Ketika utang menjadi ancaman dan perlindungan menjadi kutukan, Hazel harus menghadapi kenyataan pahit. Setelah meminta bantuan orang asing untuk melindungi dirinya dari rentenir, dia malah terjebak dalam jerat kekerasan dan kehilangan kendali atas hidupnya. Kini, dengan kehamilan yang tidak diinginkan, Hazel harus memilih antara melawan atau menyerah pada nasib yang pahit. Apakah dia bisa menemukan kekuatan untuk melawan dan mengubah hidupnya, ataukah masa lalunya akan terus menghantuinya?
Lihat lebih banyak“Ibu! Kenapa banyak sekali orang di sini?”
“Ibu, apakah di sini juga ada tempat untuk bermain?”
“Apakah aku bisa ambil apa pun yang aku mau tanpa mengurangi uang Ibu? Apakah bisa, Ibu?”
Belum selesai dengan satu soal yang terlontar dari mulut bocah tersebut, sudah harus disusul introgasi berikutnya. Tidak heran, anak-anak selalu ingin mengetahui dunia dengan segala pertanyaan yang acak.
Meski begitu cerewet, ia tetap berjalan dengan disiplin tepat di sisi sang Ibu yang masih menanggapi keingintahuan sang anak dengan senyuman.
Mereka berada di pusat perbelanjaan terbesar di kota. Kali pertama bagi bocah itu memiliki waktu bahagia layaknya hari ini. Sang ibu yang harus dituntut untuk menghidupi bocah itu sendirian membuatnya tidak mampu meluangkan waktu untuk mengajak jalan-jalan meski hanya sekadar ke tempat bermain.
“Baik. Dengarkan Ibu. Pertama. Kenapa di sini banyak sekali orang karena, ini adalah tempat umum. Di mana, kita harus menjaga sikap. Kurang baik jika, kita berteriak, membuang sampah sembarangan juga menyerobot antrian dan menatap orang lain secara berlebih, oke?” Bocah lima tahun itu menatap manik mata sang ibu dengan jeli kemudian mengangguk tanda bahwa dia sangat memahami aturan pertama.
“Bagus. Great Boy! Kedua.” Sang Ibu mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya. Masih setia berjongkok agar tinggi mereka setara dan ia bisa menatap wajah sang anak.
“Di tempat seluas ini sudah pasti ada arena bermain untuk para anak-anak baik sepertimu. Banyak wahana yang bisa kamu mainkan hingga puas dengan catatan, kamu harus berbagi bersama mereka. Kamu bisa mempertahankan mainanmu jika kamu belum merasa puas dengan permainan atau benda yang kamu mainkan saat itu tapi, catatan pentingnya, kamu harus menjelaskan pada temanmu atau pengunjung lain bahwa, kamu masih ingin memainkan itu. Bisa di pahami?”
Kepala bocah itu bergerak naik turun. Dia setuju dengan gagasan yang dilontarkan sang ibu. Lantas ia membuka suaranya kembali, “aku paham, Ibu.”
“Good Boy. Lalu pertanyaan ketiga. Seperti penjelasan ibu di awal bahwa, ini adalah tempat umum. Sudah jelas kalau kita harus menjaga sikap. Mengambil barang milik orang lain adalah hal buruk, bukan? Setiap yang terpampang di balik ruangan kaca besar-besar itu adalah milik orang lain. Pantaskah kita mengambil tanpa memberikan uang senilai barang tersebut?”
“Aku kira tidak.” Kepala bocah itu tertunduk. Ia merasa bahwa pertanyaannya sangat buruk. Merasa bersalah kepada sang ibu.
“It’s okay, Boy. Keingintahuanmu itu benar. Tidak ada yang salah dengan apa yang ingin kamu pahami. Ini tidak ada salahnya. Buang wajah menyesal itu, Bubblebee. Berikan ibu senyum paling manis yang kamu miliki kemudian, kita akan bermain sepuas yang kamu mau!” serunya.
Tanpa menunggu lama, laki-laki cilik itu menarik kedua bibirnya dan melompat kegirangan. Mempererat pegangannya pada jemari sang ibu lantas melanjutkan langkah bersama.
Menikmati setiap wahana bermain yang ada di time zone. Tawa riang anaknya membawa kabur rasa lelah dan lesu sang ibu. Pikiran yang setiap hari menumpuk membebani jiwa dan raga seolah sirna.
Tidak akan ia biarkan pandangannya lusuh dari buah hatinya. Janin yang dulu hampir ia gugurkan. Bayi yang setiap malam ia tangisi karena takut kalau tidak bisa dirawat dengan baik. Bocah yang selalu bertanya keberadaan sosok ayah.
Air mata tidak bisa dibendung saat kenangan pahit malam itu terlintas kembali dalam benaknya. Sudah lima tahun terlewat. Namun, luka dan bekasnya masih melekat. Sudah lima tahun dia berusaha untuk mengubur dalam pahitnya kenyataan, tetapi hasilnya nihil.
Ia tidak pernah bisa berdamai dengan masa lalunya hingga saat ini. Kendati, segalanya tampak baik-baik saja. Ia hanya berjanji pada diri sendiri. Memupuk kewarasan, bahwa apa pun yang terjadi dulu, sang anak sama sekali tidak bersalah. Dia tidak bisa memilih dari rahim siapa ia dilahirkan. Bagaimana dia bisa ada di dunia ini, laki-laki kecil itu tidak pernah mengetahuinya.
“Ibu! Aku ingin ke kamar mandi. Bisakah Ibu mengantarku?” Suara lucu itu membuyarkan lamunan sang ibu.
Secara cepat kesadarannya terseret. Ia menatap anaknya kemudian mengangguk dan menarik pantatnya dari kursi. Berjalan menggenggam tangan sang anak menuju ke toilet yang ada di ujung lorong.
“Ibu tunggu di sini saja. Ini toilet pria, ibu dilarang masuk. Benarkan?” Lagi-lagi sang ibu memberikan senyum bangga pada buah hatinya.
“Itu benar. Ingat pesan ibu, oke?” Anggukan untuk kesekian kalinya, ia layangkan pada sang ibu. Bocah itu lantas merangsek masuk ke kamar mandi pria.
“Kemaluan, dada, dan bokong tidak boleh disentuh tanpa izin. Apalagi oleh orang yang tidak dikenal. Jangan pernah berbicara dengan orang asing atau mengikuti kemauan aneh orang tidak dikenal.” Begitu sekiranya dia selalu memberi wejangan pada sang anak.
Sementara itu di dalam toilet. Arrow terus menatap pria asing yang berada di sampingnya. Mencuci tangan dan merapikan rambutnya sama seperti yang dilakukan olehnya. Gerakan dan gaya mereka mirip.
“Om mengikutiku?” tanyanya pada pria asing. Ia bahkan telah melupakan satu dari banyaknya aturan yang telah dia dan ibunya sepakati.
“Hei, bocah! Yang ada kamulah yang menirukanku.”
Arrow mencebikkan mulutnya. Dia tidak ingin berdebat karena, fokusnya sudah teralihkan dengan tatto yang ada di tangan laki-laki itu.
“Om nyata, ya?”
Pandangan pria dengan rambut yang dicat abu-abu itu terarah pada bocah yang dirasa sangat cerewet itu. “Apa maksudmu?” timpalnya.
“Ibu selalu menggambar banyak pria. Tapi gambarnya selalu sama. Tanpa wajah yang jelas, namun fokus pada tatto yang seperti milik Om. Apakah Om juga punya tatto lain selain di tempat itu?”
Menanti terlalu lama membuat sang ibu khawatir pada anaknya. Sudah lebih dari lima menit Arrow berada di dalam sana. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Hazel mendorong pintu dan beberapa langkah sebelum menemukan anaknya. Ia bisa mendengar perbincangan yang dilakukan oleh sang anak dengan sosok yang Hazel tidak ketahui.
“Maksudmu, Ibumu adalah seniman yang suka menggambar objek gaib?”
“Tidak. Ibu selalu bilang kalau aku harus berhati-hati dengan orang yang memiliki tatto seperti milik Om. Aku tidak tahu maksudnya. Apakah Om orang jahat?”
Bahunya terangkat dengan tubuh sedikit bergetar, saat ia dengar lebih jelas anaknya berbicara dengan orang lain di dalam sana.
“Arrow!” panggil Hazel. Napasnya menderu ketakutan saat semakin jelas dia dengar ucapan sang anak.
“Kamu sudah terlalu lama. Kita harus keluar dan segera pulang!” Ia seret pergelangan tangan Arrow. Melangkah dengan lebar keluar dari toilet tanpa melihat dengan jelas rupa dari pria yang baru saja berbicara dengan anaknya.
“Apa maksud dari semua itu, Arrow?! Jelaskan pada ibu! Kita sudah membuat kesepakatan. Tidak ada obrolan dengan orang asing. Tidak ada basa-basi atau bahkan berbagi hal pribadi dengan orang lain kecuali antara kita berdua, bukan? Kamu melupakan itu semua?” Hazel memberondong tuduhan pada bocah berusia lima tahun itu. Begitu mereka tiba di tempat parkir.
Ia hanya tidak ingin anaknya terluka atau bahkan celaka akibat dari keteledoran dan over sharing pada orang yang tidak dikenal.
Arrow sadar bahwa tindakannya salah. Hanya mampu tertunduk. Menatap ujung sepatu. Belum berani menimpali omelan sang ibu hingga wanita berjasa itu meminta penjelasan padanya.
“Huh! Maafkan, Ibu.” Helaan napas frustasi. Hazel pun menyadari bahwa dia sungguh keterlaluan. Mengoceh sebelum mendengar penjelasan Arrow.
“Ibu hanya tidak ingin kamu kenapa-kenapa, Arrow. Hanya kamu yang ibu punya. Hanya kamu alasan ibu ada. Berjanjilah tidak akan mengulang hal yang sama. Janji?”
Arrow memeluk ibunya. “Aku berjanji, Ibu. Maafkan, aku.”
“It’s okay. Semua sudah berakhir. Kita pulang, ya. Sudah sore.”
Dalam perjalanan Hazel masih memikirkan siapa dan benarkah sosok dilihat Arrow adalah orang yang memiliki tatto sama dengan orang lima tahun lalu?
“Arrow. Bolehkah ibu tanya sesuatu padamu?”
“Tentu saja.”
“Apakah kamu benar-benar melihat laki-laki yang ibu gambar?”
“Ya. Versi nyata dengan wajah yang jelas. Kenapa ibu tidak menggambar wajahnya? Dia tidak buruk.”
Andaikan kamu tahu alasannya, Nak.
“Kenapa Ibu selalu menggambarnya? Kenapa juga setelah selesai melukis sosoknya, Ibu selalu merusak gambar itu? Apakah ada yang salah dengannya, Bu? Atau ada yang salah dengan Ibu?”
“Tidak, Nak. Sudahlah, lupakan.” Hazel kembali fokus pada motor yang ia kemudikan. Kembali menuju kediaman.
Keringat belum sempat mengering dari pelipis Hazel ketika suara bel restoran kembali berdenting. Aroma keju panggang dan sup krim yang mengepul menguar ke udara, disambut dengan langkah-langkah pelanggan yang datang silih berganti. Jam menunjukkan pukul sembilan petang, tapi restoran masih ramai seperti siang tadi. Hazel menarik napas panjang, menekan rasa letih yang mulai merayap naik ke tengkuknya. Satu per satu, ia mencatat pesanan, menyeka meja, dan menyambut tamu dengan senyum tipis yang ia ciptakan secara otomatis—senyum yang kini terasa seperti topeng yang melekat permanen di wajahnya.Ia tidak punya waktu untuk sekadar duduk. Bahkan saat rekan-rekannya bergantian mengambil waktu istirahat, Hazel tetap sibuk bergerak dari meja ke meja. Di dalam dirinya, ada rasa bersalah yang terlalu akrab: ia sudah terlambat menjemput Arrow tadi. Surat kecil dari anaknya masih tersimpan rapi dalam saku celemek, menunggu dibaca di waktu yang belum ia miliki.Menjelang waktu tutup, restoran perl
"Apa maksudmu, Shofia? Tuduhan macam apa yang kau layangkan padaku itu, huh?" Saat ini, Orlando telah diringkus dan harus puas dengan ikatan di tangan juga luka di wajah.Jemari nakal yang sebelumnya menggoda justru memberi hadiah istimewa. Menonjok, dan memuntir kedua tangan Orlando mengikis pergerakan dari laki-laki pengkhianatan itu.Shofia menyadari bahwa suara Orlando benar-benar mirip dengan penelepon anonim. Seorang duri dalam daging organisasi mereka."Tutup mulutmu dan nikmati saja bercinta denganku. Bos sudah memerintahku untuk mengulitimu, Sayang. So, ada pesan terakhir yang ingin kau sampaikan?" Shofia mengasah pisau kecil yang sudah ia kantongi saban waktu.Tangan lentik mulus meraih pemantik yang tergeletak di meja kaca. Shofia menyalakan rokok dengan ujung jari bergetar, lalu mengisapnya dalam-dalam. Matanya menatap kosong ke arah tubuh Orlando yang kini terkulai tak berdaya di lantai. Darah menodai ujung gaun hitamnya—jeans robek milik Orlando itu juga berlumuran merah
Gudang tua terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Di dalamnya, sekelompok orang berkumpul, wajah-wajah mereka terlihat tegang dan waspada. Mereka adalah anggota komplotan rahasia yang telah lama beroperasi di kota, dan malam ini mereka berkumpul untuk melakukan transaksi obat-obatan terlarang dengan jumlah yang sangat besar.Bos komplotan, seorang pria berwajah keras dan mata tajam, dengan tatto bintang di punggung tangan berdiri di tengah-tengah ruangan, mengamati barang yang telah dibawa oleh pedagang. Namun, saat dia membuka paket-paket tersebut, wajahnya semakin mengerut dan matanya menyempit."Apa ini?" Dia bertanya dengan nada yang rendah dan mengancam. "Kamu bilang ini adalah barang kelas A, tapi yang aku lihat ini adalah sampah. Kamu mencoba menipuku?"Si pedagang yang berdiri di depannya terlihat gemetar, dia tahu bahwa dia berada dalam bahaya. "Saya... saya tidak tahu apa yang terjadi, bos. Saya hanya bertugas mengantarnya. Saya yakin ini ad
"Maafkan Ibu, Arrow. Tidak jarang kamu harus tidur sendirian. Apakah ada dendam untuk ibu di hati kecilmu, Bubblebee?" Jari-jari kurus dan kasar milik Hazel mengusap rambut lembut sang anak.Mata berkaca-kaca setiap kali dia harus mendapatkan shif malam. Waktu di mana seharusnya ia bisa berbaring dan menghidu aroma wangi anak. Namun, dia kudu menembus dingin malam demi sebuah kehidupan layak untuk buah hati.Mendaratkan satu kecupan begitu dalam di dahi Arrow, lantas ia menarik diri dan menjauh. Menutup pintu bersiap untuk ke restoran. Melirik jarum jam yang masih menuding angka 21.30."Jika dia tidak bangun, tolong jangan masuk ke kamarnya. Lebih baik kamu tidur saja," titahnya pada seseorang yang saban malam menemani anaknya di rumah, sembari menyambar tas di meja."Baik, Hazel.""Terima kasih, Isabell. Maaf masih terus merepotkanmu.""Jangan sungkan. Anggap saja aku butuh kerja dan kamu butuh aku untuk anakmu. Arrow beruntung memilikimu, Hazel. Jangan menyerah."Bersamaan dengan ta
“Ibu! Kenapa banyak sekali orang di sini?”“Ibu, apakah di sini juga ada tempat untuk bermain?”“Apakah aku bisa ambil apa pun yang aku mau tanpa mengurangi uang Ibu? Apakah bisa, Ibu?”Belum selesai dengan satu soal yang terlontar dari mulut bocah tersebut, sudah harus disusul introgasi berikutnya. Tidak heran, anak-anak selalu ingin mengetahui dunia dengan segala pertanyaan yang acak.Meski begitu cerewet, ia tetap berjalan dengan disiplin tepat di sisi sang Ibu yang masih menanggapi keingintahuan sang anak dengan senyuman.Mereka berada di pusat perbelanjaan terbesar di kota. Kali pertama bagi bocah itu memiliki waktu bahagia layaknya hari ini. Sang ibu yang harus dituntut untuk menghidupi bocah itu sendirian membuatnya tidak mampu meluangkan waktu untuk mengajak jalan-jalan meski hanya sekadar ke tempat bermain.“Baik. Dengarkan Ibu. Pertama. Kenapa di sini banyak sekali orang karena, ini adalah tempat umum. Di mana, kita harus menjaga sikap. Kurang baik jika, kita berteriak, memb
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen