Nafasnya terengah. Bibirnya bahkan tidak bisa saling bertemu karena dia memaksakan oksigen masuk melalui mulut. Ah, tidak, bibir merahnya mengering, membuatnya sedikit pucat. Jadi seperti itu wajah ketakutannya?
Namun, wajah cantik itu benar-benar membutakan semua orang yang melihat. Keringat yang membasahi sebagian wajah itu membuatnya semakin indah. Seperti sebuah pahatan dari seniman terbaik. Menggoda siapapun untuk melihatnya lebih dekat. Memperhatikan setiap lekuk dari kecantikannya. Seperti sebuah aroma manis yang menggoda lebah berbahaya. Apakah pahatan itu akan hancur jika seseorang menyentuhnya?"A-aku mo ... hon," pintanya dengan suara tercekat.Lihat bagaimana air matanya mulai menggenang. Mata bulat dan biru itu menjadi seperti kristal paling mahal. Wajahnya memerah karena takut, tapi kenapa dia malah jadi semakin cantik?"Kenapa kau duduk di sudut seperti itu?" tanya pria dengan mata hitam yang paling dalam, lebih dalam dari sebuah lautan. Dia tersenyum? Tidak, dia menyeringai. Gigi-giginya yang tersusun rapi malah terlihat menyeramkan meskipun tidak memiliki taring. Dengan jubah dan wajah tampannya, Evander berdiri menatap ke bawah sana."T-tol-ong l-epaskan ...," pinta wanita cantik itu sekali lagi. Dia menggenggam erat selimut yang membungkus tubuh polosnya. Hanya benda itu yang bisa dia jadikan pelindung."Ayolah, sayang, jangan menutupi tubuhmu yang cantik itu," bujuk Evander."Tidak ...." Adrea menggeleng dengan kencang saat tangan Evander terulur ke arahnya. Bahu besar itu bahkan berhasil menghalangi cahaya lampu yang masuk ke retina Adrea. Untuk ke sekian kalinya, Adrea menolak."Jangan sentuh aku," ucap Adrea sambil berusaha untuk kembali kabur."Tidak semudah itu, sayang."Evander menarik selimut Adrea dengan kencang hingga tubuh itu terjerembab ke lantai. Adrea jatuh dengan posisi berbaring dan selimut yang terlepas dari tangannya. Memperlihatkan seluruh lekuk tubuhnya tanpa sehelai benang. Sekali lagi Evander mengatakan hal menjijikan itu."Sangat menggoda."Evander menekuk lututnya dan menahan kedua tangan Adrea di lantai, tepat di atas kepala wanita itu, hanya dengan satu tangan besarnya. Dengan susah payah Adrea berusaha bangun, mencoba melepaskan diri dari monster yang menyeramkan di atasnya itu. Namun, nihil.Satu tangan Evander yang bebas mengusap wajah cantik itu. Pipi yang terlihat berkilau, sangat indah. Bulu mata yang lentik dan panjang. Hidung yang terbentuk sempurna. Lalu bibir yang selalu terlihat indah."Ah, bagaimana ini? Kau menangis," ujar Evander."T-tolong ...." Adrea berusaha untuk bicara sekencang mungkin, tapi suaranya tercekat. Tenggorokannya sangat sakit hingga rasanya panas. Sialnya suara itu malah membuat Evander semakin bersemangat."Teruslah menangis, sayang. Kau semakin terlihat cantik karena itu."Evander mengusap ujung bibir Adrea yang bergetar. Benda berwarna merah ranum itu terus memancingnya untuk mendekat. Sama sekali tidak bisa Adrea hindari saat Evander mengecup bibirnya. Jangan salahkan Evander, tapi salahkan Adrea, si pemilik benda kenyal itu.Evander mengubah kecupannya menjadi sebuah kuluman. Semakin panas karena pria itu semakin mendesakkan lidahnya ke dalam mulut Adrea. Dia benar-benar menikmati permainannya."Sangat manis." Evander meracau dengan kalimat-kalimat kotornya, membuat Adrea semakin merasa bersalah, entah kepada siapa. Wanita itu merasa takut tapi sama sekali tidak bisa melakukan apa pun. Untuk ke sekian kalinya Adrea mengalami hal ini.Sejak kecil hidupnya tidak pernah tenang. Terlahir di keluarga miskin yang menyedihkan. Selalu terlilit hutang dan kemudian dijual sebagai budak kepada rajanya sendiri. Sepertinya kesialan selalu menyukai Adrea."T-tolong lepaskan aku ...," pinta Adrea sebelum Evander kembali menggerayanginya. Dia menangis tersedu-sedu ingin dilepaskan. Dia bahkan rela mencium kaki Evander seandainya itu bisa menggantikan apa yang pria itu mau."Berhentilah menangis dan layani aku," balas Evander sambil menghirup aroma tubuh Adrea yang muncul di daerah leher. Dia mengecupnya singkat bahkan menghisapnya pelan. Itu adalah salah satu tempat yang Evander suka."Jangan sakiti aku," pinta Adrea tanpa menyadari dia sudah membuat Evander geram. Apalagi kaki wanita itu yang naik dan membatasi dirinya dengan tubuh Evander.Evander melepaskan tangan Adrea dan berdiri dengan angkuh. Seringai yang sejak tadi Adrea lihat kini sudah tidak ada, berganti dengan wajah menakutkan yang terlihat dingin. Buru-buru Adrea meninggalkan posisi berbaringnya dan kembali membungkus tubuh.Dia takut.Sangat takut.Dia mengerti ekspresi itu. Mata yang menyorot tajam seperti pedang dan garis wajah tegas yang memperlihatkan kemurkaannya. Adrea harus berlari secepat mungkin."Berlarilah secepat yang kau bisa," titah Evander dengan suara rendah.Tanpa banyak menunggu lagi, Adrea berlari menuju pintu. Berharap dia bisa meraihnya dan keluar dari neraka ini. Kali ini dia pasti bisa. Untuk ke sekian kalinya dia berpikir bahwa dia bisa. Namun, nyatanya tidak."Kau lambat."Evander tiba-tiba saja muncul di hadapan Adrea dalam hitungan detik. Tangannya dengan mudah meraih leher wanita itu dan membawanya ke belakang. Menghantamkan tubuh kecil itu ke lantai yang dingin, tanpa peduli dengan si pemilik tubuh yang merintih kesakitan.Hanya dalam hitungan detik, tapi tubuh Adrea sudah berhasil dibuat mati rasa. Tempurung kepalanya terasa sakit karena menghantam lantai. Punggungnya seperti remuk karena tenaga besar itu."Sekali lagi kau membuatku menggunakan kekerasan," ujar Evander seolah kecewa kepada Adrea. Padahal bukan keinginannya untuk berada di sini dan menjadi budak pemuas nafsu dari seorang raja kejam. Dia juga tidak ingin menerima kekerasan, hanya Evander yang melakukannya tanpa memikirkan Adrea.Evander langsung pergi dengan teleportasinya entah kemana. Selalu seperti itu. Jika dirinya sudah yakin Adrea tidak bisa memberontak lagi, maka dia akan pergi. Tanpa rasa penyesalan ataupun permintaan maaf.Ya, lagipula dia raja. Dia penguasa negerinya. Dia memiliki kekuasaan. Dibandingkan dengan Adrea yang hanya gadis miskin, tentu saja Evander memiliki peluang jauh lebih banyak untuk menang.Adrea menangis. Namun, juga tertawa di waktu bersamaan. Dia menutupi wajahnya yang entah sudah seperti apa kacaunya.Apa dia sudah gila? Sepertinya iya."Hahahaha! Kau bodoh sekali Adrea! Kau ingin lari dari seseorang yang memiliki kemampuan untuk berpindah tempat dalam hitungan detik?"Adrea mempertanyakan kewarasan otaknya. Setelah sekian lama dia melakukan itu dengan harapan bahwa dia akan berhasil, baru kini dirinya menyadari bahwa itu mustahil? Sepertinya otak Adrea baru saja berfungsi kembali setelah terbentur tadi. Apa dia perlu berterima kasih kepada Evander? Lalu bagaimana caranya berterima kasih?"Hahahaha, kau menyedihkan sekali Adrea!"Dia menangis dengan kencang. Untuk pertama kalinya dia tidak menutup mulut agar tangisnya tidak terdengar. Kali ini dia seolah ingin menunjukkan kepada setiap orang bahwa dirinya terluka.*****"When you begin to realize that your victory is impossible, what will you do?"Langit yang indah. "Bagaimana menurutmu?" tanya Adrea entah kepada siapa. Tangannya terulur ke atas langit, melihat banyak bintang bertebaran di sekitar bulan yang bersinar terang. Sudah sejam lebih Adrea hanya duduk di jendela kamarnya. Memperhatikan bulan sambil menunggu umurnya bertambah malam ini. "Sudah ke enam kalinya aku merayakan ulang tahun di penjara ini, aku bisa menebak bahwa besok dia akan datang membawakan seonggok kue dengan lilin-lilin cantik yang menghiasinya ... lalu dia akan mengambil sebuah ciuman, dan kembali memaksaku. Tangan itu akan menggerayangiku lagi," monolognya. Adrea melihat telapak tangannya yang memerah karena kedinginan. Sangat wajar karena saat ini Adrea sedang menggunakan dress pendek tanpa lengan. Kakinya menggelantung di bawah jendela tanpa alas kaki. Angin bisa menyentuhnya dengan sangat mudah. Rambut panjangnya terurai dengan indah. Bahkan seseorang yang melihatnya akan merasa bingung memilih manakah yang lebih cantik, dia atau bulan. "Kenap
"Apa?! Aku tidak mendapatkan itu dari siapapun! Itu milikku! Cepat kembalikan apa yang sudah kau ambil!" kesal Adrea. Dia berusaha menyerang wanita tersebut menggunakan tangannya. Namun, Adrea sama sekali tidak bisa meraihnya. Wanita itu sama sekali tidak bisa disentuh meskipun Adrea sudah yakin mendapatkannya. Dia seperti cahaya yang tidak memiliki bentuk tapi Adrea bisa melihat dengan jelas bagaimana rupanya. Dia seperti fatamorgana yang membingungkan. "Kembalikan milikku!" pinta Adrea lagi. "Maukah kau membuat kesepakatan denganku?" tawar wanita misterius. Adrea sampai berhenti menyerang karena mendengar itu. "Kesepakatan?" "Akan aku pinjamkan lagi anugerah itu untukmu, tapi kau harus memakainya untuk kebaikan. Jika kau tidak menuruti kesepakatan ini, maka akan aku ambil kembali anugerahmu dan menggantinya dengan karma ... dengan kata lain, ini adalah kesempatanmu untuk memperbaiki," jelasnya. "Karma? Hahah apa itu? Kau bercanda?" ejek Adrea. "Kuberi satu kesempatan lagi untu
Vancouver, British Columbia.***Rintik hujan membasahi sebagian besar kota Vancouver sejak beberapa jam yang lalu. Langit seolah enggan memberikan malam yang indah kepada setiap makhluk yang bernaung di bawahnya. Di tengah itu, Bella, gadis yang sebentar lagi berusia dua puluh satu tahun, berjalan melewati genangan air. Mantel hitamnya membungkus tubuh itu dengan sempurna, membantunya untuk mengurangi hawa dingin yang masuk. Bella menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul sebelas malam lebih sembilan menit. Seharusnya Bella sudah di rumah sejak dua jam yang lalu. Namun, hujan membuatnya bekerja lebih lama dengan dalih 'menunggu reda'. Ya, begitulah bosnya bicara. Dia seolah peduli padahal hanya memanfaatkan situasi. Dan buruknya, Bella tidak bisa menolak itu.Bella mengeratkan mantelnya karena angin tiba-tiba berhembus kencang. Dia berhenti melangkahkan kaki dan melihat sekitar. Jalanan masih ramai, tapi entah kenapa terasa sangat sepi. Mungkin karena dia sendiri? Ya
Matahari terbit di timur dengan cerahnya. Menyapa wajah sembab yang sedang tertidur di atas lantai yang dingin. Bulu mata Bella bergerak pelan, menandakan bahwa dia terganggu dengan cahaya yang masuk ke ruangan. Tubuh itu menggeliat, mencoba untuk mengumpulkan kesadaran dan bangun. "Ahh, kepalaku sakit," keluh Bella sambil memijat pelan pelipisnya. Dia duduk dengan mata yang masih terpejam. "Rasanya aku bermimpi aneh semalam," tambahnya. Dia berusaha mengingat kembali mimpi yang datang saat dirinya tertidur. Bella tidak bisa mengingat dengan jelas hal itu tapi dia bisa merasakan bahwa mimpi tersebut benar-benar menakutkan. Kepalanya sampai berdenyut kencang saat ini. "Bella! Di mana kau?!" teriak Angeline dari bawah. Bella yang namanya disebut langsung terbangun sempurna dan pergi dari loteng. Dia nyaris berlari agar Angeline tidak mencarinya lebih lama. Kenapa juga dia bisa tertidur di loteng?"Aku di sini, Bu," ujar Bella setelah menemukan Angeline sedang sibuk menyiapkan sarap
Rio de Janeiro, Brasil.***"Lusa nanti ayah akan mengundang banyak tamu penting ke rumah. Sebaiknya kalian tidak banyak bertingkah dan memperlihatkan sikap yang baik." Vins tidak mendengarkan perkataan ayahnya dengan baik. Dia memainkan makanannya menggunakan pisau. Menusuknya dengan brutal kemudian mencincangnya sampai menjadi bubur. Sementara itu, ibu dan saudaranya sedang makan dengan tenang sambil mendengarkan perkataan kepala keluarga di sana. "Kau mendengarku, Vins?" tegur William, ayah dari Vins, setelah melihat sikap anaknya."Tidak," jawab Vins dengan santai. Dia masih mengaduk-aduk makanannya hingga menjadi tidak berbentuk. "Apa?!" "Apa kau tuli? Kau menanyaiku apa aku mendengarmu atau tidak, tapi kau sendiri tidak mendengarku," ejeknya. "Berani sekali kau mengejek ayahmu seperti itu! Berhentilah membuat masalah, aku terus mendapat laporan karena kau mengacau." "Benarkah? Masalah mana yang kau bicarakan? Aku tidak mengingatnya satupun. Lagipula, untuk apa mereka menga
Vins hendak mengusap keningnya yang dialiri darah menggunakan lengan bajunya yang panjang, tapi Lily menghentikan dengan cepat. Tangan kecil itu menggenggam tangan Vins tanpa rasa takut. Dia berusia tiga tahun lebih muda dari tuannya, tapi dia sudah mengerti dengan ketidak adilan yang diterima Vins sejak lama. "Jangan lakukan itu, aku mohon ikutlah denganku dan biarkan aku mengobati semua lukamu," pinta Lily. "Lepaskan aku," bentak Vins dan dengan sedikit tenaga menghempaskan tangan Lily. Meski begitu, Lily yang sempat terdorong kembali memegang tangan Vins dengan kencang. Dia bahkan menarik Vins untuk mengikutinya ke gazebo di halaman belakang rumah. "Apa yang kau lakukan?! Jangan kurang ajar! Lepaskan aku!" perintah Vins di tengah kondisinya yang ditarik paksa oleh Lily "Tidak mau! Aku harus mengobati lukamu itu lebih dulu!" tolak Lily dengan suara lebih keras. Dia bahkan menghentikan langkahnya dan menyempatkan untuk menatap Vins dengan tajam meskipun air mata menganggu pandan
Vins meneguk minuman keras yang ada di tangannya. Dia seperti orang yang kehausan selama tiga hari. Namun, bukannya minum air mineral, dia malah minum alkohol. "Berani sekali dia masuk ke dalam kamarku seperti itu," kesal Vins. Dia mengingat kembali kejadian malam kemarin saat dirinya sedang dalam pengaruh alkohol. Dia sedang tertidur dengan nyaman, tapi tiba-tiba saja seseorang berbisik padanya dan terus meminta tolong. Vins sudah mengusirnya berkali-kali meskipun tanpa membuka matanya yang terpejam. Namun, wanita itu tidak juga pergi selama beberapa saat. Kini dia tahu bisikan itu berasal dari Lily. Bisikan di taman belakang tadi sudah membuktikan semuanya. Apa yang sedang direncanakan gadis itu? Apa dia sedang mencoba untuk menggoda Vins?"Minuman jenis apa ini?! Kenapa tidak memberikan efek apapun?! Berikan aku sesuatu yang lebih!" bentak Vins kepada para bartender khusus yang menjamunya. "Tuan, apa kau tidak puas dengan pelayanan mereka? Maukah kau jika aku yang melayanimu?" g
Palembang, Indonesia.***"Kau lihat pria yang sedang duduk di bawah pohon itu?" "Wah, dia tampan sekali, kenapa dia diam di sana sendiri?" Mereka menatap seorang pria yang memiliki tinggi lebih dari enam kaki itu. Dia terlihat tenang dengan headphone yang menutupi kedua telinganya. Matanya tidak bergerak sedikitpun dari buku yang entah apa judulnya itu. Yang jelas, dia terlihat sangat menikmati dunianya sendiri. "Dia Neve Alba, mahasiswa tahun terakhir yang kabarnya sama sekali tidak pernah memulai interaksi dan pembicaraan dengan siapapun selama dia kuliah di sini," jelas wanita pertama kepada juniornya. "Benarkah?" Wanita kedua yang baru memulai masa kuliahnya itu menatap tertarik pada Neve yang berada tak jauh darinya. "Ya, dia sama sekali tidak pernah berinteraksi dengan kemauannya sendiri. Meski begitu, dia memiliki banyak penggemar dan para pria tidak ingin mengganggunya." "Kenapa?" tanya seorang pria yang juga merupakan mahasiswa ta