Apa memang harus seperti itu? Sebuah pernikahan harus melewati pemikiran yang matang. Juga harus ada pembicaraan dari kedua keluarga yang lebih serius. Menikah adalah sebuah hubungan yang sakral dan aku berharap hanya satu kali menjalaninya. Mungkin mas Satria benar dengan pemikirannya, Ayra memang salah satu alasan Aleya untuk bisa berada di sekitar Mas Satria. Bila Ayra sudah memiliki aku bukankah tak ada alasan lagi untuk Aleya berputar di sekitar Mas Satria.
“Kamu mau kita mempercepat rencana pernikahan kita?” tanya Mas Satria lagi.“Tapi, sekarang kondisinya tidak memungkinkan. Mas tau sendiri kan keadaan Arya bagaimana, mana mungkin aku menyela dengan keinginan seperti ini.” Keluargaku sedang terkena musibah, tidak mungkin aku bicara perihal pernikahan pada mama.“Iya aku tau, tidak sekarang juga. Tapi secepatnya, paling tidak aku akan utarakan niatku pada mama dan keluargamu terlebih dahulu. Baru setelah kondisi membaik dan memungkinkan kita membaha“Iya, mas pulang gih … cepet rehat.” Tangan kananku mengusap rambut bagian belakangnya.“Masih kangen,” balas Mas Satria lagi.“Ish … seharian juga dah barengan,” jawabku kemudian.“Ye namanya juga kangen, mau seharian bareng namanya kangen ya kangen,” ucap Mas Satria masih menyadarkan kepalanya di bahuku.“Iya Sayang, iya. Tapi, udah malam … nggak enak sama Kak Regi, sama Abang Chand sama semuanya.” Aku mencoba memberi pengertian pada Mas Satria."Ya udah, aku pulang dulu. Sampai rumah aku telepon," ucap Mas Satria yang akhirnya berdiri bangun dari duduknya.Aku ikut bangun dan berdiri di samping Mas Satria. Tiba-tiba pria itu memelukku, dan mendekapku erat. "Mas kenapa?" tanyaku bingung."Kamu tau aku sedih kalau kamu ngambek kayak tadi, aku bingung," jelas Mas Satria masih tetap memelukku."Janji jangan seperti itu lagi, kalau kamu nggak angkat teleponku itu rasanya, ah … gimana, ya. Pokoknya ga en
“Kok nggak minta sendiri?" Aku mengulang pertanyaanku bingung.“Ya nggak tau, kan yang minta Danta, bukan kakak. Lagian mintanya ke papanya Rey, bukan ke papanya Al.” Lagi- lagi Kak Regina mengendikkan bahunya. “Pisahin beberapa buat papanya Rey roti bakarnya, sekalian antar sama kopinya.”Aku yang masih sibuk dengan roti bakar di depanku hanya mengangguk membalas kak Regi. Sebuah piring aku ambil beserta nampan dari rak. Abang Chand berdua saja dengan Rey karena Kak Sisil sekarang berada di ruamah sakit untuk menemani mama. Aku meletakkan empat tangkup roti bakar yang sudah keluar dari mesin pemanggang di piring. “Ini kopinya.” Kak Regina meletakkan secangkir kopi panas di atas nampan yang tadi aku ambil dari atas rak piring.Aku memindahkan piring roti dari atas meja ke atas nampan berdampingkan dengan kopi yang telah Kak Regina letakkan lebih dahulu. Sedangkan roti bakar yang lain aku letakkan di piring yang berbeda untuk di makan di sini. Ha
“Aku ambil tas tasnya dulu,” pamitku kemudian.“Aku bantu,” ucap Mas Satria sambil mengangkat sepasang alisnya.“Nggak usah cuma dikit,” ucapku sambil berlalu menyusul Kak Regina yang sudah masuk terlebih dahulu.Kak Regina sudah mengambilkan lebih dahulu tas tas yang akan aku bawa kerumah sakit, sebuah ransel berisi barang Arya. Tas pakaian berukuran sedang berisi pakaian dan barang-barang mama dan juga sebuah tas selempang berisi barang- barangku. Aku mengambil tas selempang dan ransel dari tangan Kak Regina. Kami berjalan kembali menuju ke luar dan sesampainya di depan pintu Mas Satria mengambil tas dari kak Regina.“Berangkat dulu, Assalamualaikum,” pamitku kemudian, demikian juga dengan Mas Satria.Setelah berpamitan aku dan mas Satria langsung berjalan menuju mobil, dua tas Mas Satria letakkan di kursi belakang. Seperti biasa Mas Satria terlebih dahulu membukakan pintu mobilnya untukku. Jam sepuluh lebih sepuluh mobil mulai meningg
“Sama,” ucapku menimpali seraya membalas pelukan mas Satria. Semakin rumit dan berliku semakin membuat aku merasa takut, bagaimanapun hati tidak bisa berbohong kalau aku juga benar-benar mencintainya. Ketika kesempatan bersama hadir untuk kedua kalinya aku tak ingin melewatkan begitu saja. Sejauh apa pun jarak pernah memisah raga, tetap saja hati selalu terpaut. Mungkin benar adanya cinta pertama itu nyata ada, aku merasakan perasaan yang sama dan cinta ini tidak berubah pada Mas Satria.“Kita bisa.” Mas Satria melepaskan pelukannya dan kemudian menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya.Wajah kami berhadapan dengan posisi sangat dekat, pandangan kami beradu dalam diam. Sesaat hanya saling pandang dan menikmati sensasi rasa yang hadir di dalam dada. Tidak perle penjelasan ada cinta yang jelas aku dapati di sorot mata Mas Satria. Dan aku yakin dia bisa menangkap perasaan yang sama yang ada dalam hatiku dan terpancar dari sepasang mataku. Tapi, tid
“Lah … ini nomor Rania, Mas. Bukan nomor-nya Kak Sisil, kalau mas mau aku kirim kontak Kak Sisil selepas ini.” Pantas saja aku seperti mengenal suara itu, ternyata mas Danta yang salah sambung ke nomor ponselku.“Bo … boleh,” jawab Mas Danta kemudian. “Em … eh kamu lagi ngapain?” tanya Mas Danta setelahnya. Mas Satria yang tadinya terdiam menjawil tanganku yang membuatku langsung menoleh ke arahnya, dagu pria itu terangkat seakan bertanya aku sedang bicara dengan siapa.“Aku lagi makan ini, Mas.” Aku menjawab kemudian. Dengan hanya menggerakkan mulut aku memberitahu Mas Satria.“Oh lagi istirahat ya?!” sambung Mas Danta lagi.“Siapa?” tanya Mas Satria sedikit menyuarakan, di tengah pembicaaraanku dengan Mas Danta. Aku hanya mengangguk sembari mengangkat tanganku sebagai isyarat untuk Mas Satria menunggu sebentar.“Iya, Mas.” Aku menjawab singkat pertanyaan Mas Danta sambil terus melihat ke Mas Satria yang menatapku dengan tatapan ingin Taunya.“Ya sudah kalau gitu, maaf jadi ganggu.
“Iya … iya, Kak Sisil dan Kak Regi biar rehat juga, sekarang kakak yang jaga.” Kembali aku menjawab.Aku membuka ponsel sebentar dan kemudian meletakkannya kembali saat terdengar azan magrib. Setelah membantu Arya untuk bersiap salat Magrib, aku pun segera aku mengambil wudhu untuk salat Magrib juga. Berbait doa aku langitkan, semoga Allah senantiasa memberikan kelancaran dalam setiap urusan. Berdoa untuk semua agar semua selalu baik-baik saja. Untuk sesaat aku masih belum beranjak dari atas sajadah untuk dapat berdzikir lebih lama dari biasanya.“Kak ponselmu.” Suara Arya memecah fokusku, aku hentikan dzikirku dan mencermati suara dengan pendengaranku. Sengaja memang aku menngecilkan volume nada panggil dan hanya mengunakan getar saja. Benar itu suara ponselku, segera aku beranjak kea rah sofa dan melihat ke layar benda pipih tersebut. Ada nama Mas Satrian yang terpampang di layar ponsel, buru-buru aku mengangkatnya.“Assalamualaikum, Sayang.” Aku langsung mengucap salam saat panggil
Dalam hitungan detik lift sudah berada di lantai satu, aku dan Mas Danta langsung melangkah keluar sesaat setelah pintu lift terbuka. Aku berjalan mengikuti Mas Danta yang berjalan ke arah kiri, kalau ke kanan kami akan ke lobby rumah sakit. Mas Danta menunjuk dengan dagunya ke sebuah tempat, sebuah area terbuka dan terlihat ada beberapa stan di sana. Meja berwarna kuning berjajar di depan stan- stan tersebut. “Oh itu,” tunjukku kemudian.“Yang di sana.” Mas Danta menunjuk lebih jauh, baru terlihat sebuah café yang berada di samping stan- stan tersebut. Dengan tangan kanan Mas Danta mendorong pintu kaca berwarna gelap itu, di dalam nya terlihat sebuah ruangan yang lumayan luas. Ada set meja berwarna coklat yang berjajar rapi dan sebuah meja konter kafe bar berukuran sedang di ujung ruangan. Pencahayaan sedikit remang-remang yang berasal dari beberapa lampu hias yang mengantung. Di beberapa meja terlihat beberapa orang duduk, ada yang berpasangan, sendirian, dan ada yang penuh empa
“Permisi silahkan pesanannya.” Obrolanku dengan Mas Danta terjeda oleh kedatangan pelayan yang membawakan makanan dan minuman yang tadi aku pesan.Pelayan pria itu menurunkan dua cangkir coffe latte, seporsi kentang goreng lengkap dengan saos yang disajikan di wadah kecil. Ada saus sambal dan saus mayones yang di tempatkan di dua buah wadah kecil yang berbeda. Satu porsi waffle juga disajikan denga saus coklat sebagai topingnya. “Sudah lengkap semua ya, terima kasih dan selamat menikmati.” Aku dan Mas Danta amengangguk dan tersenyum secara bersamaan.“Makasih, Mas,” ucapku sebelum pelayan itu beranjak yang disambut dengan kalimat ‘sama-sama, permisi’.Aku menarik mendekat cangkir yang berisi minuman hangat yang berada di depanku, aroma harumnya menguar terhidu oleh indra penciumanku. Cangkir berwarna putih itu diletakkan diatas sebuah tatakan kecil berwarna serupa, di samping cangkir ada sendok kecil dan satu saset gula. Mas Danta juga terlihat menggeser mendekat cangkir yang beri