"Eh … nyangkut, dasar motor nakal, nggak ada akhlak," celetukku sambil meringis dan memukul pelan ke badan motor. Wajahku terasa panas karena malu. Dasar motor tidak ada akhlak, bisa-bisanya ngerjain dan membuat aku malu seperti ini. Terlihat Mas Satria hanya menghela napas dan bergeleng samar. Buru-buru aku kembali berbalik dan kemudian berjalan cepat ke arah motorku. Daripada semakin panjang urusannya nanti.Baru saja aku naik ke atas motor, saat terasa ponselku bergetar. Terdengar suara panggilan ponsel dari dalam tas selempang yang aku kenakan. Paling mama yang menelepon, menanyakan keberadaanku.Ternyata dugaanku salah, Kak Regina yang menelepon. "Assalamualaikum," salamku setelah menggeser ke atas tombol hijau di layar."Waalaikumsalam, kamu dimana?" tanya kak Regina di ujung telepon."Masih di parkiran kantor, ini dah mau pulang. Titip apa?" tanyaku tanpa basa-basi karena sudah tau kebiasaan kakak perempuanku itu. Mendengarku Kak Regina langsung tertawa."Rey mau terang bulan
"Itu yang ingin aku jelaskan," ucapku kemudian. Akan lebih baik bila semua aku jelaskan secepatnya. Untuk apa, yang jelas untuk ketenangan hatiku. Rasa bersalah masih mendekapku, lebih-lebih saat kami kembali dipertemukan. "Kak …." Pembicaraan terhenti saat Arya datang. Adik laki-lakiku itu datang bersama dengan temannya. Terlihat sebuah botol berisi bensin berada di tangannya."Malam," sapa Arya kepada Mas Satria yang dibalas dengan anggukan.Arya membuka jok motorku dan menuangkan bensin ke dalam tangki. Mas Satria masih berdiri dan hanya melihat ke arah Arya. Aku masih bingung harus mulai cerita dari mana. Dan tidak mungkin kami mengobrol disini."Besok saja dilanjutkan. Sekarang sudah malam," ucapku lirih pada Mas Satria. "Terima kasih bantuannya.""Terima kasih," ucap Arya menimpali. Kembali Mas Satria hanya mengangguk samar. Pria itu kemudian beranjak dan kembali ke mobilnya. Tidak berapa lama mobil itu menyala dan bergerak menjauh.•Dari ponsel Arya aku mendapatkan nomor te
"Pak Satrianya dimana?" tanyaku kemudian. Pak Agus mengangkat alisnya saat mendengar pertanyaanku. "Pak Satria ijin tidak ke kantor, ibunya yang baru datang dari Bengkulu tiba-tiba pingsan tadi pagi. Sepertinya ini di rumah sakit, belum kasih kabar lagi soalnya," cerita Pak Agus."Oh." Aku hanya mengangguk pelan."Ada apa memangnya? Kamu naksir juga," goda Pak Agus. Sebagai kepala cabang Pak Agus memang cukup dekat dengan semua karyawan. "Nggak, Pak. Permisi …." Aku menggeleng kemudian beranjak keluar dari ruangan kepala cabang.Setelah tau keberadaan Mas Satria, pikiranku bukannya semakin tenang, tapi, sebaliknya. Pikiranku malah semakin kacau. Ada denganku sebenarnya, tapi, aku merasa ada hal yang belum selesai antara aku dan Mas Satria.•Jam tujuh malam aku masih duduk di depan komputer. Bukan karena laporanku belum selesai. Hari ini sistem berjalan cukup bersahabat. Semua laporan sudah aku emailkan sedari tadi. Tidak seperti yang lain, yang di tunggu oleh anak atau suaminya di
"Kok pacar?" tanyaku bingung."Kan kamu sendiri yang bilang," jawab Mas Satria. Aku masih melihatnya dengan tatapan bingung."Kapan?" tanyaku sambil mencoba mengingat, apa aku ada salah bicara. Aku rasa tidak ada."Barusan," jawab Mas Satria yang membuatku semakin bingung."Mana ada," bantahku kemudian."Ada." Pria itu bersikeras."Terserah Mas, sajalah." "Kok jadi aku," ketusnya kemudian. Aku terdiam tidak menimpali apapun lagi."Mas nggak capek apa, marah-marah terus?" tanyaku kemudian. "Apa pedulimu?" Mas Satria balik bertanya padaku."Ya iyalah, marahnya ke aku doang." Akhirnya aku mempunyai kesempatan untuk bicara. "Kamu pantas dimarahi," balas Mas Satria lagi."Aku minta maaf," ucapku kemudian. Rasanya seperti anak kecil kalau dimarahi seperti ini, seperti bocah yang baru saja memecahkan gelas atau apalah."Kamu berhutang banyak penjelasan padaku." Suara Mas Satria terdengar kesal."Aku antar kamu pulang," lanjut Mas Satria kemudian."Ta-tapi aku dijemput Arya," jawabku.Mas
Pertanyaan macam apa itu, apa yang terjadi dengan otakku. Seharusnya tidak aku tanyakan pertanyaan yang konyol, benar-benar konyol. Aku tak berani melihat ke arah Mas Satria dan menjatuhkan pandanganku di atas meja."Maaf, tak perlu dijawab," imbuhku kemudian.Sejenak aku terdiam dan kembali mengatur perasaanku. Menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Memberi jalan oksigen ke dalam otak agar tidak tercetus pertanyaan konyol seperti tadi."Semua sudah disiapkan oleh seluruh keluarga. Pernikahan itu hanya menunggu hitungan hari saja. Bahkan undangan pernikahan sudah disebar." Aku tersenyum miris. Menatap kosong ke arah gelas di depanku."Rupanya dia seorang pejuang cinta, demi menolak pernikahan dia menghamili pacarnya." Aku tertawa hambar, "Seperti karma, yang dengan cepat aku dapatkan. Semua berbalik padaku. Di sisi lain aku senang, tapi, di sisi lainnya aku hancur."Rasa malu yang ditanggung oleh keluarga besar dan aku sendiri masih bisa aku rasakan. Dua rasa yang bertentangan
"Aku di blok H," lanjut Mas Satria kemudian."Lah , deket dong, aku blok C," balasku pada Mas Satria.Untuk ke blok H maupun C semua melewati blok A yang terletak di urutan paling depan. Kalau ke tempatku belok kanan di simpang pertama. Sedangkan kalau blok H dari blok A lurus, kemudian masuk melalui blok E terlebih dahulu. Ada jalan pintas dari blom C ke H, tapi, hanya untuk pejalan kaki dan roda dua."Berarti tetanggaan," gumamku kemudian. "Mas turunin aku di depan situ aja, biar aku jalan kaki. Kan rumahku paling ujung, depanku jalan buntu harus mundur nanti Mas malah repot." Sebenarnya aku beralasan saja, memang benar buntu tapi, untuk berputar mobil masih bisa."Lagian Mas kan juga buru-buru, Ibu kan sakit." Kembali aku menambahkan. "Terserah aku," jawab Mas Satria. Tanpa mengindahkan permintaanku.Benar saja pria itu membelokkan mobilnya dan tidak menurunkan aku sesuai permintaanku. Dadaku sudah berdebar, bagaimana aku memberi penjelasan pada Ibu atau kakak-kakakku. "Rumahmu y
"Done," gumamku setelah semua laporan terkirim. Hari Sabtu hanya setengah hari kerja, secara jam kantor karyawan pulang jam dua belas siang. Setengah satu aku sudah menyelesaikan semua laporan dan sudah mengirimkannya melalui email.Tidak terlalu banyak interaksiku hari ini dengan Mas Satria. Hanya tadi pagi saat dia meminta beberapa berkas itu pun saat dia di ruangan Pak Agus. Selebihnya aku tidak melihatnya, sepertinya ada pekerjaan di luar kantor. Pak Agus juga tidak terlihat setelah tadi pagi."Langsung pulang?" tanya Tika saat kami keluar dari ruang absen. Tidak seperti hari-hari biasanya, hari ini kami bisa pulang bersamaan. "Huum, mama minta dianterin belanja," jawabku sambil mengenakan jaket yang sedari tadi aku pegang."Ya udah hati-hati, salam buat mama. Aku duluan … tuh dah dijemput." Tika menepuk lenganku pelan sebelum beranjak. Sahabatku itu kembali melambaikan tangannya ketika akan memasuki mobil.Aku beranjak dengan langkah pelan menuju tempat parkir. Kenapa merasa a
Memulai lagi aktivitas di hari senin, hatiku sedikit berbeda dari hari sebelumnya. Setelah pertemuan ketika belanja kemarin lusa rasanya hati yang sempat berwarna kini kembali kosong. Mungkin aku yang diam-diam terlalu berharap. Berharap cerita beberapa tahun yang lampau akan terulang.Pagi ini kegiatan dimulai dengan doa pagi, dimana semua karyawan hadir dan berkumpul di lantai satu. Biasanya akan banyak informasi yang dibagikan oleh para supervisor, kepala cabang serta wakilnya. Aku sendiri juga kebagian menginformasikan pencapaian cabang untuk penjualan semua merk."Kenapa tuh muka? Tumben belipet-lipet gitu." Wina setengah berbisik mengarahkan bibirnya ke telingaku."Lagi malas aja," jawabku dengan suara yang juga pelan. Hampir semua karyawan sudah berkumpul, terlihat di depan Pak Agus dan Mas Satria juga sudah hadir. Di samping mereka ada supervisor dari berbagai divisi. "Hai." Aku langsung menoleh ke belakang saat Roni menjawil lenganku."Sana," tunjukku dengan dagu, agar dia