Share

Pertikaian Arion dan Darren

Author: Bibiefenimmm
last update Huling Na-update: 2024-10-10 23:00:14

"Nama gue Darren. Dan lo... Alina, kan?”

Alina mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. “Iya, makasih banget, Darren.”

Beberapa saat kemudian, mereka udah keluar dari sana sambil bawa kantung buku. Keduanya nggak ngobrol sambil jalan, tapi Darren sesekali ngecek daftar yang ada di pintu-pintu kelas.

Bel berbunyi.

"Eh, ternyata kelas lo di sini," kata Darren sambil tiba-tiba menarik lengan Alina dan mereka udah sampai di ruang kelas.

Clarissa, Arion, dan beberapa cowok lainnya berdiri di depan. Dua cowok lainnya kelihatan kekar dan berotot.

Ketiganya bisa jadi maskot dari brosur sekolah. Tapi ketika Alina lihat Arion lagi fokus ngeliatin dia, jantungnya langsung berdebar kencang.

“Setidaknya dua murid pindahan udah kenalan,” kata Arion, rahangnya yang kaku bikin wajahnya yang tegas jadi keliatan makin garang. Dari tiga cowok di sekitarnya, dia yang paling ganteng sejauh ini.

“Iya, kami ketemu dan sama-sama butuh buku buat kelas hari ini,” jawab Darren dengan senyum malas sambil deketin Alina.

Arion masukin tangan ke dalam saku. “Makasih, Bro. Dia bisa gabung sama kita-kita sementara lo balik, jalan ke kelas lo sendiri.”

Clarissa memperhatikan Alina dengan tatapan tajam. Darren sadar dan langsung geleng kepala.

“Gue belum sempet terima kasih sama Direktur karena udah nerima gue di sini.”

Pria yang di samping Arion ketawa. “Clarissa.. Ayah lo sibuk banget.”

“Iya, Valerian.” Clarissa menyipitkan matanya ke arah Alina. “Dan gue belum selesai sama lo, gadis pemeras tukang kabur.”

Alina kira Darren juga anak beasiswa, jadi seharusnya nggak masalah kalau dia dapet bantuan dari sekolah ini. Kenapa Clarissa ngehukum dia seolah itu hal aneh dan selalu nganggapnya sebagai pemeras?

“Direktur Eric sebentar lagi dateng buat ngobrol sama kita,” kata Arion sambil melirik Clarissa, Alina, dan terakhir... Darren.

“Lo pergi ke kelas sama Sergio, sisanya kita dan Direktur bakal nemuin lo di ruangan lain.”

Darren ngeliat Alina. Sementara Arion keliatan gelisah.

Dia nyeletuk, “Gue nggak nanya, anak beasiswa! Sekarang pergi sana..!”

Hati Alina panas. Dia kira Arion itu cowok baik, tapi sekarang sikapnya nggak beda jauh dari Clarissa.

Darren menyipitkan matanya. “Gue janji bakal terus nemenin Alina.”

Kedua cowok alfa berhadapan, sementara Direktur udah hampir sampai. "Kayaknya keputusan gue datang ke sekolah ini nggak cerdas deh," pikir Alina.

Arion dan Darren saling melototin. Alina berdiri di tengah-tengah mereka. Tatapan mereka kayak pedang yang siap nyerang kapan aja.

“Sekali lagi, gue cuma pengen ngucapin terima kasih langsung ke Direktur Eric karena udah nerima gue di sini,” kata Darren sambil langkahnya makin deket ke Alina.

Arion mengepalkan tangannya, pembuluh darah di lehernya keliatan. “Lo bisa ketemu dia lain kali. Tapi sekarang, keluar dari sini..”

Suaranya serius, jauh lebih dewasa dari usianya.

Darren melirik Alina. Konflik dia sama Arion karena Darren nggak mau ninggalin Alina sendirian. Selain itu, Arion juga kaptennya yang harus dia hormati. Tapi Darren udah tau Arion banyak bikin kesalahan, terutama soal Alina.

“Keluar dari sini atau gue yang pastiin lo bayar nanti pas latihan,” kata Arion.

Valerian. Salah satu temen Arion, menimpali sambil ngelipat tangan di dada, siap buat mengintimidasi Darren lebih jauh.

Darren ngejek. “Gue bek kiri. Nggak ada yang bisa ngelindungin kapten kalau gue cedera.”

“Tenang aja, anak baru. Tim kita masih punya banyak cadangan yang oke kok. Lo bisa digantiin kapan aja,” celetuk Valerian lagi, sambil ketawa bareng temen-temennya.

“Ayah lo sendiri yang ngajak gue pindah dari sekolah lama gue, Arion. Lo harus inget itu.”

Kata-kata Darren tentang ayahnya bikin Arion tersentak. Matanya makin dingin. Darren baru aja nyentuh titik sensitifnya.

“Lo, sama gadis bispak ini...” tatapan Arion beralih ke Alina. “Memanfaatin kesempatan buat datang ke sini, yang sayangnya nggak pantes buat kalian.”

Kata-katanya bikin Alina ngerasa kayak dipukul. Dia nggak pernah nyangka Arion, yang selama ini dia anggap pahlawan, bakal ngomong kayak gitu.

Arion mendekat ke Darren. Suaranya dalam dan penuh sindiran. “Gue bukan ayah gue. Gue nggak bakal biarin siapa pun manfaatin status gue. Lo harus ikutin aturan, sama kaya yang lain..”

Anak-anak di kelas pada terdiam. Beberapa saling berbisik.

Alina bener-bener nyesel udah setuju buat nerima tawaran beasiswa dari Direktur Eric. Dia benci banget sama Arion dan Clarissa yang jelas-jelas nganggep dia memeras buat bisa sekolah di sini.

Darren mengangkat alis, matanya tetap tajam menatap Arion. “Gue nggak butuh lo ngajarin gue tentang aturan. Gue tahu banget cara mainnya. Tapi, lo gak bisa seenaknya ngatain orang, apalagi orang yang udah berusaha keras kayak Alina.”

Arion melirik ke Darren, senyum sinis terukir di wajahnya. "Gue cuma bilang yang bener, Darren. Kalau lo gak suka, itu urusan lo."

Clarissa, yang udah diam aja dari tadi, akhirnya buka suara. "C’mon, Arion. Jangan buang waktu sama mereka. Mereka kan cuma beban di sekolah ini. Semua orang tahu itu."

Darren menatap Clarissa dengan ekspresi jijik. "Lo ngomong apa sih, Clarissa? Jangan sok banget. Lo pikir lo siapa? Gak semua orang di sini buat memenuhi ekspektasi lo."

Valerian yang dari tadi diem aja, akhirnya bicara. "Jangan terlalu serius, Darren. Lo cuma anak baru di sini "

Darren penuh tantangan ngeliatin Valerian. "Lo pikir gue takut sama lo? Gue bukan anak kecil yang bisa lo intimidasi."

"Udah cukup, kalian! Jangan sampai gue ngomong yang lebih parah lagi. Alina, lo ikut kita sekarang."

Tatapan Arion masih tajam, dan Alina bisa ngerasain atmosfer tegang di sekitar mereka. Dia cuma bisa berharap, semua ini cepat berakhir.

“Kalau gitu, gue tunggu di luar. Tapi..”

“Darren...” Alina akhirnya bersuara.

“Gak apa-apa kalau lo nggak mau ninggalin gue. Direktur sebentar lagi dateng, lo bisa pergi...” Alina ngeliat Darren dan maksa senyum.

Darren ngangguk. “Oke. Sampai ketemu di luar.”

“Oke,” jawab Alina agak ceria, meskipun dia pengen banget pertengkaran ini cepet selesai.

Darren ngeliatin Alina lebih lama sebelum fokus lagi ke Arion. Dia betulin ranselnya dan senyum sinis, sambil ngedipin mata ke arah Alina sebelum keluar lewat pintu.

Alina pun merasakan tatapan tajam dari Arion yang langsung tertuju padanya. Jantungnya berdetak cepat, dan perutnya terasa mual. Dia yakin banget Arion marah besar padanya, tapi dia nggak ngerti kenapa.

“Ayo.” Sergio memukul punggung Darren. “Ayo pergi, sebelum Arion nendang pantat Lo di depan kelas.”

Temen-temen di kelas pada ketawa.

Clarissa ngeliatin mereka berdua pergi. Dia nyebrangin tangan.

“Arion, gue tau lo nggak mau ada permusuhan di antara pemain. Tapi hati-hati sama anak itu. Dia nggak suka lo ngatur-ngatur dia.”

Setelah itu, terdengar kegaduhan dari para murid karena guru yang Alina denger tadi, Mr. Asher, baru aja datang.

Sementara Clarissa dan Arion, dengan langkah percaya diri, keluar dari kelas tanpa sedikit pun kelihatan khawatir.

Alina yang ngeliatin mereka, masih nggak percaya sama apa yang baru aja terjadi. Di sekolah elit ini, aturan kayaknya nggak berlaku buat orang yang punya status dan kekuasaan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Resmi Jadi Milik Arion

    enin pagi datang, dan Alina masih melayang di awang-awang karena cinta. Sisa liburan mereka habis di rumah kota—nonton film bareng, makan enak, dan ya… ngelakuin hal-hal yang cuma bisa mereka lakuin berdua. Ketika Daniel mengabarkan kalau lamaran kuliahnya ke Universitas Nasional udah di-acc, Alina cuma bisa senyum setengah hati. Dia seneng, tapi juga takut. Rasanya dia belum siap ninggalin “dunia kecil” yang dia punya sama Arion sekarang. Tapi ya namanya juga hidup, kenyataan pasti datang dan menghampiri. Untungnya, mereka sekarang udah nggak perlu ngumpet-ngumpet di sekolah. Mereka jalan bareng, gandengan tangan, dan duduk bareng di kelas. Biasanya Arion duduk di belakang, tapi sekarang dia pindah duduk di sebelah Alina. Valerian yang awalnya duduk di situ, akhirnya ngalah juga. Arion narik Alina biar makin deket dan langsung nyium dia di depan murid lain. Bukan ciuman biasa—yang ini dalem banget sampe bikin lutut Alina lemas dan harus pegangan ke Arion biar nggak ambruk. “Eh,

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Temaram Sungai dan Tenggelam Dalam Cinta

    Direktur Eric. Tatapan pria itu melunak saat menatap tangan Arion dan Alina yang saling menggenggam. Alina mendongak ke belakang, tak menyangka reaksi seperti itu dari ayah Clarissa sendiri. Arion menariknya keluar rumah. Saat pintu tertutup, Alina menarik napas dalam-dalam. “Arion, mungkin kita harus kembali masuk...” “Nggak mungkin,” jawab Arion, menarik Alina ke pelukannya. “Gue cuma butuh lo. Bersama lo adalah tempat yang paling pas buat gue. Gue laper. Yuk, kita cari makan malam yang kayak biasa lo dan nyokap lo masak.” Dada Alina terasa sesak, bukan karena takut, tapi karena emosi yang numpuk. Sejak orang tuanya meninggal, hari-hari libur selalu bikin dia cemas. Dia pengen nginget masa lalu, tapi rasanya nyakitin banget. Tapi bersama Arion, dia ngerasa... bisa. Bisa ngelewatin semuanya. Pikiran buat makan makanan kayak masakan nyokapnya bikin dia ngangguk semangat. “Emangnya ada tempat yang jual makanan gitu di sini?” Arion ketawa. “Ada aja, kok. Cuma bokap-nyokap gue

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Ciuman di Tengah Kekacauan

    Alina melangkah mendekat, meletakkan tangannya di dada Arion. "Gue harus pergi.." Arion mendongak, wajahnya penuh keterkejutan. "Tapi kata Kakek, lo harus tetap di sini." "Lo serius sekarang? Lo benar-benar mau gue disini?" Alina menarik napas dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tak terkendali. "Tapi… mereka ayah dan ibu lo Arion. Lo harus nurutin apa kata mereka," ujarnya lirih. "Kalau saja kedua orang tua gue masih hidup… gue akan melakukan apa pun demi bisa menghabiskan satu liburan lagi bersama mereka." Tidakkah Arion menyadari betapa berharganya keberadaan seorang ayah, walau tak sempurna? Arion tersenyum getir. "Dia nggak pernah bertingkah seperti ayah gue. Ibu tiri gue dan saudara perempuan gue juga nggak pernah benar-benar nganggep gue bagian dari keluarga. Semuanya cuma soal kontrol dan citra di depan publik. Gue nggak akan tinggal disini." Ia mengecup puncak kepala Alina dengan lembut. "Tapi makasih ya… karena udah peduli. Ayo, kita

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Ketika Cinta Harus Dipertahankan

    'Suara itu… suara Kakek…' Semua kepala menoleh ke arah pintu aula yang terbuka perlahan. Di sanalah, Kakek Hadi muncul, duduk di kursi roda, didorong oleh Daniel. “Aku yang menikahkan mereka,” kata Kakek Hadi lantang. Suaranya bergetar, tapi tegas. “Arion dan Alina… sudah sah sebagai suami istri di bawah saksi hukum dan agama.” Keheningan memekakkan telinga. Nyonya Mahendra memegang dada dengan mulut terbuka lebar, “Apa… maksud Ayah?” Nyonya Wijaya yang berdiri di samping suaminya, terbatuk kaget, lalu menatap Alina dari atas ke bawah seolah tak percaya. Dia mengerutkan kening dalam-dalam, seakan berita itu menampar harga dirinya. Clarissa melangkah maju, matanya menyipit penuh kebencian, tapi dengan senyum mengejek di sudut bibir. "Masih berani diem, ya?" "Lo tuh cuma istri gelap Arion, Alina. Dan berani-beraninya 'main’ di villa keluarga Arion. Udah status lo nggak jelas, keluarga Arion juga bahkan nggak ada yang nerima lo. Tapi lo santai aja seolah lo itu siapa."

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Penyelamat Tak Terduga

    Alina gugup setengah mati. Pak Remi udah ngasih tahu kalau Direktur Eric dan keluarganya bakal datang... termasuk Clarissa—orang yang paling nggak dia suka di dunia ini. Tinggal serumah sama keluarga Arion juga bikin Alina serba salah. Satu-satunya waktu yang terasa nggak bikin sesak cuma pas dia lagi berdua sama Arion. Tasha hampir nggak pernah nyapa, tapi itu juga nggak terlalu ngaruh karena dia juga gitu ke Arion. Yang bikin Alina nggak nyaman justru tatapan dari Pak Remi dan istrinya—tatapan yang bilang dengan jelas: 'Anda tidak diterima di sini.' Dan di tengah semua kekakuan itu, Arion malah suka tiba-tiba menyelinap ke kamarnya tiap malam. Alina kesel. Dia tahu, Pak Remi pasti mikir yang macem-macem soal mereka. Padahal, mereka belum ngelakuin apa-apa disini. Pagi itu, Alina turun buat bantu-bantu masak makan malam. Tapi ternyata, dapurnya bukan dapur biasa. Ada koki dan staf segala. Tapi Alina malah disuruh keluar dari dapur. Yah... makin jelas aja siapa yang s

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Terikat oleh Luka, Diuji oleh Takdir

    Alina ingin memeluknya. Ingin bilang kalau dia nggak sendirian. Selama ini, dia pikir Arion cuma hidup di dunia yang penuh dengan kemewahan dan kebebasan. Tapi sekarang, dia sadar kalau hidup cowok itu jauh lebih berantakan daripada yang dia bayangkan. Dan dia benci karena pernah berasumsi sebaliknya. Pak Remi menatap tajam ke arah Arion. “Kamu harus fokus, nak. Sepak bola dan sekolah bakal memastikan kamu punya hidup yang nyaman. Kalau kamu kehilangan konsentrasi bahkan sedetik aja, itu bisa menghancurkan kamu. Kamu nggak punya waktu buat jalanin hubungan yang butuh banyak perhatian. Dan lebih parah lagi, gimana kalau dia hamil?” Arion menggertakkan giginya, kedua tangannya mengepal. “Dia nggak bakal hamil,” bantahnya, nada suaranya tajam. “Kami selalu hati-hati.” Alina ikut angkat bicara. “Terlepas dari apa pun yang Anda pikirin tentang saya, satu hal yang paling nggak saya mau adalah hamil.” Wajahnya menegang saat membayangkan harus membawa seorang anak ke dunia

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status