Share

Langit

Green masih menarik Cherry menjauh dari tempat tersebut, Cherry merasa terharu karena Green benar-benar membelanya. Cherry tersenyum, rasa sakit hatinya masih ada belum benar-benar sembuh sepenuhnya. Meskipun yang dikatakan Green tadi benar, tak pantas baginya untuk bersedih karena Violet dan Zein. Tetapi semua tidak bisa terjadi begitu saja, patah hati tetap patah hati, tidak bisa langsung sembuh dengan kata-kata motivasi atau siraman rohani. Semua butuh proses, dan setelah ini Cherry bertekad akan menjalani proses itu.

“Green, makasih ya,” ucap Cherry tulus setelah mereka sampai di depan kelas.

“Setelah ini, lo jangan ngerasa sendiri ya, Cher,” ucap Green yang seperti melihat sosok Sera dalam diri Cherry.

Cherry mengangguk. “Sekali lagi makasih, Green.”

Green tersenyum tipis. Kelas masih sepi, padahal kuliah akan dimulai lima menit lagi. Green melihat Beni, KM di kelasnya menaiki tangga sambil menenteng tas laptop.

“Lo berdua masih di sini?” tanya Beni saat melihat Green dan Cherry.

“Iyalah, ‘kan sebentar lagi kelas, Ben. Lo lupa?” tanya Green sambil menatap Beni dengan tatapan heran.

“Kalian kudet banget, coba deh cek grup,” titah Beni.

Cherry bergegas membuka ponselnya, dan benar saja ada banyak notifikasi di grup kelasnya, rata-rata membahas tentang tugas yang diberikan karena dosen mereka—Pak Wiyoko berhalangan hadir.

“Kenapa, Cher?” tanya Green yang ponselnya telah mati sejak tadi.

“Pak Wiyoko gak masuk, beliau ngasih tugas dan paling telat dikumpul malam ini pukul 23.59,” terang Cherry dengan suara lemas.

“Udah tau, ‘kan? Gue duluan ya.” Beni berlalu begitu saja, meninggalkan Cherry dan Green yang masih di tempatnya.

“Kira-kira Pak Wiyoko kenapa ya gak masuk? Padahal gue udah semangat banget.”

“Cher, plis deh jangan pura-pura sedih, gue tahu lo seneng ‘kan Pak Wiyoko gak masuk?” Green menebak dan ternyata tepat sasaran, Cherry tertawa terbahak-bahak. “Hahahahaha, lo tau aja sih, Green, yaudah yuk pulang.”

Cherry dan Green berjalan bersama, mereka berpisah di depan gedung fakultas Sastra. “Lo mau bareng gue gak?” tanya Cherry yang memang membawa motor.

“Lo duluan aja, gue masih ada perlu,” ucap Green.

“Oke deh, gue duluan ya. Dadah, Green.” Cherry melambaikan tangan dan hilang di belokan parkiran.

Green membalas lambaian tangan Cherry kemudian berjalan ke depan kampus untuk mencari angkot. Karena hari ini free class ia berencana pergi ke suatu tempat, sesuai janjinya pada Sera. Ya, Green berencana untuk pergi ke pemakaman, ia sengaja membawa perlengkapan ziarah tadi pagi. Green memberhentikan angkot berwarna merah, kemudian berdesak-desakan dengan penumpang lainnya untuk menuju rumah terakhir Sera, sahabatnya.

***

Sepulang dari pemakaman Sera, Green melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, masih ada waktu beberapa jam lagi sebelum dirinya harus bekerja. Green memutuskan untuk berjalan ke suatu tempat, tempat yang selalu bisa membuatnya bahagia karena melihat orang-orang di sana pun bahagia karenanya.

Setelah beberapa menit menaiki angkot, Green tiba di tempat tersebut, ia dapat melihat kurang lebih 10 anak tengah berkumpul, ada yang duduk, tidur, maupun membaca buku-buku bekas yang sepertinya ditemukan saat tengah memulung, semuanya beralaskan kardus. Mereka adalah anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatan, yang berjuang untuk hidup dengan kesempatan yang diberikan Tuhan.

“Kak Green…,” panggil salah satu dari mereka, seorang anak berambut panjang tidak tertata berlari dan memeluk Green kala melihat wanita itu.

“Kakak….,” pelukan itu disusul dengan sembilan anak lainnya, di antara mereka tak ada yang terlihat sedih, semuanya ceria meskipun tak tahu besok makan apa.

“Hai.., kalian apa kabar?” tanya Green memandang satu persatu wajah bocah tersebut.

Rata-rata bocah yang saat ini berada di hadapan Green berusia 6-12 tahun, nasib mereka tak seperti anak seusianya. Tak ada seragam sekolah, maupun perlengkapan lainnya, yang ada hanya buku-buku bekas yang mereka kumpulkan.

“Kita semua baik, Kak Green,” jawab Rubi, bocah berbada gempal sambil tersenyum, menampakkan gigi kelincinya yang terlihat menggemaskan di mata Green.

“Kalian sudah makan?” tanya Green lagi.

Anak-anak tersebut kompak menggelang dengan raut wajah polosnya, Green mengusap pucuk kepala mereka dengan sayang seraya menunjukan kantong plastik berukuran cukup besar yang berisi nasi bungkus dan beberapa camilan. “Kakak bawa sesuatu untuk kalian.” Green memberikan kantong plastik tersebut kepada Rubi, anak paling besar di antara anak-anak lainnya.

Rubi melihat kantong plastik yang kini telah berpindah ke tangannya dan melihat isi kantong plastik tersebut. Setelah mengetahui isinya, Rubi bersorak riang. “Horeee, terima kasih Kak Green. Temen-temen, Kak Green bawain kita makanan lagi,” seru Rubi memberitahu teman-temannya yang lain.

“Horeeeeeee.” Mereka bersorak-sorak gembira.

“Terima kasih, Kak Green,” ujar mereka bersamaan.”

“Sama-sama, ya sudah kalian makan gih. Pasti pada laper, kan?” Semuanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian Rubi membagikan nasi bungkus yang tadi diberikan Green kepada teman-temannya, mereka makan bersama dengan lahap.

Tanpa terasa Green menitikkan air mata melihat pemandangan itu, rasanya ingin sekali ia mengajak mereka tinggal bersama dan memberikan pendidikan yang layak, namun apa daya keterbatasan ekonomi membuatnya harus menekan keinginannya. Dibanding mereka, Green merasa hidupnya lebih beruntung, ia masih bisa makan dengan kenyang, mengenyam pendidikan bahkan sesekali jalan-jalan. Dari merekalah Green belajar untuk selalu bersyukur atas apa yang dimiliki, karena ada banyak orang yang bisa jadi ingin berada di posisinya saat ini.

Pertemuan pertama Green dengan Rubi dan teman-temannya adalah satu tahun lalu, kala Green tak sengaja melihat salah satu dari mereka tengah mengorek-ngorek tumpukan kardus yang berisi buku-buku bekas. Kala itu Green bertanya tentang keinginan terbesar mereka, dan hampir semuanya menjawab ingin bersekolah. Cita-cita mereka pun beragam, ada yang ingin menjadi guru, dokter, abdi negara, bahkan presiden. Green bahagia melihat semangat mereka, karena meskipun sangat susah mereka masih memiliki keinginan yang besar untuk belajar dan mewujudkan cita-citanya.

Sejak saat itu Green sering datang paling tidak satu minggu sekali untuk memberikan buku-buku cerita, atau pun buku-buku pelajaran lainnya. Bahkan Green tak sungkan mengajari mereka, dan hal itu berlanjut hingga sekarang.

Itu menjadi alasan mengapa Rubi dan teman-temannya selalu bahagia saat Green datang berkunjung, karena selain mereka bisa belajar bersama Green, wanita itu juga selalu membawakan makanan yang membuat mereka kenyang sampai malam.

Setelah mereka semua menghabiskan makanan, Rubi mendekati Green. “Kak Green, waktu itu ada om yang nawarin Rubi dan temen-temen untuk tinggal di panti asuhan. Panti Asuhan itu apa sih, Kak?” tanya Rubi ingin tahu.

Green terkejut bercampur senang mendengar cerita itu, tapi sebisa mungkin ia menetralkan ekspresinya dan menjawab pertanyaan Rubi. “Panti Asuhan itu rumah sayang, kalian akan punya temen baru kalau tinggal di sana dan kemungkinan kalian juga akan sekolah. Kalau kakak boleh tahu, siapa nama om itu?” tanya Green penasaran.

Rubi tampak mengingat-ingat sesuatu yang tak lain adalah nama lelaki yang seminggu lalu mendatangi mereka, Rubi berpikir keras untuk mengingat nama lelaki itu, namun sepertinya ia gagal mengingatnya.

“Gak apa-apa kalau Rubi lupa. Tapi kakak yakin laki-laki itu pasti orang yang baik,” tutur Green sambil tersenyum.

“Laki-laki itu juga ngasih banyak baju baru, Kak, sekarang baju barunya kita simpen di rumah kardus.”

Rubi dan teman-temannya memang punya tempat tinggal lain selain kolong jembatan, yakni rumah kardus. Jika malam hari, mereka akan tinggal di sana, rumah itu mereka gunakan untuk tidur atau sekadar menyimpan barang-barang.

Green semakin penasaran dengan sosok laki-laki yang diceritakan Rubi, dan kalimat yang dilontarkan Rubi selanjutnya akhirnya menjawab tanda tanya besar dalam kepala Green. “Kak Green, sekarang Rubi inget siapa nama om itu.”

“Siapa?” tanya Green antusias

“Namanya Om Langit.”

“Langit?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status