Share

Bab 4. Pusaran gairah

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2025-02-27 12:42:23

Bibir Aurora merekah, menyambut sentuhan yang begitu akrab namun tetap membuai. Awalnya, ia membalasnya dengan ragu, malu-malu, tapi Henry tak memberi ruang untuk kebimbangan. Pria itu memperdalam ciumannya, lebih lembut, lebih menuntut, seakan ingin mengingatkan Aurora akan semua rasa yang dulu pernah mereka bagi.

Dada Henry bergetar saat bibir ranum itu akhirnya sepenuhnya menyatu dengan miliknya. Napasnya semakin berat, seiring dengan hasrat yang menggelegak di dalam dirinya. Ia merasakan manisnya, merasakan Aurora yang perlahan-lahan menyerah dalam dekapannya.

Ia ingin lebih. Ia butuh lebih.

"Aurora...." desah Henry, suaranya dalam dan serak, penuh gairah yang nyaris membuatnya kehilangan kendali.

Aurora terperangkap dalam pesona Henry. Pria itu begitu tampan dalam cahaya temaram, dengan sorot matanya yang teduh namun berbahaya. Rahangnya yang kuat dan ekspresi menggoda membuat Aurora semakin tenggelam.

Henry menarik diri, hanya untuk menempelkan dahinya ke dahi Aurora, berusaha meredam kobaran api di dalam dirinya. Napas mereka berpacu, berlomba-lomba menghirup oksigen yang terasa semakin menipis di antara mereka. Bibir mereka membengkak, masih bergetar akibat intensitas ciuman yang baru saja terjadi, tapi Henry belum selesai.

Tangan besarnya kini mulai bergerak, dengan jemari yang begitu terampil membelai kulit Aurora. Ia menelusuri lekuk tubuh wanita itu, hingga akhirnya berhenti di gundukan putih yang tersingkap sedikit dari balik pakaian. Aurora menggigit bibir, mencoba menahan desahan, tapi Henry menangkapnya. Matanya menyipit penuh godaan.

"Aku bisa merasakan jantungmu berdebar lebih cepat," bisiknya, suaranya menggema di telinga Aurora, membuat wanita itu semakin lemas dalam dekapannya.

Aurora memejamkan mata, mengumpulkan keberanian. "Henry, he... hentikan...," katanya, tapi suaranya nyaris tak terdengar, lebih terdengar seperti undangan daripada peringatan.

Henry tersenyum miring, penuh pesona dan dominasi. "Benarkah?" tanyanya, sebelum kembali menuntut bibir Aurora dengan ciuman yang lebih dalam, lebih menggila.

Sementara ciuman mereka semakin memanas, tangan mereka saling mencari, saling menjelajah, merasakan, mengeksplorasi titik-titik sensitif satu sama lain. Aurora pasrah sekaligus menuntut, semakin tenggelam dalam pusaran perasaan yang tidak bisa ia kendalikan.

Di antara desahan dan napas yang memburu, Henry bergerak lebih dekat, menyusuri setiap inci kulit Aurora yang terbuka. Jemarinya kini dengan mudah menyingkap kain yang membungkus tubuh wanita itu, membuatnya mendesah dalam keterkejutan sekaligus kerinduan.

"Astaga, Aurora!" Henry berbisik, suaranya nyaris parau saat melihat kecantikan yang kini terbuka di hadapannya. Matanya gelap, penuh ketertarikan yang tak terbendung.

Aurora membelalakkan mata, menyadari betapa intensnya tatapan Henry. Jantungnya berdegup semakin kencang. Ia tahu ia sudah tersesat dalam lautan pesona pria itu.

Dan malam ini, Henry tidak akan membiarkannya pergi. Aurora merasa seakan terperangkap dalam pusaran hasrat dan kenangan yang kembali menghangatkannya. Napas Henry berhembus lembut di lehernya, membuat kulitnya meremang. Jemarinya menyusuri wajahnya, membingkai pipi Aurora seolah lelaki itu tengah menghafal setiap lekuknya.

"Aku tak pernah bisa melupakanmu," bisik Henry, suaranya serak dengan emosi yang tertahan.

Aurora menatapnya, mencari kebenaran di mata kelam itu. Dulu, dia pernah percaya sepenuh hati. Namun kini, luka dan kerinduan bercampur menjadi satu, menciptakan kekacauan yang tak bisa ia kendalikan.

Jemari Henry menelusuri lengannya, menghadirkan kehangatan yang menggetarkan. "Kamu tahu, kan? Aku selalu menginginkanmu, selalu merindukanmu."

Aurora menelan ludah, dadanya naik turun dalam kebimbangan. Dia ingin menolak, ingin menjauh, tapi tubuhnya seolah mengkhianati logikanya. Ketika Henry menunduk lagi, bibirnya melayang tepat di atas milik Aurora, nyaris menyentuh tapi masih menahan diri.

"Kalau ini salah, katakan padaku untuk berhenti," ucapnya, memberi Aurora kesempatan untuk melangkah pergi.

Aurora menggigit bibirnya. Namun, alih-alih menjauh, jemarinya justru terangkat, menyentuh wajah Henry dengan keraguan yang perlahan-lahan luruh dalam kehangatan.

Lelaki itu tersenyum kecil sebelum akhirnya membiarkan bibirnya menyatu dengan milik Aurora sekali lagi. Kali ini, bukan sekadar gairah yang berbicara, melainkan sesuatu yang lebih dalam—sebuah kerinduan yang telah lama terpendam, sebuah perasaan yang tak pernah benar-benar padam.

Henry menarik napas panjang, mencoba mengendalikan gejolak dalam dirinya, namun itu sia-sia. Di hadapannya, Aurora terbaring dengan pipi merona, bibir sedikit terbuka, dan mata yang mulai kehilangan fokus karena gairah yang perlahan membiusnya.

"Aku sudah gila karena merindukanmu," bisik Henry, tangannya kembali menjelajah lembut, seolah memastikan Aurora benar-benar nyata di hadapannya.

Aurora merasakan sentuhan Henry membelai tulang selangkanya, menyusuri bahunya, sebelum jemari lelaki itu bergerak turun, menghangatkan kulitnya. Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena gairah yang mengalir, tetapi juga karena tatapan Henry yang begitu dalam, seolah lelaki itu ingin menelannya bulat-bulat.

“Henry…,” lirihnya, separuh merintih, separuh menggoda.

Henry tersenyum miring, pesona alaminya yang memabukkan semakin tak tertahankan. Dia menundukkan kepala, mengecup pelipis Aurora, lalu turun ke pipinya, meninggalkan jejak napas hangat yang membuat tubuh wanita itu menggeliat tanpa sadar.

"Setiap inci darimu selalu menggoda, Sayang," suaranya berat dan terdengar penuh kekaguman. "Kamu benar-benar tak tahu bagaimana kamu bisa membuatku kehilangan kendali."

Aurora terpesona oleh ketulusannya. Lelaki ini yang dulu selalu berusaha mengontrol segalanya kini begitu terbuka, membiarkan perasaannya terpancar dengan gamblang.

Perlahan, Henry kembali mengecupnya. Ciumannya bukan lagi terburu-buru seperti sebelumnya, melainkan penuh kelembutan dan penghormatan. Bibirnya menelusuri garis rahang Aurora, turun ke leher jenjangnya, sebelum berhenti di dekat telinganya.

"Aku ingin kamu percaya padaku lagi," bisiknya serak, sembari mengecup ujung telinga Aurora dengan godaan yang membuat wanita itu menggigil.

Aurora menutup matanya, meresapi setiap sentuhan Henry yang begitu intim. Ada magnet tak kasat mata yang membuatnya tak bisa berpaling. Sejenak, ia lupa tentang segala luka di masa lalu, tentang perpisahan yang pernah menyakitinya. Yang ada hanya mereka berdua, terjebak dalam pusaran perasaan yang terlalu kuat untuk diabaikan.

Henry menatapnya dalam-dalam, ibu jarinya membelai bibir Aurora yang sedikit bengkak karena ciuman mereka. "Katakan padaku bahwa kamu masih menginginkanku," pintanya dengan suara rendah, menggoda, namun juga penuh ketulusan.

Aurora menggigit bibirnya, hatinya bergemuruh. Di hadapannya, Henry adalah sosok pria yang dulu pernah ia cintai dengan segenap hati. Dan sekarang, di bawah cahaya remang yang menyelimuti mereka, perasaan itu kembali muncul, semakin kuat dan nyata.

Tanpa menjawab dengan kata-kata, Aurora menarik Henry kembali ke dalam dekapannya, membiarkan bibir mereka kembali bersatu dalam ciuman yang lebih dalam, lebih emosional, dan lebih sarat dengan rasa yang selama ini mereka pendam.

Henry menatap Aurora seakan ingin mengukir setiap detail wajahnya dalam ingatan. Jemarinya membelai pipi wanita itu dengan lembut, seolah menyentuh sesuatu yang berharga dan rapuh sekaligus.

"Aku ingin menghabiskan malam ini hanya denganmu," bisiknya, suaranya serak penuh gairah, namun juga sarat ketulusan.

Aurora menelan ludah, dadanya berdegup kencang. Henry selalu memiliki cara untuk membuatnya lupa bagaimana bernapas dengan benar.

Lelaki itu menurunkan kepalanya, mengecup kening Aurora dengan perlahan, penuh kelembutan yang membuat dada wanita itu terasa sesak. Bibirnya kemudian turun ke pelipis, lalu ke pipinya, sebelum akhirnya berhenti tepat di atas bibirnya yang sudah sedikit membengkak karena ciuman mereka sebelumnya.

Aurora menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam gelombang perasaan yang kembali menyala. Ia bisa merasakan betapa dalamnya rindu di setiap sentuhan Henry, di setiap tarikan napas yang mereka bagi.

Tangannya tanpa sadar terangkat, menyentuh wajah Henry, merasakan rahangnya yang kokoh, janggut tipis yang sedikit menusuk ujung jarinya. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya, membiarkan Aurora menjelajahinya dengan sentuhan yang selama ini ia rindukan.

Mereka begitu dekat, hanya terpisah sejengkal. Jantung mereka berdetak seirama, menciptakan irama yang hanya mereka berdua pahami.

“Henry…” suara Aurora terdengar nyaris seperti bisikan.

Henry tersenyum kecil, matanya berbinar menatap wanita di hadapannya. "Ya, Sayang?"

Aurora menggeleng pelan, tidak tahu harus berkata apa. Ada terlalu banyak emosi yang berputar di dalam dirinya.

Henry menatapnya penuh kelembutan, lalu mengecup ujung hidungnya, sebelum akhirnya kembali menemukan bibir Aurora. Ciuman itu dalam, tidak terburu-buru, seakan ingin menyampaikan semua perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

Aurora merespons dengan penuh kerinduan, tangannya melingkar di leher Henry, menariknya lebih dekat. Lelaki itu tersenyum di sela ciuman mereka, menikmati setiap helaan napas, setiap getaran yang ditimbulkan oleh sentuhan mereka.

Saat mereka akhirnya melepaskan diri, Henry menatap Aurora dengan intens. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi," katanya penuh tekad.

Aurora menatapnya, hatinya berdebar lebih kencang. Ada sesuatu dalam cara Henry mengatakannya yang membuatnya yakin bahwa lelaki itu benar-benar serius.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Aurora tidak merasa ingin melarikan diri. Malam itu, di bawah cahaya remang yang hangat, mereka kembali menemukan satu sama lain bukan hanya dalam pelukan, tetapi juga dalam hati yang selama ini merindukan satu sama lain.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 94. Menikalah atau mati

    Di luar apartemen, di kejauhan, sosok seorang wanita berlari tanpa arah. Napasnya terengah, tangannya memegang perutnya yang membesar.Yolanda.Jantungnya berdetak kencang. Mereka datang lebih cepat dari yang ia duga.Ia terus berlari, menyusuri jalan-jalan sepi di tengah malam. Kakinya terasa berat, tubuhnya lelah, tapi ia tak bisa berhenti. Tidak sekarang.Ia akhirnya sampai di sebuah gang sempit. Dengan napas tersengal, ia bersembunyi di balik tumpukan sampah, berusaha menenangkan diri."Aku tidak akan membiarkan mereka menangkapku," gumamnya dengan penuh kebencian.Napas Yolanda tersengal, tubuhnya hampir roboh setelah berlari melewati gang-gang sempit. Jantungnya berdentum kencang, seakan ingin meledak dari dadanya. Suara sirene polisi semakin jauh, memudar di kejauhan. Ia berhasil lolos untuk saat ini.Dengan sisa tenaga yang ada, Yolanda menyeret langkahnya menuju sebuah gudang tua di dekat pelabuhan. Bangunan itu tampak terlantar, kusam, dan hampir hancur dimakan waktu. Tak ad

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 93. Pengepungan

    Wajah Aurora terlihat pucat, tubuhnya masih terbaring tak bergerak dengan berbagai alat medis menempel di sekitarnya. Florien menggenggam tangannya erat, berharap ada sedikit respons. "Aurora, kumohon, bangunlah!" Florien menunduk, menahan sesak yang menggumpal di dadanya. Ia tak bisa membayangkan jika seandainya Aurora tak ditemukan tepat waktu. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Seorang perawat masuk dan berkata, "Nona Florien, ada seorang detektif yang ingin berbicara dengan Anda di luar." Florien mengangkat kepalanya dengan bingung. Ia berdiri dan keluar dari ruangan, menemukan Vernon yang sudah lebih dulu berada di sana. Namun bukan hanya Vernon, di sana juga ada William, berdiri bersama seorang pria asing yang terlihat tegas—Detektif Haris. Florien melirik Vernon dengan penuh tanya, lalu kembali menatap detektif itu. "Ada apa, Detektif?" tanyanya dengan cemas. Detektif Haris melirik William sekilas sebelum akhirnya berkata, "Kami menemukan beberapa petunjuk baru terkait ke

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 92. Kebenaran di balik kecelakaan

    "Jangan pergi, Henry!" pinta Yolanda, suaranya berubah menjadi lebih lembut, penuh permohonan. "Aku masih mencintaimu." Henry mengeraskan rahangnya, berusaha menarik tangannya. "Lepaskan aku, Yolanda!" bentaknya, kesabarannya habis. Namun, bukannya melepaskan, Yolanda justru menggenggamnya semakin erat. Matanya berkilat dengan obsesi yang mengerikan. "Tidak akan! Kau tidak bisa begitu saja meninggalkanku, Henry!" Sebelum Henry sempat menanggapi, suara pintu mobil terbuka mengalihkan perhatiannya. Dua pria bertubuh tegap keluar dari dalam mobil Yolanda, mata mereka penuh ancaman. "Buka pintunya!" perintah Yolanda dingin. Henry melirik ke kaca spion, tubuhnya menegang. Ia tahu ini tidak akan berakhir baik. Namun, sebelum ia bisa bereaksi, salah satu pria itu dengan kasar membuka pintu mobilnya dengan paksa dengan memecahkan kaca mobil dan mencengkeram lengannya kuat-kuat. "Lepaskan aku!" Henry berontak sekuat tenaga, tapi pria itu lebih kuat. Dalam sekejap, tubuhnya terseret kelua

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 91. Dalam dekapan ketidakpastian

    Florien menoleh cepat. William baru saja masuk, handuk kecil tersampir di lehernya, keringat masih membasahi pelipisnya setelah joging pagi. Ia tampak segar, namun ekspresi Florien yang penuh kecemasan langsung membuatnya mengernyit. "Kau sudah bangun?" sapanya lembut, mengecup kening adik sepupunya seperti biasa. "Iya, tapi Vernon sudah tidak ada di kamar." Suara Florien terdengar lebih putus asa dari yang ia harapkan. William menatapnya lebih serius. "Vernon? Mungkin dia di halaman belakang?" Florien menggeleng cepat. "Aku sudah mencari ke seluruh penjuru rumah. Dia tidak ada." Rasa tidak enak mulai menjalar di dada William. Ia meraih ponselnya dan menekan nomor Vernon. Nada sambung terdengar, satu kali, dua kali, lalu berlanjut tanpa jawaban. Sekali lagi. Tidak ada jawaban. William menurunkan ponselnya, ekspresinya mulai berubah. "Mungkin dia ada urusan mendadak di luar," ujarnya, berusaha terdengar tenang. Florien menggeleng. Suasana di ruangan semakin mencekam. Florie

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 90. Sisa harapan

    "Dia baik-baik saja?" Vernon hampir tak bisa mengeluarkan suaranya. Dadanya terasa sesak, seolah paru-parunya lupa bagaimana cara bekerja. "Luka-lukanya cukup serius, tapi dokter mengatakan kondisinya stabil. Dia masih belum sadar." Sejenak, Vernon merasakan sesuatu yang berat terangkat dari dadanya, seperti beban yang selama ini menyesakkan akhirnya sedikit mereda. Aurora masih hidup. Tanpa pikir panjang, Vernon meraih mantel dan berlari keluar rumah. Ia bahkan tidak sempat memberi tahu Florien atau siapa pun. Yang ada di kepalanya hanya satu hal, menemui Aurora. Sesampainya di rumah sakit, Vernon bergegas menuju ruang ICU. Namun, sebelum ia bisa masuk, langkahnya terhenti saat melihat dua orang asing berdiri di luar ruangan, wajah mereka penuh kecemasan. Di dekat mereka, seorang pria berseragam menghampirinya. "Selamat pagi, Tuan Stockwell!" sapa pria itu dengan nada formal. "Saya Detektif Haris. Saya ingin memperkenalkan dua orang yang sangat berjasa dalam menyelamatkan nyaw

  • Atasan Posesif itu Mantan Suamiku   Bab 89. Kabut gelap

    Jantung George seakan berhenti berdetak. Darahnya berdesir, tubuhnya menegang. Wajah itu. Wajah yang baru saja ia lihat kemarin. Seakan dunia berputar lebih lambat, suaranya mendengung di telinganya. Mata Aurora dalam foto itu seolah menatapnya langsung, penuh kehidupan, penuh harapan. Tidak mungkin. Tangan George mencengkeram lengan kursi, dadanya naik turun dalam kepanikan yang merayap perlahan. "George, kenapa?" suara Martha terdengar khawatir, melihat perubahan drastis di wajah suaminya. Tapi George tak bisa menjawab. Bibirnya terbuka, tetapi tak ada suara yang keluar. Ia hanya bisa menatap layar. "Tidak mungkin," gumam Martha, tubuhnya menegang, matanya tak lepas dari layar televisi. George merasakan napasnya tercekat. Tangannya meraih tangan istrinya, meremasnya erat seakan itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap berpijak di bumi. "Itu wanita itu!" seru Martha, suaranya dipenuhi ketidakpercayaan. Mereka terus menyaksikan berita itu, meski rasanya dada mereka s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status