Suasana seketika jadi hening. Angin yang barusan lewat pun mendadak terasa menyingkir, menyisakan ketegangan seperti kawat baja yang ditarik terlalu kencang.Zhiya menoleh perlahan ke arah Nathan. Sorot matanya berubah tajam, tapi mulutnya tetap terkunci. Ia tidak perlu bicara untuk menampar harga diri orang, tatapannya sudah cukup.Reinaldo langsung melompat ke sela-sela mereka, menyeringai santai seperti biasa. Ia melangkah ringan dan berdiri tepat di samping Zhiya, lalu bersandar dengan santai sambil meletakkan satu tangan di dagunya, menatap gadis itu dari samping.“Zhiya,” katanya dengan suara lembut yang dibuat-buat romantis, “apa kamu tahu... kamu tetap terlihat keren walau gagal?”Zhiya menatapnya. Lima detik. Tanpa berkedip.Detik keenam, siku Zhiya naik, tepat ke perut Reinaldo.Reinaldo membungkuk, tersedak, tapi masih bisa tertawa kecil. “Itu tatapan... tatapan ‘bunuh dalam lima detik’. Manisnya~”Zhiya hanya mengelap dagunya dengan lengan kanan, seolah habis disentuh sesu
Hari berikutnya, di atas halaman pelatihan sekunder — tempat yang biasanya dipakai untuk menaruh peralatan rusak, latihan remedial, dan... menyimpan boneka latihan yang kehilangan kepala.Hari itu, papan pengumuman besar dipasang dengan huruf mencolok:PROYEK BIMBINGAN ANTARKELASKELAS A → KELAS D(Program Resmi dari Direktur Akademi – Wajib)Tentu saja ini memicu kegemparan seisi akademi. Apalagi, tiga mentor yang ditugaskan adalah bintang utama Akademi:Nathaniel Wiratmaja, Valerie Anastasya, dan Reinaldo Pranata.---Di Lapangan Pelatihan Kelas D...Nathan berdiri paling depan, menatap empat murid kelas D di hadapannya dengan ekspresi seperti habis nonton tutorial hidup yang salah server.Zhiya, dengan ekspresi datar khasnya.Sekar, canggung sambil ngelus sandal bekas.Gilang... lagi tidur sambil meluk bantal koi.Tika sibuk coret-coret di buku "Strategi Mengusir Manusia Berisik."Valerie menepuk pelan pipinya dengan kipas kristal. “Astaga… aku kayak lagi syuting drama remaja trans
Nathan masih berdiri di tengah koridor, menatap permen karet rasa leci di lantai seperti itu benda paling mencurigakan yang pernah ia lihat. Angin sore menyapu ujung rambutnya, tapi pikirannya tak bergerak dari satu hal:"Dia bilang... Kak Zhiya?"Alis Nathan mengernyit. Suara bocah itu masih bergema di kepalanya — nada centil, lugu, dan sok imut, tapi mengandung satu frasa penting yang tak seharusnya ia abaikan.“Kak Zhiya ya?”Kenapa anak itu menyebut Zhiya sebagai "kakak"? Lebih penting lagi... kenapa dia keluar dari ruangan ayahnya?Nathan segera menyentuh gelang datanya dan menggeser layar hologram kecil yang muncul dari proyektor mini di pergelangan tangan. Ia membuka basis data akademi — menyaring daftar keluarga murid.Nama: Li XiaohanStatus: Adik kandung Li ZhiyaUsia: 7 tahunHubungan wali: Tidak tercatatPengantar pendaftaran: Surat rekomendasi dari Rong WeihanNathan menatap kol
Ruang Kantor Direktur ASN — Lantai Tertinggi Akademi Superhuman Indo.Cahaya matahari sore menyelinap dari balik jendela kaca tinggi, memantul pada meja kayu jati yang mengkilap. Ruangan itu luas, tenang, dan... menekan. Dindingnya dipenuhi rak buku strategi, arsip misi, dan layar holografik yang terus menampilkan grafik energi para murid.Dharma Wiratmaja berdiri membelakangi jendela, tangannya menyilang, menatap kota yang mulai diliputi awan jingga. Ketika suara ketukan halus terdengar dari pintu.“Masuk,” ucapnya.Pintu terbuka perlahan. Seorang anak laki-laki mungil, rapi dengan kemeja putih dan celana pendek abu-abu, melangkah masuk dengan langkah teratur. Mata tajamnya menatap Dharma tanpa gentar, berlawanan dengan tubuh kecilnya yang tampak terlalu ringan untuk membawa aura sedingin itu.“Direktur Dharma,” ucapnya sopan.Dharma memutar tubuh. “Li Xiaohan...”“Perkenalkan kembali,” ucap bocah itu sambil sedikit membungkuk. “Saya datang membawa pesan dari ayah saya — Rong Weihan.”
Sementara itu, Sekar duduk canggung di ruang kelas A, dikelilingi murid-murid elite yang rambutnya saja kelihatan lebih mahal dari hidupnya."Nama kamu siapa?" tanya Valerie, setengah senyum. "Sekar ya? Kamu... kok bisa masuk Kelas A?"Sekar mengangkat tangan ragu. "Aku juga nggak tahu... tadi pagi kayaknya aku cuma nendang alat pengukur dan... eh, kebetulan langsung nyala 99."Semua menoleh.Valerie tersenyum manis. "Kebetulan yang sangat... luar biasa ya."Reinaldo — entah sejak kapan dia muncul — sudah berdiri di jendela kelas A, teriak dari luar. "KARENA DIA IMUT, BEGO!"Sekar menutup wajah dengan buku. Hari pertamanya... resmi absurd.Beberapa jam setelah sesi penempatan, suasana di ruang Kelas A terasa seperti lounge hotel bintang lima. AC-nya adem, karpetnya tebal, bahkan colokan di dindingnya punya lampu indikator LED biru elegan.Sekar duduk di pojok, berusaha mengecilkan eksistensinya di antara siswa-siswa dengan aura "Saya sudah ikut pelatihan sejak dalam kandungan." Ia bar
Setelah pembacaan daftar penempatan selesai, siswa-siswa baru mulai bergerak menuju kelas masing-masing. Kelas A diantar langsung ke gedung pelatihan utama yang megah, ruangannya full AC, lantainya bersih kinclong, bahkan langit-langitnya punya efek holografik langit biru. Mereka disambut dengan senyum para instruktur terbaik, lengkap dengan kopi gratis dan roti sobek hangat di meja registrasi.Sementara itu, Kelas D?Zhiya berdiri mematung di sisi lapangan, sendirian. Seorang petugas keamanan — bukan instruktur — datang menghampirinya dengan ekspresi datar. "Kelas D? Ikuti saya."Ia dibawa keluar dari jalur umum, menuruni lorong sempit yang bahkan tidak memiliki lampu otomatis. Lantai berdebu, lampu berkedip, dan aroma... sangat tidak akademik. Di ujung lorong, ada pintu besi tua dengan tulisan pudar: Unit Observasi Khusus – Akses Terbatas.Pintu itu terbuka dengan derit menyeramkan, seperti dari film horor berbiaya rendah. Di dalamnya hanya ada satu ruangan latihan sempit beralaskan