Tidak ada tanggapan yang terlontar dari mulut Hazel. Wanita itu seolah mendengarkan, tetapi kata-kata yang keluar dari Zoe menguap begitu saja.
Tekadnya semakin kuat menyerang pikiran serta dadanya. Dia harap bisa menemukan jawaban atas segala yang mengganjal benaknya selama beberapa jam terakhir.Sedan yang ditunggangi keduanya akhirnya tiba di pelataran rumah Hazel. Entah sampai kapan pertiwi akan menangis. Mendukung mendung dan gelapnya perasaan Hazel saat ini."Terima kasih sudah mengantar kami, Zoe.""Kau bahkan belum menanggapi jawaban juga ceritaku sejak tadi," papat Zoe. Merasa terabaikan sejak kalimat terakhirnya selesai."Ajak aku main ke rumahmu lain waktu. Arrow juga pasti akan senang. Akhir pekan, jika boleh," sahut Hazel sebelum ia keluar dari mobil dan berpisah dengan pria yang telah berjasa untuk hari yang berat ini."Tentu saja. Aku akan perpanjang masa sewa mobilku, agar aku bisa menjemput kalian akhir pekaPukul 16:15.Lagi-lagi wanita beranak satu itu terlambat menjemput sang buah hati. Langit masih terang, tapi matahari sudah mulai miring. Hazel berdiri di balik pagar besi daycare, menyipitkan mata ke arah halaman samping tempat anak-anak biasa bermain sebelum dijemput. Langkahnya sempat terhenti saat mendengar suara Arrow yang familiar, riang seperti biasa. Tapi yang membuat napasnya tertahan adalah sosok yang berdiri di dekat bangku taman—Luca.“Paman Luca, belakangan ini Ibu terlihat berbeda,” ucap Arrow ringan, sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang tak menyentuh tanah. Ia duduk di ayunan kecil, sementara Luca berdiri tak jauh di depannya, membungkuk sedikit agar sejajar dengan tinggi sang bocah.“Berbeda seperti apa maksudmu?” tanya Luca lembut, alisnya berkerut tipis.“Seperti... sedih, tetapi diam. Kadang Ibu tersenyum, tetapi matanya tidak ikut tersenyum. Lalu... Dia sering melamun saat memasak, sampai telurnya hangus.”Luca ter
Langkah Hazel menggema di lantai restoran yang masih gelap dan dingin. Bau pembersih lantai menusuk hidungnya seperti biasa, begitu juga suara air dari ember dan kain pel yang menampar ubin. Tapi pagi ini terasa aneh. Sunyi. Lebih sunyi dari biasanya.Tidak ada suara Zoe yang bersenandung pelan sambil menyapu. Tidak ada tawa kecil karena lelucon receh tentang pelanggan atau pemilik restoran. Tidak ada sapaan hangat, atau kehadiran yang seolah tak pernah benar-benar pergi selama empat tahun terakhir.Hazel melirik ke arah jam dinding. Sudah lewat sepuluh menit dari waktu biasa Zoe datang. Biasanya pria itu selalu lebih dulu. Selalu datang dengan kopi kaleng dingin dan wajah lusuh yang selalu menyimpan senyum tipis.Tapi pagi ini tidak ada siapa-siapa.Hazel menghela napas dan melanjutkan pekerjaannya, meski ritmenya terasa goyah. Tangannya bekerja, tapi pikirannya melayang ke malam terakhir mereka berbicara. Zoe sempat bicara lebih banyak dari bias
Luca tetap mematung. Jemarinya perlahan bergerak, nyaris ragu, sebelum akhirnya menyentuh liontin itu. Dingin. Sedingin malam ketika ia kehilangannya—malam yang mengubah semuanya.“Ini… semua milik Ibu, ya?” tanya Arrow pelan, memiringkan kepalanya penuh rasa ingin tahu.Luca mengangguk perlahan. “Entahlah,” jawabnya nyaris tak terdengar. “Dulu salah satunya milik Om. Lalu hilang. Dan sekarang…”Ia tak sanggup melanjutkan. Napasnya tercekat.Arrow tampak bangga. “Berarti Om dan Ibu pernah bertemu, ya?”Luca hanya menatap anak itu. Tatapan yang tidak sekadar menjawab, tapi menggali, menyesali, menimbang ribuan pilihan yang tak sempat ia ambil enam tahun lalu.“Arrow… Om tidak seharusnya di sini,” gumamnya akhirnya.Arrow menunduk. “Tapi aku senang Om datang.”Itu menghantam dada Luca lebih kuat daripada kemarahan Hazel. Bocah ini tidak tahu apa-apa—dan itu justru membuat semuanya terasa lebih salah.Luca
Luca menyetir tanpa tujuan. Deru mesin mobilnya lebih seperti gema dari hatinya yang bergemuruh. Kota terasa sempit meski jalanan luas. Dia melaju, memutar, menepi, memutar lagi. Seakan berharap waktu bisa melarutkan amarah Hazel, atau paling tidak, melarutkan suara wanita itu yang terus terngiang di kepalanya."Kamulah hantu di hidupku..."Ucapan itu tak mau diam. Seperti pukulan telak yang tidak bisa ia tangkis.Jarum jam akhirnya menunjukkan pukul 15:30. Matahari condong, cahayanya menggurat langit dengan warna jingga muda. Dan entah apa yang menuntunnya, Luca malah kembali ke tempat yang tidak seharusnya ia datangi—taman kecil di dalam daycare itu, tempat di mana ia pertama kali berbicara banyak hal dengan Arrow. Tempat yang mengikatnya sejak tatapan biru kecil itu menangkapnya.Ia tahu ini salah. Hazel sudah memberi batasan. Tapi batasan itu... tidak mengubah kenyataan: darahnya mengalir dalam tubuh bocah itu.Luca turun dari mobil.
Luca berdiri diam di ambang pintu. Lalu ia berbicara, suaranya serak, seperti mengikis dari dalam.“Aku tidak pantas bicara. Tapi kalau kau biarkan aku menjelaskan… aku akan tetap coba. Bukan untuk minta dimengerti. Tapi karena aku tahu kau berhak tahu kebenaran dari mulutku sendiri.”Hazel tetap berdiri. Matanya tajam. Tapi ia membiarkan.Luca menarik napas panjang. “Malam itu... aku tidak sedang waras. Aku mabuk. Tapi bukan itu masalahnya. Bahkan kalau pun aku sadar sepenuhnya, aku tidak bisa menjamin aku akan bertindak berbeda.”Kata-katanya menggantung, menyakitkan bahkan bagi dirinya sendiri.“Aku melihatmu dikejar-kejar rentenir. Kau masuk ke tempat itu dengan napas terengah. Matamu penuh takut, tubuhmu menggigil. Tapi... justru itu yang menampar sisi tergelap dalam diriku.” Ia menunduk. “Aku—aku tertarik, Hazel. Dan itu menjijikkan. Karena aku tahu aku punya kuasa. Uang. Nama. Senjata. Dan kau tidak punya apa-apa.”Suarany
Tidak ada tanggapan yang terlontar dari mulut Hazel. Wanita itu seolah mendengarkan, tetapi kata-kata yang keluar dari Zoe menguap begitu saja. Tekadnya semakin kuat menyerang pikiran serta dadanya. Dia harap bisa menemukan jawaban atas segala yang mengganjal benaknya selama beberapa jam terakhir. Sedan yang ditunggangi keduanya akhirnya tiba di pelataran rumah Hazel. Entah sampai kapan pertiwi akan menangis. Mendukung mendung dan gelapnya perasaan Hazel saat ini. "Terima kasih sudah mengantar kami, Zoe.""Kau bahkan belum menanggapi jawaban juga ceritaku sejak tadi," papat Zoe. Merasa terabaikan sejak kalimat terakhirnya selesai. "Ajak aku main ke rumahmu lain waktu. Arrow juga pasti akan senang. Akhir pekan, jika boleh," sahut Hazel sebelum ia keluar dari mobil dan berpisah dengan pria yang telah berjasa untuk hari yang berat ini. "Tentu saja. Aku akan perpanjang masa sewa mobilku, agar aku bisa menjemput kalian akhir peka