Home / Fantasi / Atlantis: Para Keturunan Terakhir / 1. Adrea Electa: The Confined Beauty

Share

Atlantis: Para Keturunan Terakhir
Atlantis: Para Keturunan Terakhir
Author: Eshalliee

1. Adrea Electa: The Confined Beauty

Author: Eshalliee
last update Last Updated: 2022-06-02 00:21:38

Nafasnya terengah. Bibirnya bahkan tidak bisa saling bertemu karena dia memaksakan oksigen masuk melalui mulut. Ah, tidak, bibir merahnya mengering, membuatnya sedikit pucat. Jadi seperti itu wajah ketakutannya?

Namun, wajah cantik itu benar-benar membutakan semua orang yang melihat. Keringat yang membasahi sebagian wajah itu membuatnya semakin indah. Seperti sebuah pahatan dari seniman terbaik. Menggoda siapapun untuk melihatnya lebih dekat. Memperhatikan setiap lekuk dari kecantikannya. Seperti sebuah aroma manis yang menggoda lebah berbahaya. Apakah pahatan itu akan hancur jika seseorang menyentuhnya?

"A-aku mo ... hon," pintanya dengan suara tercekat.

Lihat bagaimana air matanya mulai menggenang. Mata bulat dan biru itu menjadi seperti kristal paling mahal. Wajahnya memerah karena takut, tapi kenapa dia malah jadi semakin cantik?

"Kenapa kau duduk di sudut seperti itu?" tanya pria dengan mata hitam yang paling dalam, lebih dalam dari sebuah lautan. Dia tersenyum? Tidak, dia menyeringai. Gigi-giginya yang tersusun rapi malah terlihat menyeramkan meskipun tidak memiliki taring. Dengan jubah dan wajah tampannya, Evander berdiri menatap ke bawah sana.

"T-tol-ong l-epaskan ...," pinta wanita cantik itu sekali lagi. Dia menggenggam erat selimut yang membungkus tubuh polosnya. Hanya benda itu yang bisa dia jadikan pelindung.

"Ayolah, sayang, jangan menutupi tubuhmu yang cantik itu," bujuk Evander.

"Tidak ...." Adrea menggeleng dengan kencang saat tangan Evander terulur ke arahnya. Bahu besar itu bahkan berhasil menghalangi cahaya lampu yang masuk ke retina Adrea. Untuk ke sekian kalinya, Adrea menolak.

"Jangan sentuh aku," ucap Adrea sambil berusaha untuk kembali kabur.

"Tidak semudah itu, sayang."

Evander menarik selimut Adrea dengan kencang hingga tubuh itu terjerembab ke lantai. Adrea jatuh dengan posisi berbaring dan selimut yang terlepas dari tangannya. Memperlihatkan seluruh lekuk tubuhnya tanpa sehelai benang. Sekali lagi Evander mengatakan hal menjijikan itu.

"Sangat menggoda."

Evander menekuk lututnya dan menahan kedua tangan Adrea di lantai, tepat di atas kepala wanita itu, hanya dengan satu tangan besarnya. Dengan susah payah Adrea berusaha bangun, mencoba melepaskan diri dari monster yang menyeramkan di atasnya itu. Namun, nihil.

Satu tangan Evander yang bebas mengusap wajah cantik itu. Pipi yang terlihat berkilau, sangat indah. Bulu mata yang lentik dan panjang. Hidung yang terbentuk sempurna. Lalu bibir yang selalu terlihat indah.

"Ah, bagaimana ini? Kau menangis," ujar Evander.

"T-tolong ...." Adrea berusaha untuk bicara sekencang mungkin, tapi suaranya tercekat. Tenggorokannya sangat sakit hingga rasanya panas. Sialnya suara itu malah membuat Evander semakin bersemangat.

"Teruslah menangis, sayang. Kau semakin terlihat cantik karena itu."

Evander mengusap ujung bibir Adrea yang bergetar. Benda berwarna merah ranum itu terus memancingnya untuk mendekat. Sama sekali tidak bisa Adrea hindari saat Evander mengecup bibirnya. Jangan salahkan Evander, tapi salahkan Adrea, si pemilik benda kenyal itu.

Evander mengubah kecupannya menjadi sebuah kuluman. Semakin panas karena pria itu semakin mendesakkan lidahnya ke dalam mulut Adrea. Dia benar-benar menikmati permainannya.

"Sangat manis." Evander meracau dengan kalimat-kalimat kotornya, membuat Adrea semakin merasa bersalah, entah kepada siapa. Wanita itu merasa takut tapi sama sekali tidak bisa melakukan apa pun. Untuk ke sekian kalinya Adrea mengalami hal ini.

Sejak kecil hidupnya tidak pernah tenang. Terlahir di keluarga miskin yang menyedihkan. Selalu terlilit hutang dan kemudian dijual sebagai budak kepada rajanya sendiri. Sepertinya kesialan selalu menyukai Adrea.

"T-tolong lepaskan aku ...," pinta Adrea sebelum Evander kembali menggerayanginya. Dia menangis tersedu-sedu ingin dilepaskan. Dia bahkan rela mencium kaki Evander seandainya itu bisa menggantikan apa yang pria itu mau.

"Berhentilah menangis dan layani aku," balas Evander sambil menghirup aroma tubuh Adrea yang muncul di daerah leher. Dia mengecupnya singkat bahkan menghisapnya pelan. Itu adalah salah satu tempat yang Evander suka.

"Jangan sakiti aku," pinta Adrea tanpa menyadari dia sudah membuat Evander geram. Apalagi kaki wanita itu yang naik dan membatasi dirinya dengan tubuh Evander.

Evander melepaskan tangan Adrea dan berdiri dengan angkuh. Seringai yang sejak tadi Adrea lihat kini sudah tidak ada, berganti dengan wajah menakutkan yang terlihat dingin. Buru-buru Adrea meninggalkan posisi berbaringnya dan kembali membungkus tubuh.

Dia takut.

Sangat takut.

Dia mengerti ekspresi itu. Mata yang menyorot tajam seperti pedang dan garis wajah tegas yang memperlihatkan kemurkaannya. Adrea harus berlari secepat mungkin.

"Berlarilah secepat yang kau bisa," titah Evander dengan suara rendah.

Tanpa banyak menunggu lagi, Adrea berlari menuju pintu. Berharap dia bisa meraihnya dan keluar dari neraka ini. Kali ini dia pasti bisa. Untuk ke sekian kalinya dia berpikir bahwa dia bisa. Namun, nyatanya tidak.

"Kau lambat."

Evander tiba-tiba saja muncul di hadapan Adrea dalam hitungan detik. Tangannya dengan mudah meraih leher wanita itu dan membawanya ke belakang. Menghantamkan tubuh kecil itu ke lantai yang dingin, tanpa peduli dengan si pemilik tubuh yang merintih kesakitan.

Hanya dalam hitungan detik, tapi tubuh Adrea sudah berhasil dibuat mati rasa. Tempurung kepalanya terasa sakit karena menghantam lantai. Punggungnya seperti remuk karena tenaga besar itu.

"Sekali lagi kau membuatku menggunakan kekerasan," ujar Evander seolah kecewa kepada Adrea. Padahal bukan keinginannya untuk berada di sini dan menjadi budak pemuas nafsu dari seorang raja kejam. Dia juga tidak ingin menerima kekerasan, hanya Evander yang melakukannya tanpa memikirkan Adrea.

Evander langsung pergi dengan teleportasinya entah kemana. Selalu seperti itu. Jika dirinya sudah yakin Adrea tidak bisa memberontak lagi, maka dia akan pergi. Tanpa rasa penyesalan ataupun permintaan maaf.

Ya, lagipula dia raja. Dia penguasa negerinya. Dia memiliki kekuasaan. Dibandingkan dengan Adrea yang hanya gadis miskin, tentu saja Evander memiliki peluang jauh lebih banyak untuk menang.

Adrea menangis. Namun, juga tertawa di waktu bersamaan. Dia menutupi wajahnya yang entah sudah seperti apa kacaunya.

Apa dia sudah gila? Sepertinya iya.

"Hahahaha! Kau bodoh sekali Adrea! Kau ingin lari dari seseorang yang memiliki kemampuan untuk berpindah tempat dalam hitungan detik?"

Adrea mempertanyakan kewarasan otaknya. Setelah sekian lama dia melakukan itu dengan harapan bahwa dia akan berhasil, baru kini dirinya menyadari bahwa itu mustahil? Sepertinya otak Adrea baru saja berfungsi kembali setelah terbentur tadi. Apa dia perlu berterima kasih kepada Evander? Lalu bagaimana caranya berterima kasih?

"Hahahaha, kau menyedihkan sekali Adrea!"

Dia menangis dengan kencang. Untuk pertama kalinya dia tidak menutup mulut agar tangisnya tidak terdengar. Kali ini dia seolah ingin menunjukkan kepada setiap orang bahwa dirinya terluka.

*****

"When you begin to realize that your victory is impossible, what will you do?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   30. Destined Meeting

    Adrea menatap wajahnya di cermin. Bayangan cantik yang sangat dibencinya itu benar-benar membuat Adrea muak. Seakan terus mengingatkan Adrea tentang seberapa kotor dirinya. Dulu, Adrea bahkan tidak ingin bercermin sedetik pun. Namun, kini dia merasa lelah. Rasanya masih menyakitkan, masih membuat hatinya marah, tapi Adrea sudah tidak memiliki kemampuan untuk mengungkapkannya dan hal ini adalah yang paling menyedihkan. Setelah berhari-hari bahkan berminggu-minggu Adrea memohon, tidak ada siapa pun yang datang untuk menolongnya. Sampai semalam pun Adrea masih memohon dan berdoa untuk kehadiran mereka, dia masih percaya. Meski begitu, kini dia merasa segalanya mustahil. Bantuan itu tidak akan pernah datang. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Tiba-tiba saja sepasang tangan melingkar di pinggang Adrea. Raja itu datang begitu saja dengan kekuatannya. Adrea sudah terbiasa, dia bahkan tidak terkejut lagi. Adrea hanya membiarkan pria itu memeluknya dari belakang dan menghirup aroma tubuh yang

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   29. Drama and Screenplay

    Tepat di malam itu, berita-berita tentang gempa yang terjadi di kota mereka mulai muncul satu per satu. Informasi menyebar dengan sangat cepat. Seluruh proyektor yang ada di negeri itu menampilkan sinar biru yang membentuk berita tiga dimensi. Mereka bisa melihat dengan jelas depan belakang si pembawa acara dan kondisi tempat-tempat yang diliput para reporter. Di antara banyaknya tempat yang terdampak, ada satu tempat yang hancur total. Semuanya runtuh dan merata dengan tanah. Bahkan setelah itu terjadi masalah listrik yang mengakibatkan kobaran api muncul dan membesar di sana. Dua kecelakaan itu terjadi dengan mendadak hingga tidak ada yang mewaspadainya. Tidak ada peringatan dari organisasi yang menangani masalah bencana alam. Bahkan alat pendeteksi api rusak sebelum sempat mengeluarkan sirinenya. Riany, ibu Eve menangis tersedu-sedu setelah menyadari anaknya itu sedang berada di sana saat kejadian. Petugas yang menangani masalah ini mengatakan bahwa dia mungkin tertimbun dan ter

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   28. Time

    Gaia menatap tubuh yang sudah tidak bernyawa di hadapannya. Tidak seperti yang dia bayangkan, ternyata Eve sangat lemah. Padahal Gaia baru bersenang-senang selama beberapa jam. Sayang sekali. Tubuh Eve terlihat kacau. Rambutnya yang terpotong tak karuan, sekujur tubuhnya yang dikuliti, dan wajah yang penuh darah. Beruntung tidak ada satu bagian tubuhnya yang terpisah, kecuali satu. Gaia melihat kembali sebuah bola mata yang dia simpan di dalam wadah berbentuk tabung. Hanya mata berwarna hazel itu yang bisa menjadi kenangan untuk Gaia. Bagaimana pun Gaia harus mengingat Eve yang sudah menemaninya bermain. "Aku tidak tertarik pada bangkai," ucap Gaia. Gadis itu berdiri dan menatap rendah mayat tak berdaya Eve. Rambut pendeknya terlihat sempurna untuk gadis itu, tapi Eve harus merelakan Gaia karena dia harus berhenti di sini. Eve sudah tidak menarik di matanya. "Aku akan meratakan tempat ini dengan tanah, sebaiknya kau sedikit menjauh jika tidak ingin terkubur." Gaia membalikkan tubu

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   27. Hunter

    Semuanya menjadi hening saat Eve tidak melontarkan kalimat dinginnya lagi. Mereka bahkan bisa mendengar suara angin berdesir. Malam yang sepi itu semakin terasa dingin. Padahal tidak ada tragedi yang terjadi di sana. Setidaknya belum terjadi. "Baiklah, maafkan aku, aku akan mengajarimu setelah aku menemukan ibuku," ucap Eve akhirnya. Gaia mengulum bibir bawahnya beberapa kali. Dia sedang menimbang-nimbang, apakah harus memaafkan Eve atau tidak. Selang beberapa menit, akhirnya, gadis itu menganggukkan kepala. "Baiklah, aku maafkan," ucapnya. Eve menjawab dengan anggukan lalu langsung berbalik badan, berniat mencari ibunya lagi. Namun, ketika dia ingin melangkah, kakinya tertahan oleh sesuatu. Tanpa Eve sadari kakinya tertanam di dalam tanah. Dia menatap sekitar lantai yang tadinya dilapisi keramik kini berubah menjadi tanah sepenuhnya. Tanah itu terlihat seperti pasir yang ada di pantai, tapi saat Eve mencoba bergerak, pasir-pasir itu mengeras seperti tanah liat. "Kau berniat untu

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   26. Knitted

    Mereka menikmati makanannya dengan lahap. Tidak ada yang bisa membuat mereka berhenti makan di rumah yang juga merupakan sebuah kedai ini. Para gelandangan itu terkesan sudah menahan lapar selama tiga hari. "Aku pula-" Seorang gadis datang dan mengalihkan perhatian mereka semua. Ke tujuh orang tersebut saling pandang dengan gadis berwajah manis itu. Gadis itu menggunakan nada yang ceria tadi, tapi dia mulai menatap dengan pandangan tidak suka setelah menyadari kehadiran tujuh orang yang asing di tempatnya. "Eve? Kau sudah pulang?" sahut si ibu yang baru saja keluar dari dapur. "Ibu? Siapa mereka semua?" tanya gadis yang dipanggil Eve tersebut dengan nada ketus.Ibunya hanya bisa tersenyum tidak enak kepada para gelandangan yang dia bawa lalu mengajak paksa anaknya ke tempat lain di rumah. Setelah mereka menghilang, Gaia memutuskan untuk kembali makan diikuti yang lain. Sementara itu, di dalam dapur, sepasang ibu dan anak sedang berdebat mengenai hal yang sudah pernah mereka bicara

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   25. Hidden City

    "Berapa lama lagi kita akan berjalan?" tanya Gaia. Untuk ke sekian kalinya Gaia melihat ke atas langit hanya untuk memastikan apa awan sudah berbaik hati menutupi matahari. Namun, nyatanya matahari itu masih bersinar dengan sombong. Dia bahkan tidak mau mengalah dan menurunkan panasnya sedikit. Hampir seharian mereka terluntang-lantung di tempat aneh ini tanpa makan dan minum. Mereka bahkan tidak memiliki tujuan, hanya berjalan tanpa arah. Keringat pun sudah mengalir di sekujur tubuh mereka. Padahal mereka sudah meninggalkan kawasan laut cukup jauh dan ini pun bukan padang pasir. Hanya lapangan hijau dan dikelilingi pohon-pohon besar. Mereka memutuskan untuk mengambil jalan tengah sejak tadi karena takut berurusan dengan hewan buas jika melewati pohon-pohon besar itu. Akan lebih parah jika mereka tersesat tanpa persiapan apa pun. "Aku lapar," keluh Gaia lagi. Matanya sudah mulai berkabut. Meski begitu, dia masih berusaha mengendalikan dirinya sekuat mungkin agar tetap sadar. "Aku–

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status