Radit tengah mengantar Arsa keliling rumah sakit, katanya untuk mencari udara segar karena suntuk di ruangan.
Saat tengah berjalan di koridor rumah sakit, tiba-tiba langkah Arsa terhenti melihat dua orang sedang menuju ke arahnya dari ujung koridor. Radit memincingkan pandangan matanya menatap dua orang dengan setelan pakaian yang rapi.
Pandangan mata Radit menatap Arsa dan dua orang itu secara bergantian. Ia menatap lamat dua orang yang mendekati mereka, seperti ia mengenal siapa orang itu.
Dua pria yang berada di ujung lorong tadi sudah ada tepat di depan mereka. Tepat di depan Arsa, seorang pria paruh baya dengan setelan jas serta dasi yang terpasang rapi tengah menatap Arsa dengan serius. "Kita perlu bicara," celetuknya.
Radit menatap ke arah Arsa, seolah meminta penjelasan dari temannya. Arsa mengangguk setuju dengan perkataan pria tersebut dan menatap ke Radit seolah memberi isyarat untuk meninggalkannya.
"Tapi kondisi lo kayak gi
Selepas menjenguk Arsa ke rumah sakit. Athanasia dan Brian pergi ke pemakaman umum tempat peristirahatan terakhir seorang yang dipanggil mama olehnya. Tak lupa sebelum berkunjung Athanasia membeli satu buket bunga Krisan berwarna putih, kata papa ini bunga kesukaan mama.Sampainya di pemakaman umum, mereka berdua kompak turun bersama. Brian memandu jalan untuk Athanasia, sang putri. Perlu waktu beberapa menit untuk sampai di tempat mama tinggal.Makam berwarna hitam dengan corak putih membuatnya terkesan indah. Mereka berdua berjongkok guna menyapa sang kekasih dambaan hati.Athanasia menaruh bunga krisan tepat di gundukan yang telah ditumbuhi rumput. Dengan senyuman merekah dari mereka yang ditampilkan hanya untuk mama. Begitu juga Brian yang menampilkan senyumnya hanya untuk Siska perempuan yang dicintainya dari tiga puluh tahun yang lalu sampai sekarang.Senyum mereka tak pernah pudar menatap makam di depannya. Tangan Athanasia tergerak mengusap pelan
Satria memasuki apartemennya dan ternyata sepi tak ada siapapun di sana. Ia juga sudah menelepon teman-temannya, tapi tak ada satupun respon dari mereka. Akhirnya ia masuk dan duduk di sofa sembari mengirimkan pesan ke grup obrolan mereka.————SUKSES DULU, SOBSatria : Gue lagi di apartemen, kok sepi?Satria : Nih grup juga sepi amat, kayak ga ada penghuninya.Satria : Woi, pada di alam barzah semua ya?Satria : Sinting, gue ngetik sendiri.Satria : Respon kek j4nc0k.Radit : Ada apa sih kawan, bawa santai aja brodi.Satria : Apartemen kosong gini, kalian pada ke mana?Radit : Di rumah lah.Satria : Bohong, gue ke rumah lo tadi.Radit : Barusan pulangSatria : Gibran sama Arsa mana, liburan ya.Gibran : Asal aja.
Arsa dan Gibran terdiam melihat Satria yang berada di luar ruangan. Di belakangnya ada Radit yang terdiam tanpa melihat ke arah mereka. Mata Satria sudah memerah karena menahan air mata.Satria terdiam menatap kondisi temannya yang sedang terbaring lemah di ranjang pasien. Arsa mengangkat tubuhnya untuk bangkit dari posisinya. Satria mencoba untuk menahan air matanya yang membendung di pelupuk mata, tanpa sadar bulir air mata mulai mengalir tanpa permisi.Laki-laki berkulit tan itu masih terdiam di tempatnya, air mata terus mengalir tanpa henti. Satria menutup matanya menggunakan telapak tangannya untuk menutupi tangisnya.Arsa tertunduk melihat teman-teman yang menyembunyikan rasa sedih mereka di depannya. Gibran yang membalikkan tubuhnya ke arah dinding, Radit yang enggan masuk ke dalam ruangan, dan begitu pula Satria.Jujur, mereka lah satu-satunya keluarga yang Arsa miliki, orang-orang yang masih setia dengannya sampai detik ini. Mereka me
Tama membuka pintu utama rumahnya dengan keras, napasnya memburu tak karuan. Seluruh pekerja di rumahnya tak berani menghampiri tuannya tersebut. Tak ada yang tahu dengan siapa pria paruh baya itu marah, tak ada sebab pulang tiba-tiba membanting pintu. Ia mendudukkan bokongnya di sofa ruang tamu, dengan kasar ia menarik dasinya dan membuang ke sembarang arah. "Bi Minah!" teriaknya membuat seluruh pekerja mengindik ketakutan. Bi Minah yang dipanggil dengan cepat menghampiri sang tuan yang sedang duduk sembari meneguk segelas air mineral, "Mana Arka?" tanyanya. "Den Arka tadi keluar dengan nyonya, Tuan," jawabnya. Tama mendecak kecil mendengarnya. "Bagaimana dengan Arsa, sudah pulang?" t
Diana melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan yang gelap, tangannya mencari saklar lampu di sana dan menekannya. Terakhir saat memasuki kamar ini ia dimarahi oleh sang pemilik kamar, putranya sendiri. Walaupun sudah hampir tiga minggu kamar ini tak berpenghuni, semua barangnya masih terawat. Diana yang membersihkannya, walaupun ia kerap kali dapat kecaman dari sang pemilik. Langkah kakinya beralih ke botol alkohol yang terpampang jelas di atas rak buku, banyak jenis berjejeran di sana. Ia beralih ke meja belajar Arsa dan membuka satu persatu laci. Saat ia membuka salah satu laci, ia mendapatkan sebuah buku diary berwarna merah muda. Ia berpikir tak mungkin Arsa yang memilikinya, ia membuka dengan perlahan lilitan tali berwarna merah muda yang menutupi buku tersebut. Ia membuka buku itu dan terlihat jelas tulisan nama Athanasia Joyie Widyatama di halaman depan. Diana tersenyum, ternyata putranya mempunyai pacar. Halaman demi ha
Sesampainya di rumah sakit, Satria membopong tubuh besar Arsa dan membawanya ke ruang unit gawat darurat, merebahkan tubuh Arsa di salah satu ranjang kosong yang berada di sana. Dokter Daniel dengan terburu-buru langsung mendorong tubuh Satria dan dengan cepat memeriksa kondisi tubuh Arsa. Athanasia dan Radit masih histeris menatap tubuh Arsa dari kejauhan. Air mata Athanasia tak bisa berhenti, gadis itu tetap terisak melihat kekasihnya terbaring lemah di atas ranjang pasien. Bukan seperti ini yang Athanasia inginkan Tuhan. Gadis cantik itu tak berhenti berdoa demi kesadaran sang kekasih. Ia memilih duduk di luar UGD, mulutnya tak berhenti mengucapkan kalimat doa. Ia masih percaya kalau kekasihnya orang yang paling kuat yang ia kenal. Ia masih merasakan betap dingin tubuh Arsa saat ia pegang.
Tama mengetuk ruang belajar Arka, tak ada balasan dari dalam. Akhirnya ia membukakan pintu dan tak ada putranya di dalam. Tama pun beralih melangkahkan kakinya menuju ke kamar Arka yang berada di lantai dua.Tanpa ketukan darinya, ia pun langsung membukakan pintu kamar Arka dengan keras. Ternyata orang yang ia cari tak ada di dalam kamarnya. Ia pun langsung turun ke bawah dan beralih ke kamarnya dan melihat Diana sedang duduk di kursi meja riasnya sembari memakaikan lotion ke tangannya."Mana anak kamu Arka?" tanyanya ke Diana.Wanita berkepala lima tersebut, ia tetap melumuri seluruh tangannya dengan lotion tanpa menoleh sedikitpun ke arah Tama. "Ke kampus," jawabnya singkat."Ke kampus malam-malam begini. Mau ngapain dia?!" ketus Tama.Diana bangkit dari kursinya dan menatap sinis ke arah Tama yang berada di pintu, "Katanya mengambil sesuatu yang ketinggalan, aku gatau," sahutnya.Tama menghembuskan napasnya dengan kasar, "Pasti anak
Para preman masuk dengan brutal ke dalam rumah Brian. Dengan bermodalkan balok kayu yang dipegang masing-masing, mereka siap menghajar orang yang berusaha menghentikan tindakan mereka.Mereka sudah sampai di halaman depan teras rumah Brian. Salah satu preman tersebut, yang sepertinya adalah ketua dari geng ini pun, melangkahkan kakinya maju ke teras rumah seraya memanggil nama sang pemilik rumah."Brian! Ke luar lo!" pekiknya sampai tiga kali yang membuat pengawal pribadi Brian alias Johnny maju serentak menghadapinya.Preman itu menyunggingkan senyumnya, "Mana tuan lo?" tanyanya dengan ketus.Johnny hanya diam sembari menatap dengan datar ke arah ketua preman tersebut. "Apa urusan kalian datang ke tempat ini? Membuat onar saja," celetuknya.Preman itu tertawa lepas menatap Johnny, "Membuat onar katanya," ucapnya membuat anak buahnya ikut tertawa."Bukannya akar permasalahannya dari kalian yang membuatnya. Kalian duluan yang membuat tuan kam