Share

4. Bimbangnya hati seorang CEO

"Cari tahu tentang keberadaannya!" 

Dengan tegas, Zain memberi perintah pada salah satu bodyguard pribadinya. Pria berbadan besar tersebut mengangguk patuh dengan penuh rasa hormat.

Zain menatap lurus kedepan dengan tajam. Jari tangan kanannya memutar sebuah pulpen. 

Dari balik meja kerjanya yang kokoh, ia menyuruh bodyguard tersebut segera pergi dengan satu kali kibasan tangan.

Tok, tok, tok ….

Setelah kepergian pengawal pribadinya. Pintu berkusen besar dan megah tersebut diketuk dari arah luar. Zain terkesiap dari lamunan, ia pun menggeleng kecil agar bisa kembali fokus pada dunia nyata.

"Masuk!" ucapnya dengan suara yang berwibawa.

"Permisi, Pak! Saya membawa laporan hasil kerja kemarin." Rose menyerahkan sebuah file yang sudah disalin dalam bentuk tulisan.

"Hem, bagus!" ia berkata tanpa melihat ke arah, Rose. Zain berusaha terlihat sibuk dengan berkas yang ada di hadapannya kini.

Zain menautkan kedua alisnya. Ia memeriksa kembali beberapa poin yang sepertinya tidak pernah dilaporkan pihak divisi kepadanya.

Lekas ia menutup laporan tersebut, agar Rose tidak menaruh curiga dengan perubahan sikapnya.

"Pergilah! Siapkan ruang meeting sekarang juga! Kita akan mengadakan rapat siang ini." Tanpa menoleh, Zain memberi perintah kembali.

"A-apa? Bukankah tugas itu ada bagian yang menghandle sendiri, Pak?" Rose bingung, dari kemarin Zain memberinya pekerjaan diluar kemampuannya.

"Apa Kamu tidak sanggup?" wajahnya terangkat, ia bisa melihat dengan jelas wajah Rose yang gugup.

"B-Baik, Pak! Akan saya laksanakan segera. Permisi …." Rose memilih untuk segera pamit dan melaksanakan perintah atasannya—Attala Zain Dimitri.

Zain melirik kepergian perempuan itu dengan tajam. Ada hembusan napas yang berat darinya. Ia menatap kepergian Rose hingga perempuan tersebut berlalu di balik ruangannya.

***

Rose kembali ke meja kerjanya. Ia mampir terlebih dahulu untuk menyapa  Nadine, sahabat baiknya.

"Aneh, dari kemarin Pak Zain memberimu tugas yang tidak semestinya." Dahi Nadine berkerut, sehingga memperlihatkan beberapa garis samar di kening.

"Bantu aku ya, Dine! Aku mohon …." ujar Rose mengiba. 

"Apa karena Kamu anak baru? Tapi, masa iya. Pak Zain ngerjain Kamu, Rose?" Nadine memiringkan kepalanya. Ia terlihat sedang berpikir sejenak.

Rose mengedikkan bahu lalu  memanyunkan bibirnya. Diraihnya tangan Nadine yang masih mematung di tempat duduk.

"Ayo, Dine! Bantu aku menyiapkan ruang meeting. Ada rapat dadakan, takutnya nanti nggak keburu waktunya." 

"Iya,  sebentar! Aku matikan layar monitor dulu." Tubuh Nadine sedikit miring ke samping akibat tarikan dari tangan, Rose.

"Kita harus ngapain, Dine?" Rose yang belum berpengalaman menunjukkan wajah polosnya. 

"Kita ke ruang meeting, membersihkan tempat itu dan menyiapkan beberapa berkas yang dibutuhkan. Jangan lupa! Hubungi setiap kepala divisi untuk bisa hadir  tepat waktu." Nadine menjelaskan sedikit soal persiapan meeting. Ia juga memberi arahan, tentang apa saja yang diperlukan selama rapat berlangsung.

"Baiklah, kalau begitu aku akan mulai dengan menyiapkan ruangan. Kemudian, menghubungi masing-masing kepala divisi." Ujarnya dengan kepala yang manggut-manggut.

"Apa perlu bantuanku lagi?" tanya Nadine memastikan. 

"Tidak perlu, semoga saja aku bisa melakukannya dan tidak melakukan kesalahan." Rose tersenyum kecut. 

"Semangat!" Nadine mengangkat tangan kanannya yang mengepal. Nada suaranya sedikit direndahkan agar Rose tidak terlalu tertekan.

"Untung saja tubuhku buatan Tuhan. Andai saja tubuhku ini buatan manusia, mungkin sudah ambyar dari dulu." Gerutunya sambil memukul pelan sebelah kepalanya berulang kali.

"Rose …." 

Perempuan yang sudah berjalan beberapa langkah itu kembali menoleh ke arah belakang. Ia melihat dua jari telunjuk Rose menarik sebuah garis di mulutnya. Garis tersebut membentuk sebuah senyuman.

Rose pun menghentikan langkahnya. Ia  menurut dan terpaksa menyunggingkan senyuman. Meskipun, terlihat aneh di mata Nadine.

***

Tepat jam 11 siang. Semua kebutuhan meeting telah dipersiapkan oleh, Rose. Perempuan itu pun undur diri ketika melihat satu persatu kepala divisi berdatangan. 

"Tetaplah di sini!" Zain memegang lengannya saat Rose melintas dari arah samping.

"Apa? Kenapa?" wajahnya yang kebingungan, membuat kelopak mata Rose menjadi lebar sempurna.

"Kamu tidak tuli, kan?!" bisik Zain, agar perempuan yang kini mengenakan setelan rok katun selutut itu tetap tinggal.

Rose diam, ditelannya saliva mentah-mentah. Ia pun berjalan mengekor kembali di belakang sang CEO.

Sebelum Zain duduk di sebuah kursi yang disediakan. Ia menatap satu persatu kepala divisi perusahaannya dengan tatapan tak suka. 

Brak!

Setumpuk berkas dilempar begitu saja di atas meja. Suaranya yang menggema membuat semua orang berjingkat karena kaget. Tak terkecuali Rose, perempuan yang berdiri di sebelah kursi CEO itu memegang dadanya karena terkejut.

"Kenapa diam? Ada yang bisa menjelaskan semua kebohongan di dalam sini?" tunjuk Zain pada tumpukan dokumen yang dari semalam dipelajarinya.

Semua orang yang hadir menunduk, mereka tidak kuasa mengangkat wajahnya. Setiap kepala pasti memikirkan apa yang tengah diperdebatkan oleh sang CEO.

"Kenapa ada pengeluaran yang cukup besar di perusahaan Kita, tanpa sepengetahuan saya?" tunjuk Zain pada lembaran dokumen tersebut.

Kepala divisi tersebut saling memandang. Mereka tidak berani mengeluarkan suara sedikitpun. Mereka lebih memilih menunduk atau mengalihkan pandangan ke tempat lain.

"Saya akan mengusut tuntas masalah ini. Perusahaan akan jatuh bangkrut jika Kalian semua menutupi dan tidak ada yang bertindak." Zain menahan emosi, sehingga membuat rahangnya terlihat mengeras.

"Jika tidak ada itikad baik, saya akan menyerahkan semua ini pada yang berwajib. Jangan main-main dengan saya!" 

Ancaman Zain membuat para kepala divisi saling bergumam. Mereka pun tidak bisa mencurigai pelaku begitu saja, jika tidak ada bukti yang kuat. Terlalu riskan jika menuduh sesama rekan kerja yang sudah puluhan tahun mengabdi.

"200 triliun bukanlah jumlah yang sedikit. Aku harap Kalian semua bisa memberikan kesaksian tanpa berbelit-belit." Wajah Zain serius, hingga memancarkan wibawa yang cukup disegani pada kalangan karyawan dan juga rekan bisnis.

Beberapa dari mereka mengerti dan segera menganggukkan kepala dengan pelan. Tidak terdengar sanggahan seperti rapat-rapat sebelumnya. Karena rapat kali ini menyangkut hilangnya data keuangan perusahaan.

"Rapat saya bubarkan sementara. Jika ada laporan yang valid segera hubungi saya. Karena kasus ini, menyangkut kelangsungan perusahaan." Zain menghempaskan bobot tubuhnya pada sebuah kursi yang empuk.

"Baik, Pak!" beberapa orang tersebut beranjak dari tempat duduknya. Mereka pun mengangguk kecil untuk berpamitan. 

"Kenapa masih di sini?" ia melirik ke arah, Rose.

"Oh, maafkan saya Pak! Jika tidak ada lagi yang dibutuhkan saya akan pergi, permisi …." 

Rose pun undur diri, ia segera pergi dari hadapan sang CEO. Meninggalkan Zain yang masih mendinginkan isi kepala.  Hampir saja Rose jatuh pingsan karenanya.

***

"Jadi, di sini rupanya?" 

Zain melihat ke arah luar jendela mobil. Ia mengamati tingkah laku seseorang di seberang sana.

Ia melihat ada seorang anak kecil sedang tertidur pulas dalam gendongan, Rose. Zain cukup terkejut dengan pemandangan di depan matanya.

Tiba-tiba saja otaknya buntu dan tidak bisa berpikir dengan jernih. Ia hanya bisa melihatnya dari jauh tanpa menyentuh.

"Siapa anak kecil itu? Apakah dia anakku?" gumam Zain sambil terus memantau keadaan, Rose.

"Argh ….!" ia mengacak rambutnya dengan kasar. Zain kesal dengan dirinya sendiri. Lalu ia memukul kemudi mobil untuk meluapkan emosinya.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ibu Sigit
betul... 200 t.. koya
goodnovel comment avatar
Riel Uripati
mantap sekali
goodnovel comment avatar
Imas Komara
200 T ???200 M ..masih masuk akal
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status