Pintu dibuka.
Leina tidak melihat siapapun ada di dalam. Suasana kamar tidur Arsen masih rapi seperti biasa. Tetapi, dia bisa mencium aroma parfum khas dari Serena."Serena, keluar kamu!" teriaknya.Arsen berhenti di ambang pintu, lalu bersandar di sekitar situ. Dia menahan tawa melihat Leina yang mencari-cari Serena.Dia berkata, "Dia sudah pergi dari semalam, dia ada di rumah Hans sekarang.""Apa yang kamu lakukan dengannya?""Lakukan apa?""Jangan bohong kamu." Leina mendadak menyesal karena kemarin malah pergi dari rumah. Coba saja dia tetap di sini, pasti dia bisa menjauhan Arsen dari Serena.Dia mendekati pria itu, lalu berjinjit agar bisa menyambar kerah kemeja tidurnya. "Katakan padaku, Arsenio! Apa yang kalian lakukan semalam?""Entahlah.""Arsen!""Untuk apa aku menjelaskannya padamu, ini salahmu sendiri karena minggat dari rumah, jadi kamu tidak tahu."Leina mencekik pria itu dengan emosi tinggi. Dia marah besar. "Katakan apa yang sudah kalian lakukan atau aku akan berhenti bekerja jadi asistenmu!"Arsen sama sekali tidak merasakan sakit, malahan geli dengan cekikan tangan Leina. Senyuman manis masih menghiasi bibirnya.Merasa diejek, Leina melepaskan cekikannya, kemudian berbalik badan. "Oke, kamu memang brengsek. Kamu pasti jemput aku karena kamu butuh pembantu! Oke— aku berhenti jadi asistenmu! Sampai jumpa!""Mau pergi ke mana kamu? Memangnya kamu punya tempat tinggal?""Lebih baik aku menyewa tempat tinggal lain, daripada tinggal dengan pria playboy tidak bermoral sepertimu!"Usai berkata demikian, Leina berjalan pergi meninggalkan Arsen. Saat marah dan cemburu, dia selau berpikir pendek.Arsen menyambar lengan Leina, menghentikan langkahnya. "Tunggu sebentar.""Apa lagi!" Leina menoleh dengan lirikan mata yang tajam. "Jangan sentuh aku!""Aku minta maaf.""Maaf?""Maaf, aku barusan cuma menggodamu saja. Aku tidak melakukan apapun dengan Serena. Dia di sini sebentar, lalu aku pergi jemput kamu."Mendengarnya, kemarahan dalam diri Leina perlahan menyusut. Suara Arsen terdengar pelan dan serius.Pria itu menarik tangan Leina hingga tubuh wanita itu terhempas ke dadanya.Napas Leina tertahan. Dia memegangi dada Arsen, lalu mendongak— menatap wajah tampannya.Untuk beberapa detik, mata mereka saling bertautan. Hanya lewat pandangan mata itulah, keduanya seperti saling memahami.Leina bisa merasakan detak jantung Arsen yang berdebar keras sama seperti dirinya. Perlahan, pipinya pun memerah. Posisi ini begitu dekat, membuatnya malu sekaligus canggung.Arsen memecah keheningan dengan berkata lagi, "kali ini aku yang salah karena mengambil klien tanpa bicara dulu denganmu. Kamu adalah asistenku, harusnya ini tugasmu menerima klien itu atau tidak. Maafkan aku.""Arsen ..." Leina ikut merasa bersalah sekarang. Dia memalingkan pandangan. "Tidak, jangan minta maaf ... aku juga tahu kalau ini salahku, aku terlalu kekanak-kanakan, maaf. Aku tidak cocok menjadi asistenmu.""Justru kamu yang paling cocok menjadi asistenku."Leina menatap pria itu lagi. Dia menjauhkan dirinya dari Arsen. "Kamu ... kamu biasanya tidak pernah bicara manis padaku."Arsen memberikan senyuman tulus. Dia mengelus rambut Leina dengan rasa sayang. "Aku tahu kamu khawatir padaku, tenang saja— aku sudah berhenti jadi bodyguard Serena. Masalahnya sudah selesai. Hans mengurus sisanya. Jadi, kamu tidak perlu marah lagi.""Beneran?""Iya."Leina tersenyum lega.Arsen senang akhirnya Leina tersenyum lagi. Dia tidak bisa mengendalikan betapa bahagia dirinya. Jadi, tanpa dia sadari— dia menyentuh pipi wanita itu."Matamu masih agak bengkak sekarang, kamu kemarin menangis?" Dia bertanya dengan suara lirih dan agak sedih.Detak jantung Leina makin tidak karuhan. Dia bingung, ada apa dengan Arsen? Kenapa pagi ini sangat lembut padanya?Tak mendapat jawaban, Arsen berkata lagi, "aku tahu ini juga salahku. Sebagai permintaan maafku karena kemarin berkata kasar padamu, kamu boleh menghukumku hari ini. Semua yang kamu mau, akan kulakukan."Apa Arsen baru saja memakan jamur beracun? Kenapa dia perhatian dan manis sekali?, Leina sama sekali tidak percaya mendengar semua ucapan itu.Dengan wajah berseri-seri, dia menjawab, "kalau begitu hari ini kamu kencan denganku.""Kencan?" Arsen kaget, tengkuknya agak merinding. Tak pernah dia bayangkan akan pergi berkencan dengan asistennya sendiri.Dia takut semakin tak bisa mengendalikan perasaannya.Leina menyeringai. "Kenapa? Kamu tidak mau kencan denganku? Sekarang kamu tidak bisa kabur lagi— akui saja kalau suka padaku!""Mana mungkin aku suka gadis ingusan sepertimu?" Arsen menyembunyikan perasaan malu dengan memperlihatkan raut wajah angkuhnya. Dia ikut tersenyum menantang.Leina agak kesal karena selalu dianggap masih kecil. Tetapi, dia akan buktikan kalau pesonanya sebagai wanita dewasa itu melebihi Serena."Aku tidak peduli kamu mau ngomong apa, yang penting hari ini— kita kencan. Aku akan buat sarapan dulu, lalu kita pergi," katanya setengah sewot, tapi suasana hatinya sudah membaik.Arsen tersenyum melihat itu.***Sudah satu jam lamanya, Arsen menemani Leina jalan-jalan di pertokoan sekitar. Sudah ada sepuluh kantong belanja yang dia bawa.Dan, Leina masih belum puas. Tampaknya dia ingin balas dendam kepada Arsen dengan membelanjakan semua bayaran dari Serena kemarin. Dia berhenti di depan kaca toko baju yang memajang gaun cantik. "Wah, ini bagus banget."Arsen sampai bersadar di tembok toko itu, terlalu capek. Dia menaruh kantong belanja di sekitar kakinya."Awas jangan sampai kantong belanjaanku jatuh, awas saja kalau baju-bajuku kotor." Leina masih betah memandangi gaun yang dipajang di manekin. "Kamu belum puas juga belanja? Kamu sudah belanja banyak sekali ini ...""Sampai pembayaran dari Serena belum habis, aku tidak akan berhenti belanja."Arsen menggerutu lirih, "Sampai segitunya kamu tidak suka Serena. Dasar pencemburu."Leina meliriknya tajam. "Mmm? Ngomong apa barusan?"Arsen agak takut dengan lirikan itu. Dia mengalah, "oke, oke, maaf— uangnya milikmu. Kamu boleh belanja apapun ya
Leina sangat bersemangat sehingga tak terasa seharian jalan-jalan dengan Arsen. Dia benar-benar tidak ingin hari ini berakhir. Hari ini— dia bisa merasakan rasanya menjadi pasangan Arsen.Tetapi, Arsen sudah sangat letih. Dia merasa sudah seperti mengasuh anak yang aktif. Untuk seorang pria yang hobinya duduk dan minum kopi, dia tidak betah berlama-lama berada di luar.Dia sudah ingin sekali pulang, tapi tak tega melihat Leina yang semangatnya minta ampun. Beruntung, matahari akhirnya sudah tenggelam. Mau tidak mau— kencan hari ini harus berakhir.Begitu membuka pintu rumah, dia bergumam, "akhirnya ... penderitaanku berakhir."Leina yang berdiri di belakang pria itu mendengar. Dia meliriknya. "Hah? Bicara apa kamu?“"Tidak. Tidak ada. Aku capek—” balas Arsen buru-buru, lalu masuk ke dalam. Daripada diomeli lagi, mending melarikan diri.Dia menaruh seluruh kantong belanja Leina di atas meja ruang tamu. Baru setelah itu, dia berkata, “aku mau mandi, lalu tidur.”"Kamu tidak may kubuatk
Leina merasa dadanya sesak, otot tubuh seakan tegang seketika. Dia tidak bisa membayangkan Arsen melakukan hal itu dengan wanita lain.Dia melirik pria itu. "Kenapa kamu menyingkir dariku?""Tidak apa.""Cepat jujur, Arsen, kamu ... kamu punya anak?""Sebentar— tenang dulu, Leina," pinta Arsen mundur lagi, menjaga jarak dari wanita itu. Dia buru-buru menjelaskan, "Ini tidak beres, pasti ini ulah Hans. Dia yang menaruh anak ini di sini, dia bisa masuk ke rumah kita.""Kenapa juga ditaruh di kamar kamu!""Mana kutahu!""Pantas kamu baik sekali padaku hari ini! Kamu menyembunyikan anak dariku!""Maksudmu apa? Kamu serius percaya tulisan orang tidak jelas begini?"Leina mendekatinya. Lalu, dia menyambar kemeja yang dipakai Arsen, mengoyaknya.Dia mengomel, "tega sekali kamu! Saat aku di rumah mengkhawatirkanmu kalau pulang telat, kamu malah di luaran sana buat anak?""Hei ... jangan bodoh, kapan aku buat anaknya? Aku selalu di rumah sebelum jam sepuluh— kamu memberikanku jam malam!""Iya j
Keesokan harinya ...Leina terbangun pagi-pagi buta karena mendengar suara tangisan bayi. Dia baru ingat kalau sekarang di rumah mereka ada anak yang harus diurus.Anak perempuan itu tidur di kamar Arsen. Tangisannya yang makin menggila membuat Leina khawatir.Wanita itu pun turun ranjang, dan keluar kamar. Dia berjalan menghampiri kamar tidur Arsen yang hanya terpisah dua ruangan kosong dari kamarnya.Dia mengetuk pintu. "Arsen? Vera menangis itu— periksa popoknya!“Tidak ada jawaban, kecuali tangisan bayi saja."Aku masuk!" Leina membuka pintu kamar itu, lalu melihat di ranjang cuma ada bayi, sementara Arsen tidak ada di manapun. "Arsen!"Dia mendekati bayi itu, lalu memeriksa popoknya— dan ternyata memang sudah penuh.”Kemana dia itu!“ Leina jengkel. Dia menggendong bayi tersebut, lalu pergi ke kamar mandi untuk mengganti popok. "Teganya meninggalkan bayi sendiri di kamar!"Namun, tangisan bayi perempuan itu tidak berhenti juga meskipun popoknya sudah kering lagi. "UWAAH~ UWAAH~~”
Nicholas.Itulah nama pria yang merupakan CEO perusahaan makanan beku, calon klien. Dia tengah duduk di sofa tepat di berseberangan meja dengan Arsen.Mereka duduk berhadapan, jadi bisa saling memperhatikan. Ketika bertemu calon klien, Arsen selalu memperhatikan gerak-geriknya.Dan, yang paling penting untuk diperhatikan adalah pandangan mata. Orang yang sedang berbohong, pasti ketahuan lewat situ."Tolong." Nicholas menyudahi penjelasannya sambil menyerahkan sebuah foto wanita muda di atas meja. "Ini foto wanita itu, Miranda. Saya hanya punya fotonya dua tahunan yang lalu."Miranda?Leina teringat nama dari bayi yang dititipkan di rumah mereka. Bukankah tertulis di surat kalau namanya Miranda?Wanita itu sedari tadi berdiri di sebelah sofa tempat Arsen duduk sambil memeluk nampan. Kopi dan teh sudah disajikan di atas meja untuk Arsen dan tamu mereka.Arsen menatap foto itu. "Anda ini kami mencari wanita ini diam-diam agar tak menimbulkan skandal?""Iya, sebisa mungkin jangan sampai s
Arsen menjemput Serena di rumahnya. Dia sudah memastikan kalau Leina tidak mungkin bisa memata-matainya sekarang. Iya, wanita itu sibuk dengan baby Vera di rumah. Jadi, dia bisa tenang.Serena masuk ke dalam mobilnya. Penampilannya begitu anggun dengan balutan gaun malam berwarna hitam. Elegan mempesona sekaligus seksi. Aura wanita dewasa terpancar kuat dari dirinya.Baik Serena ataupun Arsen tidak berbicara selama di perjalanan. Mereka fokus ke depan, hingga pada akhirnya sampai di lokasi tujuan.Sebuah gedung yang menjadi acara amal berlangsung. Arsen memarkirkan mobilnya di parkiran depan gedung, lalu keluar lebih dahulu."Johann, pemilik kantor berita Dai-News, penyelanggara acara amal ini 'kan?" Arsen memandangi gedung tinggi itu. Banyak sekali orang penting berpakaian formal masuk ke dalamnya.Serena baru keluar dari mobil. Dia tersenyum mendengar ucapan Arsen. "Cepat sekali kamu dapat informasi.""Aku harus tahu kemana aku diajak ... mengingat kamu selalu memanfaatkanku," balas
Arsen selalu bersikap tidak peduli. Tetapi, dia sebenarnya selalu mengawasi kondisi sekitar. Sejak Serena pergi bersama pria bernama Johann, dia berkeliling untuk melihat keadaan.Dia pergi keluar gedung, dan tak sengaja menguping pembicaraan dari seorang pria penjaga dengan seorang wanita muda di area parkiran. Serena menyamar menjadi wanita itu, seorang wanita panggilan."Ini mustahil, wanita bernama Tamara harusnya sudah ada bersama Pak Johann sekarang," kata si pria penjaga.Wanita berpakaian seksi itu keheranan. Dia menjawab, "Tapi, aku diminta datang setengah jam setelah acara amal selesai.""Siapa yang menyuruh?""Pak Johann.""Tunggu sebentar di sini, ada yang tidak beres." Penjaga itu menyadari kalau wanita panggilan yang pertama adalah palsu. Dia segera pergi menuju ke belakang gedung.Arsen diam-diam berlari mengikutinya. Dia mengawasi sekitar, dan tepat ketika sudah sampai di belakang pintu belakang— dia menyentuh pundak orang itu."Apa?" Penjaga itu terperanjat, lalu berb
Arsen dan Serena terpaksa menginap di satu kamar hotel. Bukan tanpa alasan, memang tidak ada kamar yang tersedia kecuali itu.Arsen tidak berencana tidur. Dia memilih berdiri di dekat jendela, memandangi jalanan ramai dari lantai lima belas itu, sambil menikmati segelas wine.Mendadak, dia kepikiran Leina dan Baby Vera, apakah mereka baik-baik saja? Tetapi, jika alarm rumah yang tersambung di ponselnya tidak berbunyi, maka berarti tidak ada masalah."Memikirkan Leina?" Serena menghampirinya.Arsen enggan menjawab itu. Dia mengotak-atik ponselnya, dan mengirim beberapa berkas rekaman serta potret bukti yang dia dapat dari Tamara tadi.Dia berkata, "aku sudah kirim beberapa bukti aliran dari acara amal pria itu ke e-mail kamu."Serena membuka pesan elektronik tersebut. Dia terkejut melihat potret bukti-bukti transfer dana ke rumah bordir. "Oh, kamu dapat ini? Darimana?""Dari wanita panggilan yang seharusnya bersama pria itu tadi.""Wah, kamu benar-benar hebat, Arsen.""Aku bosan diam t