mencintainya.Arsen tersenyum. Dia berkata lagi, "Kenapa diam saja? Apa lidahmu mendadak kaku? Sesekali kalau mau minta tolong itu jangan berteriak-teriak ini, coba dekati aku, lalu rayu aku ... aku akan membantumu."Untuk sesaat, Leina merasa terbang mendengar kata manis itu. Terlebih senyuman Arsen begitu membiusnya.Apa Arsen menggodanya? Apa pria ini menyukainya?, Itulah yang terlintas di pikirannyaTetapi, kemudian dia sadar— Arsen memang perayu handal. Dia tidak merayu orang lain karena menyukainya, melainkan untuk mendapatkan informasi atau menenangkan orang yang sedang marah.Iya, seperti dirinya yang tengah emosi sekarang, tentu saja Arsen akan merayu.Leina mendorong dada Arsen, enggan melihat wajahnya. "Jangan menggodaku!""Sudah kuduga, kamu tidak bisa berkata manis.""Bagaimana bisa aku berkata manis? Kamu saja tidak mau membantuku. Tapi, kalau urusan Serena selalu nomer satu.""Kerjasama dengan Serena itu penting, dia punya akses informasi di kepolisian.""Jangan bohong, bilang saja kalau kamu memang suka padanya! Akui sekarang!""Kenapa pembicaraan kita jadi melebar begini?""Pasti sebentar lagi kamu akan ke rumahnya. Iya 'kan?""Apapun yang kulakukan, itu adalah urusan pekerjaan."Leina menahan emosi. Perasaan cemburunya semakin besar dan besar saja. Dia memang tidak punya hak melarang Arsen kemanapun, tapi tetap saja— dia tidak terima.Dia menatap mata pria itu dengan serius. "Sekarang jawab saja, apa kamu mau membantuku atau tetap memilih menangani kasus Serena?""Serena sedang dalam bahaya, dia diincar oleh pembunuh bayaran. Aku harus melindunginya sementara.""Intinya kalau dia yang dalam bahaya, kamu lebih mementingkannya? Bagaimana kalau aku yang dalam bahaya?""Bahaya apa? Kamu cuma mau buang-buang waktu saja 'kan?""Aku mau menyelamatkan anak mendiang temanku yang diculik. Bagaimana kalau dia dibunuh? Sampai hati kamu bilang aku buang-buang waktu?""Penculikan itu kasusnya polisi, laporkan saja sana. Kita tidak mengurus kasus beginian.""Jadi, kamu tidak mau membantu?""Tidak mau."Dada Leina sangat sakit mendengar penolakan itu. Dia merasa sangat kecewa sekaligus marah."Sudah cukup! Aku tidak akan meminta bantuanmu lagi!" Dia segera pergi dari ruangan itu, lalu membanting pintu dengan keras.Setelah beberapa saat wanita itu pergi, pintu toilet di ruangan itu terbuka. Terlihatlah, seorang pria seumuran dengannya berjaket hitam keluar.Dia berkata, "wah, Leina kalau mengomel seram sekali. Aku sampai tidak berani keluar toilet dari tadi."Arsen melihat ke pintu yang barusan dibanting Leina. Sorot matanya berubah sedih."Tapi, Arsen, tega sekali kamu. Kenapa tidak membantunya saja?""Apanya yang dibantu? Leina itu bohong, cuma mengarang saja untuk cari perhatian. Dia selalu begitu kalau aku membantu Serena.""Sudah jelas 'kan alasannya? Dia cemburu, loh. Jangan jahat-jahat begini. Kenapa kamu tidak mau perhatian sedikit padanya? Apa nunggu dia pergi dulu baru kamu sadar?""Hans, jangan dibahas." Arsen menoleh. Dia enggan membahas Leina, jadi bertanya, "jadi, bagaimana penyelidikanmu? Siapa yang mengincar Serena?""Aku sudah kirim berkasnya ke alamat e-mail-mu. Coba lihat."Arsen mengambil ponselnya dari dalam saku celana. Dia melihat kiriman e-mail dari Hans. Ada foto seorang pria misterius di dalam berkas itu."Mereka sampai berani menyewa pembunuh bayaran seperti ini, Serena serius dalam masalah," katanya.***Leina menuruti permintaan Arsen untuk menginap di rumah Dokter Tony. Dialah yang menyiapkan makan malam untuk mereka semua.Dokter Tony sampai takjub dengan makanan yang ada di meja. Dia melihat Arsen dan Leina yang sudah duduk di kursi masing-masing."Rasanya seperti punya putra dan menantu yang baik," katanya sesekali tersenyum pada Arsen.Arsen fokus makan saja, tak mau menanggapi ucapan bermakna ganda dari pria itu. Iya, dia tahu kalau kemungkinan Dokter Tony sudah menduga niatnya mengajak Leina bermalam di situ."Ngomong-ngomong Leina, kamu harusnya tidak perlu memasak sebanyak ini, kamu pasti lelah—“ kata Dokter Tony.Leina tersenyum. "Tidak masalah, Dok. Aku suka masak, kok ... Lagian ..." Ucapannya terhenti, mana mungkin dia mengatakan kalau dia memang masak banyak untuk memperingati ulang tahunnya besok. "Tidak apa, pokoknya aku senang masak banyak.”Tidak ada yang bicara setelah itu. Baik Arsen maupun Leina sama-sama diam. Iya, apalagi Arsen yang sedikit gugup. Bagaimana tid
Leina mengunjungi Arsen di tempat Dokter beberapa hari sekali. Itupun dia hanya datang untuk mengantarkan sesuatu, entah itu masakannya atau barang-barang yang mungkin bisa membuat Arsen ingat. Dia jarang berinteraksi dengan Arsen sendiri.Arsen merasa jaraknya menjadi lebih jauh dari Leina. Akan tetapi, itu malah membuatnya merasa kalau wanita itu memang dekat dengannya. Dia ingin mengobrol dengannya.Hari ini, Leina datang hanya untuk mengantarkan saus daging buatannya karena Arsen menyukainya. Setelah itu, dia berpamitan pulang.Akan tetapi, saat berjalan menuju gerbang keluar dari rumah tersebut, dia langsung dihadang oleh Arsen. Leina kaget, kenapa pria itu ada di luar rumah?"Pulang lebih cepat tanpa menemuiku dulu?" tanya Arsen dengan suara datar. Dia sepertinya kecewa karena Leina seolah menjaga jarak.Leina menoleh ke arah rumah, lalu kembali menatap Arsen. Dia bertanya, "kenapa kamu malah di sini? Kamu 'kan lagi pengobatan? Cepat masuk— lagian kalau ada kenal sama kamu giman
Hans membuka mata.Untuk sesaat, dia masih memproses apa yang terjadi. Dia melihat langit-langit. Kemudian, dia melihat dirinya sendiri yang terbaring di atas ranjang— di dalam kamar yang tidak asing.Pandangannya mengarah ke luar jendela yang tengah terbuka. Udara pagi terasa sejuk dan menenangkan.Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka, dan seseorang masuk. Dia adalah Ritta— yang langsung kaget melihat pria itu sudah bangun."Hans!“ panggilnya cepat. Dia buru-buru mendekati ranjang. ”Kamu sudah siuman?“Hans bangun dari ranjang. Tubuhnya masih sakit semua, tapi setidaknya sudah baik-baik saja. Dia menatap Ritta, lalu tersenyum. Dia tidak terlalu ingat apa yang terjadi sebelum dia tak sadarkan diri, tapi setidaknya dia berhasil membuat Ritta aman dan Tino ditangkap."Syukurlah kamu baik-baik saja,” katanya.Ritta ingin menangis melihat pria itu. Kedua matanya berair, benar-benar lega. Dia duduk di tepian ranjang, lalu tanpa mengatakan apapun, dia memeluk pria itu dengan seerat mu
Arsen hanya diam saat disuguhi oleh pasta saus daging buatan Leina. Dia masih melihat makanan di atas meja makan depannya itu. Pandangannya menjadi lebih tenang.Entah kenapa— rasanya seperti nostalgia, dan dia sadar akan hal tersebut.Aroma saus yang ada di atas pasta itu menggugah selera, tapi juga membuat sekilas ingatan muncul di kepala. Walaupun, tetap saja— dia masih belum ingat apapun.Dia menatap Leina yang duduk di kursi yang berseberangan meja dengannya. Wanita itu duduk manis sambil memandangi dia. Senyum hangat tampak menghiasi bibirinya.Aneh.Kenapa wanita itu tidak takut? Kenapa masih bisa tersenyum padanya? Kenapa tidak menunjukkan niat membunuh?Padahal tadi dia sudah berbuat kasar, melukainya, membuatnya hampir mati tercekik. Tetapi, senyum hangat tanlepas dari bibirnya.Aneh.Leina heran karena dipandangi terus. Dia bertanya dengan ragu, "ada apa? Kamu ... Kamu tidak suka?“Nasibnya bergantung dari suasana hati Arsen sekarang. Kalau pria itu tidak suka, maka dia sun
Ciuman yang diberikan oleh Leina sangat mengejutkan diri Arsen. Dia tidak mampu bertindak apapun, tidak sanggup melakukan apapun, tidak menolak juga. Bibir wanita itu terasa lembut dan mampu menghangatkan bibirnya yang dingin.Selama beberapa detik, dia hanya terdiam dengan napas yang tertahan. Arsen benar-benar diluluhkan oleh ciuman itu. Untuk sekejap, dia seperti lupa siapa dirinya dan untuk apa di sini. Yang dia pikirkan hanyalah— kenapa rasa ciuman ini begitu hangat?Leina ...Nama itu terlintas di pikiran Arsen. Dia masih betah dengan merasakan ciuman Leina. Dia seperti tertawan oleh bibir wanita itu, seakan tidak sanggup untuk berhenti. Bahkan, dia bak rela kehabisan napas jika itu bisa terus berciuman seperti ini.Segala pemikiran buruknya menjadi sirna untuk sesaat. Hatinya menjadi damai. Dia merasa hidup. Perasaan hangat yang belum pernah dirasakan—Atau ... dia lupakan?Tetapi, dia kemudian tersadar, lalu menjauh dari Leina sehingga ciuman mereka terlepas. Dia menarik napas
Para anak buah Tino membawa pergi Ritta pergi keluar rumah. Ini memaksa Hans untuk berlari mengejarnya. Dia khawatir juga pada Leina, tapi situasinya sangat sulit.Leina sendiri masih berada dalam cengkraman sang kekasih. Dia makin sedih— tidak pernah membayangkan kalau Arsen akan kehilangan ingatannya tentang mereka semua.Butir demi butir air mata mengalir keluar dari kedua matanya. Hanya kesedihan yang menerpanya sekarang."Arsen ... tolong sadarlah!“ pintanya.Dia sama sekali tidak peduli dengan cekikan Arsen yang makin erat. Napasnya sudah sangat terbatas. Ini membuat dada sesak dan pandangan mulai kabur karena pasokan oksigen ke otak menipis.Arsen masih memandangi wajah Leina, berusaha mengingat wanita itu, tapi masih ada kabut hitam yang menyelimutinya. "Aku tidak kenal siapa kamu, tapi kamu memang sepertinya—"Ucapannya terhenti kala merasakan sakit kepala lagi. Entah mengapa, tatapan Leina yang dibanjiri air mata membuatnya tidak nyaman.Ada apa ini?Dia merasa dadanya ikuta