Henry melangkah perlahan ke jendela, membuka daun jendela hingga sinar matahari pagi masuk dan menyelimuti ruangan dengan cahaya keemasan. Angin sepoi-sepoi membawa aroma laut yang segar, membuat suasana semakin tenang dan hangat.
Matanya kemudian tertuju pada sosok yang masih terlelap di tempat tidur. Aurora tidur dengan damai, napasnya teratur, wajahnya begitu lembut dalam keheningan pagi. Sejenak Henry hanya berdiri, mengamati wanita yang selalu mengisi pikirannya, wanita yang dulu pernah menjadi miliknya. Dengan hati-hati, ia duduk di tepi tempat tidur, tatapannya tak lepas dari wajah Aurora. Rambut coklat wanita itu terserak di atas bantal, berkilauan tertimpa cahaya pagi. Kulitnya tampak bersih dan bercahaya, pundaknya yang telanjang terlihat begitu halus di bawah selimut yang melorot. Tanpa sadar, Henry mengulurkan tangan, membelai perlahan helaian rambut yang jatuh di pipi Aurora. Sentuhan ringan itu membuat wanita itu menggerakkan tubuhnya sedikit, kelopak matanya mulai bergetar. Perlahan, bulu mata lentiknya terbuka, menampilkan sepasang mata yang masih berselimut kantuk namun memancarkan sesuatu yang hangat, sesuatu yang selama ini Henry rindukan. Pandangan mereka bertemu. Untuk beberapa saat, waktu terasa berhenti. Aurora menggeliat kecil, merasakan kehangatan yang membuai tubuhnya. Ia mendesah pelan, lalu tanpa sadar meringkuk ke arah sumber kehangatan itu—Henry. Henry tersenyum, suara baritonnya terdengar rendah dan serak saat berbisik, “Selamat pagi, Cintaku!" Aurora membeku sejenak. Dada dan pikirannya bergolak begitu mendengar kata-kata itu. Kenangan semalam kembali menyerbu kesadarannya, menghangatkan seluruh tubuhnya dalam sekejap. Pipinya bersemu merah, mengingat betapa mudahnya ia kembali tenggelam dalam pesona Henry. Ia menggigit bibir bawahnya, merasakan jejak ciuman Henry masih tertinggal di sana. Mata Henry yang tajam tak melepaskan Aurora. Ada senyum menggoda di bibir lelaki itu, senyum yang selalu berhasil meruntuhkan pertahanan Aurora. “Aku….” Aurora mencoba bicara, tapi sebelum satu kata pun meluncur, Henry sudah lebih dulu menutup mulutnya dengan ciuman. Bibirnya menyatu dengan bibir Henry dalam kehangatan yang menyesakkan. Henry menciumnya dengan lembut namun menuntut, menyapu bibirnya, membuka, lalu menyelipkan lidahnya dengan gerakan yang begitu menguasai. Aurora mengerang pelan saat lidah mereka bertemu, saling membelai dan mengeksplorasi, seolah ingin menghapus jarak yang pernah ada di antara mereka. Ketika akhirnya Henry melepaskan ciumannya, ia tidak langsung menjauh. Sebaliknya, ia memberikan kecupan-kecupan kecil yang menggoda di sudut bibir Aurora, membuat napas wanita itu tersengal. Tangannya turun, membelai pinggul Aurora dengan lembut, ibu jarinya berputar-putar di tulang pinggulnya, menimbulkan sensasi geli yang membuat Aurora gemetar. Henry menatapnya dengan seringai penuh godaan. “Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu mandi,” bisiknya serak, lalu matanya menyipit nakal. “Atau kamu lebih suka mandi bersamaku?” Sebuah senyum miring khas Henry terukir di wajahnya, membuat Aurora semakin terjebak dalam pesona pria itu. Bola mata Aurora membulat lebar sebelum akhirnya wajahnya merona dalam semburat merah muda. Ia menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Ti-tidak. Aku akan mandi sendiri," ucapnya terbata, suaranya nyaris tak terdengar. Senyuman miring Henry semakin dalam, tatapannya tetap terkunci pada Aurora seolah menantangnya untuk mengubah keputusan. Aurora menelan ludah. Ia merasakan bagaimana mata Henry mengikutinya ke mana pun ia bergerak, menelusuri setiap jengkal tubuhnya yang masih terlindungi oleh selimut. Dengan jantung yang berdebar kencang, Aurora menyibakkan selimut dan melangkah turun dari tempat tidur. Sensasi panas menjalari kulitnya ketika menyadari betapa intensnya sorot mata Henry yang tak sedikit pun berpaling. Segera, ia bergegas menuju kamar mandi, seolah dikejar sesuatu yang tak kasatmata. Begitu pintu tertutup, Aurora menyandarkan punggungnya, menekan dadanya yang naik-turun, mencoba menenangkan diri. Ia memejamkan mata, mengatur napas yang terasa tersengal. Saat akhirnya ia membuka mata, aroma lavender yang lembut menyambutnya. Seperti yang dikatakan Henry, bathtub telah dipersiapkan dengan air hangat yang penuh dengan busa sabun. Lilin aroma terapi menyala di sudut ruangan, menciptakan atmosfer yang begitu menenangkan. Aurora perlahan melangkahkan kakinya ke dalam air, membiarkan kehangatan menyelimuti tubuhnya. Sensasi relaksasi merayapi setiap ototnya, membuatnya tenggelam dalam ketenangan sesaat. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sebentar. Bayangan semalam muncul dalam kepalanya, membangkitkan sensasi yang masih melekat di kulitnya. Sentuhan Henry, bisikannya, tatapan mata penuh intensitas yang seakan mampu menelanjanginya tanpa perlu menyentuh. Aurora terkesiap, menggigit bibir bawahnya dengan frustasi. Ia tak boleh terbuai. Tidak lagi. Tujuan awalnya ke sini hanya untuk makan malam, tapi kenyataannya? Ia justru menyerahkan dirinya kepada Henry. Seharusnya ia menolak, seharusnya ia menjaga jarak, tapi tubuh dan hatinya mengkhianatinya. Aurora menggeleng, mencoba mengusir perasaan itu, tapi semakin ia berusaha melupakan, semakin kuat kesadaran itu menghantamnya. Sialnya, ia masih mencintai Henry, bahkan lebih dari yang ia sadari. Aurora menatap pantulan dirinya di air yang beriak. Ada sesuatu yang berbeda dalam perlakuan Henry kali ini. Lebih lembut, lebih manis, lebih perhatian. Sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan selama mereka menikah dulu. Apa ini hanya permainan Henry? Atau… apakah Henry sungguh-sungguh kali ini? *** Di luar, di kamar tidur, Henry terduduk di tepi ranjang sambil meraih ponselnya yang bergetar di atas nakas. Nama William, sepupunya, muncul di layar. Dengan satu tarikan napas, ia menjawab. "Aku kira kamu masih bergelung di tempat tidur bersama Aurora," goda William dari seberang telepon. Henry tersenyum samar, melirik ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. "Kami sudah bangun. Aurora sedang mandi." Ada jeda singkat sebelum suara William kembali terdengar, kali ini dengan nada tak percaya. "Jadi kamu benar-benar berhasil tidur dengannya?" Henry mengembuskan napas pelan, memastikan tak ada siapa pun di sekitarnya sebelum menjawab. Pandangannya kembali tertuju ke pintu kamar mandi, senyuman penuh kemenangan terukir di wajahnya. "Iya," suaranya terdengar rendah namun penuh keyakinan. "Seperti yang aku rencanakan. Aku sudah bilang padamu, Aurora masih mencintaiku dan aku akan mendapatkannya kembali, apa pun caranya." "Jadi, dia sudah menerimamu kembali?" Henry menyandarkan punggungnya ke kursi, satu tangan mengusap wajahnya sementara matanya tetap tertuju pada pintu kamar mandi. "Aurora tidak mengatakan apa pun," suaranya terdengar pelan, seolah merenung. "Tapi setelah apa yang terjadi semalam. Aku yakin, dia akan kembali padaku." William tertawa kecil dari seberang telepon. "Kamu percaya diri sekali, tapi jangan terlalu santai. Kalau kamu tidak bergerak cepat, Auroramu yang tersayang bisa saja jatuh ke pelukan pria lain." Kata-kata itu membuat tubuh Henry menegang seketika. Rahangnya mengeras, jemarinya mencengkeram ponsel lebih erat. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya terdengar lebih rendah, lebih tajam. William menghela napas. "Jangan bilang kamu benar-benar tidak tahu soal gosip itu?" Jantung Henry berdetak lebih cepat. Perasaan tidak nyaman mulai merayapi pikirannya. "Gosip apa?" Ada jeda sebelum William akhirnya menjawab, dan saat kata-kata itu meluncur, Henry merasakan darahnya mendidih. "Andrew Smith. Pengacara barunya. Kabarnya dia menyukai mantan istrimu dan akhir-akhir ini mereka sering terlihat bersama." Seakan ada tangan tak kasatmata yang meremas dadanya. Rasa panas menjalar ke sekujur tubuhnya, kemarahan dan cemburu bercampur menjadi satu. Matanya menyipit, ekspresinya berubah gelap. Genggaman pada ponselnya semakin kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Andrew Smith? Lelaki sialan itu? Dada Henry berdegup keras, napasnya memburu. Bagaimana mungkin dia tidak tahu? Sejak kapan Aurora dekat dengan pria itu? Apa benar ada sesuatu di antara mereka? Suara William kembali terdengar, membuyarkan pikirannya. "Henry? Kamu masih di sana?" Henry mengatupkan rahangnya rapat, berusaha menekan gejolak yang bergolak dalam dirinya. "Aku di sini," jawabnya, meski suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya. "Itu hanya gosip. Belum tentu ada hubungan di antara mereka." William mendengus. "Mungkin saja kamu tidak tahu." Henry mengepalkan tangan, matanya berkilat penuh tekad. "Jika memang benar mereka punya hubungan.…" Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan berat. "Aku tidak akan membiarkannya." Matanya kini berkilat penuh kepemilikan. "Aurora hanya milikku. Hanya milikku. Tidak akan ada pria lain yang bisa merebutnya dariku." Di seberang telepon, William menghela napas panjang. "Aku benar-benar tidak mengerti, Henry," katanya, suaranya terdengar letih. "Kalau kau masih mencintainya, kenapa dulu kau menceraikannya?" Dan untuk pertama kalinya, Henry tak punya jawaban. Henry terdiam. Matanya memanas, dadanya terasa sesak. Gelombang penyesalan menghantamnya bertubi-tubi, membawa kembali kenangan pahit yang selama ini coba ia kubur. Ia mengutuk dirinya sendiri, keegoisan, kekasaran, dan amarah yang meledak-ledak dua tahun lalu telah menghancurkan segalanya. "Itu karena aku terlalu marah pada Aurora," gumamnya lirih, suaranya terdengar lebih berat. "Dia tidak bisa mengerti diriku, dan aku... aku tidak bisa menjadi pria yang dia inginkan." Henry menatap kosong ke luar jendela, rahangnya mengatup erat. "Kau tahu sendiri, William, sebagian besar hidupku kuhabiskan untuk bekerja. Dan sekarang..." Ia tertawa getir, "Aku menyadari kesalahanku. Seharusnya aku lebih memperhatikannya. Seharusnya aku membuatnya merasa dicintai." William menghela napas panjang. "Kalau begitu, lakukan sesuatu. Cobalah jadi pria yang lebih romantis, lebih perhatian! Jangan terus-menerus terobsesi dengan pekerjaan!" Henry mengusap wajahnya yang terasa panas. "Aku sedang mencobanya." Suaranya nyaris seperti bisikan. "Aku hanya berharap Aurora mau kembali padaku, bahwa dia bisa memaafkanku." Matanya menatap kosong ke dalam cangkir kopi yang ia genggam. "Aku akan mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi milikku." Tapi maukah Aurora benar-benar memaafkannya? Pikiran itu menamparnya seperti tamparan dingin yang menyakitkan. Penyesalan terus membebat dadanya, membuatnya nyaris tenggelam dalam kesalahan masa lalunya. Dengan gerakan lambat, Henry meraih cangkir kopi dan menyesapnya, mencoba mengusir kekacauan di kepalanya. Lalu suara William kembali terdengar, membawa ketegangan baru yang mencengkeram hati Henry. "Jangan sampai Aurora tahu bahwa kau adalah dalang di balik kebangkrutan keluarganya." Jari-jari Henry menegang di sekeliling cangkirnya. Dengan nada rendah, ia menjawab dengan keyakinan dingin, "Dia tidak akan pernah tahu." Namun sebelum Henry sempat bernapas lega... "Kamu bilang apa?" Sebuah suara mengejutkan membekukan tubuhnya. Matanya langsung terangkat, dan di sana, berdiri di ambang pintu kamar mandi, Aurora menatapnya dengan pandangan yang sulit ia artikan. Tubuhnya masih terbungkus handuk, rambut basahnya meneteskan air ke kulitnya yang kemerahan akibat kehangatan air. Namun bukan itu yang membuat jantung Henry berdebar kencang melainkan tatapan Aurora. Tatapan yang menusuk, tajam, penuh kecurigaan. Dada Henry terasa seperti diremas. Ia tidak tahu sejak kapan Aurora berdiri di sana, seberapa banyak yang telah ia dengar, tapi yang jelas, wanita itu melihat sesuatu dalam dirinya yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Henry merasa takut. Takut bahwa rahasianya akan terungkap. Takut bahwa dia benar-benar akan kehilangan Aurora untuk selamanya."Aurora?" Suara Henry terdengar dari arah pintu. Ada nada menggoda di dalamnya, tetapi juga sedikit gelisah. "Kamu sudah selesai mandi, Cantik?" Henry melangkah mendekat, napasnya terdengar sedikit lebih berat dari biasanya. Ponselnya kini telah dimatikan, percakapannya dengan William terputus begitu saja. Saat jaraknya kian menipis, ia menarik Aurora ke dalam pelukannya. Sejenak, Aurora menutup mata. Hangat. Dekapan Henry selalu membuatnya merasa aman. Namun, sesaat kemudian— "Dia tidak akan tahu bahwa aku penyebab kebangkrutan perusahaannya." Suara Henry kembali menggema di kepalanya. Aurora tersentak. Dalam sekejap, kehangatan yang tadi membungkusnya berubah menjadi bara yang membakar dada. Matanya terbelalak, tubuhnya menegang di dalam pelukan Henry sebelum ia akhirnya mendorong tubuh pria itu menjauh. Henry terkejut. Ia melihat Aurora mundur beberapa langkah, menciptakan jarak yang kini terasa begitu lebar. "Aurora." Aurora memejamkan mata erat-erat, mencoba mengendali
Tapi Aurora menggeleng. "Jangan sebut namaku dengan suara itu." Air matanya terus mengalir, tetapi matanya memancarkan amarah dan luka yang begitu dalam.Tatapannya menembus dada Henry, menghancurkan segala harapan yang ia bangun."Kamu brengsek!" serunya.Tanpa menunggu apa pun lagi, Aurora meraih pegangan pintu, membukanya dengan kasar, lalu melangkah pergi tanpa menoleh.Henry hanya bisa berdiri terpaku, matanya menatap punggung wanita yang semakin menjauh. Ia ingin berlari mengejarnya, ingin menahan tangan itu, ingin berlutut di hadapannya dan memohon kesempatan terakhir, tapi tubuhnya tetap tak bergerak, seolah jiwanya ikut pergi bersama wanita itu.Saat suara pintu tertutup dengan keras, Henry merosot lemas ke kursi."Brengsek!"Dengan amarah yang tak bisa ia arahkan ke siapa pun selain dirinya sendiri, Henry menghantam meja di depannya berulang kali. Suara dentuman keras memenuhi ruangan, tetapi itu tidak cukup untuk meredam rasa frustrasi yang membakar dadanya.Tubuhnya berget
Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia bangkit, berjalan tertatih ke ranjangnya, lalu membiarkan tubuhnya terhempas ke atas kasur. Seluruh tenaganya habis, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh bayangan Henry. Suara pria itu, tatapan matanya, semua terasa begitu nyata.Aurora menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia ingin melupakan. Ia ingin menghapus setiap jejak Henry dalam hidupnya. Namun, bagaimana caranya jika setiap napas yang ia hirup terasa begitu penuh dengan kehadiran pria itu?Perlahan, matanya terpejam. Ia terlalu lelah untuk melawan pikirannya sendiri. Namun, bahkan dalam tidurnya, bayangan Henry masih menghantuinya.Keesokan Paginya, Aurora terbangun dengan mata sembab dan kepala yang terasa berat. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—wajahnya pucat, kantung matanya menghitam, bibirnya kering.Ia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa keberaniannya. Tidak peduli seberapa hancurnya dirinya, hidup harus terus berjalan. Ia tidak akan membiarkan Henry menguasai pikirannya
Aurora mengangguk, rahangnya mengeras. "Benar. Kemarin kami bertemu dan kami sempat bermalam bersama." Keheningan mendadak menyergap ruangan. Mata Vernon dan Florien membelalak penuh keterkejutan, sementara Aurora menjatuhkan tubuhnya ke kursi, seakan bebannya menjadi semakin berat. Setiap kali membicarakan Henry, dadanya terasa sesak, emosinya semakin memuncak, seolah siap meledak kapan saja. "Itu artinya kalian kembali bersama?" Vernon bertanya, nadanya terdengar penuh harapan. Aurora tertawa pendek, namun tanpa kebahagiaan sedikit pun. "Hampir saja," suaranya penuh ironi. "Tapi Henry menghancurkan semuanya. Aku tidak peduli lagi dengan tawarannya. Tidak peduli dengan janji-janji manisnya!" Vernon menatapnya dengan kebingungan. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya, merasa tak mengerti bagaimana menghadapi adiknya yang kini terlihat seperti bom waktu yang siap meledak. Ruangan terasa semakin mencekam. Tatapan Aurora dipenuhi amarah, bola matanya yang biru seperti lautan
Lalu, ponselnya kembali berdering. Kali ini, dengan enggan, ia mengangkatnya. Suara nyaring Florien langsung meledak dari seberang, membuat Henry meringis dan menjauhkan ponsel dari telinganya. "Hei, pelankan suaramu!" "Kenapa kamu tidak menjawab teleponku dan tidak membalas pesanku?" Suara adiknya terdengar jelas kesal. Henry mengusap wajahnya dengan letih. "Maaf. Aku sibuk." Florien mendecak. "Ada apa denganmu? Aku mencarimu ke mana-mana. Kamu di mana sekarang?" "Di vila." Terdengar tarikan napas dari seberang. "Aku sudah tahu semuanya. Aku bertemu Aurora di kantor Vernon, dan dia… dia menceritakan semuanya." Dada Henry mencengkung, seakan seseorang menekan sesuatu yang berat di atasnya. "Jadi kamu bertemu dengannya?" "Iya. Dan dia sangat marah padamu." Henry tersenyum getir. "Tentu saja dia marah. Dia berhak marah." Florien terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Segeralah pulang! Aku ingin bicara denganmu." Henry menyandarkan kepalanya ke sofa, menatap lan
Setelah rapat selesai dan semua dokumen ditandatangani, Aurora merasakan dadanya sesak. Rasanya seperti menjual bagian dari hidupnya sendiri—sebagian besar Blue Sea Corp bukan lagi miliknya, melainkan bagian dari Wilmington Group yang dipimpin oleh pria yang pernah ia cintai dan benci dalam waktu yang bersamaan. Vernon menepuk punggungnya dengan lembut. “Kau baik-baik saja?” Aurora menarik napas dalam dan mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja.” Tapi itu bohong. Ketika Henry berdiri dari kursinya, memasukkan tangannya ke dalam saku jas dengan ekspresi yang nyaris tak terbaca, Aurora merasakan amarah sekaligus perasaan lain yang tak bisa ia jelaskan. Pria itu telah mengambil segalanya darinya, dan sekarang, ia juga mengambil kendali atas hidupnya di perusahaan. Sebelum Henry berbalik pergi, Aurora berbicara, suaranya rendah tapi tajam. “Kau menikmati ini, bukan?” Henry berhenti di tempatnya, lalu menoleh. Tatapan matanya dalam, ada sesuatu yang mengintai di sana—sebuah emosi
Henry menatapnya dengan serius. “Perusahaan ini memiliki utang yang lebih besar dari yang kau kira. Jika bukan aku yang mengambil alih, maka investor lain yang tidak peduli dengan apa pun selain keuntungan mereka akan melakukannya. Aku tahu betapa pentingnya perusahaan ini bagimu, dan aku tidak bisa membiarkan orang lain menghancurkannya.”Aurora terdiam. Ia memang tahu bahwa kondisi keuangan perusahaannya tidak stabil, tetapi ia tidak menyangka bahwa situasinya seburuk ini.Henry melanjutkan, “Aku tidak bisa memberitahumu sebelumnya, karena aku tahu kau tidak akan mau menerimanya. Aku harus melakukannya dengan cara yang akan memastikan kau tetap memiliki tempat di sini, bukan di bawah kendali orang lain yang hanya ingin meraup keuntungan.”Aurora menatapnya, mencoba mencari kebohongan di wajah pria itu. Tetapi yang ia lihat hanyalah kelelahan dan sesuatu yang menyerupai rasa sakit.Ia menggigit bibirnya. “Kenapa kau peduli?”Henry tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. “A
Ruangan itu langsung hening.Erik mengerjapkan mata, tampak tidak siap dengan jawaban itu. Beberapa orang yang sebelumnya tampak skeptis kini mulai duduk lebih tegak, menunggu reaksi selanjutnya.Aurora tidak memberinya waktu untuk membalas. Ia meletakkan beberapa laporan di atas meja, lalu melanjutkan, "Aku tidak meminta kalian untuk langsung setuju denganku sekarang. Aku hanya ingin kalian memberi kesempatan untuk melihat datanya lebih dalam. Kita akan membahas ulang dalam dua hari. Deal?"Beberapa orang saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk pelan.Aurora menahan napas sejenak, merasakan ketegangan di bahunya mulai mengendur. Ini baru langkah pertama, tapi setidaknya ia berhasil mengendalikan situasi.Setelah rapat berakhir, Aurora kembali ke ruangannya. Ia menghempaskan diri ke kursi, membiarkan kepalanya bersandar beberapa detik. Namun, sesuatu di mejanya membuatnya terhenti.Secangkir kopi.Aroma pahit dan hangatnya begitu familiar, menyelinap masuk ke dalam memorin
Henry terdiam, pikirannya berputar cepat. "Apa yang dia katakan?" "Jika kamu tidak mau menemuinya, dia akan mengungkap semuanya. Dia akan memberi tahu dunia siapa ayah dari anaknya. Dia mengancammu, Henry." Henry mendengus marah. "Dia tidak akan berani melakukan itu." Florien mendecak. "Oh, percayalah, seorang wanita yang terpojok bisa melakukan apa saja. Kamu mungkin menganggap ini hanya gertakan, tapi aku yakin dia benar-benar akan melakukannya." Henry mengebrak meja dengan kepalan tangan yang mengeras. "Sial!" Dadanya naik turun. Baru saja ia merasa kehidupannya kembali menemukan arah—Aurora, kebahagiaan yang mulai ia bangun kembali dan sekarang, masalah ini datang menghantamnya seperti ombak besar yang menghancurkan segalanya. Florien menghela napas. "Apa Aurora sudah tahu?" Henry menggeleng. "Tidak dan dia tidak boleh tahu." "Bagus. Jangan sampai dia tahu atau kamu akan kehilangan dia lagi selamanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian berdua." Henry mengep
Sang dokter tersenyum tipis lalu pergi, meninggalkan mereka bertiga di kamar. Henry duduk di tepi ranjang dan menghela napas panjang. "Nenek benar-benar membuat kami khawatir! Aku hampir kena serangan jantung juga, tahu!" Aurora mengangguk setuju sambil menghapus air mata yang sempat jatuh. "Iya, Nek. Sebaiknya Nenek tidak terlalu banyak beraktivitas. Aku takut terjadi sesuatu pada Nenek." Margarita tersenyum, lalu meraih tangan Aurora dengan genggaman hangat. Ia menatap wanita itu dengan mata penuh harap. "Aurora, kamu sayang pada Nenek, kan?" Aurora terdiam sejenak, lalu mengangguk. Ia tahu, di balik semua tingkah dan kelicikan Margarita, wanita itu hanya ingin melihat keluarganya bahagia. Namun, ia juga merasa ada sesuatu yang mencurigakan di balik pertanyaan itu. "Tentu saja. Aku sudah menganggap Nenek sebagai Nenekku sendiri." Margarita tersenyum penuh kemenangan. "Kalau begitu, apa kamu mau tinggal sedikit lebih lama di sini?" Henry nyaris tersedak udara. Ia menoleh ke a
Pelayan itu menelan ludah. "Tapi kalau Tuan Muda tahu, dia pasti akan marah."Margarita terkekeh pelan, suaranya penuh keyakinan. "Percayalah! Begitu dia tahu alasan di balik ini semua, dia akan berterima kasih."Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki berlari-lari di luar."Ah, akhirnya mereka datang." Margarita buru-buru menutup matanya. Sebelum itu, ia sempat menoleh pada Nicholas dan memperingatkan dengan suara pelan, "Ingat, kau harus terlihat sedih. Kalau perlu, keluarkan air mata. Jika tidak, kau kupecat!"Nicholas menghela napas, bersiap memainkan perannya.Pintu kamar terbuka dengan keras, hampir membentur dinding. Henry masuk lebih dulu, napasnya tersengal, wajahnya penuh kepanikan. Aurora menyusul di belakangnya, matanya dipenuhi kecemasan."Nenek!" Suara mereka berseru hampir bersamaan.Henry langsung berlutut di samping ranjang dan meraih tangan Margarita. Matanya yang biasanya tajam kini tampak kaca-kaca. Dengan suara parau, ia berkata, "Nek, jangan mati dulu! Aku belum
Aurora hanya tersenyum tipis tanpa menjawab. Mereka berkuda selama beberapa menit, menikmati keheningan yang tidak lagi terlalu canggung. Hingga akhirnya, matahari semakin tinggi di langit, menandakan sudah saatnya mereka kembali. "Mau pulang?" tanya Henry. "Ya." Mereka kembali ke kandang, menyerahkan kuda-kuda itu kepada para pekerja. Lalu, berjalan beriringan menuju rumah. Namun, tiba-tiba Henry menghentikan langkahnya. Aurora menoleh, lalu mendapati dirinya terperangkap dalam tatapan pria itu. Mata biru Henry menatapnya dalam-dalam, menelusuri wajahnya seolah sedang mencari sesuatu. Ada keheningan di antara mereka, keheningan yang begitu pekat hingga Aurora bisa mendengar degup jantungnya sendiri. Aurora menelan ludah, mengangkat sedikit dagunya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Henry tidak mengatakan apa pun. Aurora merasakan lagi energi yang bergejolak di sekitar Henry, seperti badai yang siap meledak kapan saja. Hawa panas yang dipancarkan lelaki itu membuat dadan
"Ada apa kamu datang ke sini?" tanya Henry dingin, suaranya terdengar tajam.Andrew tidak terpengaruh oleh sikap permusuhan Henry. Dengan santai, ia menjawab, "Aku hanya ingin melihat keadaan Aurora di sini. Aku ingin tahu, apakah dia bahagia atau justru merasa tertekan?"Henry tersenyum miring, lalu melirik Aurora. "Seperti yang kamu lihat, Aurora senang berada di sini. Bukankah begitu, Sayang?"Namun, Aurora tidak menjawab. Ia sengaja mengabaikan Henry, membiarkan pria itu semakin kesal, lalu memilih untuk langsung berbicara pada Andrew."Apa yang membuatmu datang ke sini?" tanyanya, nada suaranya terdengar lebih hangat dibanding saat ia berbicara dengan Henry.Andrew tersenyum kecil. "Besok aku akan kembali ke Inggris. Apa kita akan pulang bersama?"Seketika ruangan terasa membeku.Henry menatap tajam Andrew, rahangnya mengeras. "Kalian tidak akan pulang bersama. Aurora akan pulang bersamaku."Jesselyn yang duduk di sampingnya langsung menyenggol kaki Henry di bawah meja, memberi i
"Jadi kamu meragukannya?!" Suara Yolanda bergetar di seberang telepon, dipenuhi kemarahan dan rasa tertantang. "Anak ini adalah darah dagingmu, Henry!"Henry menekan rahangnya, mencoba meredam emosi yang mendadak berkecamuk di dalam dadanya. "Iya." Hanya itu jawaban yang keluar dari bibirnya, singkat dan tanpa emosi."Anak ini milikmu.”Henry tertawa pendek, getir. “Kau sadar betapa absurdnya itu? Kita baru kenal berapa lama? Dan kita hanya tidur sekali, Yolanda. Sekali.”“Aku tahu, Tapi aku tidak tidur dengan siapa pun selain kamu. Kau pikir aku sedang main sandiwara?” suara Yolanda mulai naik.“Dunia ini penuh sandiwara dan kau cukup jago jadi aktrisnya,” balas Henry cepat. “Atau ini bagian dari rencana barumu lagi? Mengikatku dengan cerita kehamilan?”“Kau pikir aku senekat itu? Mengada-ada tentang nyawa yang sedang tumbuh dalam tubuhku?” Yolanda hampir berteriak. “Aku tidak butuh uangmu. Aku hanya ingin kau tahu—aku tidak sendirian dalam urusan ini.”Henry terdiam beberapa detik.
Dengan kecepatan kilat, Henry menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka, sementara Aurora buru-buru menyembunyikan wajahnya yang merah padam.Di sisi lain rumah, Margarita duduk di kursi meja makan di teras belakang, yang menghadap taman bunga mawar. Nenek itu menggenggam tongkatnya dengan tenang, matanya berbinar seolah tahu persis apa yang sedang terjadi di dalam rumah. Ia tersenyum kecil. Hari ini akan menjadi hari yang menarik."Mereka itu seperti anak kecil," gumam Margarita dengan nada geli kepada asistennya, Nicholas. Senyum tipis terbentuk di wajahnya, sementara matanya menatap lurus ke arah taman, seolah melihat lebih jauh dari yang tampak di hadapannya. "Mereka pikir aku tidak tahu bahwa mereka sudah bercerai."Wanita tua itu tertawa pelan, nada tawanya sarat dengan kebijaksanaan dan sedikit ironi. "Biarkan saja mereka beranggapan seperti itu."Dengan tenang, ia mengangkat cangkir teh ke bibirnya dan menyeruputnya perlahan."Jadi, Henry membawa Aurora ke kamarnya?" tanyany
Kejujuran Henry membuat Aurora terhenyak. Hatinya berdebar kencang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Apa aku tidak salah dengar?" pikirnya."Kau serius?" bisiknya ragu, menatap Henry seolah mencari kebohongan di matanya."Tentu saja," jawab Henry tanpa keraguan.Aurora menelan ludah, dadanya terasa sesak. "Saat ini aku tidak bisa menikah lagi denganmu."Henry menghela napas panjang, tetapi tekadnya tak goyah. "Lalu, apa yang harus aku lakukan supaya kamu mau kembali padaku?" tanyanya, suaranya penuh harap, hampir memohon.Aurora menundukkan kepala, menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. "Tidak ada," katanya lirih, tetapi dingin.Henry menatapnya, mencoba membaca pikirannya. Ia tahu Aurora berbohong. Wanita itu hanya takut membuka kembali luka yang belum sepenuhnya sembuh."Aku mencintaimu, Aurora," ucapnya lembut. "Dan aku ingin kita bersama lagi."Perasaan Henry begitu kuat, begitu nyata. Ia melangkah mendekat, lalu melingkarkan lengannya di
Aurora melihat kopernya tergeletak tak jauh dari tempat tidur. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia segera beranjak ke kamar mandi, membiarkan air dingin menyapu kulitnya yang masih dipenuhi sisa-sisa emosi semalam. Tak ingin membuang waktu, ia mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa. Ada seseorang yang ingin segera ditemuinya—Theodore, keponakan Henry yang kini telah berusia lima tahun. Saat ia dan Henry berpisah, bocah itu baru berusia tiga tahun. Saat menuruni tangga, matanya menyapu sudut-sudut rumah sang Nenek. Tidak banyak yang berubah. Rumah megah berlantai lima ini masih terasa terlalu besar dan sunyi baginya. Dulu, saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, ia hampir tersesat di dalamnya. Langkahnya terhenti mendadak. Henry muncul di hadapannya, tiba-tiba dan tanpa suara. "Henry!" serunya, terkejut. Salah satu tangannya terangkat ke dada, mencoba meredam detak jantungnya yang berdebar liar. Ia menarik napas dalam-dalam, menoleh ke sekeliling, memastikan tidak ada orang la