"Terima kasih, Nak. Mata ini sudah tak sejelas dulu... rasanya sulit mengurus semuanya sendirian.” Ia berhenti sejenak, tangannya gemetar saat mencoba menyeimbangkan dokumen di pangkuannya.
“Sepertinya tangan tua ini sudah tidak sanggup lagi.” Alina menatapnya dengan lembut. Alina biasa memanggilnya Pak Hadi. Ia duduk di sebelahnya sambil mengambil dokumen dari tangannya. “Biar saya yang pegang, Pak Hadi. Anda tidak perlu khawatir, saya akan bantu.” Pak Hadi menatap Alina dengan penuh terima kasih. “Kamu selalu baik, Nak. Padahal kita nggak ada hubungan apa-apa... namun kamu seperti cucu sendiri.” Alina tersenyum kecil, menatap kakek itu dengan mata penuh kasih. “Pak Hadi, Anda nggak perlu mengatakan itu. Saya senang bisa membantu.” “Bagaimana kabar Anda hari ini?” “Sejujurnya, tidak terlalu baik,” kata Pak Hadi dengan suara pelan. “Setiap kali saya menjalani perawatan, rasanya semakin berat. Kadang, saya merasa sendirian di sini.” Alina menatapnya dengan empati. “Saya mengerti. Tapi Anda tidak sendirian. Banyak orang peduli, termasuk saya. Anda pasti sangat kuat untuk menghadapi semua ini.” Pak Hadi terdiam sejenak, kemudian berkata, “Kau masih muda, tapi sudah memiliki hati yang besar. Terima kasih, Alina. Kebaikanmu membuat hariku lebih baik.” “Semoga perawatan bapak berjalan lancar, ya. Jika ada yang bisa saya bantu lagi, jangan ragu untuk memanggil saya,” Alina menjawab dengan senyum yang tulus. Saat mereka sampai di ruang pemeriksaan, Pak Hadi menepuk bahu Alina dengan lembut. “Kau adalah cahaya dalam kegelapan bagi banyak orang di sini. Semoga kebaikanmu kembali kepadamu.” Alina merasa terharu mendengar kata-kata itu. “Terima kasih, Pak. Itu berarti banyak bagi saya.” Kakek itu melangkah ke dalam ruang pemeriksaan. Sementara Alina duduk di bangku ruang tunggu, ia pun melepaskan seragam dan kartu pengenal. Menjadi relawan di rumah sakit kanker adalah rutinitasnya tiap hari Minggu, dan setiap kali melakukannya, kenangan tentang ayahnya yang telah meninggal selalu terlintas di benaknya. Alina beranjak menuju toilet untuk berganti pakaian dan bersiap pulang. Di depan petugas yang sudah mengenalnya, ia sedikit membungkuk dan berkata, “Sampai bertemu Minggu depan.” Setelah keluar, Alina melihat jam—jam satu pagi. Ia tahu dengan berjalan kaki pulang ia bisa menghemat. Dengan sigap, Alina merogoh tasnya dan mengeluarkan semprotan cabai, "Lebih baik aman daripada nyesel." Lalu, ia mulai berjalan cepat menuju rumah. Segera setelah berada jauh dari rumah sakit, suara mesin terdengar. Alina menoleh dan melihat lampu depan sebuah mobil SUV hitam, Range Rover 3.0 Long Wheelbase menyala. Tanpa terlalu memikirkannya, ia melanjutkan perjalanan hingga menyadari bahwa kendaraan itu berbelok dan melaju perlahan di belakangnya. Jantungnya berdebar kencang, dan ia menambah kecepatan, berlari menyeberang jalan menuju gedung parkir yang lampunya masih menyala, berharap bisa menemukan tempat yang lebih aman. Mobil SUV itu berbelok masuk ke tempat parkir dan berhenti di sebelah Alina. Tanpa berpikir panjang, Alina mengambil semprotan cabai, dan segera setelah jendela diturunkan, ia berbalik dan menyemprotkannya ke mata pengemudi sebelum ia mengenalinya. KLONTANGGG Semprotan cabai itu terjatuh dari tangannya ke trotoar. Dentingan kerasnya hampir nggak kedengaran di tengah detak jantungnya yang berdebar kencang. "Astaga!" suara cowok terdengar. Dia menginjak rem sambil menggeram, kesakitan. Alina terkejut begitu melihat wajah pengemudi, matanya terbelalak. "A... Arion?!" "Lo... lo apa-apaan sih? Kenapa lo semprot-semprot gue pake itu?!" Arion mengusap matanya yang pedih karena semprotan cabai. "Lo yang apaan?!" balas Alina, sedikit emosi. "Gue kira lo orang mesum yang mau ngikutin gue! Lo ngejar gue pake mobil hitam malam-malam kayak gini, emang siapa yang nggak takut coba?" "Gak usah kepedean deh lo! Gue cuma kebetulan lewat, ngeliat lo jalan sendirian, terus gue khawatir!" Arion kesal, hampir kehilangan kesabarannya. “Ya elah, lo pikir gue nggak takut dikejar mobil malam-malam gini?” jawab Alina. “Lo nggak ngerti gimana rasanya.” Arion mendengus keras, masih memegangi matanya. "Lo gila ya? Gimana gue bisa bantu kalau lo malah nyemprot gue? Gue cuma pengen pastiin lo aman, lo malah..." "Nggak usah sok baik deh!" Alina potong, suaranya masih tinggi. "Lo tuh nyeremin banget. Gue nggak tahu itu lo, makanya gue takut!" "Minta maaf nggak lo?!" Arion menatapnya, matanya memerah entah karena semprotan atau beneran marah. “Gue nggak nyerang lo, gue cuma pengen bantu.” Alina menatapnya tajam, masih merasa sedikit terancam, tapi hatinya sedikit lebih tenang. "Ngapain minta maaf? Gue nggak salah!" "Lo nggak sadar ya? Lo itu salah karena nyemprot orang yang ngelindungin lo!" "Ya udah, jangan sok pahlawan deh!" balas Alina. “Lo pikir gue harusnya gimana? Nungguin lo sampe lo gangguin gue dulu?” Arion menarik napas panjang, sedikit menenangkan diri. “Alina... Gue sama sekali nggak ada niat jelek.” Mendengarnya Alina merasa sedikit kasihan. "Oke. Gue minta maaf." Alina merasa senang sekaligus kasihan terhadap Arion. Tapi dalam situasi ini, Arion benar-benar berniat membantunya. Tiba-tiba, suara handphone berbunyi. Arion mengangkat telepon. “Ya... Apaa?? Oke, saya ke sana!” Suara Arion terdengar panik saat menutup teleponnya. “Kenapa?” “Gue harus ke rumah sakit kanker. Kakek dalam keadaan gawat,” jawab Arion, matanya tampak khawatir. Alina terdiam sejenak, merasa berat. Dia baru saja keluar dari rumah sakit itu. Namun, saat melihat mata Arion yang semakin berair, rasa bersalah Alina muncul. “Yaudah gue ikut.” Setibanya di rumah sakit, Arion berlari cepat menuju ruang darurat, dan Alina mengikuti di belakangnya, menjaga jarak. Saat mereka sampai, Alina melihat Pak Hadi terbaring di ranjang, wajahnya pucat, dan tim medis sedang bersiap melakukan tindakan darurat. "Kakek!" seru Arion, mendekati kakeknya. Pak Hadi menatap Arion dengan mata lemah, namun masih berusaha tersenyum. "Cucuku... Aku nggak punya banyak waktu. Mereka akan bawa aku untuk operasi kanker limfoma." "Anakku, kamu di sini juga? Ternyata kamu teman Arion, ya? Mungkin ini waktunya Arion nemuin cintanya," ujar Pak Hadi. Alina terkejut. "Pak Hadi..?" Pak Hadi tersenyum lemah meski kondisinya nggak baik. "Iya, saya kakeknya Arion. Kamu udah banyak bantu saya, Nak. Kamu gadis yang baik dan tulus... Saya nggak bakal lupa." Alina tersipu, nggak menyangka kalau kakek Arion adalah Pak Hadi. "Saya cuma bantu yang seharusnya." Arion kaget. "Kakek, kamu kenal dia?" Pak Hadi mengangguk. "Ya, Arion. Alina ini perempuan yang baik. Aku tahu dia bisa diandalkan." Alina tersipu, sementara Arion mencoba nggak peduli. Tiba-tiba, tubuh Pak Hadi bergetar, napasnya terdengar berat. Perawat segera datang memeriksa kondisinya. Namun sebelum itu, Pak Hadi menarik napas dalam-dalam dan memandang Alina dan Arion dengan penuh harap. "Alina, sebelum aku pergi... ada satu hal yang ingin kutanya. Apa kamu suka sama cucuku Arion, Nak?" Alina bingung dengan pertanyaan itu. "Suka Arion?" tanyanya, menoleh ke Arion yang sama-sama terkejut. "Alina, Arion tuh anak yang malang. Sejak kecil dia kehilangan banyak hal, termasuk cinta. Aku ingin dia punya seseorang yang tulus di sisinya, seperti kamu," lanjut Pak Hadi, napasnya semakin sesak. "Kalau kamu bersama dia, aku bisa pergi dengan tenang." Alina terdiam. Walaupun mereka sering bertengkar, cerita tentang Arion mulai menggerakkan hatinya. Arion tertegun, hatinya penuh dengan perasaan campur aduk. "Kakek, jangan ngomong kayak gitu! Aku nggak mau kamu pergi. Kita bakal coba yang terbaik!" Pak Hadi menggenggam tangan Arion. "Aku cuma pengen lihat kamu bahagia, cucuku... sebelum aku tutup mata selamanya." Pak Hadi menatap Alina, yang berdiri di samping Arion, dan tersenyum lemah. Dalam keheningan, sang kakek berkata lirih. "Waktuku udah dekat. Aku pengen lihat kalian bahagia... Alina, kamu di sini bareng Arion. Aku pengen kalian berdua... menikah."enin pagi datang, dan Alina masih melayang di awang-awang karena cinta. Sisa liburan mereka habis di rumah kota—nonton film bareng, makan enak, dan ya… ngelakuin hal-hal yang cuma bisa mereka lakuin berdua. Ketika Daniel mengabarkan kalau lamaran kuliahnya ke Universitas Nasional udah di-acc, Alina cuma bisa senyum setengah hati. Dia seneng, tapi juga takut. Rasanya dia belum siap ninggalin “dunia kecil” yang dia punya sama Arion sekarang. Tapi ya namanya juga hidup, kenyataan pasti datang dan menghampiri. Untungnya, mereka sekarang udah nggak perlu ngumpet-ngumpet di sekolah. Mereka jalan bareng, gandengan tangan, dan duduk bareng di kelas. Biasanya Arion duduk di belakang, tapi sekarang dia pindah duduk di sebelah Alina. Valerian yang awalnya duduk di situ, akhirnya ngalah juga. Arion narik Alina biar makin deket dan langsung nyium dia di depan murid lain. Bukan ciuman biasa—yang ini dalem banget sampe bikin lutut Alina lemas dan harus pegangan ke Arion biar nggak ambruk. “Eh,
Direktur Eric. Tatapan pria itu melunak saat menatap tangan Arion dan Alina yang saling menggenggam. Alina mendongak ke belakang, tak menyangka reaksi seperti itu dari ayah Clarissa sendiri. Arion menariknya keluar rumah. Saat pintu tertutup, Alina menarik napas dalam-dalam. “Arion, mungkin kita harus kembali masuk...” “Nggak mungkin,” jawab Arion, menarik Alina ke pelukannya. “Gue cuma butuh lo. Bersama lo adalah tempat yang paling pas buat gue. Gue laper. Yuk, kita cari makan malam yang kayak biasa lo dan nyokap lo masak.” Dada Alina terasa sesak, bukan karena takut, tapi karena emosi yang numpuk. Sejak orang tuanya meninggal, hari-hari libur selalu bikin dia cemas. Dia pengen nginget masa lalu, tapi rasanya nyakitin banget. Tapi bersama Arion, dia ngerasa... bisa. Bisa ngelewatin semuanya. Pikiran buat makan makanan kayak masakan nyokapnya bikin dia ngangguk semangat. “Emangnya ada tempat yang jual makanan gitu di sini?” Arion ketawa. “Ada aja, kok. Cuma bokap-nyokap gue
Alina melangkah mendekat, meletakkan tangannya di dada Arion. "Gue harus pergi.." Arion mendongak, wajahnya penuh keterkejutan. "Tapi kata Kakek, lo harus tetap di sini." "Lo serius sekarang? Lo benar-benar mau gue disini?" Alina menarik napas dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tak terkendali. "Tapi… mereka ayah dan ibu lo Arion. Lo harus nurutin apa kata mereka," ujarnya lirih. "Kalau saja kedua orang tua gue masih hidup… gue akan melakukan apa pun demi bisa menghabiskan satu liburan lagi bersama mereka." Tidakkah Arion menyadari betapa berharganya keberadaan seorang ayah, walau tak sempurna? Arion tersenyum getir. "Dia nggak pernah bertingkah seperti ayah gue. Ibu tiri gue dan saudara perempuan gue juga nggak pernah benar-benar nganggep gue bagian dari keluarga. Semuanya cuma soal kontrol dan citra di depan publik. Gue nggak akan tinggal disini." Ia mengecup puncak kepala Alina dengan lembut. "Tapi makasih ya… karena udah peduli. Ayo, kita
'Suara itu… suara Kakek…' Semua kepala menoleh ke arah pintu aula yang terbuka perlahan. Di sanalah, Kakek Hadi muncul, duduk di kursi roda, didorong oleh Daniel. “Aku yang menikahkan mereka,” kata Kakek Hadi lantang. Suaranya bergetar, tapi tegas. “Arion dan Alina… sudah sah sebagai suami istri di bawah saksi hukum dan agama.” Keheningan memekakkan telinga. Nyonya Mahendra memegang dada dengan mulut terbuka lebar, “Apa… maksud Ayah?” Nyonya Wijaya yang berdiri di samping suaminya, terbatuk kaget, lalu menatap Alina dari atas ke bawah seolah tak percaya. Dia mengerutkan kening dalam-dalam, seakan berita itu menampar harga dirinya. Clarissa melangkah maju, matanya menyipit penuh kebencian, tapi dengan senyum mengejek di sudut bibir. "Masih berani diem, ya?" "Lo tuh cuma istri gelap Arion, Alina. Dan berani-beraninya 'main’ di villa keluarga Arion. Udah status lo nggak jelas, keluarga Arion juga bahkan nggak ada yang nerima lo. Tapi lo santai aja seolah lo itu siapa."
Alina gugup setengah mati. Pak Remi udah ngasih tahu kalau Direktur Eric dan keluarganya bakal datang... termasuk Clarissa—orang yang paling nggak dia suka di dunia ini. Tinggal serumah sama keluarga Arion juga bikin Alina serba salah. Satu-satunya waktu yang terasa nggak bikin sesak cuma pas dia lagi berdua sama Arion. Tasha hampir nggak pernah nyapa, tapi itu juga nggak terlalu ngaruh karena dia juga gitu ke Arion. Yang bikin Alina nggak nyaman justru tatapan dari Pak Remi dan istrinya—tatapan yang bilang dengan jelas: 'Anda tidak diterima di sini.' Dan di tengah semua kekakuan itu, Arion malah suka tiba-tiba menyelinap ke kamarnya tiap malam. Alina kesel. Dia tahu, Pak Remi pasti mikir yang macem-macem soal mereka. Padahal, mereka belum ngelakuin apa-apa disini. Pagi itu, Alina turun buat bantu-bantu masak makan malam. Tapi ternyata, dapurnya bukan dapur biasa. Ada koki dan staf segala. Tapi Alina malah disuruh keluar dari dapur. Yah... makin jelas aja siapa yang s
Alina ingin memeluknya. Ingin bilang kalau dia nggak sendirian. Selama ini, dia pikir Arion cuma hidup di dunia yang penuh dengan kemewahan dan kebebasan. Tapi sekarang, dia sadar kalau hidup cowok itu jauh lebih berantakan daripada yang dia bayangkan. Dan dia benci karena pernah berasumsi sebaliknya. Pak Remi menatap tajam ke arah Arion. “Kamu harus fokus, nak. Sepak bola dan sekolah bakal memastikan kamu punya hidup yang nyaman. Kalau kamu kehilangan konsentrasi bahkan sedetik aja, itu bisa menghancurkan kamu. Kamu nggak punya waktu buat jalanin hubungan yang butuh banyak perhatian. Dan lebih parah lagi, gimana kalau dia hamil?” Arion menggertakkan giginya, kedua tangannya mengepal. “Dia nggak bakal hamil,” bantahnya, nada suaranya tajam. “Kami selalu hati-hati.” Alina ikut angkat bicara. “Terlepas dari apa pun yang Anda pikirin tentang saya, satu hal yang paling nggak saya mau adalah hamil.” Wajahnya menegang saat membayangkan harus membawa seorang anak ke dunia