Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion terkejut, sementara Alina juga terperangah, nggak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
Arion ngotot, "Kakek, aku nggak mau! Kita bisa lawan ini! Jangan pikirin soal nikah, ya. Kita bakal lewatin semua ini bareng-bareng." Pak Hadi langsung bangkit dari tidurnya. "Kenapa nggak??!!" "Kamu dan Alina punya ikatan yang kuat... Kakek lihat cara kalian saling peduli. Aku cuma ingin lihat cucuku nikah sebelum aku pergi. Itu harapanku." Arion dan Alina saling pandang dengan mata terbelalak. "Apa?! Kakek, itu nggak—" Arion terhenti, bingung banget sama apa yang baru dibilang kakeknya. "Cukup!" Pak Hadi membentak. "Kalau kamu cinta sama Alina, tunjukin! Nikah sama dia! Lakuin buat kakek. Kakek ingin pergi dengan tenang, aku harus tahu kalau cucuku bakal bahagia..." Pak Hadi ngomong begitu dengan mata penuh semangat. Alina merasa... "Pak Hadi," kata Alina pelan, "Saya... saya nggak tahu apa yang bakal terjadi. Semua ini terlalu cepat." "Saya nggak minta jawaban sekarang. Tapi pikirinlah, Alina. Arion, pikirin apa yang kamu bisa lakukan buat kakekmu." Keduanya terdiam. Alina merasa terjebak, tapi juga kasihan. Tiba-tiba, pintu ruang gawat darurat terbuka, dan seorang dokter masuk. "Pak Hadi, kita harus segera pindahkan Anda ke ruang operasi!" Sebelum pergi, Pak Hadi sempat menatap Arion dan Alina sekali lagi, lalu berkata, "Ingat... cinta itu hal terindah di dunia." Pak Hadi pun dibawa pergi, dan hilang di balik pintu. Alina dan Arion saling pandang. "Jangan bilang lo bener-bener mikir kita bisa ngelakuin ini..." Alina ngomong duluan. Arion tertawa sambil ngelap air matanya yang masih keluar, "Kayaknya kita nggak punya pilihan, deh." Setelah itu, mereka jalan ke parkiran tanpa ngomong apa-apa, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Alina merasa nggak bisa ninggalin Arion karena kasihan. Kakek Arion lagi sekarat dan tiba-tiba minta sesuatu yang nggak mungkin: menikahi cucunya, Arion. Arion nyetir mobil dengan rahang yang keras. Alina menoleh ke dia, melihat wajah Arion yang terdiam. Dia mendesah, kesal banget sama situasi konyol yang baru aja terjadi. "Lo serius?" "Lo bener-bener mikir kalau gue bakal setuju sama ini? Gila aja!" Kata-kata "Nikah" nyangkut di tenggorokan Alina, tapi dia sadar kalau Arion nggak pantas nikahin dia. Amarahnya mulai menyala. Alina tertawa pahit. Tawa yang terasa aneh dan penuh kesakitan. Semua ketakutannya tentang kematian ibunya datang lagi... Disini, di samping Arion. "Ini semua konyol tahu nggak..." gumamnya. "Ini pasti rencana licik lo, kan? Lo pikir gue bodoh? Lo cuma tertarik sama badan gue. Dasar lo cowok mesum!" teriak Alina penuh amarah. BRAKK! Arion tiba-tiba menghentak setirnya sangat keras, dan mobil menabrak tempat sampah di pinggir jalan. KLONTANGGG Tempat sampah itu terguling, dan suara kerasnya ngegema di jalan sepi. Untungnya udah larut malam, nggak ada orang yang lewat. "Apa-apaan lo!" teriak Alina, kaget dan langsung mencengkeram kursinya. Arion balik menatap Alina, matanya merah—entah karena air mata cabai atau karena marah. "Mesum? Lo pikir gue ngelakuin ini cuma karena tertarik sama lo? Lo salah besar! Gue nggak peduli soal badan lo, Alina! Gue cuma... gue cuma..." Kalimatnya terhenti, napasnya berat dan frustrasi. Keheningan melanda mereka, tapi kali ini rasanya lebih intens. Arion terus ngusap matanya dengan panik, berusaha ngurangin rasa perih yang membakar. "Gue janji... gue bakal kasih apa aja yang lo mau. Apa pun itu... asal lo setuju sama permintaan kakek gue," katanya dengan suara serak. "Dan gue tahu lo lagi kesulitan soal keuangan. Jadi, ya, tawaran gue menarik. Lo cuma perlu setuju." Alina ngeliatin Arion dengan penuh curiga. Harga dirinya merasa diinjak-injak. Amarahnya makin besar. "Jadi, lo pikir gue bakal nikah sama lo cuma karena lo bisa nolong gue secara finansial?" tanya Alina dengan dingin. "Jangan harap! Gue nggak akan pernah nikah sama lo, Arion. Gak peduli berapa banyak uang yang lo tawarin!" "Gue tahu ini kedengerannya gila... Tapi, kakek adalah satu-satunya keluarga yang peduli sama gue. Di rumah...," dia berhenti sebentar, wajahnya tiba-tiba muram, "Ortu gue... mereka nggak pernah peduli." Alina liatin Arion, kali ini nggak ngomong apa-apa. Dia bisa ngerasain betapa dalamnya hubungan Arion sama kakeknya, dan itu mulai ngerubah pandangannya. "Kakek satu-satunya yang peduli sama gue sejak kecil. Kalau nikah sama lo bisa bikin dia tenang... gue bakal lakuin." Tiba-tiba Arion terus mengelap matanya lagi. "Sialan! Kalau gue buta karena ini, gue nggak akan pernah maafin lo, Alina. Gue bakal buat lo nyesel!" Alina mendesah panjang. Baru aja dia ngerasa simpati, Arion malah marah-marah lagi. Tapi Alina mulai sadar, dan dia menelan ludah. Perasaan tanggung jawab mulai menghantuinya, apalagi pas liat Arion terpejam, wajahnya basah karena air mata. Dan semuanya makin parah. Kayaknya Arion nggak bisa lanjut perjalanan ini. "Di mana ponsel lo? Gue bakal telepon teman lo buat jemput," kata Alina, suara tegas tapi masih ngotot. "Sialan, nggak!" Arion mukul setir. "Gue nggak mau mereka tahu tentang ini." Dia bayangin temannya tahu dia disemprot cabai sama Alina. Pasti bakal jadi bahan ketawaan. Alina ngeluarin napas panjang, lalu berbisik, "Nyusahin banget sih..." Arion denger dan nengok. "Apa lo bilang?" "Ah, nggak... nggak ada," jawab Alina cepat, menghindari konfrontasi lebih lanjut. Arion meringis kesakitan. "Kita bisa balik ke rumah sakit buat bilas mata lo dengan air. Kalau lo gosok terus, bakalan makin parah." "Nggak... di sana ada pelayan kakek." Alina tepuk jidatnya. Benar juga. Dia nggak mau balik ke sana. Sekarang, satu-satunya yang dia harapin saat ini adalah lebih baik ninggalin Arion sendirian di sini. "Lo bisa nyetir?" "Enggak. Eh, maksudnya... gue pernah nyetir beberapa kali waktu kelas satu, pake mobil temen. Tapi nggak terlalu lancar." "Bagus," kata Arion, dia memencet tombol hingga kursinya mundur sedikit untuk kasih ruang. "Kita bisa kerjasama." "Gue masih sanggup injek gas, jadi lo yang putar setir, dan kita pulang ke rumah gue." Alina bengong. Matanya ngeliatin Arion. Apa dia udah gila, nyuruh dirinya duduk di pangkuannya sambil nyetir? "Lo yakin nggak mau gue bantu buat teleponin salah satu temen lo, anggota tim futsal, atau..." Tenggorokan Alina tercekat, tapi dia maksa nama berikutnya keluar. "Clarissa?" "Gue tahu. Lo pasti pengen banget telepon Darren," Arion senyum, ngejek, keliatan mengintimidasi. "Tapi, nggak, Alina. Lo yang bikin gue kaya gini. Lo sendiri yang harus beresin kekacauan ini..." Alina tarik napas panjang, dan akhirnya dia pindah duduk di pangkuan Arion. "Oke. Tapi jangan coba-coba ngelakuin hal aneh-aneh sama gue ya."enin pagi datang, dan Alina masih melayang di awang-awang karena cinta. Sisa liburan mereka habis di rumah kota—nonton film bareng, makan enak, dan ya… ngelakuin hal-hal yang cuma bisa mereka lakuin berdua. Ketika Daniel mengabarkan kalau lamaran kuliahnya ke Universitas Nasional udah di-acc, Alina cuma bisa senyum setengah hati. Dia seneng, tapi juga takut. Rasanya dia belum siap ninggalin “dunia kecil” yang dia punya sama Arion sekarang. Tapi ya namanya juga hidup, kenyataan pasti datang dan menghampiri. Untungnya, mereka sekarang udah nggak perlu ngumpet-ngumpet di sekolah. Mereka jalan bareng, gandengan tangan, dan duduk bareng di kelas. Biasanya Arion duduk di belakang, tapi sekarang dia pindah duduk di sebelah Alina. Valerian yang awalnya duduk di situ, akhirnya ngalah juga. Arion narik Alina biar makin deket dan langsung nyium dia di depan murid lain. Bukan ciuman biasa—yang ini dalem banget sampe bikin lutut Alina lemas dan harus pegangan ke Arion biar nggak ambruk. “Eh,
Direktur Eric. Tatapan pria itu melunak saat menatap tangan Arion dan Alina yang saling menggenggam. Alina mendongak ke belakang, tak menyangka reaksi seperti itu dari ayah Clarissa sendiri. Arion menariknya keluar rumah. Saat pintu tertutup, Alina menarik napas dalam-dalam. “Arion, mungkin kita harus kembali masuk...” “Nggak mungkin,” jawab Arion, menarik Alina ke pelukannya. “Gue cuma butuh lo. Bersama lo adalah tempat yang paling pas buat gue. Gue laper. Yuk, kita cari makan malam yang kayak biasa lo dan nyokap lo masak.” Dada Alina terasa sesak, bukan karena takut, tapi karena emosi yang numpuk. Sejak orang tuanya meninggal, hari-hari libur selalu bikin dia cemas. Dia pengen nginget masa lalu, tapi rasanya nyakitin banget. Tapi bersama Arion, dia ngerasa... bisa. Bisa ngelewatin semuanya. Pikiran buat makan makanan kayak masakan nyokapnya bikin dia ngangguk semangat. “Emangnya ada tempat yang jual makanan gitu di sini?” Arion ketawa. “Ada aja, kok. Cuma bokap-nyokap gue
Alina melangkah mendekat, meletakkan tangannya di dada Arion. "Gue harus pergi.." Arion mendongak, wajahnya penuh keterkejutan. "Tapi kata Kakek, lo harus tetap di sini." "Lo serius sekarang? Lo benar-benar mau gue disini?" Alina menarik napas dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang tak terkendali. "Tapi… mereka ayah dan ibu lo Arion. Lo harus nurutin apa kata mereka," ujarnya lirih. "Kalau saja kedua orang tua gue masih hidup… gue akan melakukan apa pun demi bisa menghabiskan satu liburan lagi bersama mereka." Tidakkah Arion menyadari betapa berharganya keberadaan seorang ayah, walau tak sempurna? Arion tersenyum getir. "Dia nggak pernah bertingkah seperti ayah gue. Ibu tiri gue dan saudara perempuan gue juga nggak pernah benar-benar nganggep gue bagian dari keluarga. Semuanya cuma soal kontrol dan citra di depan publik. Gue nggak akan tinggal disini." Ia mengecup puncak kepala Alina dengan lembut. "Tapi makasih ya… karena udah peduli. Ayo, kita
'Suara itu… suara Kakek…' Semua kepala menoleh ke arah pintu aula yang terbuka perlahan. Di sanalah, Kakek Hadi muncul, duduk di kursi roda, didorong oleh Daniel. “Aku yang menikahkan mereka,” kata Kakek Hadi lantang. Suaranya bergetar, tapi tegas. “Arion dan Alina… sudah sah sebagai suami istri di bawah saksi hukum dan agama.” Keheningan memekakkan telinga. Nyonya Mahendra memegang dada dengan mulut terbuka lebar, “Apa… maksud Ayah?” Nyonya Wijaya yang berdiri di samping suaminya, terbatuk kaget, lalu menatap Alina dari atas ke bawah seolah tak percaya. Dia mengerutkan kening dalam-dalam, seakan berita itu menampar harga dirinya. Clarissa melangkah maju, matanya menyipit penuh kebencian, tapi dengan senyum mengejek di sudut bibir. "Masih berani diem, ya?" "Lo tuh cuma istri gelap Arion, Alina. Dan berani-beraninya 'main’ di villa keluarga Arion. Udah status lo nggak jelas, keluarga Arion juga bahkan nggak ada yang nerima lo. Tapi lo santai aja seolah lo itu siapa."
Alina gugup setengah mati. Pak Remi udah ngasih tahu kalau Direktur Eric dan keluarganya bakal datang... termasuk Clarissa—orang yang paling nggak dia suka di dunia ini. Tinggal serumah sama keluarga Arion juga bikin Alina serba salah. Satu-satunya waktu yang terasa nggak bikin sesak cuma pas dia lagi berdua sama Arion. Tasha hampir nggak pernah nyapa, tapi itu juga nggak terlalu ngaruh karena dia juga gitu ke Arion. Yang bikin Alina nggak nyaman justru tatapan dari Pak Remi dan istrinya—tatapan yang bilang dengan jelas: 'Anda tidak diterima di sini.' Dan di tengah semua kekakuan itu, Arion malah suka tiba-tiba menyelinap ke kamarnya tiap malam. Alina kesel. Dia tahu, Pak Remi pasti mikir yang macem-macem soal mereka. Padahal, mereka belum ngelakuin apa-apa disini. Pagi itu, Alina turun buat bantu-bantu masak makan malam. Tapi ternyata, dapurnya bukan dapur biasa. Ada koki dan staf segala. Tapi Alina malah disuruh keluar dari dapur. Yah... makin jelas aja siapa yang s
Alina ingin memeluknya. Ingin bilang kalau dia nggak sendirian. Selama ini, dia pikir Arion cuma hidup di dunia yang penuh dengan kemewahan dan kebebasan. Tapi sekarang, dia sadar kalau hidup cowok itu jauh lebih berantakan daripada yang dia bayangkan. Dan dia benci karena pernah berasumsi sebaliknya. Pak Remi menatap tajam ke arah Arion. “Kamu harus fokus, nak. Sepak bola dan sekolah bakal memastikan kamu punya hidup yang nyaman. Kalau kamu kehilangan konsentrasi bahkan sedetik aja, itu bisa menghancurkan kamu. Kamu nggak punya waktu buat jalanin hubungan yang butuh banyak perhatian. Dan lebih parah lagi, gimana kalau dia hamil?” Arion menggertakkan giginya, kedua tangannya mengepal. “Dia nggak bakal hamil,” bantahnya, nada suaranya tajam. “Kami selalu hati-hati.” Alina ikut angkat bicara. “Terlepas dari apa pun yang Anda pikirin tentang saya, satu hal yang paling nggak saya mau adalah hamil.” Wajahnya menegang saat membayangkan harus membawa seorang anak ke dunia