Home / Romansa / Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam / 6 : Ketika Dunia Hampir Runtuh

Share

6 : Ketika Dunia Hampir Runtuh

Author: Az Zidan
last update Last Updated: 2025-05-24 10:59:06

Bagian 6

Pagi itu, matahari bersinar malu-malu di balik awan, seolah tahu bahwa hari ini bukan hari biasa bagi Hazel dan Arrow. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Hazel mengambil hari libur dan terhindar dari tekanan kerja, dengan senyum yang belum pudar sejak bangun tidur, ia menggenggam tangan kecil Arrow yang tak henti melompat kegirangan. Kebun binatang selalu berhasil membuat bocah itu tertawa paling kencang.

"Kita betul mau ke kebun binatang, Ibu?" tanya Arrow, matanya bersinar. Berjalan di samping sang ibu dengan jaket biru yang menghangatkan tubuh mungilnya.

Hazel tertawa. "Betul, dong. Tapi kamu harus janji satu hal."

"Apa?"

"Jangan lari-lari sendiri, ya. Pegang tangan Ibu terus."

Arrow mengangguk keras-keras. "Janji, demi es krim!"

Hazel mencubit pipinya pelan. “Dasar bocah es krim.”

**

Kebun binatang itu ramai oleh keluarga yang datang untuk menikmati akhir pekan. Bau rumput basah bercampur aroma makanan ringan dari gerobak penjaja, dan suara burung-burung bersahutan dengan teriakan anak-anak. Arrow tak berhenti menunjuk ke segala arah.

"Itu Zebra! Zebra seperti kuda tapi pakai piyama!" serunya.

Hazel tertawa lepas. Sudah lama ia tak merasa begitu ringan. Melihat Arrow begitu senang, membuat semua lelah dan beban terasa sepadan. Mereka berjalan melewati kandang Jerapah, melihat Berang-Berang yang tidur melingkar, dan akhirnya tiba di kandang Singa.

“Ibu, itu Singanya ngantuk, ya?” Arrow memiringkan kepala. “Kenapa dia tidak menyeramkan seperti di kartun?”

“Karena sekarang waktunya dia tidur siang, Sayang,” jawab Hazel. “Singa itu makhluk malam. Jadi mereka aktifnya nanti kalau sudah gelap.”

Arrow mengangguk penuh perhatian, lalu bertanya, “Kalau aku jadi Singa, aku boleh bangun siang terus?”

Hazel terkekeh. “Kalau kamu jadi Singa, Mommy juga jadi Singa. Dan kita bisa tidur siang bareng.”

“Ibu, kalau aku jadi Gajah apakah aku bisa berubah warna layaknya bunglon?”

Tawa Hazel kembali terdengar. Sungguh, bocah itu mampu membuat gelap dan kelamnya idup Hazel menjadi terang. Menjadi indah layaknya pelangi.

“Kalau bisa, Ibu minta kamu berganti warna ketika kamu berbohong.” Arrow cemberut pura-pura marah. Lantas kemudian tersenyum saat sang ibu menatapnya dengan kuluman tawa.

**

Setelah satu jam berkeliling, mereka duduk di bangku dekat kandang Rusa, menikmati es krim cokelat dan vanila. Arrow duduk bersila, wajah dan tangan belepotan cokelat, tak peduli dunia.

“Ibu,” ujarnya sambil menatap Rusa, “kalau hewan punya sekolah, kira-kira pelajaran mereka apa?”

Hazel tersenyum. “Mungkin belajar cara berlari cepat, cara bertahan hidup... atau cara menyamar dari pemburu.”

Arrow berpikir sejenak. “Kalau aku Rusa, aku pasti suka pelajaran menyamar. Biar bisa sembunyi kayak ninja.”

Hazel menatap anaknya dengan penuh cinta. “Kamu pasti jadi ninja paling lucu di hutan.”

Tiba-tiba, seekor Rusa muda mendekat ke pagar, dan Arrow berdiri dengan hati-hati, merogoh saku celananya. “Ibu, boleh aku kasih roti ini?”

Hazel mengangguk. “Pelan-pelan ya, jangan kagetin dia.”

Arrow mengulurkan tangan kecilnya. Rusa itu menjulurkan lidah, menjilat roti dari telapak tangannya. Arrow terkejut tapi tertawa riang. “Dia suka! Ibu, dia suka!”

Hazel menatap pemandangan itu lama. Bukan karena rusanya. Tapi karena wajah Arrow—bahagia, polos, dan penuh rasa ingin tahu. Dan Hazel tahu, inilah yang ingin ia lindungi. Dunia seperti ini. Tawa seperti itu.

Setelah makan siang dan satu putaran naik kereta keliling kebun binatang, Hazel dan Arrow duduk di bangku dekat taman kecil sambil menikmati es krim. Arrow menggenggam balon panda di tangan kirinya, dan tangan kanannya sibuk mencolek es krim yang meleleh.

“Ibu sayang aku?” tanya Arrow tiba-tiba.

Hazel berhenti sejenak, lalu mengusap kepala anaknya. “Lebih dari apa pun di dunia ini.”

Mereka saling tersenyum. Lalu tertawa. Lalu tertawa lebih keras lagi saat Arrow menunjuk ke wajah Hazel yang ternyata terkena bercak es krim.

Dan karena tawa yang terlalu riang, Hazel tak sengaja menabrak seseorang saat hendak berdiri. Gelas kopi yang dipegang orang itu tumpah—dan sebagian besar jatuh ke baju Hazel.

“Oh! Maaf!” seru Hazel, panik.

Orang itu buru-buru meminta maaf balik, meski wajah Hazel sudah jelas menunjukkan kekacauan.

“Ibu basah,” ujar Arrow polos.

Hazel menghela napas. “Ya, ibu rasa harus ke toilet. Tunggu di depan pintu ya, jangan ke mana-mana,” titah Hazel.

Arrow mengangguk patuh. Hazel tahu anaknya cukup bisa dipercaya. Ia masuk ke toilet perempuan, sementara Arrow duduk di bangku kecil dekat pintu toilet wanita, masih memegang balon panda di tangannya. Hazel melirik sekali lagi sebelum masuk, memastikan anak itu tetap di sana.

Toilet kebun binatang tidak ramai pagi itu. Hazel buru-buru mencuci bajunya sebisa mungkin, menyeka noda kopi dengan tisu basah sambil mendesis kesal pelan. Blus putihnya kini kusam dan basah, tapi setidaknya tidak seburuk tadi. Dia menatap cermin sebentar, menarik napas panjang, dan keluar.

Namun begitu dia menjejakkan kaki di luar, ruang terasa seperti berhenti bergerak.

Bangku kecil tadi kosong.

Arrow tidak ada.

"Arrow?" panggilnya sambil menoleh ke kiri dan kanan.

Ia berlari kecil ke arah jalan setapak. Tidak ada tanda-tanda jaket biru kecil itu. Hanya sepasang turis asing yang memotret seekor burung eksotis, dan dua anak kecil lain yang sedang memegang balon. Arrow tidak di antaranya.

"Arrow!" Suaranya lebih keras sekarang. Panik mulai merayap naik dari dalam perutnya.

Ia kembali ke bangku tadi. Memeriksa sekitar. Arrow benar-benar tidak ada.

Dia melangkah cepat ke tempat tiket, lalu berbalik ke arah kandang rusa, matanya liar mencari sosok anak itu. Panik menggantikan logika. Nafasnya mulai tak beraturan. Tangannya menggigil.

"Maaf, Bu! Apakah Anda melihat anak kecil… laki-laki, jaket biru? Usia sekitar lima tahun?" tanyanya pada seorang petugas kebersihan.

"Barusan? Wah, tidak lihat, Nona. Tapi coba ke arah taman bermain. Biasanya anak-anak ke sana."

Hazel mengangguk cepat, nyaris tidak mendengar. Kakinya membawanya berlari ke taman bermain. Ada ayunan dan perosotan, suara anak-anak tertawa. Tapi tidak ada Arrow. Hazel memutar, menyusuri area makanan, toko suvenir, bahkan tempat duduk di dekat kolam kura-kura. Tetap tidak ada.

Dia berhenti di tengah jalan, mencoba mengendalikan diri, tapi dadanya sesak. Dunia seperti berputar cepat, tapi semuanya tetap gelap.

Dia melirik ponsel. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Zoe pernah bilang dia terlalu protektif pada Arrow. Tapi sekarang, dia ingin Zoe di sini—siapa saja, asalkan tidak sendiri.

Tangannya menggenggam gawai dengan gemetar hebat. Ia tak tahu mau menelepon siapa. Tak tahu harus melapor ke siapa lebih dulu. Bahkan tidak tahu apakah ia harus menangis atau berteriak.

Lalu matanya menangkap sesuatu…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   69 : Bertemu Kembali

    Langkah kaki kecil terdengar menjejak pelan di tangga kayu beranda.Tuk. Tuk. Tuk.Hazel terdiam seketika. Dadanya mencuat naik-turun dalam irama yang tidak beraturan. Ia menoleh cepat ke arah jendela, lalu berdiri secepat kilat dan berlari ke arah pintu.Lalu terdengar suara yang selama ini ia rindukan lebih dari apa pun."Ibu! Ibu! "Hazel membuka pintu dengan kedua tangan yang bergetar. Cahaya matahari musim panas menyilaukan sejenak, tapi bayangan tubuh kecil yang berdiri di ambang pintu langsung mengisi seluruh ruang dalam jiwanya."Arrow!" serunya, nyaris tersedak oleh isak tangis yang tertahan.Tanpa menunggu waktu, Hazel berlari dan merengkuh anak itu ke dalam pelukannya. Ia menunduk, menciumi kepala bocah itu berkali-kali seolah tidak ingin melewatkan satu inci pun dari kehadirannya. Tubuh kecil Arrow menggigil pelan, namun balas memeluk erat, seakan mencari tempatnya kembali dalam dunia yang sempat terasa asing

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   68 : Janji

    Udara pagi mulai menghangat, menyiratkan pertanda musim panas yang akan segera tiba. Cahaya mentari menyusup pelan melalui celah-celah tirai ruang tamu, menari di antara debu-debu halus yang melayang di udara. Aroma kopi dan kayu tua menguar di dalam rumah itu, namun tak cukup menenangkan kegelisahan yang menggantung di dalam dada Hazel.Ia duduk di tepi sofa, jemarinya meremas bagian bawah sweater tipis yang mulai terasa terlalu panas untuk musim yang sebentar lagi berubah."Sudah pukul sembilan lewat dua puluh. Mereka seharusnya tiba sebelum tengah hari," gumam Hazel dengan suara nyaris tak terdengar.Luca duduk di seberangnya, tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah hampir dingin. Ia memperhatikan wanita itu dengan diam, membaca setiap gerak kecil dari tubuh yang dipenuhi kecemasan. Sejak semalam, Hazel nyaris tidak tidur. Dan pagi ini, kegelisahannya tak mampu ditutupi, bahkan oleh senyum tipis yang beberapa kali berusaha ia paksakan."Don Alvero orang yang tepat, Hazel. Dia

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   67 : Anak Kecil

    Layar monitor menyala redup di ruangan yang nyaris tak bernyawa.Cahaya biru memantul di mata Shofia, yang duduk membungkuk di depan empat layar sekaligus. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard mekanik, menciptakan irama ketukan yang bersahut dengan deru lembut dari kipas prosesor yang dipacu melampaui batas wajar.Satu jendela sistem terbuka. Lalu satu lagi. Shofia memasukkan barisan kode yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang hidup di dunia tanpa nama—dunia tempat data adalah mata uang, dan identitas bisa dipalsukan hanya dengan satu klik.Dia tidak bicara. Bahkan tidak bernapas terlalu keras. Hanya sorot matanya yang membara, seperti bara dalam kelam."Anakmu... di mana kau menyembunyikannya, Jack?" bisik Shofia dalam hati.Ini bukan kali pertama ia menyusup ke dalam jaringan internal organisasi. Tapi malam ini berbeda. Ia tidak sekadar mencari celah. Ia mencari seseorang. Satu nama yang bisa mengubah segalanya.Seseorang yang mungkin adalah pewaris darah Jack.Seseorang ya

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   66 : Laki-laki Biadab

    Luca terdiam beberapa detik, lalu membuang napas perlahan. “Aku pernah mendengar sesuatu…” katanya , suaranya nyaris seperti gumaman di antara denting jam dinding yang tak berdosa.Hazel menoleh, menunggu lanjutan kalimat itu seolah hidupnya bergantung padanya.“Mungkin. Tapi aku yakin itu bukan kebohongan. Dulu, ketika aku masih berada di jaringan lama... sebelum semua ini berantakan... ada satu nama yang terus dibisikkan. Tentang Jack yang ternyata punya keluarga.”Hazel menyipitkan mata. “Keluarga?”Luca mengangguk. “Seorang istri. Dan seorang anak. Tapi... bukan kisah keluarga seperti yang kita tahu. Bukan kisah yang bisa kau bayangkan di meja makan atau pelukan sebelum tidur.”Ia mengusap wajahnya sejenak, lalu menatap Hazel dengan sorot mata yang menyimpan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.“Jack membunuh istrinya sendiri.”Jantung Hazel seperti tersangkut di tenggorokan. “Apa?”“Ya,” Luca menjawab pelan. “Dia menghabisi perempuan yang dinikahinya. Dan alasannya... adalah

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   65 : Terungkap

    Luca menatap Hazel yang masih menunduk. Di hadapannya, gadis itu seperti mencari makna dari setiap patah kalimat yang baru saja dia dengar. Tapi sebelum ia sempat bicara, Luca menghela napas dalam.“Aku tahu kau ingin tahu semuanya,” ujarnya pelan. “Dan kalau kita bicara tentang ayahmu... kita harus kembali jauh. Ke masa ketika aku masih cukup muda untuk percaya bahwa kepercayaan bisa menyelamatkan dunia. Tapi hari itu... dunia mengajarkan hal yang berbeda.”Hazel mendongak perlahan.“Saat kau masih bayi—mungkin satu tahun. Mereka pergi menjalankan misi. Waktu itu, dia tidak hanya seorang ayah, Hazel. Dia masih Moretti. Tapi bukan yang membunuh tanpa alasan. Dia... seorang pemimpin yang dipilih bukan karena darah, tapi karena prinsip. Dan itu yang membuatnya paling dibenci. Oleh musuh. Siapa sangka bahwa musuhnya juga ada di dalam lingkaran.”Luca memejamkan mata sejenak, membiarkan pikirannya menarik kembali malam berdarah itu.“Brian memimpin satu operasi besar. Kami menyebutnya Ope

  • Ayah Anakku Ternyata Pria Kejam   64 : Hampir Terkuak

    "Siapa ayahmu?" Dua kata yang mampu membuat Hazel menoleh ke arah pria di sampingnya. Duduk sedikit lebih jauh. Ia menatap Luca. Alisnya sedikit bertaut. Suara itu begitu dalam—seperti milik seseorang yang ingin memastikan kebenaran yang selama ini ditolak oleh pikirannya sendiri.“Brian Moretti…” bisiknya. “Oh my God.”Hazel mengerutkan kening. Ia bergeser sedikit ke depan, mendekat, matanya menatap Luca semakin intens dengan bara penasaran yang kini menyala penuh.“Tidak. Tidak ada orang itu di foto. Tidak ada Brian Moretti. Hanya Brian Lanchester. Ayahku bukan seorang Moretti.”Luca perlahan menggeleng. Bibirnya terbuka, tapi tak segera ada suara keluar. Ia menatap Hazel seperti melihat sesuatu yang rapuh—sebuah keping teka-teki yang telah lama hilang tapi kini ada di depan matanya, utuh namun belum sepenuhnya bisa dia genggam.“Hazel…” suara Luca akhirnya terdengar, pelan, dalam, penuh bebannya sendiri. “Ayahmu adalah Brian Moretti Lanchester. Aku… harusnya lebih yakin sejak awal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status