"Cari tahu tentang keberadaannya!"
Dengan tegas, Zain memberi perintah pada salah satu bodyguard pribadinya. Pria berbadan besar tersebut mengangguk patuh dengan penuh rasa hormat.
Zain menatap lurus kedepan dengan tajam. Jari tangan kanannya memutar sebuah pulpen.
Dari balik meja kerjanya yang kokoh, ia menyuruh bodyguard tersebut segera pergi dengan satu kali kibasan tangan.
Tok, tok, tok ….
Setelah kepergian pengawal pribadinya. Pintu berkusen besar dan megah tersebut diketuk dari arah luar. Zain terkesiap dari lamunan, ia pun menggeleng kecil agar bisa kembali fokus pada dunia nyata.
"Masuk!" ucapnya dengan suara yang berwibawa.
"Permisi, Pak! Saya membawa laporan hasil kerja kemarin." Rose menyerahkan sebuah file yang sudah disalin dalam bentuk tulisan.
"Hem, bagus!" ia berkata tanpa melihat ke arah, Rose. Zain berusaha terlihat sibuk dengan berkas yang ada di hadapannya kini.
Zain menautkan kedua alisnya. Ia memeriksa kembali beberapa poin yang sepertinya tidak pernah dilaporkan pihak divisi kepadanya.
Lekas ia menutup laporan tersebut, agar Rose tidak menaruh curiga dengan perubahan sikapnya.
"Pergilah! Siapkan ruang meeting sekarang juga! Kita akan mengadakan rapat siang ini." Tanpa menoleh, Zain memberi perintah kembali.
"A-apa? Bukankah tugas itu ada bagian yang menghandle sendiri, Pak?" Rose bingung, dari kemarin Zain memberinya pekerjaan diluar kemampuannya.
"Apa Kamu tidak sanggup?" wajahnya terangkat, ia bisa melihat dengan jelas wajah Rose yang gugup.
"B-Baik, Pak! Akan saya laksanakan segera. Permisi …." Rose memilih untuk segera pamit dan melaksanakan perintah atasannya—Attala Zain Dimitri.
Zain melirik kepergian perempuan itu dengan tajam. Ada hembusan napas yang berat darinya. Ia menatap kepergian Rose hingga perempuan tersebut berlalu di balik ruangannya.
***
Rose kembali ke meja kerjanya. Ia mampir terlebih dahulu untuk menyapa Nadine, sahabat baiknya.
"Aneh, dari kemarin Pak Zain memberimu tugas yang tidak semestinya." Dahi Nadine berkerut, sehingga memperlihatkan beberapa garis samar di kening.
"Bantu aku ya, Dine! Aku mohon …." ujar Rose mengiba.
"Apa karena Kamu anak baru? Tapi, masa iya. Pak Zain ngerjain Kamu, Rose?" Nadine memiringkan kepalanya. Ia terlihat sedang berpikir sejenak.
Rose mengedikkan bahu lalu memanyunkan bibirnya. Diraihnya tangan Nadine yang masih mematung di tempat duduk.
"Ayo, Dine! Bantu aku menyiapkan ruang meeting. Ada rapat dadakan, takutnya nanti nggak keburu waktunya."
"Iya, sebentar! Aku matikan layar monitor dulu." Tubuh Nadine sedikit miring ke samping akibat tarikan dari tangan, Rose.
"Kita harus ngapain, Dine?" Rose yang belum berpengalaman menunjukkan wajah polosnya.
"Kita ke ruang meeting, membersihkan tempat itu dan menyiapkan beberapa berkas yang dibutuhkan. Jangan lupa! Hubungi setiap kepala divisi untuk bisa hadir tepat waktu." Nadine menjelaskan sedikit soal persiapan meeting. Ia juga memberi arahan, tentang apa saja yang diperlukan selama rapat berlangsung.
"Baiklah, kalau begitu aku akan mulai dengan menyiapkan ruangan. Kemudian, menghubungi masing-masing kepala divisi." Ujarnya dengan kepala yang manggut-manggut.
"Apa perlu bantuanku lagi?" tanya Nadine memastikan.
"Tidak perlu, semoga saja aku bisa melakukannya dan tidak melakukan kesalahan." Rose tersenyum kecut.
"Semangat!" Nadine mengangkat tangan kanannya yang mengepal. Nada suaranya sedikit direndahkan agar Rose tidak terlalu tertekan.
"Untung saja tubuhku buatan Tuhan. Andai saja tubuhku ini buatan manusia, mungkin sudah ambyar dari dulu." Gerutunya sambil memukul pelan sebelah kepalanya berulang kali.
"Rose …."
Perempuan yang sudah berjalan beberapa langkah itu kembali menoleh ke arah belakang. Ia melihat dua jari telunjuk Rose menarik sebuah garis di mulutnya. Garis tersebut membentuk sebuah senyuman.
Rose pun menghentikan langkahnya. Ia menurut dan terpaksa menyunggingkan senyuman. Meskipun, terlihat aneh di mata Nadine.
***
Tepat jam 11 siang. Semua kebutuhan meeting telah dipersiapkan oleh, Rose. Perempuan itu pun undur diri ketika melihat satu persatu kepala divisi berdatangan.
"Tetaplah di sini!" Zain memegang lengannya saat Rose melintas dari arah samping.
"Apa? Kenapa?" wajahnya yang kebingungan, membuat kelopak mata Rose menjadi lebar sempurna.
"Kamu tidak tuli, kan?!" bisik Zain, agar perempuan yang kini mengenakan setelan rok katun selutut itu tetap tinggal.
Rose diam, ditelannya saliva mentah-mentah. Ia pun berjalan mengekor kembali di belakang sang CEO.
Sebelum Zain duduk di sebuah kursi yang disediakan. Ia menatap satu persatu kepala divisi perusahaannya dengan tatapan tak suka.
Brak!
Setumpuk berkas dilempar begitu saja di atas meja. Suaranya yang menggema membuat semua orang berjingkat karena kaget. Tak terkecuali Rose, perempuan yang berdiri di sebelah kursi CEO itu memegang dadanya karena terkejut.
"Kenapa diam? Ada yang bisa menjelaskan semua kebohongan di dalam sini?" tunjuk Zain pada tumpukan dokumen yang dari semalam dipelajarinya.
Semua orang yang hadir menunduk, mereka tidak kuasa mengangkat wajahnya. Setiap kepala pasti memikirkan apa yang tengah diperdebatkan oleh sang CEO.
"Kenapa ada pengeluaran yang cukup besar di perusahaan Kita, tanpa sepengetahuan saya?" tunjuk Zain pada lembaran dokumen tersebut.
Kepala divisi tersebut saling memandang. Mereka tidak berani mengeluarkan suara sedikitpun. Mereka lebih memilih menunduk atau mengalihkan pandangan ke tempat lain.
"Saya akan mengusut tuntas masalah ini. Perusahaan akan jatuh bangkrut jika Kalian semua menutupi dan tidak ada yang bertindak." Zain menahan emosi, sehingga membuat rahangnya terlihat mengeras.
"Jika tidak ada itikad baik, saya akan menyerahkan semua ini pada yang berwajib. Jangan main-main dengan saya!"
Ancaman Zain membuat para kepala divisi saling bergumam. Mereka pun tidak bisa mencurigai pelaku begitu saja, jika tidak ada bukti yang kuat. Terlalu riskan jika menuduh sesama rekan kerja yang sudah puluhan tahun mengabdi.
"200 triliun bukanlah jumlah yang sedikit. Aku harap Kalian semua bisa memberikan kesaksian tanpa berbelit-belit." Wajah Zain serius, hingga memancarkan wibawa yang cukup disegani pada kalangan karyawan dan juga rekan bisnis.
Beberapa dari mereka mengerti dan segera menganggukkan kepala dengan pelan. Tidak terdengar sanggahan seperti rapat-rapat sebelumnya. Karena rapat kali ini menyangkut hilangnya data keuangan perusahaan.
"Rapat saya bubarkan sementara. Jika ada laporan yang valid segera hubungi saya. Karena kasus ini, menyangkut kelangsungan perusahaan." Zain menghempaskan bobot tubuhnya pada sebuah kursi yang empuk.
"Baik, Pak!" beberapa orang tersebut beranjak dari tempat duduknya. Mereka pun mengangguk kecil untuk berpamitan.
"Kenapa masih di sini?" ia melirik ke arah, Rose.
"Oh, maafkan saya Pak! Jika tidak ada lagi yang dibutuhkan saya akan pergi, permisi …."
Rose pun undur diri, ia segera pergi dari hadapan sang CEO. Meninggalkan Zain yang masih mendinginkan isi kepala. Hampir saja Rose jatuh pingsan karenanya.
***
"Jadi, di sini rupanya?"
Zain melihat ke arah luar jendela mobil. Ia mengamati tingkah laku seseorang di seberang sana.
Ia melihat ada seorang anak kecil sedang tertidur pulas dalam gendongan, Rose. Zain cukup terkejut dengan pemandangan di depan matanya.
Tiba-tiba saja otaknya buntu dan tidak bisa berpikir dengan jernih. Ia hanya bisa melihatnya dari jauh tanpa menyentuh.
"Siapa anak kecil itu? Apakah dia anakku?" gumam Zain sambil terus memantau keadaan, Rose.
"Argh ….!" ia mengacak rambutnya dengan kasar. Zain kesal dengan dirinya sendiri. Lalu ia memukul kemudi mobil untuk meluapkan emosinya.
Ting!Pintu lift terbuka, seorang pengawal pribadi Zain berjalan keluar dan berjalan menuju lobi PT. Global Angkasa Jaya. "Sial! Kenapa dia datang di saat yang tidak tepat?" Ramon, pengawal tersebut hendak berbalik arah. Namun, ia mengurungkan niatnya ketika suara seseorang menghentikannya."Mau kemana, Ramon?" sapa perempuan berusia 25 tahun tersebut dengan culas.Ramon lekas mendekat dan mengangguk patuh. Perempuan yang memakai riasan flawless tersebut terlihat sangat serasi dengan dress bunga selutut. Di pinggangnya tersemat ikat pinggang kecil berwarna hitam. Rambutnya yang terurai bebas, menampilkan sisi glamor seorang crazy rich ternama. Derap langkahnya terdengar menggema ketika sepatu hak tinggi itu menghampirinya. Tepat di hadapan Ramon, perempuan cantik itu mengulas senyuman tipis."Maaf Nona Muda, kenapa datang dengan tiba-tiba?" Ramon mencoba untuk mencairkan suasana."Kenapa? Aku berhak datang dan pergi sesuka hati, ini perusahaan suamiku." Ujarnya dengan tatapan tak su
"M-Maaf, Pak! Ada apa, ya?" Rose mencoba untuk menenangkan hatinya. Sentuhan itu membuat dirinya bagai tersengat aliran listrik 1000 volt."Kamu sudah menunda hasratku. Aku menuntutmu untuk menuntaskan keinginanku yang tertunda." Zain mendekat, hingga Rose bisa merasakan deru napasnya yang tidak teratur."J-Jangan, Pak! Aku mohon …." Rose tidak bisa berlari, ia sudah berada di bawah kungkungan sang CEO. Dimana ia harus menggantikan peran istrinya, Nadia."Apa Kamu sudah melupakan masa lalu Kita, Diana Rosalina?" "A-Apa? Apa yang Anda bicarakan? Saya tidak mengerti, Pak." Rose, berusaha untuk meredam detak jantungnya. Ia bisa mendengar dengan telinganya sendiri, betapa cepat ritme yang berpacu saat ini."Jangan berpura-pura, Rose! Angkat wajahmu jika sedang bicara denganku." Tubuh Rose terhimpit di tepi meja. Ia menatap takut ke arah, Zain. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Perempuan itu sebisa mungkin mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.'Aduh! Mati aku ….' (Batin
Sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar melalui celah jendela. Rose mengerjapkan matanya berulang kali. Lalu ia terbangun dan mendapati putri kecilnya masih tertidur pulas.Sengaja ia tidak membangunkan Dania lebih awal seperti biasanya. Hari libur kali ini dimanfaatkan oleh Rose untuk beristirahat di dalam rumah.Lekas ia bangun dan membersihkan diri. Rumah kontrakan yang tidak begitu luas membuat dirinya tidak memerlukan jasa seorang pembantu. Di atas meja makan, Rose sudah menyediakan roti bakar dengan selai strawberry dan susu hangat untuk putrinya kecilnya.Tok, tok, tok ….Rose mendengar suara ketukan di pintu depan. Ia menoleh ke asal suara, sepertinya ada tamu. Ia pun mengurungkan niatnya untuk membangunkan, Dania. Rose meletakkan susu hangat di sebelah piring roti. Lalu ia berjalan menuju ke depan, untuk mencari tahu siapa yang sudah datang bertamu sepagi ini."Maaf, Anda mencari siapa?" Rose, melihat di hadapannya kini sudah berdiri seorang wanita berusia 50 tahun. Pe
Rose langsung menenggak segelas air putih. Nadine melongo melihat sahabatnya yang datang-datang langsung main serobot. Hingga bola mata dan mulutnya terbuka lebar membentuk huruf O. "Fiuh …." ia mengipas wajahnya dengan sebelah tangan. Rose merasa dirinya sedang terbakar. Ada hawa panas yang menjalar hingga sampai ke puncak ubun-ubunnya. "Rose!" Suara menggelegar itu sampai di telinga, Nadine. Perempuan muda itu tersentak kembali. Ia menemukan sang CEO sudah berada di ambang pintu ruangannya. Nadine menoleh ke arah, Rose. Sahabatnya tersebut memutar bola matanya dengan malas. Baru saja Rose menghempaskan bobot tubuhnya di atas kursi. Zain sudah mengejutkannya dengan sebuah teriakan yang nyaring. "Ada apalagi, Pak? Apa ada yang bisa saya bantu?" Rose berdiri dan menunjukkan cara kerjanya yang profesional. Ia tidak boleh mencampuradukkan perasaannya pada, Zain. Zain sedikit gugup, bibirnya ragu ketika hendak bicara. Ia melihat ke arah samping dan mendapati ada Nadine di sana. "
"Rose, tunggu sebentar!" Rose menoleh ke asal suara, ia menghentikan langkahnya di depan lobi Global Angkasa Jaya.Perempuan itu diam dan menunggu. Perdebatan dengan sang CEO seharian ini membuat Rose terserang jantung dadakan. Meskipun begitu, ia harus bisa tetap bisa tenang dalam segala keadaan. Terutama di hadapan semua klien dan teman kantornya, tak terkecuali—Brian Aditama."Kok buru-buru? Sudah mau pulang?" Brian sudah berdiri di depannya.Ia mengangguk kecil, Rose memaksakan diri untuk tetap menarik garis smirk di bibirnya."Mau jemput Dania dulu di rumah ibu, Martha." Sahut Rose dengan bersedekap, di lengannya tersampir sebuah mantel yang sengaja tidak dikenakan."Ooo, begitu ….?" Brian mengangguk dengan perlahan. "Bagaimana kalau Kita makan dulu?" Brian mulai menjalankan aksinya, pria muda berusia 27 tahun itu tetap tidak menyerah untuk mendapatkan hati, Rose.Rose menghembuskan napas panjang. Sebenarnya ia enggan untuk menerima tawaran dari, Brian. Sudah bosan rasanya Rose
Pemandangan di atas rooftop begitu indah. Di sinilah Rose bisa merasakan ketenangan. Ia bisa melihat peta kota Jakarta di atas gedung berlantai 99 tersebut tanpa gangguan siapapun. Sengaja ponselnya dimatikan agar Zain ataupun Brian tidak merusak moodnya hari ini.Brak!‘Sial!’ (umpatnya dalam hati).Kepalanya menoleh ke sumber suara. Mulutnya mencebik ketika mendapati siapa yang datang di saat dirinya sedang menikmati kesendirian.“Aku bisa menemukanmu meski Kamu sembunyi di liang semut sekaligus!” ia menunjuk setumpuk dokumen yang harus dikerjakan oleh Rose hari ini.Rose meletakkan coklat hangatnya di atas meja lalu menghampiri, Zain. Pria itu sudah duduk dengan wajah yang dingin. Ia melihat tumpukan dokumen tersebut dengan sikap biasa. Rose tahu jika Zain mencari-cari alasan agar bisa berinteraksi dengannya.“ Baik, saya akan mengerjakannya segera. Permisi, Pak Zain.” Rose mengambil dokumen tersebut lalu beranjak pergi dari hadapan sang CEO. “Begitukah? seperti inikah caramu meng
Tangannya mengepal dengan erat. Digenggamnya sebuah kotak kecil berisi sebuah kalung dengan liontin batu mutiara yang indah. Ia urung memberikan kejutan pada, Rose. Brian tidak menyangka, justru dirinya yang mendapatkan sebuah kejutan. Nadine yang telah melihatnya berdiri di ambang pintu lekas menarik Brian keluar dari ruangan. Ia mengantisipasi jika terjadi keributan di antara mereka. Nadine melihat Brian terdiam bagaikan sebuah patung. Tatapan pria itu kosong, bisa jadi ia merasakan syok yang teramat sangat.“Bri, apakah Kamu baik-baik saja?” Nadine melambaikan tangannya di depan mata, Brian. Tapi, pria muda berusia 27 tahun tersebut sama sekali tidak bergeming.Kini keduanya duduk di sebuah taman dekat dengan area kantin. Nadine melihat tangan Brian menggenggam sesuatu. Sambil melirik ke arah pria itu, Nadine menerka sendiri jika kotak yang dipegang oleh Brian adalah sesuatu yang sangat berharga.Nadine pun diam untuk sementara waktu, ia membiarkan Brian mengatur napasnya. Nadine
Rose menyentakkan tangan Zain yang masih melingkar di pinggangnya. Hanya perempuan bodoh yang menikmati momen seperti ini dengan pria brengsek seperti, Attala Zain Dimitri. “Tidak akan!” ia lekas berbalik dan mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah, Zain. “Jangan pernah menyentuhku sembarangan!” kecamnya dengan kedua mata yang melotot. Ia tidak menyangka jika atasannya tersebut sudah sangat lancang memperlakukan dirinya. “Rose, aku ….” Zain tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Rupanya ia termakan ucapan Ramon, sehingga Zain tidak bisa menahan gejolak emosinya. “Bukankah sudah jelas, jika Anda akan melayangkan surat keputusan dari dokter, Frans?” Rose mengingatkannya soal ancaman Zain beberapa jam yang lalu. “Apalagi yang akan Anda tuntut dari Kami, Pak?” Rose menatapnya dengan wajah memelas, sehingga tanpa ia sadari tubuhnya merosot di bawah lantai. Zain melihat perempuan itu rapuh. Terlalu naif baginya yang selalu memberikan tekanan. Apalagi menuntut hak asuh Dania, yan