“kakang selalu membelanya, huh!”Juragan Karta menghela nafas panjang, baru saja kakinya melangkah ke dalam kamar, dia sudah disambut dengan ucapan ketus dari Anjani Istrinya. Bukan hanya kata-kata ketus, dia juga disambut dengan wajah cemberut penuh amarah dari sang istri.“Aku tak membelanya, dia memang tak salah,” jawab Juragan Karta sambil berjalan mendekati.“Tak salah bagaimana, hah? gara-gara dia putri kita hampir celaka,”sengit Anjani matanya melotot lalu membuang muka ke samping.Juragan Karta berusaha menenangkan Anjani yang terbakar emosi dengan menyentuh pundaknya. Tapi Anjani buru-buru menepis tangan Juragan Karta yang menjamahnya. Juragan Karta tak berkata-kata lagi. Dia merebahkan diri di ranjang mengingat kemabali peristiwa lima belas tahun yang lalu. Sebuah peristiwa yang mengubah sikap Anjani yang dulu lembut kini menjadi pemarah.Waktu itu, Juragan Karta sedang menemani Anjani menyuapi Candrawati di teras rumah. Candrawati yang tumbuh dengan sehat dan baru bisa berj
“Benarkah yang aku dengar itu, Kang?” tanya Anjani sambil menggendong Candrawati kecil yang terus menangis, meminta kejelasan.Juragan Karta diam tak bisa menjawab. Di hadapannya, ada dua orang bayi yang sedang menangis, dua-duanya adalah bayi yang merupakan darah dagingnya. Tangis bayi yang saling bersautan itu benar-benar membuat kepalanya pening. Bila dia mengakui bayi yang dibawa wanita paruh baya di hadapannya, maka dia juga harus mengakui perbuatan kejinya lima belas tahun yang lalu. Perbuatan yang selama ini dia tutupi. Tapi seperti kata pepatah, serapi-rapinya bangkai disimpan lama-lama bau busuknya akan tercium juga.“Aku tak minta apa-apa darimu, aku akan segera angkat kaki dari sini, tapi tolong rawat dan akui anak ini. Aku berani bersumpah atas nama dewa-dewa, biarkanlah semesta mengutukku bila aku berdusta. Dia anakmu!”desak wanita paruh baya itu menyakinkan Juragan Karta yang masih bimbang.Tak mau kalah, Anjani dengat cepat meraih tangan Juragan Karta, meletakkannya di
“Kenapa diajeng begitu membencinya, hah!”Juragan Karta yang selama ini mengalah dengan sikap ketus Anjani, naik darah mendengar permintaan Anjani. Mbayang begitu rajin, gagah dan selalu penurut dan hampir tak pernah merepotkan sejak kecil. Tapi, semua itu sama sekali tak pernah terlihat di mata Anjani istrinya. Rasa sayang seorang bapak pada anak laki-laki muncul seketika. Terlebih, anak laki-lakinya dari Anjani tak lebih baik bila dibandingkan dengan Mbayang.“Karena dia anak haram!” jawab Anjani tak mau kalah.“Jangan sebut dia begitu!”Juragan Karta mengangkat tinggi tangannya mengambil ancang-ancang hendak menampar istrinya, tapi sekuatnya dia menahan amarah yang meluap-luap.“Tampar kang, tampar!” Anjani mendongakkan kepalanya dan memiringkan pipinya, menantang suaminya untuk menampar.Juragan Karta menarik tangannya dan membuang muka ke samping mengurungkan niatnya menampar Anjani.“Andaikan kakang tidak mengumbar napsu pada Lastri, keluarga kita akan baik-baik saja, sekarang.”
“Tidak, ini tidak boleh terjadi?” gumam Juragan Karta khawatir.Lelaki paruh baya itu terus mengintip dari kejauhan, mengamati Mbayang dan Candrawati yang berbincang hangat di dekat perapian. Gelap malam menghalangi pandangan Juragan Karta, dia hanya bisa melihat samar terbantu oleh cahaya di perapian. Pandangan yang samar itu makin membuat Juragan Karta gelisah menebak-nebak apa yang dibicarakan oleh Mbayang dan Candrawati. Meski belum terlalu malam, tak elok rasanya seorang laki-laki dan perempuan berduaan. Sebagai seorang bapak, Juragan Karta ingin mendatangi kedua anaknya itu, tapi dia tahan saja keinginan itu. dia ingin melihat apa yang akan terjadi.Mbayang sendiri sebenarnya merasa tak nyaman dengan keberadaan Candrawati. Bukannya dia tak senang ditemani oleh gadis cantik jelita seperti Candrawati, tapi dia takut kalau harus lagi-lagi kena marah Ndoro putri gara-gara Candrawati. bila sampai itu terjadi, Mbayang takut Ndoro Putri akan makin galak padanya.“Sudah malam, apa Ndoro
Mbayang berjalan ke dapur dengan langkah Gontai, dia memang ingin melatih diri agar bisa lebih kuat, agar bisa menjadi lelaki sejati yang mampu melindungi junjungannya. Tapi pergi secara tiba-tiba, tetap saja menimbulkan rasa sedih. Dia mulai sadar kalu dia harus berpisah dengan orang-orang yang dia sayangi selama ini, demi menimba ilmu kanuragan. “Kakang… kau mau makan?” Mbayang mengangkat kepalanya, lantas tersenyum begitu melihat Ningrum berdiri di depan pintu dapur menyambutnya. Gadis cilik berusia tiga belas tahun itu tersenyum ceria saat melihat Mbayang, senyuman yang sedikit mengobati rasa sedihnya. Mbayang pun mempercepat langkahnnya menuju dapur. “Jangan bilang ikan asinnya kau habiskan!” jawab Mbayang menowel pipi Ningrum. Gadis yang sudah dianggap Mbayang seperti adiknya itu langsung cemberut menepis tangan Mbayang. “Ihh, tanganmu kasar, Kang! pipiku bisa lecet nanti!” “Ha ha, Mbok Darmi masak apa hari ini? Aku lapar sekali!” tanya Mbayang, berjalan masuk diikuti Ningr
Si Hitam, kuda kesayangan Juragan Karta terus dilecut oleh Candrawati agar terus melaju kencang, membuat Candrawati yang berada di atas pelana terpental-pental, mulai kehilangan kendali. Dia sebenarnya juga tak pandai berkuda, tapi mendengar Mbayang akan pergi, dia nekat menunggang si hitam untuk menyusul.“Awaas!” teriak Candrawati mulai kehilangan kendali.“Hoy! Hay!” maki orang yang lalu lalang kalang kabutan.Orang-orang yang lalu lalang berhamburan menghindari terjangan kuda hitam yang melaju kencang, termasuk rombongan prajurit kota raja yang melintas di buat kocar kacir.“Cari mati!” maki seorang prajurit yang berhasil menghindar.Seorang berpakaian seperti perwira muda, menatap kesal pada bayangan kuda yang melintas cepat meninggalkan debu-debu yang beterbangan. Dia lantas menarik kudanya, berbalik mengejar kuda Candrawati.“Hiya! Hiya!” Candrawati terus melecut kudanya, sambil berusaha menjaga keseimbangan agar tak jatuh.Dari arah belakang, seekor kuda berwarna coklat yang m
“Besar sekali nyalimu!” bentak seorang perwira.Dua puluhan orang prajurit itu geram bukan main junjungannya di hina sedemikian rupa dan siap bertindak. Bukannya takut, Candrawati tetap berdiri mendongakkan kepala. Tentu saja hal itu makin membuat Juragan Karta berkeringat dingin. Beberapa Prajurit hendak menyergap, tapi pangeran mengangkat tangannya, membuat prajurit itu mundur beberapa langkah, menahan diri untuk tidak bertindak.“Sebenarnya, kau mau ke mana? hingga berkuda seperti orang kesetanan!” tanya Pangeran dengan senyum ramah.Candrawati yang sedang kalut takut tidak bisa menyusul Mbayang pun lagi-lagi menjawab ketus pertanyaan Pangeran itu.“Bukan urusanmu!” jawab Candrawati sambil bergegas melompat ke punggung si Hitam dan kembali melaju kencang.Hiya-hiya“Candrawati! Candrawati!” teriak Juragan Karta.“Hmm, ayo kita susul dia!” seru Pangeran bergegas melompat ke kudanya.Dua puluhan pasukan itu dengan sigap mengikuti sang Pangeran, meninggalkan Juragan Karta yang makin t
Candrawati kebingungan menyapu pandang ke semua tempat, mencari-cari tubuh Mbayang yang tiba-tiba lenyap. Tubuh pemuda yang selalu menemaninya sejak kecil itu penuh luka dan darah yang merembes, sesuatu yang membuat Candrawati makin khawatir, terjadi sesuatu pada Mbayang. Juragan Karta yang baru datang pun menghampiri Candrawati cemas, apalagi melihat pakaian putrinya yang terkoyak dan banyak mayat bergelimpangan dengan anak panah menancap di dada.“Oh, terima kasih Pangeran sudi menolong putri Hamba.” Juragan Karta kembali memberi hormat pada Pangeran beserta pasukannya yang berjalan mendekat.“hmm, tak perlu sungkan,” jawab sang Pangeran ramah, mulai mengamati sekitar. “Apa yang sebenarnya terjadi, Nduk?” tanya Juragan Karta dengan suara bergetar khawatir.“Mbayang, Romo…! Dia dikeroyok orang dan sekarang tubuhnya menghilang!” jerit Candrawati panik menjelaskan apa yang terjadi.“Mbayang!” Jerit Juragan Karta merasakan lututnya lemas mendengar penuturan Candrawati. Biar bagaimanp