Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang pria tua menarik gerobak penuh bunga melewati jalan setapak di sisi lain. Mawar merah, merah muda, lili putih, dan seruni kuning tampak mekar dengan aroma yang menguar samar ke udara. Aroma itu begitu lembut, mengisi ruang dengan kesan hangat dan damai, kontras dengan riuh rendah langkah kaki dan suara kendaraan di sekitar.
Arrow berdiri. Matanya berbinar, menatap bunga-bunga itu dengan harapan yang tumbuh di hatinya. Ibu pasti suka bunga itu, pikirnya dengan suara hati yang kecil tapi penuh keyakinan.
“Ibu pasti suka,” ucapnya lagi dengan suara lembut, hampir seperti berbisik untuk dirinya sendiri, penuh harap.
Tanpa ragu, ia melepas ransel kecilnya dan mulai mengobrak-abrik isinya. Tangannya kecil yang gemetar menyentuh kantong koin kecil yang disembunyikan Hazel untuk
Motor Hazel melaju perlahan di jalan kecil yang dipenuhi pepohonan rindang di kedua sisinya. Udara pagi menerpa bersama aroma embun dan wangi dedaunan basah. Di kursi belakang, Arrow duduk tenang sambil memeluk ranselnya, matanya menaiti keseluruh arah, mengikuti pemandangan yang berlalu. Jaket tebal memeluk erat tubuhnya melindunginya dari udara dingin nun segar.Sesekali Hazel melirik ke kaca spion, memperhatikan wajah anaknya. Meskipun tampak sedikit pucat, sorot mata Arrow tetap jernih. Ia belum sepenuhnya pulih dari kejadian kemarin—masih ada jejak trauma yang membekas. Tapi setidaknya, pagi ini terasa sedikit lebih ringan.“Masih mengantuk, Bubblebee?” tanya Hazel sambil tersenyum kecil.Arrow menggeleng pelan. “Tidak, aku sedang berpikir keras, Bu.”
Cahaya kristal dari lampu gantung bergeming tenang di atas langit-langit tinggi, memantulkan kilau samar ke seluruh ruangan yang luas dan mewah. Lantai marmer putih mengilap, dinding-dinding dihiasi lukisan-lukisan mahal, semuanya tampak sempurna—kecuali satu hal: kehampaan yang membungkusnya.Rumah itu besar, megah, tapi dingin. Seperti Luca sendiri.Tak ada musik, tak ada suara televisi, tak ada tawa. Hanya detik jam mahal yang berdetak pelan, seolah menjadi satu-satunya saksi bahwa waktu masih terus berjalan di tempat itu.Ia melemparkan jaket hitamnya ke sofa kulit berwarna gelap di ruang tamu. Gerakannya asal, menciptakan bunyi lirih yang segera ditelan keheningan.Namun ketika jaket itu jatuh, sesuatu meluncur keluar dari saku dalamnya. Sebuah kertas kecil, terlipat asal, mendarat di lantai dengan suara nyaris tak terdengar.Luca menatapnya sejenak. Sekilas, itu tampak seperti selembar sampah yang tak berarti. Tapi ada sesuatu—seb
"Arrow!"Teriakan itu meletup dari bibir Hazel, parau dan penuh keputusasaan. Matanya sembab, merah, wajahnya basah oleh air mata yang tak sempat ia seka. Rambutnya kusut, berantakan, menempel pada wajah dan leher karena keringat dan air yang menyapu kotoran di baju tadi yang belum kering sepenuhnya di baju.Begitu sosok kecil itu tampak dalam dekapan Zoe, Hazel langsung berlari, menghambur, memeluknya sekuat yang ia bisa.Ia merebut Arrow dari Zoe, memeluk tubuh mungil itu erat-erat, seakan takut kalau bocah itu menghilang lagi begitu saja. Hazel berkali-kali mengecup pucuk kepala, dahi, pipi, pelipis anaknya, tangannya sibuk meraba tubuh Arrow, memastikan tidak ada luka atau goresan."Jangan pernah pergi lagi, Arrow," gumam Hazel di antara isakannya. "Kamu tahu, ibu mencarimu dari ujung ke ujung. Jangan pernah pergi dari ibu seperti itu... jangan pernah..."Arrow hanya mengangguk kecil di dalam pelukan itu, kedua tangannya melingkari leher Hazel
Tangan itu mencengkeram kerah jaket kecil Arrow—bukan untuk menculik, tapi untuk menariknya mundur, menjauh dari bayangan gelap yang hampir merenggutnya. Sekejap, tubuh kecil itu ditarik dengan kekuatan halus tapi tegas, lalu dipeluk erat ke dada seseorang, di bawah sinar matahari sore yang mulai meredup.“Arrow!”Suara itu lembut namun penuh kemarahan. Arrow mengenal aroma tubuh itu. Bau parfum khas yang biasa tercium saat Zoe memeluknya sepulang kerja ibunya, campuran wangi kayu dan sedikit rempah yang hangat.Mata Arrow melebar. “Zoe…”Kata itu nyaris tak percaya, namun penuh harapan.Zoe tak menunggu. Ia berdiri dengan tubuh menghalangi pria bertato yang secara bersamaan menemukan Arrow, membentuk bayangan pelindung yang kokoh di antara mereka.“Apa kau sudah gila?” desis Zoe dengan napas tersengal, sorot matanya membara menatap pria asing itu.Pria itu membeku, seperti terkejut oleh ke
Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang pria tua menarik gerobak penuh bunga melewati jalan setapak di sisi lain. Mawar merah, merah muda, lili putih, dan seruni kuning tampak mekar dengan aroma yang menguar samar ke udara. Aroma itu begitu lembut, mengisi ruang dengan kesan hangat dan damai, kontras dengan riuh rendah langkah kaki dan suara kendaraan di sekitar.Arrow berdiri. Matanya berbinar, menatap bunga-bunga itu dengan harapan yang tumbuh di hatinya. Ibu pasti suka bunga itu, pikirnya dengan suara hati yang kecil tapi penuh keyakinan.“Ibu pasti suka,” ucapnya lagi dengan suara lembut, hampir seperti berbisik untuk dirinya sendiri, penuh harap.Tanpa ragu, ia melepas ransel kecilnya dan mulai mengobrak-abrik isinya. Tangannya kecil yang gemetar menyentuh kantong koin kecil yang disembunyikan Hazel untuk
Bagian 6Pagi itu, matahari bersinar malu-malu di balik awan, seolah tahu bahwa hari ini bukan hari biasa bagi Hazel dan Arrow. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Hazel mengambil hari libur dan terhindar dari tekanan kerja, dengan senyum yang belum pudar sejak bangun tidur, ia menggenggam tangan kecil Arrow yang tak henti melompat kegirangan. Kebun binatang selalu berhasil membuat bocah itu tertawa paling kencang."Kita betul mau ke kebun binatang, Ibu?" tanya Arrow, matanya bersinar. Berjalan di samping sang ibu dengan jaket biru yang menghangatkan tubuh mungilnya.Hazel tertawa. "Betul, dong. Tapi kamu harus janji satu hal.""Apa?""Jangan lari-lari sendiri, ya. Pegang tangan Ibu terus."Arrow mengangguk keras-keras. "Janji, demi es krim!"Hazel mencubit pipinya pelan. “Dasar bocah es krim.”**Kebun binatang itu ramai oleh keluarga yang datang untuk menikmati akhir
Keringat belum sempat mengering dari pelipis Hazel ketika suara bel restoran kembali berdenting. Aroma keju panggang dan sup krim yang mengepul menguar ke udara, disambut dengan langkah-langkah pelanggan yang datang silih berganti. Jam menunjukkan pukul sembilan petang, tapi restoran masih ramai seperti siang tadi. Hazel menarik napas panjang, menekan rasa letih yang mulai merayap naik ke tengkuknya. Satu per satu, ia mencatat pesanan, menyeka meja, dan menyambut tamu dengan senyum tipis yang ia ciptakan secara otomatis—senyum yang kini terasa seperti topeng yang melekat permanen di wajahnya.Ia tidak punya waktu untuk sekadar duduk. Bahkan saat rekan-rekannya bergantian mengambil waktu istirahat, Hazel tetap sibuk bergerak dari meja ke meja. Di dalam dirinya, ada rasa bersalah yang terlalu akrab: ia sudah terlambat menjemput Arrow tadi. Surat kecil dari anaknya masih tersimpan rapi dalam saku celemek, menunggu dibaca di waktu yang belum ia miliki.Menjelang waktu tutup, restoran perl
"Apa maksudmu, Shofia? Tuduhan macam apa yang kau layangkan padaku itu, huh?" Saat ini, Orlando telah diringkus dan harus puas dengan ikatan di tangan juga luka di wajah.Jemari nakal yang sebelumnya menggoda justru memberi hadiah istimewa. Menonjok, dan memuntir kedua tangan Orlando mengikis pergerakan dari laki-laki pengkhianatan itu.Shofia menyadari bahwa suara Orlando benar-benar mirip dengan penelepon anonim. Seorang duri dalam daging organisasi mereka."Tutup mulutmu dan nikmati saja bercinta denganku. Bos sudah memerintahku untuk mengulitimu, Sayang. So, ada pesan terakhir yang ingin kau sampaikan?" Shofia mengasah pisau kecil yang sudah ia kantongi saban waktu.Tangan lentik mulus meraih pemantik yang tergeletak di meja kaca. Shofia menyalakan rokok dengan ujung jari bergetar, lalu mengisapnya dalam-dalam. Matanya menatap kosong ke arah tubuh Orlando yang kini terkulai tak berdaya di lantai. Darah menodai ujung gaun hitamnya—jeans robek milik Orlando itu juga berlumuran merah
Gudang tua terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Di dalamnya, sekelompok orang berkumpul, wajah-wajah mereka terlihat tegang dan waspada. Mereka adalah anggota komplotan rahasia yang telah lama beroperasi di kota, dan malam ini mereka berkumpul untuk melakukan transaksi obat-obatan terlarang dengan jumlah yang sangat besar.Bos komplotan, seorang pria berwajah keras dan mata tajam, dengan tatto bintang di punggung tangan berdiri di tengah-tengah ruangan, mengamati barang yang telah dibawa oleh pedagang. Namun, saat dia membuka paket-paket tersebut, wajahnya semakin mengerut dan matanya menyempit."Apa ini?" Dia bertanya dengan nada yang rendah dan mengancam. "Kamu bilang ini adalah barang kelas A, tapi yang aku lihat ini adalah sampah. Kamu mencoba menipuku?"Si pedagang yang berdiri di depannya terlihat gemetar, dia tahu bahwa dia berada dalam bahaya. "Saya... saya tidak tahu apa yang terjadi, bos. Saya hanya bertugas mengantarnya. Saya yakin ini ad