Share

Sisi Gelap

Sambil mengantuk dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, Alfi mencuci nasi untuk dimasak, ibunya masih solat subuh, pukul lima pagi. Beberapa persiapan harus setiap hari dilakukan seperti memasak, mencuci baju, dan membuat pesanan es buah untuk pelanggan. Selain bekerja menjaga toko, Alfi juga mempunyai sampingan jualan es, hasilnya sudah jelas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pagi itu Alfi mendapat kabar baik dari adiknya, Icha berhasil lolos seleksi berkas disebuah perusahaan besar, dan akan segera interview beberapa hari kedepan. Perusahaan itu cukup bagus, karena untuk kandidat yang lolos seleksi, akan dibiayai sepenuhnya untuk perjalanan ke Jakarta. Icha lolos seleksi dan hanya menyisakan tiga calon kandidat, peluang keterima besar, tapi masi harus seleksi tes terakhir dengan langsung pemilik perusahaan tersebut.

Alfi bersyukur adiknya mendapat pekerjaan yang baik disebuah perusahaan properti di Jakarta, tidak seperti dirinya yang harus merelakan semua impiannya sejak ayahnya pergi dan ibunya jatuh sakit.

Pagi itu Alfi memasak daging ayam, sebagai perayaan kecil-kecilan untuk adiknya yang berhasil lolos seleksi, meskipun tidak mewah, namun perayaan itu sangat berarti bagi empat sosok manusia yang bernasib malang.

————

Sudah tiga hari anak Icha jatuh sakit, tubuhnya menggigil dan tidak bisa minum obat. Obat sampai menumpuk tidak diminum karena memang tidak bisa. Tubuhnya lemah, Alfi mengurus anak Icha seperti anak sendiri, tapi disisi lain, biaya pengobatan yang mahal, Alfi hanya bisa membawanya ke bidan, sebenernya bidan sudah menganjurkan untuk dibawa kerumah sakit yang memiliki peralatan medis yang lebih lengkap, tapi karena terkendala biaya, Alfi hanya bisa mengurusinya dirumah.

Pagi itu setelah semua pekerjaan rumah selesai, Alfi ingin membangunkan anak Icha untuk mandi dan sarapan, Alfi memegang jidatnya, ‘sudah dingin’ gumannya dalam hati, tapi saat dibangunkan, ia tidak bergeming, Alfi mulai panik, Alfi mengecek hidung, sama sekali tidak didapati bernapas, Alfi kemudian berteriak histeris. Pagi itu, ternyata anak Icha sudah meninggal.

Kabar duka segera disampaikan ke Icha, Icha langsung pulang dari bandar lampung, mengetahui anaknya telah tiada, kenapa setelah kabar baik datang selalu diiringi dengan kabar buruk.

Hari itu yang seharusnya mereka merayakan keberhasilan Icha, harus dibungkam dengan kematian anaknya. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia harus berubah menjadi hari duka. Ya memang benar, selalu ada keburukan yang mengiringi kabar baik.

Dipusara pemakaman, Icha duduk tersimpuh, memandang kosong nama anaknya, “maafkan ibu ya nak, harusnya ibu bisa membuayai pengobatanmu lebih awal, namun takdir berkata lain’ maafkan ibu nak, maafkan ibu.”

Alfi menenangkan adiknya, sambil mengelus bahu, “sudah, tidak ada yang harus disalahkan, relakan anakmu, karena dia sudah pasti sekarang bahagia disurga.”

“Kenapa harus sekarang kak.” Icha menangis sambil memeluk kakanya.

Disisi lain, mamanya hanya bisa menangis, karena keterbatasan bicara, ibunya merasa terpukul tidak bisa berbuat banyak untuk kebahagian kedua anak dan cucunya yang sudah meninggal.

“Kamu harus kuat, kamu masih memiliki masa depan panjang, anakmu akan sedih jika mengetahui ibunya terus menerus menangisi kepergiannya.” Alfi memberi motivasi.

“Untuk apa lagi aku bekerja kalau bukan untuk anakku kak? Aku sekarang sudah tidak memiliki alasan untuk semangat kak.” Ucap Icha sambil matanya berkaca-kaca.

Alfi memeluk adiknya, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Alfi, ia hanya bisa diam, karena sebenarnya yang merasa lebih hancur adalah Alfi, dia merasa lebih bersalah karena tidak bisa merawat keponakannya sendiri, sehingga adiknya jadi sedih, dan mamanya kehilangan cucu pertama.

Alfi memeluk Icha, mereka berdua menangis, tangis yang menguatkan, apapun keadaannya, mereka harus kuat, dalam hati Alfi berjanji untuk tidak lagi membut adik dan mamanya bersedih.

------

Icha harus merelakan anaknya, meskipun dalam keadaan bersedih dia harus tetap maju, menyongsong masa depan dihadapannya. Icha menyiapkan beberapa persyaratan terakhir untuk lolos seleksi, masih ada waktu satu minggu sebelum waktu itu tiba.

Semuanya sudah beres, tapi hanya satu persyaratan penting yang belum dia selesaikan, yaitu tanda tangan dari ayahnya. Icha sudah lama sekali tidak bertemu ayah, terakhir ketemu saat Icha masih dibangku sekolah menengah atas, sebenarnya bisa saja Icha memalsukan tanda tangan ayahnya, tapi dia tidak rela hati untuk memalsukan itu.

Dengan berat hati, Icha menguhungi nomor ayahnya, didunia maya maupun nyata Icha memang jarang sekali berhubungan dengan ayahnya.

Setelah dering ketiga, suara diujung sana menyapa,

“halo”. Tersedengar kaget, seperti kagetnya Icha saat ini.

“Halo ayah,” jawab Icha senormal mungkin.

“Iya, ada apa nak?” Ucap ayah Icha tanpa basa-basi.

Icha bercerita panjang tentang karirnya, mereka berdua berbincang seru di telvon, melepas kangen yang sangat karena terhalang jarak dan keadaan.

Icha juga bercerita tentang anaknya, ksedihan lalu menyelimuti pembicaraan kedua bapak beranak itu.

“Maafin ayah ya nak, ayah ga bisa berbuat banyak untuk menolongmu dan cucu ayah” terdengar suara bersalah dan penyesalan.

Icha berusaha menetralkan suasana, “ayah ada rencana jengukin kita nggk?”

Ditodong pertanyaan seperti itu, ayah Icha menjawab serba salah,

“maaf ya nak, untuk sekarang belum bisa”

Itu adalah kata maaf yang kesekian kalinya dalam pembicaraan telvon.

“Iya pa, nggk papa, yang penting papa sehat disana” ucap Icha.

“Pa, aku boleh ya memalsukan tanda tangan papa untuk persyaratan berkasku” lanjut Icha.

“Iya nak gapapa, papa sudah merestui kamu, semoga sukses selalu ya”

Icha lalu menutup telvon itu setelah beberapa percakapan basa-basi lainnya.

Sebenarnya Icha sangat butuh sosok ayah dalam kehidupannya, apalagi saat berat seperti ini, meski bagaimanapun Icha lebih kasihan kepada kakaknya, mimpinya harus rela direnggut oleh keluarga, dan mengorbankan cintanya sendiri untuk mengurus anaknya yang belum lama meninggal.

*

Alfi menjadi sosok ayah sekaligus kakak bagi Icha, mereka berdua saling menguatkan, bagaimapun keadaan keluarga mereka, sebagai anak pertama Alfi harus tetap tegar.

Setelah kematian anak Icha, beban Alfi sedikit berkurang, tapi dari sisi nalurinya Alfi sangat kehilangan, anak yang imut nan menggemaskan harus pergi untuk selama-lamanya.

Keluarga kecil itu diselimuti kesedihan beberapa waktu, lagi-lagi harus menerima cobaan yang terus menerus datang, beruntung mereka semua diberikan hati yang kuat untuk menjalaninya.

Rutinitas keseharian Alfi juga tidak jauh beda, tetap sama, berangkat kerja, masih menjadi penjual es sebagai kerjaan sampingan, tapi mereka menemukan harapan kecil, jika Icha ketrima bekerja diperusahaan properti, hidup mereka dapat sedik teringankan.

Gaji dari perusahaan tersebut sudah kebih dari cukup untuk mereka hidup, setiap malam, Icha, Alfi, dan ibunya selalu bangun, solat dan berdoa agar Icha dapat diterima kerja, harapan mereka sangat besar, usaha mereka juga sama.

Icha anak yang pintar, pintar memimpin dan cekatan, namun dia tidak tahu kandidat lain bagaimana keahlian mereka. Icha sangat berharap, bahkan sampai menangis tersedu-sedy setiap dia menengadahkan tangannya saat berdoa.

Ainun Qolbi

Disetiap kabar baik, pasti akan selalu diiringi dengan kanar buruk. Ini yang selalu terjadi pada keluarga Alfi. Saat datang kabar baik Icha lolos tes seleksi pekerjaan, tapi disusul denagn kabar buruk kehilangan yang membuat Icha hancur. Ini tengang buah hati Icha. Kabar menyedihkan.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status