Sudah satu jam lamanya, Arsen menemani Leina jalan-jalan di pertokoan sekitar. Sudah ada sepuluh kantong belanja yang dia bawa.
Dan, Leina masih belum puas. Tampaknya dia ingin balas dendam kepada Arsen dengan membelanjakan semua bayaran dari Serena kemarin.Dia berhenti di depan kaca toko baju yang memajang gaun cantik. "Wah, ini bagus banget."Arsen sampai bersadar di tembok toko itu, terlalu capek. Dia menaruh kantong belanja di sekitar kakinya."Awas jangan sampai kantong belanjaanku jatuh, awas saja kalau baju-bajuku kotor." Leina masih betah memandangi gaun yang dipajang di manekin."Kamu belum puas juga belanja? Kamu sudah belanja banyak sekali ini ...""Sampai pembayaran dari Serena belum habis, aku tidak akan berhenti belanja."Arsen menggerutu lirih, "Sampai segitunya kamu tidak suka Serena. Dasar pencemburu."Leina meliriknya tajam. "Mmm? Ngomong apa barusan?"Arsen agak takut dengan lirikan itu. Dia mengalah, "oke, oke, maaf— uangnya milikmu. Kamu boleh belanja apapun yang kamu mau.""Kamu janji akan menemaniku hari ini. Jadi, jangan mengeluh terus."Arsen hanya bisa menghela napas panjang. Dia sadar kalau memang Leina tidak punya pengalaman dalam hal percintaan sama sekali. Dia tak berharap mereka akan pergi jalan-jalan sambil makan-makan dan menonton film."Ya sudah, lanjutkan belanjanya, aku akan menunggu," katanya kemudian.Leina masuk ke dalam toko baju tersebut dengan hati riang gembira.Dia mendekati salah satu rak baju. Seleranya dalam memilih baju sedikit buruk. Pakain yang selalu dia pakai selalu memiliki ciri yang sama, atasan kemeja atau blus biasa dipadu dengan celana panjang atau rok biasa.Semua serba biasa.Bisa dibilang gaya berpakaiannya agak membosankan untuk ukuran wanita muda. Serena saja— yang berusia hampir sepuluh tahun lebih tua darinya memiliki style yang jauh lebih baik."Serena ..." Leina teringat foto-foto di album milik adik Serena waktu itu. Dia iri dengan kebersamaannya dengan Arsen.Pandangan matanya sedikit sedih. Dia berbalik badan, melihat diri sendiri di depan cermin berdiri.Di situ, dia bisa melihat penampilan dirinya sendiri. Dia sadar diri kalau tak pernah menggunakan make-up, hanya sekedar basic skincare— seperti tabir surya, lipbalm, dan semacamnya.Dia bergumam sendiri, "apa aku membosankan? Arsen sepertinya tidak tertarik menemaniku— apa dia tidak selera denganku karena aku kelihatan sangat biasa, aku terlalu muda untuknya?"Arsen selalu memandangnya seperti gadis remaja, bukan wanita dewasa. Leina sangat iri dengan Serena yang selalu berpenampilan menarik serta menggunakan make up.Leina menyentuh pipinya. Dia tersenyum tipis. "Mungkin aku harus mulai belajar make up, Arsen tidak akan pernah melihatku sebagai wanita dewasa kalau aku tidak merias diriku."Dia tidak sadar kalau sedari tadi Arsen berada di belakang rak baju itu. Jadi, pria itu mendengar apapun yang dikatakan Leina.Dia mendekati wanita itu sambil bertanya, "kenapa lama sekali?""Ah!" Leina balik badan, kaget mengetahui tahu-tahu Arsen sudah ada di sini. Pipi memerah, takut kalau perkataannya didengar. "Kamu— kamu sejak kapan ada di sini?""Barusan.""Kamu tidak dengar apa-apa 'kan?""Dengar apa?"Leina lega. "Bukan apa-apa."Arsen tersenyum kecil. Meskipun tahu apa yang barusan diucapkan Leina, dia sama sekali tidak mengomentarinya. Dia memilih pura-pura tidak mendengar apapun.Malahan, dia menggodanya, "kenapa? kamu barusan kentut? Sampai takut didengar orang lain?""Enak saja!" sergah Leina cepat. "S-siapa yang kentut! Kamu ini selalu saja menghinaku!""Aku cuma bercanda, jangan selalu marah.""Aku tidak marah!""Sudah, sudah." Arsen mengelus rambut Leina layaknya sedang menenangkan anak-anak yang mengamuk.Leina kesal. Dia menepis tangan Arsen dari kepalanya. "Jangan perlakukan aku seperti anak-anak!"Arsen menahan tawa. Dia menggoda terus, "apa, sih? Aku reflek mengelus kepalamu karena kamu pendek sekali.""Apa katamu!""Harusnya kamu pakai hak tinggi hari ini. Orang pasti berpikir aku adalah pamanmu jika kita jalan berdua.""Arsen!" Leina meremas kedua pipi Arsen dengan perasaan kesal. "Kamu ini sebenarnya tidak mau 'kan menemaniku hari ini!"Arsen menurunkan kedua tangan Leina dari pipinya. Dia berkata, "maaf, maaf, kamu sudah selesai belum? Aku lelah menemanimu belanja saja dari tadi."Mendengar itu, suasana hati Leina menjadi gundah. Dia kepikiran lagi dengan tadi— sudah dia duga, dia adalah orang yang membosankan. Dia sama sekali tidak berpengalaman kencan, tidak tahu harus apa.Apa kencannya akan berakhir seperti ini? Tidak berkesan sama sekali?Setelah tiga tahun, ini kesempatannya dekat dengan Arsen. Mana mungkin disia-siakan?Apa harusnya pergi menonton film? Apa makan-makan di mall?, Leina tidak tahu harus apa sekarang.Dia tidak tahu juga apa yang disukai Arsen. Memangnya pria itu mau diajak nonton film di bioskop?Arsen bukan tipikal orang yang akan duduk diam lebih dari sejam di tengah banyak orang. Pria itu seperti serigala penyendiri— dan tidak suka menonton apapun.Arsen bisa mengetahui jalan pikiran Leina hanya dengan melihat raut wajahnya saja.Dia meraih telapak tangan wanita itu. Sambil memberikan senyuman manis, dia mengajak, "Mau menonton film di bioskop denganku tidak? Ada film bagus yang sedang tayang hari ini."Leina terperanjat. Dia merasa Arsen seakan membaca pikirannya. "Kamu mau kita nonton?""Iya.""Aku kira kamu tidak betah duduk berjam-jam di tempat begituan.""Kalau duduk di sampingmu, kurasa itu bukan masalah walaupun berjam-jam."Napas Leina tertahan. Detak jantungnya berdebar.Tidak mungkin.Apa barusan Arsen berkata semanis itu?Ada apa ini? Kenapa dia lembut dan baik sekali hari ini? Apa memang murni ingin minta maaf padanya karena menerima tawaran pekerjaan dari Serena diam-diam kemarin?Senyuman di bibir Arsen semakin mengembang. Dia mengangkat tangan Leina, lalu mengecupnya sesaat."Hah ..." Leina main terkejut dan salah tingkah. Dia menarik tangannya dengan cepat. Telinga dan wajahnya memerah bak kulit udang rebus— ini sudah sangat aneh.Dia mengerutkan dahi, curiga mungkin Arsen sedang sakit atau melakukan sesuatu.Arsen bingung. "Ada apa? Kenapa kamu melihatku begitu?"Tatapan mata Leina meruncing ke pria itu, curiga berat. "Aneh. Kamu baik banget hari ini— sampai mencium tanganku?""Kita 'kan kencan, artinya kita pasangan untuk hari ini. Memangnya salah aku mencium tanganmu?"Debaran di jantung Leina makin tidak terkendali. Mendengar Arsen mengatakan hal yang sangat manis adalah sebuah kebahagiaan tertinggi untuknya. Dia dibuat melayang hanya karena kata 'pasangan' barusan.Bibirnya pun ikut mengembang, membentuk sebuah senyuman gembira. Dalam sekejap, dia merasa di dunia ini hanya ada dirinya dan Arsen.Dia merangkul lengan pria itu, lalu berkata dengan semangat, "oke, ayo pergi nonton film!"Arsen tersenyum.***Leina menuruti permintaan Arsen untuk menginap di rumah Dokter Tony. Dialah yang menyiapkan makan malam untuk mereka semua.Dokter Tony sampai takjub dengan makanan yang ada di meja. Dia melihat Arsen dan Leina yang sudah duduk di kursi masing-masing."Rasanya seperti punya putra dan menantu yang baik," katanya sesekali tersenyum pada Arsen.Arsen fokus makan saja, tak mau menanggapi ucapan bermakna ganda dari pria itu. Iya, dia tahu kalau kemungkinan Dokter Tony sudah menduga niatnya mengajak Leina bermalam di situ."Ngomong-ngomong Leina, kamu harusnya tidak perlu memasak sebanyak ini, kamu pasti lelah—“ kata Dokter Tony.Leina tersenyum. "Tidak masalah, Dok. Aku suka masak, kok ... Lagian ..." Ucapannya terhenti, mana mungkin dia mengatakan kalau dia memang masak banyak untuk memperingati ulang tahunnya besok. "Tidak apa, pokoknya aku senang masak banyak.”Tidak ada yang bicara setelah itu. Baik Arsen maupun Leina sama-sama diam. Iya, apalagi Arsen yang sedikit gugup. Bagaimana tid
Leina mengunjungi Arsen di tempat Dokter beberapa hari sekali. Itupun dia hanya datang untuk mengantarkan sesuatu, entah itu masakannya atau barang-barang yang mungkin bisa membuat Arsen ingat. Dia jarang berinteraksi dengan Arsen sendiri.Arsen merasa jaraknya menjadi lebih jauh dari Leina. Akan tetapi, itu malah membuatnya merasa kalau wanita itu memang dekat dengannya. Dia ingin mengobrol dengannya.Hari ini, Leina datang hanya untuk mengantarkan saus daging buatannya karena Arsen menyukainya. Setelah itu, dia berpamitan pulang.Akan tetapi, saat berjalan menuju gerbang keluar dari rumah tersebut, dia langsung dihadang oleh Arsen. Leina kaget, kenapa pria itu ada di luar rumah?"Pulang lebih cepat tanpa menemuiku dulu?" tanya Arsen dengan suara datar. Dia sepertinya kecewa karena Leina seolah menjaga jarak.Leina menoleh ke arah rumah, lalu kembali menatap Arsen. Dia bertanya, "kenapa kamu malah di sini? Kamu 'kan lagi pengobatan? Cepat masuk— lagian kalau ada kenal sama kamu giman
Hans membuka mata.Untuk sesaat, dia masih memproses apa yang terjadi. Dia melihat langit-langit. Kemudian, dia melihat dirinya sendiri yang terbaring di atas ranjang— di dalam kamar yang tidak asing.Pandangannya mengarah ke luar jendela yang tengah terbuka. Udara pagi terasa sejuk dan menenangkan.Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka, dan seseorang masuk. Dia adalah Ritta— yang langsung kaget melihat pria itu sudah bangun."Hans!“ panggilnya cepat. Dia buru-buru mendekati ranjang. ”Kamu sudah siuman?“Hans bangun dari ranjang. Tubuhnya masih sakit semua, tapi setidaknya sudah baik-baik saja. Dia menatap Ritta, lalu tersenyum. Dia tidak terlalu ingat apa yang terjadi sebelum dia tak sadarkan diri, tapi setidaknya dia berhasil membuat Ritta aman dan Tino ditangkap."Syukurlah kamu baik-baik saja,” katanya.Ritta ingin menangis melihat pria itu. Kedua matanya berair, benar-benar lega. Dia duduk di tepian ranjang, lalu tanpa mengatakan apapun, dia memeluk pria itu dengan seerat mu
Arsen hanya diam saat disuguhi oleh pasta saus daging buatan Leina. Dia masih melihat makanan di atas meja makan depannya itu. Pandangannya menjadi lebih tenang.Entah kenapa— rasanya seperti nostalgia, dan dia sadar akan hal tersebut.Aroma saus yang ada di atas pasta itu menggugah selera, tapi juga membuat sekilas ingatan muncul di kepala. Walaupun, tetap saja— dia masih belum ingat apapun.Dia menatap Leina yang duduk di kursi yang berseberangan meja dengannya. Wanita itu duduk manis sambil memandangi dia. Senyum hangat tampak menghiasi bibirinya.Aneh.Kenapa wanita itu tidak takut? Kenapa masih bisa tersenyum padanya? Kenapa tidak menunjukkan niat membunuh?Padahal tadi dia sudah berbuat kasar, melukainya, membuatnya hampir mati tercekik. Tetapi, senyum hangat tanlepas dari bibirnya.Aneh.Leina heran karena dipandangi terus. Dia bertanya dengan ragu, "ada apa? Kamu ... Kamu tidak suka?“Nasibnya bergantung dari suasana hati Arsen sekarang. Kalau pria itu tidak suka, maka dia sun
Ciuman yang diberikan oleh Leina sangat mengejutkan diri Arsen. Dia tidak mampu bertindak apapun, tidak sanggup melakukan apapun, tidak menolak juga. Bibir wanita itu terasa lembut dan mampu menghangatkan bibirnya yang dingin.Selama beberapa detik, dia hanya terdiam dengan napas yang tertahan. Arsen benar-benar diluluhkan oleh ciuman itu. Untuk sekejap, dia seperti lupa siapa dirinya dan untuk apa di sini. Yang dia pikirkan hanyalah— kenapa rasa ciuman ini begitu hangat?Leina ...Nama itu terlintas di pikiran Arsen. Dia masih betah dengan merasakan ciuman Leina. Dia seperti tertawan oleh bibir wanita itu, seakan tidak sanggup untuk berhenti. Bahkan, dia bak rela kehabisan napas jika itu bisa terus berciuman seperti ini.Segala pemikiran buruknya menjadi sirna untuk sesaat. Hatinya menjadi damai. Dia merasa hidup. Perasaan hangat yang belum pernah dirasakan—Atau ... dia lupakan?Tetapi, dia kemudian tersadar, lalu menjauh dari Leina sehingga ciuman mereka terlepas. Dia menarik napas
Para anak buah Tino membawa pergi Ritta pergi keluar rumah. Ini memaksa Hans untuk berlari mengejarnya. Dia khawatir juga pada Leina, tapi situasinya sangat sulit.Leina sendiri masih berada dalam cengkraman sang kekasih. Dia makin sedih— tidak pernah membayangkan kalau Arsen akan kehilangan ingatannya tentang mereka semua.Butir demi butir air mata mengalir keluar dari kedua matanya. Hanya kesedihan yang menerpanya sekarang."Arsen ... tolong sadarlah!“ pintanya.Dia sama sekali tidak peduli dengan cekikan Arsen yang makin erat. Napasnya sudah sangat terbatas. Ini membuat dada sesak dan pandangan mulai kabur karena pasokan oksigen ke otak menipis.Arsen masih memandangi wajah Leina, berusaha mengingat wanita itu, tapi masih ada kabut hitam yang menyelimutinya. "Aku tidak kenal siapa kamu, tapi kamu memang sepertinya—"Ucapannya terhenti kala merasakan sakit kepala lagi. Entah mengapa, tatapan Leina yang dibanjiri air mata membuatnya tidak nyaman.Ada apa ini?Dia merasa dadanya ikuta