Share

Jurus Sabar

Jawaban yang sama aku peroleh dari Bu Fitri dan Pak Agus, keduanya sudah menyetujui rotasiku ke divisi marketing. Meski kesal, tapi, aku bisa apa selain menerima. Orang aku juga hanya staf biasa tanpa power apapun. Seperti yang Tika duga, karena aku dari divisi marketing sebelum di pindah ke finance.

Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan di mana saja aku ditempatkan. Hanya semua terkesan mendadak, sama sekali tidak ada pemberitahuan. Dan lagi kenapa harus duda menyebalkan itu yang menyuruhku.

"Kalau boleh digantikan aku mau loh," ucap Wina disela makan dan istirahat siang kami. Tika sepertinya sudah bercerita lebih dulu sebelum aku menceritakan pada Wina.

"Kamu mah modus," celetuk Tika, yang disambut Tawa oleh Wina.

"Kan lumayan sering ketemu sama si Bapak ganteng." Wina menambahkan, kedua sahabatku itu kembali tertawa. Aku hanya nyengir malas melihat keduanya.

Andai saja mereka tau apa yang terjadi sebenarnya antara aku dan sesebapak yang mereka bicarakan itu. Tapi, aku malas bercerita tentang masalah yang terlalu pribadi pada orang lain. Bukan tidak percaya hanya kurang nyaman saja.

Sepanjang istirahat siang pembicaraan tidak jauh dari seputar Mas Satria. Yah … pria itu memang terlihat mencolok dibanding karyawan lainnya. Kalau boleh jujur dia terlihat semakin tampan dan stylish. Tapi, tidak dengan kelakuannya yang sudah seperti pemilik perusahaan saja.

"Kamu dibayar buat kerja bukan melamun." Aku langsung mendongak ke arah suara pria yang baru saja menegurku. Aku tidak sedang melamun hanya sedang memikirkan sebuah format di lembar kerja excel di komputer.

"Aku email tadi, kamu buka. Aku mau laporannya segera kamu buat dan kirim ke aku." Tanpa menjawab aku langsung membuka box email di layar monitor.

"Sistem sedang down, Pak. Jadi saya belum bisa menarik data. Info dari IT setelah jam dua, baru sistem normal." Aku berusaha menjawab dengan tenang dan selembut mungkin.

"Aku butuh cepat," tegas Mas Satria lagi.

"Iya, saya akan kerjakan setelah bisa menarik data," jawabku lagi dan berusaha tersenyum.

Selepas salat tadi siang aku mulai berpikir. Kalau aku menghadapi dengan keras juga, itu akan membuatku merasa semakin kesal. Aku belum menikah, jelas aku tidak mau kena stroke di usia muda karena stress memikirkan ulahnya. Aku hanya sedang  berusaha karena limit sabarku juga terbatas.

"Aku butuh sekarang." Suara Mas Satria meninggi.

"Baik." Aku menjawab singkat.

"Bisa?" tanyanya terlihat tidak yakin dengan jawabanku.

"Bisa." Aku menjawab cepat dengan memaksakan senyumku ke arahnya. Pria itu terlihat mengernyitkan dahinya.

"Kan sistem down, gimana kamu bisa ngerjain. Awas kamu ngarang, kasih data yang salah." 

"Ya … Bapak lucu, sudah tau sistem down maksa." Kali ini aku menahan tawaku, dia masuk dalam jebakanku.

"Kamu, ya." Pria itu terlihat kesal.

"Ya udah, saya mau kerja lagi. Nanti saya email kalau sudah selesai laporannya," ucapku sambil menegakkan badan melihat ke arah pria itu berdiri.

"Kok kamu yang ngatur aku?" bentaknya kemudian, hanya saja aku sudah mulai terbiasa. Dan lagi, ruangan sedang kosong karena para penghuninya sedang di lapangan. Jadi tidak ada yang mendengar selain aku.

"Kan saya dibayar buat kerja, bukan buat ngobrol sama Bapak," balasku kemudian. Hmm dua kosong, senang sekali aku bisa membalikkan kata-katanya.

"Kamu, ya." Mas Satria terlihat sangat kesal. Dia langsung beranjak tanpa kata-kata lagi. Mataku mengikuti gerak tubuh pemilik badan tegap itu sampai hilang di balik pintu.

Aku baru saja akan mengalihkan pandangan saat dari arah pintu Roni muncul. Dagunya terangkat saat pandangan mata kami bertemu. Sepertinya dia menanyakan tentang Mas Satria yang baru saja keluar.

"Seneng banget kayaknya, senyum-senyum gitu." Roni menarik kursi dan duduk di depan mejaku.

"Nggak," jawabku sambil mengalihkan fokusku kembali ke layar monitor.

"Eh, tapi, aku seneng loh kamu balik ke sini lagi. Tambah semangat kerja jadinya." Roni mengangkat alisnya berulang saat aku melirik ke arahnya.

"Gombalin aja terus," celetukku kemudian, sudah sangat hafal sekali dengan kelakuan pria berkulit putih yang duduk di depanku ini.

Bukannya tidak peka akan perhatian lebih dari Roni. Hanya saja aku memang tidak memiliki perasaan lebih. Hanya dekat sebagai teman, tidak ada perasaan lain lagi. 

"Haduh … Mbak Ran jangan percaya apapun, modus tok anak itu." Pak Khambali yang baru akan masuk berhenti di depan pintu sambil menggelengkan kepala.

Aku hanya tertawa menanggapi keduanya. Di divisi marketing aku bertanggung jawab kepada beberapa orang. Ada empat orang atasanku langsung, selain aku ke kepala cabang dan wakilnya.

Berbeda dengan divisi finance yang satu ruangan berisi perempuan semua. Dan di finance aku hanya bertanggung jawab kepada finance head dan juga kepala cabang.

Jam digital di layar monitor menunjukkan pukul sembilan belas, atau jam tujuh malam. Aku masih berkutat dengan pekerjaan yang seharusnya selesai dari tadi.  Setelah sistem down tadi siang, ada beberapa data yang sulit untuk ditarik. Memerlukan waktu yang lebih lama dari biasanya.

"Iya, Mbak Yanti. Bentar lagi saya email ke area ya," jawabku pada admin area yang berkali-kali menghubungiku.

Aku memijat kening sambil melihat ke arah angka-angka di layar monitor. Laporan harian memang sering menahanku berlama-lama saat sistem sedang tidak lancar seperti hari ini. Belum lagi omelan admin area yang selalu minta cepat.

"Report daily belum aku terima." Aku mendongak ke arah suara, Mas Satria berdiri di ambang pintu.

"Sebentar lagi selesai," jawabku kembali fokus pada layar monitor di depanku.

"Kenapa jawabannya selalu sebentar lagi, sebentar lagi." Mas Satria berjalan ke arahku, nada suaranya terdengar tidak nyaman di hatiku. Di hati bukan di telinga.

Aku mengabaikan pria itu dan kembali fokus pada pekerjaan yang sudah hampir selesai. 

"Kamu nggak denger aku ngomong." Pria itu sudah berada di depan mejaku. Sesaat aku memejamkan mata, mengumpulkan sisa-sisa sabar yang masih tersisa.

"Iya, Pak." Aku hanya mengiyakan tanpa melihat ke arah Mas Satria.

"Iya … iya, iya apa?" tanyanya lagi terdengar ketus.

"Done." Akhirnya selesai, aku bergumam sendiri setelah semua laporan selesai aku kirim melalui email.

"Iya apa?" tanyanya lagi dengan suara meninggi. Sepertinya dia kesal aku tidak memperhatikannya dari tadi.

"Iya sudah ...ahh mati lampu." 

Suaraku yang semula pelan langsung berubah jadi pekikkan saat tiba-tiba ruangan menjadi gelap. Aku tidak suka gelap, aku takut gelap.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Mas Satria kemudian. "Tenang … tenang."

Aku tak bisa melihat apapun dan aku hanya terdiam dengan tubuh seperti kaku. Entahlah, dari kecil aku takut gelap, tidak suka dengan gelap dan dadaku akan menjadi sesak.

"Tenang … tenang, jangan takut. Nyalakan ponselmu, dimana hp-mu?" Dadaku sesak dan aku tidak bisa menjawab. Meski aku ingin bicara tapi, entah kenapa tidak bisa.

Aku merasakan Mas Satria bergerak dan merasakan dia semakin dekat. 

"Jangan takut." 

Aku merasakan sentuhan di punggungku, dan sepertinya Mas Satria sedang mencari ponselku. 

"Ini." Kembali aku mendengar suaranya bersamaan dengan cahaya yang berasal dari ponselku.

"Kamu masih takut gelap?" tanyanya kemudian, aku masih terdiam belum bisa menjawab. 

"Dasar penakut," ucapnya lagi, aku merasakan kepalaku ditarik ke arah belakang dan bersandar di perutnya.

Perasaan apa ini? Perasaan yang lama tidak pernah aku rasakan dan kenapa aku seperti merasakannya

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status