Share

08. Pasangan Hari Ini

Sudah satu jam lamanya, Arsen menemani Leina jalan-jalan di pertokoan sekitar. Sudah ada sepuluh kantong belanja yang dia bawa.

Dan, Leina masih belum puas. Tampaknya dia ingin balas dendam kepada Arsen dengan membelanjakan semua bayaran dari Serena kemarin.

Dia berhenti di depan kaca toko baju yang memajang gaun cantik. "Wah, ini bagus banget."

Arsen sampai bersadar di tembok toko itu, terlalu capek. Dia menaruh kantong belanja di sekitar kakinya.

"Awas jangan sampai kantong belanjaanku jatuh, awas saja kalau baju-bajuku kotor." Leina masih betah memandangi gaun yang dipajang di manekin.

"Kamu belum puas juga belanja? Kamu sudah belanja banyak sekali ini ..."

"Sampai pembayaran dari Serena belum habis, aku tidak akan berhenti belanja."

Arsen menggerutu lirih, "Sampai segitunya kamu tidak suka Serena. Dasar pencemburu."

Leina meliriknya tajam. "Mmm? Ngomong apa barusan?"

Arsen agak takut dengan lirikan itu. Dia mengalah, "oke, oke, maaf— uangnya milikmu. Kamu boleh belanja apapun yang kamu mau."

"Kamu janji akan menemaniku hari ini. Jadi, jangan mengeluh terus."

Arsen hanya bisa menghela napas panjang. Dia sadar kalau memang Leina tidak punya pengalaman dalam hal percintaan sama sekali. Dia tak berharap mereka akan pergi jalan-jalan sambil makan-makan dan menonton film.

"Ya sudah, lanjutkan belanjanya, aku akan menunggu," katanya kemudian.

Leina masuk ke dalam toko baju tersebut dengan hati riang gembira.

Dia mendekati salah satu rak baju. Seleranya dalam memilih baju sedikit buruk. Pakain yang selalu dia pakai selalu memiliki ciri yang sama, atasan kemeja atau blus biasa dipadu dengan celana panjang atau rok biasa.

Semua serba biasa.

Bisa dibilang gaya berpakaiannya agak membosankan untuk ukuran wanita muda. Serena saja— yang berusia hampir sepuluh tahun lebih tua darinya memiliki style yang jauh lebih baik.

"Serena ..." Leina teringat foto-foto di album milik adik Serena waktu itu. Dia iri dengan kebersamaannya dengan Arsen.

Pandangan matanya sedikit sedih. Dia berbalik badan, melihat diri sendiri di depan cermin berdiri.

Di situ, dia bisa melihat penampilan dirinya sendiri. Dia sadar diri kalau tak pernah menggunakan make-up, hanya sekedar basic skincare— seperti tabir surya, lipbalm, dan semacamnya.

Dia bergumam sendiri, "apa aku membosankan? Arsen sepertinya tidak tertarik menemaniku— apa dia tidak selera denganku karena aku kelihatan sangat biasa, aku terlalu muda untuknya?"

Arsen selalu memandangnya seperti gadis remaja, bukan wanita dewasa. Leina sangat iri dengan Serena yang selalu berpenampilan menarik serta menggunakan make up.

Leina menyentuh pipinya. Dia tersenyum tipis. "Mungkin aku harus mulai belajar make up, Arsen tidak akan pernah melihatku sebagai wanita dewasa kalau aku tidak merias diriku."

Dia tidak sadar kalau sedari tadi Arsen berada di belakang rak baju itu. Jadi, pria itu mendengar apapun yang dikatakan Leina.

Dia mendekati wanita itu sambil bertanya, "kenapa lama sekali?"

"Ah!" Leina balik badan, kaget mengetahui tahu-tahu Arsen sudah ada di sini. Pipi memerah, takut kalau perkataannya didengar. "Kamu— kamu sejak kapan ada di sini?"

"Barusan."

"Kamu tidak dengar apa-apa 'kan?"

"Dengar apa?"

Leina lega. "Bukan apa-apa."

Arsen tersenyum kecil. Meskipun tahu apa yang barusan diucapkan Leina, dia sama sekali tidak mengomentarinya. Dia memilih pura-pura tidak mendengar apapun.

Malahan, dia menggodanya, "kenapa? kamu barusan kentut? Sampai takut didengar orang lain?"

"Enak saja!" sergah Leina cepat. "S-siapa yang kentut! Kamu ini selalu saja menghinaku!"

"Aku cuma bercanda, jangan selalu marah."

"Aku tidak marah!"

"Sudah, sudah." Arsen mengelus rambut Leina layaknya sedang menenangkan anak-anak yang mengamuk.

Leina kesal. Dia menepis tangan Arsen dari kepalanya. "Jangan perlakukan aku seperti anak-anak!"

Arsen menahan tawa. Dia menggoda terus, "apa, sih? Aku reflek mengelus kepalamu karena kamu pendek sekali."

"Apa katamu!"

"Harusnya kamu pakai hak tinggi hari ini. Orang pasti berpikir aku adalah pamanmu jika kita jalan berdua."

"Arsen!" Leina meremas kedua pipi Arsen dengan perasaan kesal. "Kamu ini sebenarnya tidak mau 'kan menemaniku hari ini!"

Arsen menurunkan kedua tangan Leina dari pipinya. Dia berkata, "maaf, maaf, kamu sudah selesai belum? Aku lelah menemanimu belanja saja dari tadi."

Mendengar itu, suasana hati Leina menjadi gundah. Dia kepikiran lagi dengan tadi— sudah dia duga, dia adalah orang yang membosankan. Dia sama sekali tidak berpengalaman kencan, tidak tahu harus apa.

Apa kencannya akan berakhir seperti ini? Tidak berkesan sama sekali?

Setelah tiga tahun, ini kesempatannya dekat dengan Arsen. Mana mungkin disia-siakan?

Apa harusnya pergi menonton film? Apa makan-makan di mall?, Leina tidak tahu harus apa sekarang.

Dia tidak tahu juga apa yang disukai Arsen. Memangnya pria itu mau diajak nonton film di bioskop?

Arsen bukan tipikal orang yang akan duduk diam lebih dari sejam di tengah banyak orang. Pria itu seperti serigala penyendiri— dan tidak suka menonton apapun.

Arsen bisa mengetahui jalan pikiran Leina hanya dengan melihat raut wajahnya saja.

Dia meraih telapak tangan wanita itu. Sambil memberikan senyuman manis, dia mengajak, "Mau menonton film di bioskop denganku tidak? Ada film bagus yang sedang tayang hari ini."

Leina terperanjat. Dia merasa Arsen seakan membaca pikirannya. "Kamu mau kita nonton?"

"Iya."

"Aku kira kamu tidak betah duduk berjam-jam di tempat begituan."

"Kalau duduk di sampingmu, kurasa itu bukan masalah walaupun berjam-jam."

Napas Leina tertahan. Detak jantungnya berdebar.

Tidak mungkin.

Apa barusan Arsen berkata semanis itu?

Ada apa ini? Kenapa dia lembut dan baik sekali hari ini? Apa memang murni ingin minta maaf padanya karena menerima tawaran pekerjaan dari Serena diam-diam kemarin?

Senyuman di bibir Arsen semakin mengembang. Dia mengangkat tangan Leina, lalu mengecupnya sesaat.

"Hah ..." Leina main terkejut dan salah tingkah. Dia menarik tangannya dengan cepat. Telinga dan wajahnya memerah bak kulit udang rebus— ini sudah sangat aneh.

Dia mengerutkan dahi, curiga mungkin Arsen sedang sakit atau melakukan sesuatu.

Arsen bingung. "Ada apa? Kenapa kamu melihatku begitu?"

Tatapan mata Leina meruncing ke pria itu, curiga berat. "Aneh. Kamu baik banget hari ini— sampai mencium tanganku?"

"Kita 'kan kencan, artinya kita pasangan untuk hari ini. Memangnya salah aku mencium tanganmu?"

Debaran di jantung Leina makin tidak terkendali. Mendengar Arsen mengatakan hal yang sangat manis adalah sebuah kebahagiaan tertinggi untuknya. Dia dibuat melayang hanya karena kata 'pasangan' barusan.

Bibirnya pun ikut mengembang, membentuk sebuah senyuman gembira. Dalam sekejap, dia merasa di dunia ini hanya ada dirinya dan Arsen.

Dia merangkul lengan pria itu, lalu berkata dengan semangat, "oke, ayo pergi nonton film!"

Arsen tersenyum.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status