Share

Atlantis: Para Keturunan Terakhir
Atlantis: Para Keturunan Terakhir
Penulis: Eshalliee

1. Adrea Electa: The Confined Beauty

Nafasnya terengah. Bibirnya bahkan tidak bisa saling bertemu karena dia memaksakan oksigen masuk melalui mulut. Ah, tidak, bibir merahnya mengering, membuatnya sedikit pucat. Jadi seperti itu wajah ketakutannya?

Namun, wajah cantik itu benar-benar membutakan semua orang yang melihat. Keringat yang membasahi sebagian wajah itu membuatnya semakin indah. Seperti sebuah pahatan dari seniman terbaik. Menggoda siapapun untuk melihatnya lebih dekat. Memperhatikan setiap lekuk dari kecantikannya. Seperti sebuah aroma manis yang menggoda lebah berbahaya. Apakah pahatan itu akan hancur jika seseorang menyentuhnya?

"A-aku mo ... hon," pintanya dengan suara tercekat.

Lihat bagaimana air matanya mulai menggenang. Mata bulat dan biru itu menjadi seperti kristal paling mahal. Wajahnya memerah karena takut, tapi kenapa dia malah jadi semakin cantik?

"Kenapa kau duduk di sudut seperti itu?" tanya pria dengan mata hitam yang paling dalam, lebih dalam dari sebuah lautan. Dia tersenyum? Tidak, dia menyeringai. Gigi-giginya yang tersusun rapi malah terlihat menyeramkan meskipun tidak memiliki taring. Dengan jubah dan wajah tampannya, Evander berdiri menatap ke bawah sana.

"T-tol-ong l-epaskan ...," pinta wanita cantik itu sekali lagi. Dia menggenggam erat selimut yang membungkus tubuh polosnya. Hanya benda itu yang bisa dia jadikan pelindung.

"Ayolah, sayang, jangan menutupi tubuhmu yang cantik itu," bujuk Evander.

"Tidak ...." Adrea menggeleng dengan kencang saat tangan Evander terulur ke arahnya. Bahu besar itu bahkan berhasil menghalangi cahaya lampu yang masuk ke retina Adrea. Untuk ke sekian kalinya, Adrea menolak.

"Jangan sentuh aku," ucap Adrea sambil berusaha untuk kembali kabur.

"Tidak semudah itu, sayang."

Evander menarik selimut Adrea dengan kencang hingga tubuh itu terjerembab ke lantai. Adrea jatuh dengan posisi berbaring dan selimut yang terlepas dari tangannya. Memperlihatkan seluruh lekuk tubuhnya tanpa sehelai benang. Sekali lagi Evander mengatakan hal menjijikan itu.

"Sangat menggoda."

Evander menekuk lututnya dan menahan kedua tangan Adrea di lantai, tepat di atas kepala wanita itu, hanya dengan satu tangan besarnya. Dengan susah payah Adrea berusaha bangun, mencoba melepaskan diri dari monster yang menyeramkan di atasnya itu. Namun, nihil.

Satu tangan Evander yang bebas mengusap wajah cantik itu. Pipi yang terlihat berkilau, sangat indah. Bulu mata yang lentik dan panjang. Hidung yang terbentuk sempurna. Lalu bibir yang selalu terlihat indah.

"Ah, bagaimana ini? Kau menangis," ujar Evander.

"T-tolong ...." Adrea berusaha untuk bicara sekencang mungkin, tapi suaranya tercekat. Tenggorokannya sangat sakit hingga rasanya panas. Sialnya suara itu malah membuat Evander semakin bersemangat.

"Teruslah menangis, sayang. Kau semakin terlihat cantik karena itu."

Evander mengusap ujung bibir Adrea yang bergetar. Benda berwarna merah ranum itu terus memancingnya untuk mendekat. Sama sekali tidak bisa Adrea hindari saat Evander mengecup bibirnya. Jangan salahkan Evander, tapi salahkan Adrea, si pemilik benda kenyal itu.

Evander mengubah kecupannya menjadi sebuah kuluman. Semakin panas karena pria itu semakin mendesakkan lidahnya ke dalam mulut Adrea. Dia benar-benar menikmati permainannya.

"Sangat manis." Evander meracau dengan kalimat-kalimat kotornya, membuat Adrea semakin merasa bersalah, entah kepada siapa. Wanita itu merasa takut tapi sama sekali tidak bisa melakukan apa pun. Untuk ke sekian kalinya Adrea mengalami hal ini.

Sejak kecil hidupnya tidak pernah tenang. Terlahir di keluarga miskin yang menyedihkan. Selalu terlilit hutang dan kemudian dijual sebagai budak kepada rajanya sendiri. Sepertinya kesialan selalu menyukai Adrea.

"T-tolong lepaskan aku ...," pinta Adrea sebelum Evander kembali menggerayanginya. Dia menangis tersedu-sedu ingin dilepaskan. Dia bahkan rela mencium kaki Evander seandainya itu bisa menggantikan apa yang pria itu mau.

"Berhentilah menangis dan layani aku," balas Evander sambil menghirup aroma tubuh Adrea yang muncul di daerah leher. Dia mengecupnya singkat bahkan menghisapnya pelan. Itu adalah salah satu tempat yang Evander suka.

"Jangan sakiti aku," pinta Adrea tanpa menyadari dia sudah membuat Evander geram. Apalagi kaki wanita itu yang naik dan membatasi dirinya dengan tubuh Evander.

Evander melepaskan tangan Adrea dan berdiri dengan angkuh. Seringai yang sejak tadi Adrea lihat kini sudah tidak ada, berganti dengan wajah menakutkan yang terlihat dingin. Buru-buru Adrea meninggalkan posisi berbaringnya dan kembali membungkus tubuh.

Dia takut.

Sangat takut.

Dia mengerti ekspresi itu. Mata yang menyorot tajam seperti pedang dan garis wajah tegas yang memperlihatkan kemurkaannya. Adrea harus berlari secepat mungkin.

"Berlarilah secepat yang kau bisa," titah Evander dengan suara rendah.

Tanpa banyak menunggu lagi, Adrea berlari menuju pintu. Berharap dia bisa meraihnya dan keluar dari neraka ini. Kali ini dia pasti bisa. Untuk ke sekian kalinya dia berpikir bahwa dia bisa. Namun, nyatanya tidak.

"Kau lambat."

Evander tiba-tiba saja muncul di hadapan Adrea dalam hitungan detik. Tangannya dengan mudah meraih leher wanita itu dan membawanya ke belakang. Menghantamkan tubuh kecil itu ke lantai yang dingin, tanpa peduli dengan si pemilik tubuh yang merintih kesakitan.

Hanya dalam hitungan detik, tapi tubuh Adrea sudah berhasil dibuat mati rasa. Tempurung kepalanya terasa sakit karena menghantam lantai. Punggungnya seperti remuk karena tenaga besar itu.

"Sekali lagi kau membuatku menggunakan kekerasan," ujar Evander seolah kecewa kepada Adrea. Padahal bukan keinginannya untuk berada di sini dan menjadi budak pemuas nafsu dari seorang raja kejam. Dia juga tidak ingin menerima kekerasan, hanya Evander yang melakukannya tanpa memikirkan Adrea.

Evander langsung pergi dengan teleportasinya entah kemana. Selalu seperti itu. Jika dirinya sudah yakin Adrea tidak bisa memberontak lagi, maka dia akan pergi. Tanpa rasa penyesalan ataupun permintaan maaf.

Ya, lagipula dia raja. Dia penguasa negerinya. Dia memiliki kekuasaan. Dibandingkan dengan Adrea yang hanya gadis miskin, tentu saja Evander memiliki peluang jauh lebih banyak untuk menang.

Adrea menangis. Namun, juga tertawa di waktu bersamaan. Dia menutupi wajahnya yang entah sudah seperti apa kacaunya.

Apa dia sudah gila? Sepertinya iya.

"Hahahaha! Kau bodoh sekali Adrea! Kau ingin lari dari seseorang yang memiliki kemampuan untuk berpindah tempat dalam hitungan detik?"

Adrea mempertanyakan kewarasan otaknya. Setelah sekian lama dia melakukan itu dengan harapan bahwa dia akan berhasil, baru kini dirinya menyadari bahwa itu mustahil? Sepertinya otak Adrea baru saja berfungsi kembali setelah terbentur tadi. Apa dia perlu berterima kasih kepada Evander? Lalu bagaimana caranya berterima kasih?

"Hahahaha, kau menyedihkan sekali Adrea!"

Dia menangis dengan kencang. Untuk pertama kalinya dia tidak menutup mulut agar tangisnya tidak terdengar. Kali ini dia seolah ingin menunjukkan kepada setiap orang bahwa dirinya terluka.

*****

"When you begin to realize that your victory is impossible, what will you do?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status