Henry melangkah perlahan ke jendela, membuka daun jendela hingga sinar matahari pagi masuk dan menyelimuti ruangan dengan cahaya keemasan. Angin sepoi-sepoi membawa aroma laut yang segar, membuat suasana semakin tenang dan hangat.
Matanya kemudian tertuju pada sosok yang masih terlelap di tempat tidur. Aurora tidur dengan damai, napasnya teratur, wajahnya begitu lembut dalam keheningan pagi. Sejenak Henry hanya berdiri, mengamati wanita yang selalu mengisi pikirannya, wanita yang dulu pernah menjadi miliknya. Dengan hati-hati, ia duduk di tepi tempat tidur, tatapannya tak lepas dari wajah Aurora. Rambut coklat wanita itu terserak di atas bantal, berkilauan tertimpa cahaya pagi. Kulitnya tampak bersih dan bercahaya, pundaknya yang telanjang terlihat begitu halus di bawah selimut yang melorot. Tanpa sadar, Henry mengulurkan tangan, membelai perlahan helaian rambut yang jatuh di pipi Aurora. Sentuhan ringan itu membuat wanita itu menggerakkan tubuhnya sedikit, kelopak matanya mulai bergetar. Perlahan, bulu mata lentiknya terbuka, menampilkan sepasang mata yang masih berselimut kantuk namun memancarkan sesuatu yang hangat, sesuatu yang selama ini Henry rindukan. Pandangan mereka bertemu. Untuk beberapa saat, waktu terasa berhenti. Aurora menggeliat kecil, merasakan kehangatan yang membuai tubuhnya. Ia mendesah pelan, lalu tanpa sadar meringkuk ke arah sumber kehangatan itu—Henry. Henry tersenyum, suara baritonnya terdengar rendah dan serak saat berbisik, “Selamat pagi, Cintaku!" Aurora membeku sejenak. Dada dan pikirannya bergolak begitu mendengar kata-kata itu. Kenangan semalam kembali menyerbu kesadarannya, menghangatkan seluruh tubuhnya dalam sekejap. Pipinya bersemu merah, mengingat betapa mudahnya ia kembali tenggelam dalam pesona Henry. Ia menggigit bibir bawahnya, merasakan jejak ciuman Henry masih tertinggal di sana. Mata Henry yang tajam tak melepaskan Aurora. Ada senyum menggoda di bibir lelaki itu, senyum yang selalu berhasil meruntuhkan pertahanan Aurora. “Aku….” Aurora mencoba bicara, tapi sebelum satu kata pun meluncur, Henry sudah lebih dulu menutup mulutnya dengan ciuman. Bibirnya menyatu dengan bibir Henry dalam kehangatan yang menyesakkan. Henry menciumnya dengan lembut namun menuntut, menyapu bibirnya, membuka, lalu menyelipkan lidahnya dengan gerakan yang begitu menguasai. Aurora mengerang pelan saat lidah mereka bertemu, saling membelai dan mengeksplorasi, seolah ingin menghapus jarak yang pernah ada di antara mereka. Ketika akhirnya Henry melepaskan ciumannya, ia tidak langsung menjauh. Sebaliknya, ia memberikan kecupan-kecupan kecil yang menggoda di sudut bibir Aurora, membuat napas wanita itu tersengal. Tangannya turun, membelai pinggul Aurora dengan lembut, ibu jarinya berputar-putar di tulang pinggulnya, menimbulkan sensasi geli yang membuat Aurora gemetar. Henry menatapnya dengan seringai penuh godaan. “Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu mandi,” bisiknya serak, lalu matanya menyipit nakal. “Atau kamu lebih suka mandi bersamaku?” Sebuah senyum miring khas Henry terukir di wajahnya, membuat Aurora semakin terjebak dalam pesona pria itu. Bola mata Aurora membulat lebar sebelum akhirnya wajahnya merona dalam semburat merah muda. Ia menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Ti-tidak. Aku akan mandi sendiri," ucapnya terbata, suaranya nyaris tak terdengar. Senyuman miring Henry semakin dalam, tatapannya tetap terkunci pada Aurora seolah menantangnya untuk mengubah keputusan. Aurora menelan ludah. Ia merasakan bagaimana mata Henry mengikutinya ke mana pun ia bergerak, menelusuri setiap jengkal tubuhnya yang masih terlindungi oleh selimut. Dengan jantung yang berdebar kencang, Aurora menyibakkan selimut dan melangkah turun dari tempat tidur. Sensasi panas menjalari kulitnya ketika menyadari betapa intensnya sorot mata Henry yang tak sedikit pun berpaling. Segera, ia bergegas menuju kamar mandi, seolah dikejar sesuatu yang tak kasatmata. Begitu pintu tertutup, Aurora menyandarkan punggungnya, menekan dadanya yang naik-turun, mencoba menenangkan diri. Ia memejamkan mata, mengatur napas yang terasa tersengal. Saat akhirnya ia membuka mata, aroma lavender yang lembut menyambutnya. Seperti yang dikatakan Henry, bathtub telah dipersiapkan dengan air hangat yang penuh dengan busa sabun. Lilin aroma terapi menyala di sudut ruangan, menciptakan atmosfer yang begitu menenangkan. Aurora perlahan melangkahkan kakinya ke dalam air, membiarkan kehangatan menyelimuti tubuhnya. Sensasi relaksasi merayapi setiap ototnya, membuatnya tenggelam dalam ketenangan sesaat. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sebentar. Bayangan semalam muncul dalam kepalanya, membangkitkan sensasi yang masih melekat di kulitnya. Sentuhan Henry, bisikannya, tatapan mata penuh intensitas yang seakan mampu menelanjanginya tanpa perlu menyentuh. Aurora terkesiap, menggigit bibir bawahnya dengan frustasi. Ia tak boleh terbuai. Tidak lagi. Tujuan awalnya ke sini hanya untuk makan malam, tapi kenyataannya? Ia justru menyerahkan dirinya kepada Henry. Seharusnya ia menolak, seharusnya ia menjaga jarak, tapi tubuh dan hatinya mengkhianatinya. Aurora menggeleng, mencoba mengusir perasaan itu, tapi semakin ia berusaha melupakan, semakin kuat kesadaran itu menghantamnya. Sialnya, ia masih mencintai Henry, bahkan lebih dari yang ia sadari. Aurora menatap pantulan dirinya di air yang beriak. Ada sesuatu yang berbeda dalam perlakuan Henry kali ini. Lebih lembut, lebih manis, lebih perhatian. Sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan selama mereka menikah dulu. Apa ini hanya permainan Henry? Atau… apakah Henry sungguh-sungguh kali ini? *** Di luar, di kamar tidur, Henry terduduk di tepi ranjang sambil meraih ponselnya yang bergetar di atas nakas. Nama William, sepupunya, muncul di layar. Dengan satu tarikan napas, ia menjawab. "Aku kira kamu masih bergelung di tempat tidur bersama Aurora," goda William dari seberang telepon. Henry tersenyum samar, melirik ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. "Kami sudah bangun. Aurora sedang mandi." Ada jeda singkat sebelum suara William kembali terdengar, kali ini dengan nada tak percaya. "Jadi kamu benar-benar berhasil tidur dengannya?" Henry mengembuskan napas pelan, memastikan tak ada siapa pun di sekitarnya sebelum menjawab. Pandangannya kembali tertuju ke pintu kamar mandi, senyuman penuh kemenangan terukir di wajahnya. "Iya," suaranya terdengar rendah namun penuh keyakinan. "Seperti yang aku rencanakan. Aku sudah bilang padamu, Aurora masih mencintaiku dan aku akan mendapatkannya kembali, apa pun caranya." "Jadi, dia sudah menerimamu kembali?" Henry menyandarkan punggungnya ke kursi, satu tangan mengusap wajahnya sementara matanya tetap tertuju pada pintu kamar mandi. "Aurora tidak mengatakan apa pun," suaranya terdengar pelan, seolah merenung. "Tapi setelah apa yang terjadi semalam. Aku yakin, dia akan kembali padaku." William tertawa kecil dari seberang telepon. "Kamu percaya diri sekali, tapi jangan terlalu santai. Kalau kamu tidak bergerak cepat, Auroramu yang tersayang bisa saja jatuh ke pelukan pria lain." Kata-kata itu membuat tubuh Henry menegang seketika. Rahangnya mengeras, jemarinya mencengkeram ponsel lebih erat. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya terdengar lebih rendah, lebih tajam. William menghela napas. "Jangan bilang kamu benar-benar tidak tahu soal gosip itu?" Jantung Henry berdetak lebih cepat. Perasaan tidak nyaman mulai merayapi pikirannya. "Gosip apa?" Ada jeda sebelum William akhirnya menjawab, dan saat kata-kata itu meluncur, Henry merasakan darahnya mendidih. "Andrew Smith. Pengacara barunya. Kabarnya dia menyukai mantan istrimu dan akhir-akhir ini mereka sering terlihat bersama." Seakan ada tangan tak kasatmata yang meremas dadanya. Rasa panas menjalar ke sekujur tubuhnya, kemarahan dan cemburu bercampur menjadi satu. Matanya menyipit, ekspresinya berubah gelap. Genggaman pada ponselnya semakin kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Andrew Smith? Lelaki sialan itu? Dada Henry berdegup keras, napasnya memburu. Bagaimana mungkin dia tidak tahu? Sejak kapan Aurora dekat dengan pria itu? Apa benar ada sesuatu di antara mereka? Suara William kembali terdengar, membuyarkan pikirannya. "Henry? Kamu masih di sana?" Henry mengatupkan rahangnya rapat, berusaha menekan gejolak yang bergolak dalam dirinya. "Aku di sini," jawabnya, meski suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya. "Itu hanya gosip. Belum tentu ada hubungan di antara mereka." William mendengus. "Mungkin saja kamu tidak tahu." Henry mengepalkan tangan, matanya berkilat penuh tekad. "Jika memang benar mereka punya hubungan.…" Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan berat. "Aku tidak akan membiarkannya." Matanya kini berkilat penuh kepemilikan. "Aurora hanya milikku. Hanya milikku. Tidak akan ada pria lain yang bisa merebutnya dariku." Di seberang telepon, William menghela napas panjang. "Aku benar-benar tidak mengerti, Henry," katanya, suaranya terdengar letih. "Kalau kau masih mencintainya, kenapa dulu kau menceraikannya?" Dan untuk pertama kalinya, Henry tak punya jawaban. Henry terdiam. Matanya memanas, dadanya terasa sesak. Gelombang penyesalan menghantamnya bertubi-tubi, membawa kembali kenangan pahit yang selama ini coba ia kubur. Ia mengutuk dirinya sendiri, keegoisan, kekasaran, dan amarah yang meledak-ledak dua tahun lalu telah menghancurkan segalanya. "Itu karena aku terlalu marah pada Aurora," gumamnya lirih, suaranya terdengar lebih berat. "Dia tidak bisa mengerti diriku, dan aku... aku tidak bisa menjadi pria yang dia inginkan." Henry menatap kosong ke luar jendela, rahangnya mengatup erat. "Kau tahu sendiri, William, sebagian besar hidupku kuhabiskan untuk bekerja. Dan sekarang..." Ia tertawa getir, "Aku menyadari kesalahanku. Seharusnya aku lebih memperhatikannya. Seharusnya aku membuatnya merasa dicintai." William menghela napas panjang. "Kalau begitu, lakukan sesuatu. Cobalah jadi pria yang lebih romantis, lebih perhatian! Jangan terus-menerus terobsesi dengan pekerjaan!" Henry mengusap wajahnya yang terasa panas. "Aku sedang mencobanya." Suaranya nyaris seperti bisikan. "Aku hanya berharap Aurora mau kembali padaku, bahwa dia bisa memaafkanku." Matanya menatap kosong ke dalam cangkir kopi yang ia genggam. "Aku akan mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi milikku." Tapi maukah Aurora benar-benar memaafkannya? Pikiran itu menamparnya seperti tamparan dingin yang menyakitkan. Penyesalan terus membebat dadanya, membuatnya nyaris tenggelam dalam kesalahan masa lalunya. Dengan gerakan lambat, Henry meraih cangkir kopi dan menyesapnya, mencoba mengusir kekacauan di kepalanya. Lalu suara William kembali terdengar, membawa ketegangan baru yang mencengkeram hati Henry. "Jangan sampai Aurora tahu bahwa kau adalah dalang di balik kebangkrutan keluarganya." Jari-jari Henry menegang di sekeliling cangkirnya. Dengan nada rendah, ia menjawab dengan keyakinan dingin, "Dia tidak akan pernah tahu." Namun sebelum Henry sempat bernapas lega... "Kamu bilang apa?" Sebuah suara mengejutkan membekukan tubuhnya. Matanya langsung terangkat, dan di sana, berdiri di ambang pintu kamar mandi, Aurora menatapnya dengan pandangan yang sulit ia artikan. Tubuhnya masih terbungkus handuk, rambut basahnya meneteskan air ke kulitnya yang kemerahan akibat kehangatan air. Namun bukan itu yang membuat jantung Henry berdebar kencang melainkan tatapan Aurora. Tatapan yang menusuk, tajam, penuh kecurigaan. Dada Henry terasa seperti diremas. Ia tidak tahu sejak kapan Aurora berdiri di sana, seberapa banyak yang telah ia dengar, tapi yang jelas, wanita itu melihat sesuatu dalam dirinya yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Henry merasa takut. Takut bahwa rahasianya akan terungkap. Takut bahwa dia benar-benar akan kehilangan Aurora untuk selamanya.Di tepi danau yang tenang, cahaya mentari sore jatuh lembut, menciptakan kilauan emas di permukaan air. Villa tua yang dulu menjadi saksi bisu perjalanan cinta Henry dan Aurora kini dipenuhi suara tawa kecil dan kehangatan yang baru. Di beranda, Henry duduk di kursi kayu, menggendong seorang bayi laki-laki berusia enam bulan yang tertidur lelap dalam pelukannya. Wajah bayi itu begitu damai, napasnya teratur, dan jemari mungilnya sesekali menggenggam kaus Henry, seolah memastikan ayahnya tetap di sana. Sementara itu, di halaman, Aurora sedang bermain bersama Ivy, gadis kecil berusia tiga tahun yang berlarian dengan rambut cokelat ikal yang berkibar tertiup angin. Ivy tertawa riang saat Aurora mengejarnya, suaranya yang jernih seakan melodi yang menyatu dengan alam. Henry tersenyum melihat mereka. Jika seseorang memberitahunya beberapa tahun lalu bahwa ia akan menemukan kebahagiaan seperti ini. Rumah yang hangat, keluarga yang utuh mungkin ia tidak akan percaya. Namun, di sinilah ia
Hari-hari berikutnya, Henry melakukan segala cara untuk mendapatkan kembali kepercayaan Aurora. Ia tahu bahwa kata-kata saja tidak cukup, ia harus menunjukkan melalui tindakan. Ia menemani Aurora berjalan di sekitar danau, seperti yang dulu mereka lakukan. Ia memasak sarapan untuknya di pagi hari, meski ia sendiri tidak terlalu pandai memasak. Ia memperbaiki ayunan tua di halaman villa yang pernah menjadi tempat favorit Aurora. Suatu pagi, ketika Aurora keluar dari villa, ia menemukan Henry duduk di dekat danau, sedang melukis pemandangan di depannya. "Kau melukis?" tanya Aurora heran. Henry menoleh dan tersenyum. "Aku mencoba." Aurora berjalan mendekat dan melihat hasil lukisan Henry. Meskipun tidak sempurna, lukisan itu menangkap keindahan villa dan danau dengan begitu sederhana dan hangat. "Aku ingin menangkap sesuatu yang penting di sini," kata Henry. "Tempat ini menyimpan banyak kenangan. Aku ingin kau mengingat bahwa kita pernah bahagia." Aurora menatap lukisan itu, lalu
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela, menyinari wajah Aurora yang masih terpejam. Hangat. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia bangun tanpa suara mesin medis di sekelilingnya. Hari ini adalah hari yang ia nanti-nantikan, hari di mana ia akhirnya bisa pulang. Saat ia membuka mata, kamarnya yang familiar menyambutnya. Warna-warna hangat menghiasi ruangan, begitu berbeda dengan dinding putih rumah sakit yang dingin dan steril, tapi meskipun kini ia berada di rumah, hatinya tetap terasa kosong. Ada sesuatu yang hilang. Sejak keluar dari rumah sakit, Henry belum menemuinya dan yang lebih menyakitkan, pria itu juga tak berusaha menghubunginya. Mungkin Henry berpikir bahwa memberi ruang adalah hal yang terbaik untuknya. Atau mungkin ia memang sudah menyerah? Hari-hari berlalu dengan lambat. Aurora menghabiskan banyak waktu di taman belakang, duduk diam di bawah pohon besar, menatap langit yang luas. Ia mencintai Henry, itu tak bisa ia pungkiri, tapi di saat yang
"Apa?" suaranya nyaris tak terdengar, tubuhnya sedikit limbung. "Benarkah?" Vernon mengangguk mantap. "Iya. Dia selamat, Henry. Dia baik-baik saja." Hati Henry yang selama ini terasa kosong mendadak dipenuhi kehangatan yang hampir melumpuhkannya. Aurora masih hidup. Perempuan yang ia pikir telah hilang selamanya ternyata masih ada, masih bernapas di tempat yang sama dengannya. Dadanya bergemuruh oleh emosi yang bercampur aduk—kelegaan, kebahagiaan, dan rindu yang begitu menyakitkan. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Dalam sekejap, kegelisahan menggerogoti dirinya. Bagaimana jika Aurora membencinya? Bagaimana jika semua yang telah terjadi membuatnya tak ingin lagi melihat wajahnya? Henry mengepalkan tangannya, berusaha mengendalikan gejolak dalam dadanya. "Aku harus menemuinya," gumamnya. Namun, di balik tekad itu, ada ketakutan yang begitu besar. Bagaimana jika ia sudah terlambat untuk meminta maaf? Bagaimana jika luka yang ia tinggalkan di hati Aurora terlalu dalam untuk
Henry menoleh ke Margarita dengan ekspresi tak percaya, sementara neneknya hanya bisa menatap layar dengan wajah pucat pasi. Rosamaria, yang sejak tadi diam, kini menutup mulutnya, tubuhnya bergetar."Bagaimana bisa.…" Archer terdengar nyaris putus asa. "Bagaimana bisa Devon melakukan hal seperti ini?"Suara langkah kaki mendekat, memecah keheningan yang menyesakkan. Jesselyn, putri Archer, baru saja tiba bersama Theodore, anaknya. Ia menatap orang-orang di ruangan itu dengan kebingungan."Ayah, kenapa kalian semua berkumpul di sini?" tanyanya, suaranya jernih namun sarat dengan rasa penasaran.Archer menghembuskan napas panjang, seolah mencoba menenangkan badai yang berkecamuk dalam dirinya. "Jesselyn, duduklah. Ada sesuatu yang harus kamu tahu."Dengan ragu, Jesselyn duduk di samping neneknya. Matanya beralih ke layar laptop saat Vernon kembali menyalakan rekaman itu. Suasana di ruangan terasa semakin berat, udara seakan dipenuhi oleh beban masa lalu yang menyesakkan.Mata Jesselyn
Saat ia tiba, pandangannya langsung tertuju pada sosok mungil di dalam inkubator. Bayi perempuannya tertidur dengan begitu damai, napasnya teratur, wajahnya bersih tanpa dosa. Hatinya mencelos. Ia mengangkat tangannya dengan ragu, lalu akhirnya mengusap lembut pipi bayi itu dengan jemari yang sedikit gemetar."Maafkan Ayah, Nak…" gumamnya, suaranya penuh penyesalan dan kasih sayang yang baru saja ia sadari begitu dalam.Dari luar ruangan, Florien, Vernon, dan Detektif Haris menyaksikan pemandangan itu. Tak ada yang berkata-kata, tapi mereka tahu, Henry harus kuat, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk bayi ini.Detektif Haris melangkah mendekat, suaranya tegas namun penuh pengertian. "Saya akan segera mengurus prosedur kematian Yolanda, Henry. Anda tidak perlu khawatir."Henry tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap anaknya, menghembuskan napas panjang, lalu mengangguk pelan.Mulai hari ini, hidupnya tak lagi sama, tapi satu hal yang pasti, ia akan melakukan segalanya untuk