Sharon sedih dan cemas. Dia tidak bisa berdiam diri dan maju untuk menyelamatkan putranya. Howard berteriak, "Jangan mendekat atau aku akan melemparkannya ke lantai!"Langkah kaki Sharon terhenti dengan paksa. Dia menatapnya dengan hati-hati dan berkata dengan dingin, "Lepaskan dia!"Dia menyipitkan matanya ke arahnya dengan jahat. "Sharon, kamu yang sengaja minta anak ini untuk melukai Sally, kan? Kamu sudah buat dia kehilangan anak di dalam rahimnya, dan sekarang kamu masih mau melukainya? Kok jahat banget ya kamu?"Sharon mengerutkan kening. "Nggak! Sekarang turunin dia dulu." Dia merasa sulit untuk menjelaskan situasinya kepadanya. Lagi pula, Howard tidak mau menerima penjelasannya. Melihat putranya berjuang dan menderita membuatnya putus asa seolah-olah hatinya akan hancur berkeping-keping.Sally, yang masih duduk di lantai, menyaksikan seluruh pemandangan. Sudut mulutnya melengkung menjadi seringai yang tidak bisa dilihat siapapun, dan matanya berkilauan dingin.Howard masih tida
Simon berkata dengan dingin tanpa ekspresi, "Kalau kamu berani sentuh anak itu lagi, jangan salahkan saya karena selanjutnya saya nggak akan kasih kamu belas kasihan ." Ia melepaskan tangannya setelah mengatakan hal itu.Howard terhuyung dua langkah sebelum berhasil menstabilkan dirinya. Seluruh lengannya terasa mati rasa dan menggantung di sisi tubuhnya tanpa daya, sambil bergetar. Ia tidak sangka pamannya akan melakukan hal seperti itu pada keponakan kandungnya demi Sharon dan Sebastian.Sally segera bangkit untuk membantu Howard dan merasa sedih. "Kamu baik-baik saja, Howard?"Ada nyala api kemarahan yang bersemayam di dada Howard. Ia melotot ke arah Sharon. Kemudian, ia berkata kepada wanita di sampingnya, "Ayo pergi."Sally tidak merasa puas, tetapi karena Simon pulang, ia tidak mungkin melakukan apa pun terhadap Sharon. Ia menggertakkan gigi dan memasuki rumah bersama Howard."Ayah, aku benar-benar nggak mendorongnya. Aku cuma pukulin orang jahat yang menggertak ibu itu." Sebas
Ekspresi Sally langsung berubah, terlihat kebencian terukir di wajahnya, ia menghadapi Sharon. "Sharon, tahu gak kamu kenapa aku pindah ke sini? Itu karena aku ingin mengusirmu keluar dari rumah keluarga Zachary untuk selamanya. Tunggu dan lihat saja!"Sharon mengimbangi tatapan dengki Sally. Ia dapat melihat ketidakpuasan dan kemarahan yang berputar-putar di mata Sally, tekad yang ia miliki untuk mengusir Sharon dari rumah atau mungkin bahkan untuk membuat Sharon menghilang dari muka bumi jika ia bisa.Ia merasa itu lucu. "Sally, lima tahun yang lalu, kamu sudah ambil pernikahanku dariku dan mencuri calon suamiku. Dan sekarang kamu ingin menghancurkan keluargaku. Sebenarnya kamu ada masalah apa sih? Kamu bener bener ga tahan lihat hidup aku baik baik aja ya? "Sally sudah terlalu ekstrim sejak dulu. Masih ada sedikit rasa sakit pada diri Sharon atas hal itu. Ia tersenyum dingin dan berkata, "Kamu benar. Aku nggak akan pernah biarin kamu menjalani kehidupan yang lebih baik daripada aku
"Kalau kamu nggak mau lihat mereka, aku bisa aja buat mereka pergi." Simon menyatakan hal ini dengan enteng. Baginya, dengan sedikit usaha saja ia bisa selesaikan persoalan itu.Sharon tercengang. 'Membuat mereka pergi?' Tidak dapat dipungkiri ia benar-benar tidak ingin tinggal bersama mereka dan harus melihat mereka setiap hari. Akan lebih baik jika ia bisa buat mereka pergi.Tapi…Ia mengatupkan bibirnya dan berkata, "Kayaknya ga usah diusir. Saya gak mau Direktur Zachary pikir aku ini wanita jahat lagi."Sally berhasil tinggal di rumah itu setelah mendapat lampu hijau dari Douglas yang bahkan malah memerintahkannya untuk istirahat yang cukup di rumah keluarga Zachary. Menurut Douglas, Sally masih ada kemungkinan bisa hamil lagi begitu ia pulih.Jika Simon memaksa mereka keluar dari rumah, pasti ujungnya Sharon yang akan disalahkan.Simon melihat ke samping wajahnya cantik dan tersenyum samar itu. "Mengapa kok kamu peduli banget sama pendapat ayah? Ceritanya mau jadi menantu peremp
Saat Sharon mencoba berpikir apa yang harus ia lakukan selanjutnya, pintu kamar tiba-tiba didorong terbuka dan terdengar suara riang kekanak-kanakan dari seorang anak kecil, "Bu... aku menang melawan kakek lagi!"Sebastian berlari ke kamar, senang dan ketika ia melihat orang tuanya saling berpelukan di sofa, ia tiba-tiba berhenti. Matanya melebar saat ia melihat mereka dan, sesaat kemudian, ia menjerit dan menutupi matanya.Sharon tidak menyangka putranya tiba-tiba menerobos masuk ke dalam ruangan dan melihat mereka dalam keadaan seperti itu. Meskipun itu bukan pose yang terlalu intim, itu tetap membuatnya malu.Ia dengan cepat mendorong Simon menjauh dan turun dari pelukannya lalu pergi ke putranya dan berkata dengan nada khawatir, "Kenapa kok tutup mata?""Mataku sakit." Anak kecil itu masih menutupi matanya dengan tangannya.Sharon menjadi cemas. "Sakit? Tadi nggak kenapa kenapa? Kok tiba-tiba sakit? Coba ibu lihat."Ia melepaskan tangan anak kecil itu dan memeriksa matanya dengan s
Sharon mengerutkan keningnya sambil menatap ruang gawat darurat di samping mereka, pintunya tertutup. Saat itu, Sebastian sedang menerima perawatan dari dokter di dalam sehingga mereka hanya bisa menunggu di luar.Sharon khawatir dan pada saat yang sama, menahan amarahnya. 'Sally, kamu pasti sengaja lakukan ini kan?'Sebuah langkah kaki terdengar datang ke arah mereka. Sharon berbalik dan melihat ternyata tidak lain adalah Sally. Wajah Sharon menjadi gelap. 'Beraninya dia muncul?'Sally memasang wajah khawatir di depan semua orang dan tanya ke petugas rumah sakit, "Bu, apa cedera Sebastian sangat parah?"Petugas rumah sakit pun menjelaskan, "Masih dalam perawatan oleh dokter ya bu. Untuk sekarang kami belum bisa pastikan apa pun."Sally melirik Sharon terlihat murka. Senyum dingin Sally dapat terlihat oleh Sharon, Sally berpura-pura terdengar bersalah ketika ia berbicara, "Ini salahku, bibi. Aku tidak menjaga anak itu ketika itu terjadi. Dia nakal dan tumpahin air di atas meja."Ia ber
"Apa kamu kemarin benar benar sedih? Bukannya anak itu Cuma salah satu bidak caturmu? Kamu cukup kejam untuk membunuhnya, jadi apa hak kamu untuk bicara dengan aku soal kesedihan? Itu bukan anak Howard, makanya kamu bisa begitu nggak berperasaan kepada anak itu, kan?" Sharon sudah tidak bisa menahan amarahnya yang sudah tidak terkendali dan balas menyerang Sally.Senyum di wajah Sally menghilang. Ia menyeringai jahat dan berkata, "Terus kenapa? toh nggak ada yang bisa buktiin anak itu bukan anak Howard, jadi jangan berpikir pakai masalah ini untuk buat nakut-nakutin aku! Apalagi minta bantuan ke Simon... jangan berharap!"Ketika Sharon mendengar itu, sebuah pikiran muncul di benaknya dengan tiba-tiba dan ia tiba-tiba juga mengerti sesuatu. Matanya yang tajam terkunci pada Sally saat ia berkata dengan ragu-ragu, "Kamu ... ikut campur dengan laporan tes DNA kemarin?"Ia terperangah ketika Simon membiarkannya melihat tes DNA. Ia tidak bisa memahami alasan di baliknya. 'Jelas anak itu buka
Howard terdiam selama beberapa detik sebelum berkata, "Oke."Sharon memasuki kamar dengan cemas dan melihat putranya terbaring di ranjang rumah sakit. Tangannya yang terbakar telah diperban dan ia belum tahu seberapa parah lukanya.“Dokter, dia…” Begitu Sharon membuka mulutnya, dokter langsung berkata, “Cederanya serius. Untung cepat ke sini. Kalau terlambat mungkin tangannya harus diamputasi. ”Mendengar itu, Sharon hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya dan sedikit goyah. Simon mengulurkan tangannya untuk menahannya.Hanya seorang ibu yang bisa mengerti betapa sakitnya hatinya saat ini!Mau tak mau ia melotot ke Sally dan matanya mendidih karena marah.Dokter melanjutkan, “Sekarang lukanya sudah dirawat ya dan dia harus tinggal di rumah sakit untuk observasi. Selama kami pantau dengan hati-hati, cederanya akan sembuh dengan baik.” "Terima kasih dokter." Sharon mencengkeram lengan Simon dengan erat. Ia merasa sangat lemah sekarang.Setelah itu, dokter menjelaskan beberapa hal yang h