Elektrokardiograf (EKG), sebuah alat yang bisa mendeteksi irama detak jantung tersebut terdengar memecah keheningan. Di sebuah kamar Rumah Sakit Umum Daerah, di dalam kamar berukuran yang tidak seberapa besar. Terbaring seseorang dengan selang infus di pergelangan urat nadi sebelah kanannya. Seseorang yang berjenis kelamin perempuan tersebut, semakin terlihat menyedihkan dengan selang oksigen yang terpasang di bagian hidungnya.“Apa tidak ditemukan identitas apapun pada pasien ini, Sus?” tanya dokter umum yang datang berkunjung pagi ini. “Tidak ada, Dok. Kebetulan pasien ditemukan dalam kondisi yang …." kalimat suster mengambang, ia menghentikan ucapannya. Suster tersebut ragu, lalu menggigit bibir bawahnya karena takut salah bicara."Kenapa, Sus? Apa ada masalah?" tanya dokter yang baru saja selesai masa magangnya tersebut dengan mengernyitkan kedua alisnya."Kebetulan pasien di kamar ICU yang menyelamatkannya, Dok,” jelas suster jaga pada Dokter yang berperawakan 175 centimeter ter
Attala Zain Dimitri, atau yang lebih akrab dipanggil Zain meraih tangan, Rose. Keduanya lebih memilih untuk menepi dari hingar bingar dan hentakan musik dari atas panggung yang digelar. Pesta kelulusan sekolah, membuat muda mudi itu harus mengadakan satu perhelatan akbar di luar kota. Tepatnya di pulau Dewata, Bali. Sebuah pulau yang sangat indah dengan panoramanya.Ya, di sinilah mereka sekarang. Di sebuah resort tepi pantai Kuta, yang sangat indah dengan sunsetnya. Banyak hal yang mereka ukir di tempat tersebut, tak terkecuali mereka berdua—Zain dan Rose."Aku harus meneruskan sekolah ke Australia. Papa, menginginkan aku agar kelak bisa memimpin perusahaan keluarga." Zain, yang berdiri di depan balkon sedang memandang indahnya pantai Kuta. Dimana saat malam seperti ini, air laut sedang pasang dan ombaknya berlomba-lomba saling menggulung untuk mencapai ketepian."Lalu, bagaimana dengan hubungan Kita Zain?" Rose, seorang gadis bernama lengkap Diana Rosalina itu terlihat muram."Aku
Pak Rahmat, pria paruh baya tersebut duduk termangu memandang ke arah brankar. Di ruang ICU telah terbaring putrinya, Sarah. Luka tembak yang telah menembus bahu sebelah kiri, Sarah. Telah melumpuhkan beberapa syaraf otot di tubuhnya, terutama area jantung.Ia menatap dengan nanar, setelah menyadari ada seseorang yang datang dan berdiri di sampingnya. Pak Rahmat terkesiap, lekas ia bangkit dari tempat duduknya. "P-Pak Dokter," ujarnya dengan gugup. Sepertinya, pengalaman bersama petugas kepolisian membuat orang tua itu masih menahan rasa takut. Pak Rahmat takut dipenjara!"Tenanglah, Pak Rahmat. Maaf jika saat ini saya datang berkunjung tidak sesuai jadwal," dokter Frans menatap pasiennya dari balik kaca riben. Ya, tidak sembarang orang bisa masuk ke ruang ICU, meskipun itu adalah pihak keluarga."Tidak apa-apa, Pak Dokter. Apa ada hal penting yang akan dokter sampaikan pada saya?" lelaki itu menatap sang dokter dengan wajah kasihan. Ia benar-benar mengkhawatirkan kondisi putri satu-
Angin sore begitu menyejukkan baginya. Perempuan yang dikenal tanpa nama tersebut tengah duduk di atas kursi roda, tatapan matanya kosong ke depan. Hingga ia tidak menyadari, jika suster membawakan semangkuk bubur untuknya. “Makan dulu, ya! Biar cepat sembuh,” ujar suster perawat tersebut dengan mengangsurkan sendok di depan mulutnya. Sampai beberapa detik berlalu, perempuan berwajah pucat itu tidak bergeming sedikitpun. Sang suster hanya bisa menghela napas dengan perlahan, lalu menaruh kembali mangkuk bubur ke dalam nampan yang terletak di sebuah meja taman. “Mau aku ambilkan minum?” suster mengambil segelas air putih, tapi tetap saja ia tidak merespon apa yang sudah ditawarkan oleh suster yang sudah merawatnya sore ini. “Huft ….” suster tersebut mencoba untuk mengatur kesabarannya. Ia mencoba untuk tetap tersenyum meskipun terasa sangat pahit. “Kalau tidak mau makan, mana bisa minum obat? Kamu mau sembuh, kan?” rayu suster perawat itu dengan membelai rambutnya yang terurai.
“Nona Rose tidak saya temukan, Tuan,” Ramon memberikan sebuah informasi yang membuat Zain sedikit meradang. “Sudah kamu cari dengan benar, Ramon?” Zain menoleh pada pengawal pribadinya tersebut. Ia sempat memicingkan kedua matanya untuk memastikan ucapan sang bodyguard, Ramon.“Sudah, Tuan. Saya sudah menyambangi rumah, nona Rose. Tidak ada keterangan apapun dari sana, termasuk para warga.” Terang Ramon yang menjelaskan situasi yang telah didapatkan setelah mencari keberadaan, Rose.“Kenapa tidak usaha mencari ke tempat lain, Ramon?” lanjut Zain yang mulai murka dengan kegagalan tugas yang diperintahkan pada sang bodyguard.“Tempo hari saya mencari nona, ke sekolah putri Anda. Tapi tidak saya temui nona Rose di sana.” Ujar Ramon kembali, ia mengatakan apa yang telah dijalankan beberapa hari ke belakang. Ramon sibuk mencari keberadaan Rose yang tiba-tiba saja menghilang, setelah malam itu mereka bertemu untuk yang terakhir kalinya.Brak!“Brengsek!” Zain melempar sebuah map yang kini
Brak!Zain membuka pintu kamar dengan kasar, kosong. Ia tidak menemukan keberadaan istrinya di sana. Seorang istri yang tidak pernah dianggapnya—ada.Ia melempar jas yang dikenakan ke tepi ranjang berukuran, king size. Pria tersebut menghela napas dengan kasar dan berkacak pinggang dengan gelisah. Ia memikirkan ucapan Ramon siang tadi, ketika dirinya harus bekerja sama dengan Nadia untuk menemukan, Rose. “Kamu sudah pulang?” sapa perempuan muda itu yang baru saja keluar dari arah kamar mandi. Zain sedikit terperangah, ketika melihat istrinya hanya berbalut handuk dengan kondisi rambut yang basah. Ia menelan saliva dengan tanpa sengaja. Sementara itu, Nadia yang berjalan santai seakan menggoda zain dengan sikapnya yang manja.“Kenapa kamu pulang lebih awal? Apa Kamu sedang merindukan aku?” tanya Nadia yang masih mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.“Jangan berharap, cuih!” Zain melengos, ia mengalihkan pandangan ke arah luar balkon. Tapi entah kenapa, pemandangan tubuh Nadia
Marlon, seorang gadis berusia 20 tahun itu menatap sang nyonya dengan helaan napas yang tertahan. Di depannya sudah terdapat sebuah koper besar yang sudah siap dikemas. Bahkan Marlon masih duduk diam di tepi ranjang besar tersebut. Setelah kejadian kemarin, Nadia memilih untuk pergi ke mansion miliknya. Ia benar-benar sudah tidak tahan dengan perlakuan suaminya sendiri. Hari ini, tiba-tiba saja ia memutuskan untuk kembali ke Australia. “Nyonya sudah memikirkan baik-baik rencana kali ini? Kasihan non Dania jika harus berpindah-pindah,” ujar Marlon yang mencoba untuk mencegah kepergian sang majikan.“Mungkin ini adalah pilihan yang terbaik, Marlon. Dania akan tumbuh bersamaku di sana, jangan khawatir soal itu,” jawab Nadia dengan perasaan yang kosong.Ia melihat pengasuh tersebut tengah menundukkan kepala–sedih. Mungkin dengan kepergian Nadia, ia berpikir telah kehilangan pekerjaannya.“Kamu tetap bekerja untukku, jaga mansion ini selama aku pergi!” ucap Nadia yang sepertinya mampu me
Pengasuh itu melarikan diri dari sang CEO. Ia takut tertangkap basah jika selama ini putrinya yang terlahir dari rahim wanita lain, telah disembunyikan oleh istrinya sendiri—Gita Nadia Atmaja.Hingga di perempatan jalan, sebuah mobil SUV telah menjemput mereka untuk dipindahkan ke tempat yang lebih aman. Dengan cekatan Marlon masuk ke dalam mobil tersebut, "Nanny, Kita mau kemana?" tanya Dania yang terbangun karena merasa tidak nyaman dengan tidur siangnya."Kita akan pergi jalan-jalan m, Sayang. Iya kan, Pak?" jawab Marlon yang memastikan pada gadis kecil itu agar percaya kepadanya. "Betul sekali, Nona Kecil," jawab Marco dengan semangat sambil menengok ke kursi penumpang.Kepala Dania menoleh kesana dan kemari, "Mama mana? Kenapa mama tidak ikut, Nanny?" tanya gadis kecil itu dengan polosnya. "Nanti mama nyusul, Dania sama nanny saja dulu, ya." Marlon mengusap rambut Dania yang ikal. Ia menatap lembut pada bola mata Dania yang mengerjap beberapa kali karena masih mengantuk.Setela