Sore itu Langit melajukan mobil dengan kecepatan sedang, mobil itu membelah jalanan menuju kediamannya, setelah seharian mengajar akhirnya ia bisa pulang dan beristirahat sejenak. Kantuk yang sejak tadi ia tahan, kembali menyerang. Akhirnya Langit memutuskan untuk berhenti sejenak, memilih meminum kopi di sebuah warung kecil untuk meredakan kantuk, akan berbahaya jika ia berkendara di tengah kantuk melanda.
Langit membawa gelas cup yang berisi capucino. Perlu digaris bawahi, Langit adalah laki-laki sederhana, ia tak sungkan duduk dan minum kopi dipinggir jalan, seperti yang dilakukannya sore ini. Langit duduk di tempat yang disediakan sambil menyesap sebatang rokok, sebenarnya Langit bukanlah laki-laki yang selalu dan candu pada rokok, ia hanya melakukannya sesekali, jika ingin.
Tanpa sengaja arah pandangnya tertuju pada seorang gadis yang sangat ia kenal, meskipun ia melihat gadis itu dari belakang, Langit sangat yakin bahwa gadis itu adalah sosok yang akhir-akhir ini sering bersama adiknya. Ya, gadis itu adalah Green. Wanita yang minggu lalu kesal padanya, sejak kejadian itu Langit belum sempat menemui Green untuk meminta maaf secara langsung.
Langit hendak mendekat dan menemui Green, sepertinya ia bisa menggunakan momen tersebut untuk meminta maaf langsung pada gadis itu. Namun langkahnya terhenti kala melihat Green tengah asik mengajari anak-anak jalanan, Green tengah mengajari mereka membaca dan berhitung, suaranya riang dan gembira, diikuti dengan suara anak-anak jalanan yang juga tak kalah riang dan gembira.
Satu lagi nilai tambah yang Langit temui pada diri Green, Langit semakin tertarik pada sosok itu. “Green, kamu mirip sekali dengan Keira,” gumamnya pada diri sendiri.
Tak lama kemudian ponselnya berdering, Kalila menghubunginya. Sebelum mengangkat panggilan tersebut, Langit menghela napas pelan, mempersiapkan dirinya kalau-kalau Kalila akan bertanya hal-hal yang tidak ia sukai.
“Lang, coba kamu tebak bunda sama ayah ada di mana?” tanya Kalila dengan suara cerianya, Langit dapat mendengar kehebohan Jerry yang sepertinya berada di samping sang bunda.
“Memang di mana, Bun?” tanya Langit menghargai bundanya, padahal ia sangat yakin ayah dan bundanya tengah berada di mall, jadi sejujurnya ia sama sekali tidak penasaran dengan posisi ayah dan bundanya saat ini.
“Bunda sama ayah lagi ada di Gramedia Merdeka..,” teriak Kalila bersemangat. Tepat setelah mengatakan itu, Kalila mengalihkan panggilan suara menjadi video, dan Langit menerima panggilan itu. Langit dapat melihat wanita dan lelaki paruh baya di dalam layar tengah menunjukkan buku yang tampaknya baru mereka beli, keduanya tersenyum sumringah.
“Ayah sama bunda ngapain beli, padahal bisa minta sama Langit,” ujar Langit sambil tersenyum lembut pada dua manusia yang amat dicintainya.
“No, no, no.” Kali ini suara tersebut berasal dari Jerry. “Suatu kebanggan bagi ayah dan bunda saat membeli novel ini dan mengatakan pada orang-orang di sana, bahwa ini novel karya Langit Danendra Adyaksa, anak laki-laki ayah dan bunda satu-satunya,” ujar Jerry memandang Langit penuh kebanggaan.
Begitulah Kalila dan Jerry, setiap mendengar Langit menerbitkan novel, kedua orang itu akan segera datang ke Gramedia untuk membeli novel anaknya, tak pernah sekalipun Kalila dan Jerry meminta novel gratisan pada Langit. Selain itu mereka akan membelikan para asisten rumah tangga, sopir bahkan tukang kebun di rumah, dan hal itu telah dilakukan keduanya sejak pertama kali Langit menerbitkan buku sampai hari ini. Langit dapat melihat paperbag yang berisi banyak novelnya. “Ayah, bunda, terima kasih sudah selalu mendoakan dan mensupport Langit. Apa yang Langit dapatkan dalam hidup dan semua pencapaian Langit, berkat doa ayah dan bunda,” tutur Langit dengan suara lembut sambil tersenyum hangat, memandang lelaki dan wanita di dalam layar dengan tatapan teduh dan penuh cinta.
“Ayah sama bunda bangga sama kamu, Nak,” tutur Jerry. “Jaga kesehatan, jaga adik kamu juga, akhir pekan nanti kami akan berkunjung ke sana.”
Kalila tersenyum hangat namun dibalik tatapannya Langit bisa merasakan apa yang akan diucapkan Kalila adalah sesuatu yang tidak ingin ia dengar. “Lang, kamu sudah mendapatkan calon menantu untuk bunda?”
Benar saja dugaan Langit, Kalila akan bertanya hal demikian, Langit menjawab pertanyaan bundanya dengan malas. “Belum, Bun,” ujarnya pada sang bunda.
“Langit.., bunda gak mau tahu. Nanti, saat bunda sama ayah berkunjung ke Jakarta, kamu harus sudah memberikan bunda calon menantu, kalau tidak bunda akan kenalin kamu sama anak temen bunda.” Langit menghela napas lelah, namun tak berani menjawab apalagi membantah ucapan bundanya, biar bagaimanapun ia tak ingin menyakiti hati wanita yang telah melahirakan dan memberinya kasih sayang yang paripurna.
“Sudah lah, Bun, tidak perlu membahas hal itu di sini,” Jerry menasihati istrinya agar tak terlalu keras pada Langit.
“Sudah ya, Nak, ayah tutup teleponnya, sampai nanti.”
Kemudian panggilan terputus, Langit menatap ponselnya dengan tatapan nanar. Kepalanya terasa berdenyut. “Ke mana gue harus cari perempuan yang bisa dikenalin ke bunda? Arrggggghhhhhh.” Langit mengacak rambutnya kasar, ia frustasi kerena bundanya tak henti mendesak dirinya.
Langit merenung memikirkan cara, mengingat satu persatu teman wanitanya yang kiranya cocok dan bersedia dikenalkan pada Kalila, namun ia tak menemukan karena rata-rata teman wanitanya sudah menikah, atau kalau belum pun mereka telah memiliki kekasih, dan sudah bisa dipastkan mereka akan menolak ajakannya.
“Argggghhhh bunda ada-ada aja sih permintaannya.” Langit membuang gelas cup yang sudah kosong itu ke sembarang arah.
Sosok anak laki-laki yang dugaan Langit berusia 12 tahun menghampirinya sembari membawa sampah gelas cup yang ia buang tadi, kalau tidak salah bocah itu merupakan salah satu bocah yang tadi belajar bersama Green. Oh iya? Ke mana perginya Green? Ah tampaknya Langit terlalu lama berbicara dengan ayah dan bundanya hingga tak menyadari Green telah hilang dari pandangan.
“Om, kalau buang sampah itu pada tempatnya, gak boleh sembarangan,” tutur bocah laki-laki itu sembari mengembalikan sampah gelas cup yang tadi dibuang Langit.
Langit menerima benda tersebut kemudian mengacak rambut anak itu dengan sayang. “Terima kasih ya sudah mau mengingatkan Om,” ujarnya dengan suara lembut.
“Sama-sama, Om,” Bocah itu hendah berbalik meninggalkan Langit, namun langkahnya terhenti saat Langit memanggilnya.
“Heyyyy..,”
Bocah itu menolah, Langit menghampiri dan menyejajarkan tingginya dengan bocah tersebut. “Nama kamu siapa?” tanya Langit.
“Rubi, Om.”
“Nama yang bagus, Om boleh tanya sesuatu?” tanya Langit pada Rubi yang dibalas dengan anggukan.
“Siapa yang mengajari Rubi kalau buang sampah harus pada tempatnya?” tanya Langit lagi.
“Kak Green, Om. Kata Kak Green gak boleh buang sampah sembarangan, nati jalanan bisa kotor, terus kalau hujan bisa banjir juga,” jawab Rubi mengingat penjelasan Green saat pertama kali wanita itu menjelaskan alasan tak boleh membuang sampah sembarangan.
“Kak Green?” Langit bertanya sekali lagi, pura-pura tak tahu sosok yang dimaksud Rubi.
“Iya Kak Green, perempuan yang tadi ngajarin baca, ngitung, sama nulis di sana,” Rubi menunjuk ke arah teman-temannya yang masih berada di taman tempat mereka belajar bersama mereka tadi.
Langit kembali mengusap pucuk kepala Rubi dengan sayang. “Rubi dan temen-temen mau gak kalau Om beliin baju baru?”
Rubi tak langsung menjawab, ia memandang Langit dengan tatapan menyelidik. “Kata Kak Green gak boleh langsung percaya gitu aja sama orang yang baru dikenal.”
Langit tersenyum tulus, sepertinya Green memang mengajarkan banyak hal positif pada bocah di hadapannya dan teman-teman bocah itu. “Om gak akan jahatin kalian,” ucap Langit meyakinkan.
“Nama Om siapa?”
“Langit, panggil Om Langit,” jawab Langit sambil mengangkat tangannya.
Rubi menerima tangan Langit, mereka berjabatan layaknya orang yang baru saling mengenal, kali ini tak ada lagi tatapan menyelidik yang diberikan Rubi. Bocah itu tersenyum hangat, ia bisa merasakan bahwa Langit memang bukan orang jahat.
“Jadi, Rubi dan teman-teman mau Om belikan baju baru?”
Rubi mengangguk semangat. “Kalau Om ajak tinggal di panti asuhan, mau?”
Meskipun kemarin kedatangannya tak membuahkan hasil, Langit tak menyerah. Sore hari setelah pulang dari kampus, ia kembali mendatangi rumah Green. Namun, sudah satu jam menunggu Green tak kunjung datang. Langit mulai gelisah dan bertanya-tanya, apakah Green tak ada di sini? Lantas, kemana wanita itu pergi? Ponsel wanita tersebut tak bisa dihubungi, bahkan pesan yang ia kirimkan pun belum dibaca. Apa Green telah memblokir nomornya? Berbagai asumsi memenuhi kepala Langit. Rasa bersalah dan penyesalannya semakin besar, ia tak henti mengumpat pada diri sendiri, merutuki segala kebodohan yang berujung kepergian Green dari sisinya. Hari sudah mulai gelap, tak jua ada tanda-tanda kehadiran Green. Tiba-tiba, ponsel di saku celana Langit bergetar, menampilkan sebuah pengingat. Langit tersenyum, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima, hampir saja Langit melupakan momen itu.&n
Pikiran Langit benar-benar kalut. Berhari-hari ia tak pulang dan selama itu pula tak berkomunikasi dengan Green. Langit benar-benar mengabaikan wanita yang dahulu mati-matian ia perjuangkan. Saat ini, tujuan Langit hanya satu, mencari dalang dibalik kematian Cherry. Ia tak lagi memikirkan tentang Green, bertanya soal kabar wanita itu saja tidak. Sebulan telah berlalu, Langit berhasil memecahkan teka-teki itu dengan bantuan beberapa teman yang memang ahli di bidangnya. Dugaan Langit benar, Cherry tidak bunuh diri, melainkan dibunuh. Semua data yang ditemukan polisi dan pihak rumah sakit adalah sesuatu yang sudah disusun dan direncanakan dengan matang. Hari ini, Langit datang ke kantor polisi untuk bertemu pelaku sebenarnya, Zein dan Violet. Mereka ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana. Langit puas saat
“Green, tolong kamu jawab semua pertanyaan saya dengan jujur,” ujar Langit begitu mereka sampai di rumah. Disaksikan oleh Kalila dan Jerry, ia berniat menginterogasi Green. Kalau benar Green menjadi penyebab kematian Cherry, Langit tak akan segan menjebloskan wanita itu ke dalam penjara sekalipun mereka masih terikat hubungan pernikahan. Green merasa diperlakukan seperti penjahat oleh Langit. Ia duduk di depan Langit, di samping kanan dan kirinya ada Jerry dan Kalila yang juga tengah menatap intens ke arahnya.. “Sebenarnya ada apa, Lang?” tanya Kalila tak paham. Pasalnya, Langit terlihat begitu marah pada Green. “Kata Violet, Green ke kost Cherry di malam terakhir sebelum dia meninggal,” terang Langit. “Jangan bilang kamu mencurigai Green? Sudah lah Lang, polisi bahkan rumah sakit bilang Cherry meninggal karena bunuh diri, bukan dibunuh,” ujar Kalila yang perlahan mulai ikhals dan menerima kepergian Cherry. “Gak Bun, Langit masih belum percaya
Sepulang dari mengajar, Langit teringat pada Cherry. Sudah lama sekali ia tak bertemu adiknya. Karena hal itu, Langit memutar arah mobilnya menuju indekos sang adik, tiba-tiba ia sangat ingin bertemu untuk sekadar menyapa dan memasikan Cherry baik-baik saja. Jalanan yang padat membuat Langit membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sana. Ia memutuskan memberi tahu Green akan pulang terlambat, sekaligus menghubungi Cherry perihal kedatangannya. Sampai beberapa kali panggilan, tak ada satu pun yang mendapat jawaban. Langit menerka-nerka, kemana adiknya hingga tak menjawab telepon? Apa mungkin masih bekerja? Sepertinya tidak, mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Langit mengemudi secepat yang ia bisa. Perasaanya tidak enak entah karena alasan apa, yang jelas saat ini keinginannya untuk melihat wajah sang adik amat besar. “Semoga kamu baik-baik aja,” lirih Langit sembari terus mengemudi. Langit tiba di indekos Cherry saat matahari sudah r
Keesokan harinya, Green benar-benar tak keluar kamar. Tak menjawab telepon dan chat, tak juga menggubris saat Langit mengajaknya sarapan. Emosi Green masih belum reda, hatinya belum menerima saat tahu bahwa Langit menikahi dirinya hanya karena wajah dan sifat serta kebiasaannya mirip dengan Keira.Green masih berbaring dengan posisi terlentang, matanya menatap langit-langit. Raganya memang di kamar, namun pikirannya bercabang. Ia tak bisa berhenti memikirkan Cherry. Bagaimana kabarnya hari ini? Apakah wanita itu sudah menemukan solusi terbaik dari permasalahan yang menimpanya?“Cher, semoga lo baik-baik aja,” batinnya.Tak ada lagi suara ketukan pintu dan Langit yang memanggilnya. Tampaknya, lelaki itu sudah berangkat ke kampus. Green memanfaatkan situasi itu untuk mengisi perut dan kerongkongannya yang terasa kering. Hari ini, ia sengaja meminta izin tidak mengajar dengan alasan sakit.Green berjalan dengan langkah pelan. Wajah dan m
“Darimana kamu? Kenapa telepon dan chat saya gak ada yang dijawab?” cecar Langit saat Green menginjakkan kaki di rumah mereka. Green melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan tersebut. “Green, saya ini suami kamu. Gak seharusnya kamu bersikap begini. Pergi gak ngasih kabar, pulang malem basah-basahan, kamu pikir saya gak khawatir?!” tanya Langit seraya mencekal pergelangan tangan Green agar wanita itu mau menatapnya. Green tak menggubris. Ia berusaha melepaskan tangan Langit. “Lepas!” titahnya dengan suara dingin. “Kamu kenapa? Tolong kasih tahu, salah saya dimana? Kalau kamu begini saya bingung. Dari tadi saya teleponin berkali-kali gak ada satupun yang diangkat. Marah?”&n