Bagian 6
Pagi itu, matahari bersinar malu-malu di balik awan, seolah tahu bahwa hari ini bukan hari biasa bagi Hazel dan Arrow. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Hazel mengambil hari libur dan terhindar dari tekanan kerja, dengan senyum yang belum pudar sejak bangun tidur, ia menggenggam tangan kecil Arrow yang tak henti melompat kegirangan. Kebun binatang selalu berhasil membuat bocah itu tertawa paling kencang.
"Kita betul mau ke kebun binatang, Ibu?" tanya Arrow, matanya bersinar. Berjalan di samping sang ibu dengan jaket biru yang menghangatkan tubuh mungilnya.
Hazel tertawa. "Betul, dong. Tapi kamu harus janji satu hal."
"Apa?"
"Jangan lari-lari sendiri, ya. Pegang tangan Ibu terus."
Arrow mengangguk keras-keras. "Janji, demi es krim!"
Hazel mencubit pipinya pelan. “Dasar bocah es krim.”
**
Kebun binatang itu ramai oleh keluarga yang datang untuk menikmati akhir pekan. Bau rumput basah bercampur aroma makanan ringan dari gerobak penjaja, dan suara burung-burung bersahutan dengan teriakan anak-anak. Arrow tak berhenti menunjuk ke segala arah.
"Itu Zebra! Zebra seperti kuda tapi pakai piyama!" serunya.
Hazel tertawa lepas. Sudah lama ia tak merasa begitu ringan. Melihat Arrow begitu senang, membuat semua lelah dan beban terasa sepadan. Mereka berjalan melewati kandang Jerapah, melihat Berang-Berang yang tidur melingkar, dan akhirnya tiba di kandang Singa.
“Ibu, itu Singanya ngantuk, ya?” Arrow memiringkan kepala. “Kenapa dia tidak menyeramkan seperti di kartun?”
“Karena sekarang waktunya dia tidur siang, Sayang,” jawab Hazel. “Singa itu makhluk malam. Jadi mereka aktifnya nanti kalau sudah gelap.”
Arrow mengangguk penuh perhatian, lalu bertanya, “Kalau aku jadi Singa, aku boleh bangun siang terus?”
Hazel terkekeh. “Kalau kamu jadi Singa, Mommy juga jadi Singa. Dan kita bisa tidur siang bareng.”
“Ibu, kalau aku jadi Gajah apakah aku bisa berubah warna layaknya bunglon?”
Tawa Hazel kembali terdengar. Sungguh, bocah itu mampu membuat gelap dan kelamnya idup Hazel menjadi terang. Menjadi indah layaknya pelangi.
“Kalau bisa, Ibu minta kamu berganti warna ketika kamu berbohong.” Arrow cemberut pura-pura marah. Lantas kemudian tersenyum saat sang ibu menatapnya dengan kuluman tawa.
**
Setelah satu jam berkeliling, mereka duduk di bangku dekat kandang Rusa, menikmati es krim cokelat dan vanila. Arrow duduk bersila, wajah dan tangan belepotan cokelat, tak peduli dunia.
“Ibu,” ujarnya sambil menatap Rusa, “kalau hewan punya sekolah, kira-kira pelajaran mereka apa?”
Hazel tersenyum. “Mungkin belajar cara berlari cepat, cara bertahan hidup... atau cara menyamar dari pemburu.”
Arrow berpikir sejenak. “Kalau aku Rusa, aku pasti suka pelajaran menyamar. Biar bisa sembunyi kayak ninja.”
Hazel menatap anaknya dengan penuh cinta. “Kamu pasti jadi ninja paling lucu di hutan.”
Tiba-tiba, seekor Rusa muda mendekat ke pagar, dan Arrow berdiri dengan hati-hati, merogoh saku celananya. “Ibu, boleh aku kasih roti ini?”
Hazel mengangguk. “Pelan-pelan ya, jangan kagetin dia.”
Arrow mengulurkan tangan kecilnya. Rusa itu menjulurkan lidah, menjilat roti dari telapak tangannya. Arrow terkejut tapi tertawa riang. “Dia suka! Ibu, dia suka!”
Hazel menatap pemandangan itu lama. Bukan karena rusanya. Tapi karena wajah Arrow—bahagia, polos, dan penuh rasa ingin tahu. Dan Hazel tahu, inilah yang ingin ia lindungi. Dunia seperti ini. Tawa seperti itu.
Setelah makan siang dan satu putaran naik kereta keliling kebun binatang, Hazel dan Arrow duduk di bangku dekat taman kecil sambil menikmati es krim. Arrow menggenggam balon panda di tangan kirinya, dan tangan kanannya sibuk mencolek es krim yang meleleh.
“Ibu sayang aku?” tanya Arrow tiba-tiba.
Hazel berhenti sejenak, lalu mengusap kepala anaknya. “Lebih dari apa pun di dunia ini.”
Mereka saling tersenyum. Lalu tertawa. Lalu tertawa lebih keras lagi saat Arrow menunjuk ke wajah Hazel yang ternyata terkena bercak es krim.
Dan karena tawa yang terlalu riang, Hazel tak sengaja menabrak seseorang saat hendak berdiri. Gelas kopi yang dipegang orang itu tumpah—dan sebagian besar jatuh ke baju Hazel.
“Oh! Maaf!” seru Hazel, panik.
Orang itu buru-buru meminta maaf balik, meski wajah Hazel sudah jelas menunjukkan kekacauan.
“Ibu basah,” ujar Arrow polos.
Hazel menghela napas. “Ya, ibu rasa harus ke toilet. Tunggu di depan pintu ya, jangan ke mana-mana,” titah Hazel.
Arrow mengangguk patuh. Hazel tahu anaknya cukup bisa dipercaya. Ia masuk ke toilet perempuan, sementara Arrow duduk di bangku kecil dekat pintu toilet wanita, masih memegang balon panda di tangannya. Hazel melirik sekali lagi sebelum masuk, memastikan anak itu tetap di sana.
Toilet kebun binatang tidak ramai pagi itu. Hazel buru-buru mencuci bajunya sebisa mungkin, menyeka noda kopi dengan tisu basah sambil mendesis kesal pelan. Blus putihnya kini kusam dan basah, tapi setidaknya tidak seburuk tadi. Dia menatap cermin sebentar, menarik napas panjang, dan keluar.
Namun begitu dia menjejakkan kaki di luar, ruang terasa seperti berhenti bergerak.
Bangku kecil tadi kosong.
Arrow tidak ada.
"Arrow?" panggilnya sambil menoleh ke kiri dan kanan.
Ia berlari kecil ke arah jalan setapak. Tidak ada tanda-tanda jaket biru kecil itu. Hanya sepasang turis asing yang memotret seekor burung eksotis, dan dua anak kecil lain yang sedang memegang balon. Arrow tidak di antaranya.
"Arrow!" Suaranya lebih keras sekarang. Panik mulai merayap naik dari dalam perutnya.
Ia kembali ke bangku tadi. Memeriksa sekitar. Arrow benar-benar tidak ada.
Dia melangkah cepat ke tempat tiket, lalu berbalik ke arah kandang rusa, matanya liar mencari sosok anak itu. Panik menggantikan logika. Nafasnya mulai tak beraturan. Tangannya menggigil.
"Maaf, Bu! Apakah Anda melihat anak kecil… laki-laki, jaket biru? Usia sekitar lima tahun?" tanyanya pada seorang petugas kebersihan.
"Barusan? Wah, tidak lihat, Nona. Tapi coba ke arah taman bermain. Biasanya anak-anak ke sana."
Hazel mengangguk cepat, nyaris tidak mendengar. Kakinya membawanya berlari ke taman bermain. Ada ayunan dan perosotan, suara anak-anak tertawa. Tapi tidak ada Arrow. Hazel memutar, menyusuri area makanan, toko suvenir, bahkan tempat duduk di dekat kolam kura-kura. Tetap tidak ada.
Dia berhenti di tengah jalan, mencoba mengendalikan diri, tapi dadanya sesak. Dunia seperti berputar cepat, tapi semuanya tetap gelap.
Dia melirik ponsel. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Zoe pernah bilang dia terlalu protektif pada Arrow. Tapi sekarang, dia ingin Zoe di sini—siapa saja, asalkan tidak sendiri.
Tangannya menggenggam gawai dengan gemetar hebat. Ia tak tahu mau menelepon siapa. Tak tahu harus melapor ke siapa lebih dulu. Bahkan tidak tahu apakah ia harus menangis atau berteriak.
Lalu matanya menangkap sesuatu…
Motor Hazel melaju perlahan di jalan kecil yang dipenuhi pepohonan rindang di kedua sisinya. Udara pagi menerpa bersama aroma embun dan wangi dedaunan basah. Di kursi belakang, Arrow duduk tenang sambil memeluk ranselnya, matanya menaiti keseluruh arah, mengikuti pemandangan yang berlalu. Jaket tebal memeluk erat tubuhnya melindunginya dari udara dingin nun segar.Sesekali Hazel melirik ke kaca spion, memperhatikan wajah anaknya. Meskipun tampak sedikit pucat, sorot mata Arrow tetap jernih. Ia belum sepenuhnya pulih dari kejadian kemarin—masih ada jejak trauma yang membekas. Tapi setidaknya, pagi ini terasa sedikit lebih ringan.“Masih mengantuk, Bubblebee?” tanya Hazel sambil tersenyum kecil.Arrow menggeleng pelan. “Tidak, aku sedang berpikir keras, Bu.”
Cahaya kristal dari lampu gantung bergeming tenang di atas langit-langit tinggi, memantulkan kilau samar ke seluruh ruangan yang luas dan mewah. Lantai marmer putih mengilap, dinding-dinding dihiasi lukisan-lukisan mahal, semuanya tampak sempurna—kecuali satu hal: kehampaan yang membungkusnya.Rumah itu besar, megah, tapi dingin. Seperti Luca sendiri.Tak ada musik, tak ada suara televisi, tak ada tawa. Hanya detik jam mahal yang berdetak pelan, seolah menjadi satu-satunya saksi bahwa waktu masih terus berjalan di tempat itu.Ia melemparkan jaket hitamnya ke sofa kulit berwarna gelap di ruang tamu. Gerakannya asal, menciptakan bunyi lirih yang segera ditelan keheningan.Namun ketika jaket itu jatuh, sesuatu meluncur keluar dari saku dalamnya. Sebuah kertas kecil, terlipat asal, mendarat di lantai dengan suara nyaris tak terdengar.Luca menatapnya sejenak. Sekilas, itu tampak seperti selembar sampah yang tak berarti. Tapi ada sesuatu—seb
"Arrow!"Teriakan itu meletup dari bibir Hazel, parau dan penuh keputusasaan. Matanya sembab, merah, wajahnya basah oleh air mata yang tak sempat ia seka. Rambutnya kusut, berantakan, menempel pada wajah dan leher karena keringat dan air yang menyapu kotoran di baju tadi yang belum kering sepenuhnya di baju.Begitu sosok kecil itu tampak dalam dekapan Zoe, Hazel langsung berlari, menghambur, memeluknya sekuat yang ia bisa.Ia merebut Arrow dari Zoe, memeluk tubuh mungil itu erat-erat, seakan takut kalau bocah itu menghilang lagi begitu saja. Hazel berkali-kali mengecup pucuk kepala, dahi, pipi, pelipis anaknya, tangannya sibuk meraba tubuh Arrow, memastikan tidak ada luka atau goresan."Jangan pernah pergi lagi, Arrow," gumam Hazel di antara isakannya. "Kamu tahu, ibu mencarimu dari ujung ke ujung. Jangan pernah pergi dari ibu seperti itu... jangan pernah..."Arrow hanya mengangguk kecil di dalam pelukan itu, kedua tangannya melingkari leher Hazel
Tangan itu mencengkeram kerah jaket kecil Arrow—bukan untuk menculik, tapi untuk menariknya mundur, menjauh dari bayangan gelap yang hampir merenggutnya. Sekejap, tubuh kecil itu ditarik dengan kekuatan halus tapi tegas, lalu dipeluk erat ke dada seseorang, di bawah sinar matahari sore yang mulai meredup.“Arrow!”Suara itu lembut namun penuh kemarahan. Arrow mengenal aroma tubuh itu. Bau parfum khas yang biasa tercium saat Zoe memeluknya sepulang kerja ibunya, campuran wangi kayu dan sedikit rempah yang hangat.Mata Arrow melebar. “Zoe…”Kata itu nyaris tak percaya, namun penuh harapan.Zoe tak menunggu. Ia berdiri dengan tubuh menghalangi pria bertato yang secara bersamaan menemukan Arrow, membentuk bayangan pelindung yang kokoh di antara mereka.“Apa kau sudah gila?” desis Zoe dengan napas tersengal, sorot matanya membara menatap pria asing itu.Pria itu membeku, seperti terkejut oleh ke
Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang pria tua menarik gerobak penuh bunga melewati jalan setapak di sisi lain. Mawar merah, merah muda, lili putih, dan seruni kuning tampak mekar dengan aroma yang menguar samar ke udara. Aroma itu begitu lembut, mengisi ruang dengan kesan hangat dan damai, kontras dengan riuh rendah langkah kaki dan suara kendaraan di sekitar.Arrow berdiri. Matanya berbinar, menatap bunga-bunga itu dengan harapan yang tumbuh di hatinya. Ibu pasti suka bunga itu, pikirnya dengan suara hati yang kecil tapi penuh keyakinan.“Ibu pasti suka,” ucapnya lagi dengan suara lembut, hampir seperti berbisik untuk dirinya sendiri, penuh harap.Tanpa ragu, ia melepas ransel kecilnya dan mulai mengobrak-abrik isinya. Tangannya kecil yang gemetar menyentuh kantong koin kecil yang disembunyikan Hazel untuk
Bagian 6Pagi itu, matahari bersinar malu-malu di balik awan, seolah tahu bahwa hari ini bukan hari biasa bagi Hazel dan Arrow. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Hazel mengambil hari libur dan terhindar dari tekanan kerja, dengan senyum yang belum pudar sejak bangun tidur, ia menggenggam tangan kecil Arrow yang tak henti melompat kegirangan. Kebun binatang selalu berhasil membuat bocah itu tertawa paling kencang."Kita betul mau ke kebun binatang, Ibu?" tanya Arrow, matanya bersinar. Berjalan di samping sang ibu dengan jaket biru yang menghangatkan tubuh mungilnya.Hazel tertawa. "Betul, dong. Tapi kamu harus janji satu hal.""Apa?""Jangan lari-lari sendiri, ya. Pegang tangan Ibu terus."Arrow mengangguk keras-keras. "Janji, demi es krim!"Hazel mencubit pipinya pelan. “Dasar bocah es krim.”**Kebun binatang itu ramai oleh keluarga yang datang untuk menikmati akhir
Keringat belum sempat mengering dari pelipis Hazel ketika suara bel restoran kembali berdenting. Aroma keju panggang dan sup krim yang mengepul menguar ke udara, disambut dengan langkah-langkah pelanggan yang datang silih berganti. Jam menunjukkan pukul sembilan petang, tapi restoran masih ramai seperti siang tadi. Hazel menarik napas panjang, menekan rasa letih yang mulai merayap naik ke tengkuknya. Satu per satu, ia mencatat pesanan, menyeka meja, dan menyambut tamu dengan senyum tipis yang ia ciptakan secara otomatis—senyum yang kini terasa seperti topeng yang melekat permanen di wajahnya.Ia tidak punya waktu untuk sekadar duduk. Bahkan saat rekan-rekannya bergantian mengambil waktu istirahat, Hazel tetap sibuk bergerak dari meja ke meja. Di dalam dirinya, ada rasa bersalah yang terlalu akrab: ia sudah terlambat menjemput Arrow tadi. Surat kecil dari anaknya masih tersimpan rapi dalam saku celemek, menunggu dibaca di waktu yang belum ia miliki.Menjelang waktu tutup, restoran perl
"Apa maksudmu, Shofia? Tuduhan macam apa yang kau layangkan padaku itu, huh?" Saat ini, Orlando telah diringkus dan harus puas dengan ikatan di tangan juga luka di wajah.Jemari nakal yang sebelumnya menggoda justru memberi hadiah istimewa. Menonjok, dan memuntir kedua tangan Orlando mengikis pergerakan dari laki-laki pengkhianatan itu.Shofia menyadari bahwa suara Orlando benar-benar mirip dengan penelepon anonim. Seorang duri dalam daging organisasi mereka."Tutup mulutmu dan nikmati saja bercinta denganku. Bos sudah memerintahku untuk mengulitimu, Sayang. So, ada pesan terakhir yang ingin kau sampaikan?" Shofia mengasah pisau kecil yang sudah ia kantongi saban waktu.Tangan lentik mulus meraih pemantik yang tergeletak di meja kaca. Shofia menyalakan rokok dengan ujung jari bergetar, lalu mengisapnya dalam-dalam. Matanya menatap kosong ke arah tubuh Orlando yang kini terkulai tak berdaya di lantai. Darah menodai ujung gaun hitamnya—jeans robek milik Orlando itu juga berlumuran merah
Gudang tua terletak di pinggiran kota, jauh dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Di dalamnya, sekelompok orang berkumpul, wajah-wajah mereka terlihat tegang dan waspada. Mereka adalah anggota komplotan rahasia yang telah lama beroperasi di kota, dan malam ini mereka berkumpul untuk melakukan transaksi obat-obatan terlarang dengan jumlah yang sangat besar.Bos komplotan, seorang pria berwajah keras dan mata tajam, dengan tatto bintang di punggung tangan berdiri di tengah-tengah ruangan, mengamati barang yang telah dibawa oleh pedagang. Namun, saat dia membuka paket-paket tersebut, wajahnya semakin mengerut dan matanya menyempit."Apa ini?" Dia bertanya dengan nada yang rendah dan mengancam. "Kamu bilang ini adalah barang kelas A, tapi yang aku lihat ini adalah sampah. Kamu mencoba menipuku?"Si pedagang yang berdiri di depannya terlihat gemetar, dia tahu bahwa dia berada dalam bahaya. "Saya... saya tidak tahu apa yang terjadi, bos. Saya hanya bertugas mengantarnya. Saya yakin ini ad