Share

3. Putri Kecilku, Dania

Author: Purple Rain
last update Last Updated: 2023-03-24 09:34:04

"Saya ingin Anda menginput dokumen-dokumen yang ada di gudang." Ujar Zain sambil melihat Rose sekilas, lalu menunduk kembali mengerjakan dokumen yang ada di depannya.

"Baik, akan saya lakukan Pak!" Rose tidak membantah. Ia takut jika Zain masih mengenalinya.

Buru-buru ia keluar dari ruangan CEO, setelah tubuhnya sedikit membungkuk saat berpamitan.

Rose berlari kecil menuju meja kerjanya. Ia mengambil sesuatu yang akan dibutuhkan di gudang. Lekas ia mengerjakan apa yang diperintahkan oleh sang atasan. Sepertinya, hari ini Rose akan terlihat sangat sibuk. 

***

"Kamu lagi ngerjain apa, Rose?" tanya manager divisi saat melewati kubikel milik, Rose.

"Tugas dari bos besar, Pak!" jawabnya dengan mengangguk sekilas. Buru-buru ia meminta izin untuk melanjutkan kembali pekerjaannya.

"Tugas? Tugas apa? Proyek Kita masih baru jalan, Rose. Belum ada kelanjutan untuk masalah marketing, iklan dan lain-lain." Penjelasan dari manager tersebut membuat Rose memanyunkan bibirnya.

"Saya diberikan tugas untuk menginput dokumen-dokumen yang ada di dalam gudang, Pak!" Rose mendekap sebagian berkas yang hendak di bawa ke gudang guna mendata semua dokumen di dalam sana.

"A-Apa?!" manager tersebut terkejut, sehingga nampak kelopak matanya membuka dengan lebar.

"Kenapa bisa begitu? Ini masalah tidak main-main, Rose. Kamu karyawan baru di sini. Seharusnya si bos tidak sembarangan memberi wewenang bagi sembarang orang." Terangnya dengan dahi yang berkerut, sehingga terlihat dengan samar garis halus di sekitar keningnya.

"Maaf Pak, saya hanya menjalankan tugas." Ujar perempuan itu dengan wajah yang ditekuk.

"Iya, saya mengerti. Kamu tidak bersalah, Rose. Seharusnya, si bos membicarakan dulu dengan kepala divisi." sang manager tidak ingin Rose merasa tertekan.

"Maaf Pak, saya permisi dulu." Perempuan itu berpamitan. Ia sudah membuang waktunya beberapa menit saat bersitegang dengan managernya.

"Iya, silahkan." Manager tersebut memberi jalan pada, Rose. Ia melihat perempuan tersebut berjalan keluar ruangan.

"Aneh, tidak biasanya Pak Zain bersikap demikian. Apa ada sesuatu di balik semua ini?" ia bergumam sambil mengamati kepergian, Rose.

***

Rose berjalan sedikit tergesa, ia harus bisa memanfaatkan waktu dengan baik. 

Dibukanya pintu gudang, ia meminta kuncinya pada petugas pantry sebelum pergi. Kesan pertama saat ia berhasil membuka pintu itu adalah—pengap.

Rose terbatuk ketika menjejakkan kaki pertamanya. Gudang penyimpanan dokumen terlihat gelap dan berdebu.

Ia mencoba untuk mencari dokumen yang diinginkan oleh, Zain. Kemudian, dokumen-dokumen itu diletakkan pada sebuah bangku panjang yang berada di pinggir ruangan.

"Huft …." ia tercengang ketika melihat betapa banyaknya tumpukan dokumen yang akan dikerjakan. 

"Sudah siang begini. Apa bisa selesai sore nanti?" ia berkacak pinggang. Entah kenapa punggungnya terasa nyeri setelah mengambil dokumen yang cukup banyak.

Ia memindahkan secara bertahap dokumen-dokumen tersebut ke atas meja kerjanya. Hingga dokumen itu terlihat penuh dan menghalangi pandangan.

"Rose, sudah waktunya makan siang. Makan dulu, yuk! Aku yang traktir deh …." Nadine menghampirinya, ia merasa kasihan pada sahabatnya yang sudah bernasib sial di hari pertama kerja.

"Maaf, Dine. Aku masih belum menyelesaikan semua ini. Kamu ke kantin saja dulu, ya." Jawabnya tanpa menoleh ke arah, Nadine.

"Aku bungkusin, ya. Mau nggak?" Nadine menawarkan kembali.

"Nggak dulu, Dine. Daripada nanti nggak kemakan." Ujarnya kali ini dengan wajah terangkat.

"Ya sudah kalau begitu. Aku ke kantin dulu, ya." Nadine mengalah, ia sangat tahu jika Rose sedikit keras kepala seperti ayahnya.

"Maaf, ya!" Rose mencoba menunjukkan segaris senyuman.

"Jaga kondisimu, Rose! Kamu bukan robot." Pesan Nadine yang membuat Rose mengangguk kecil.

"Iya, makasih banyak bawel!" kelakar Rose agar sahabatnya itu lekas pergi dari meja kerjanya.

Nadine melambaikan tangannya lalu menghilang di balik pintu. Ia meninggalkan Rose dengan setumpuk pekerjaan yang tak kunjung usai.

Waktu berlalu begitu cepat. Hingga satu persatu karyawan PT. Garmen Angkasa Jaya, meninggalkan tempat kerja mereka. 

Rose melihat jam tangan di pergelangan kiri. Jarumnya menunjuk di angka 6 sore. Ia melihat di atas mejanya masih ada beberapa dokumen yang belum diinput.

"Oke, Rose. Tenanglah! Semua ini akan terlihat sangat mudah, jika Kamu mengerjakannya dengan senang." Rose menyemangati diri sendiri. 

Ia mengambil sebuah headset di dalam tas. Tak lama kemudian, alunan musik terdengar dan bisa membangkitkan kekuatan baru dalam dirinya.

Jarum jam bergeser maju lebih cepat. Tak terasa, tumpukan dokumen sebanyak itu bisa diselesaikan tepat jam 7 malam. 

Rose melihat sekeliling, sepi. Tak ada siapapun kecuali dirinya. Ia bergegas untuk segera pulang. Putri kecilnya pasti sudah merindukan kehadirannya.

Sengaja ia melepas sepatu hak tinggi yang dikenakan dengan sebuah sandal. Rose berlari kecil menuju area parkir yang berada di sisi timur.

Ia menyalakan mesin mobil dengan cekatan. Kali ini tujuannya cuma satu, menjemput putrinya untuk lekas pulang.

30 menit kemudian, Rose sudah sampai di sebuah rumah bergaya minimalis. Suasana rumah tersebut sepi ketika Rose sampai di depan teras.

"Dania, ini mama Sayang!" Rose memanggil putrinya yang sengaja ia titipkan pada seorang pengasuh. 

"Eh, Rose. Sudah pulang? Masuklah dulu, Nak!" namanya ibu Martha, pengasuh yang dipercaya oleh Rose sejak Dania masih berusia satu tahun.

"Makasih Bu, Dania sudah tidur?" Rose duduk di kursi teras depan rumah.

"Lagi main di kamar. Seharian ini anaknya murung, tidak seperti biasanya. Ibu sudah mencoba untuk membujuknya supaya Dania mau makan. Tapi …." 

"Mama …." 

Kalimat yang diucapkan ibu Martha terpotong. Putri kecilnya itu muncul dari balik pintu dan langsung menghambur ke arahnya.

"Hai, bagaimana kabar hari ini? Apakah Dania senang?" Rose mengusap rambut Dania dengan penuh kelembutan

Gadis itu mengerucutkan bibirnya. Wajahnya langsung ditekuk. Sehingga membuat Rose sedikit mendekat, untuk memastikan jika kondisi putrinya baik-baik saja.

Rose menoleh ke arah ibu Martha. Wanita paruh baya itu menganggukkan kepala dengan pelan. 

"Dania sedih, mama …." kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya yang mungil.

"Sedih? Sedih kenapa?" Rose meraih dagu Dania lalu mengulas senyuman.

"Teman Dania di sekolah semuanya punya papa. Mereka diantar dan dijemput sama orang tua mereka. Kenapa Dania nggak punya papa. Kan seru kalau ada papa …." 

Deg!

Rose menghela napas perlahan. Ia melirik kembali ke arah ibu Martha. Wanita itu memandang dirinya dengan wajah kasihan.

"Siapa bilang Dania nggak punya papa?" Rose menangkupkan telapak tangannya pada pipi chubby, Dania.

"Dania punya papa. Papa Dania ada, tapi masih belum bisa berkumpul sama Kita sekarang." Jelas Rose secara sederhana, anak sekecil itu mana tahu urusan orang dewasa.

"Kenapa? Dania kan pengen diantar ke sekolah, seperti yang lain." Tanya gadis cilik itu dengan wajah menggemaskan.

"Nanti, kalau sudah waktunya,

kita pasti akan bisa bertemu sama papa." 

"Benarkah? Mama janji?"

Rose mengangguk kecil, ketika gadis cilik itu meminta dirinya untuk berjanji.

"Jadi, papa mana Ma?" ujar anaknya sambil menitikkan air mata.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nani Mulyani
Masih menyimak, dan mengikuti alur ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ayah Dari Anakku Adalah Sang CEO Arogan   99. Menjalani Hidup Masing-masing

    BUG!"Hentikan segera! Ini bukan arena tinju, Tuan." Salah satu petugas yang berjaga di barak bagian tahanan pria, berlari kecil sambil mengacungkan jari telunjuknya."Saya mohon jaga sikap kalian berdua, Tuan-Tuan!" teriaknya sekali lagi.Tapi ada yang aneh saat petugas tersebut sudah sampai untuk melerai dua saudara beda ibu itu. Zain dan Alex tetap bergulat dan saling memukul tanpa ada yang memisahkan keduanya."Biarkan saja, Opsir! Biarkan mereka menyelesaikan masalahnya. Kita lihat saja hasilnya seperti apa." Cynthia menghadangnya dengan sebelah tangan. Petugas kepolisian itu pun menghentikan langkahnya dengan tatapan yang aneh. "Tapi Nona, mereka bisa saling menyakiti …." “Tenang saja Opsir. Mereka akan berhenti jika sudah merasa puas.” Ujar Cynthia dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh petugas tersebut. Ia pun menuruti saran dari Cynthia yang memintanya untuk tidak ikut campur. Terpaksa petugas itu membiarkan perseteruan yang

  • Ayah Dari Anakku Adalah Sang CEO Arogan   98. Kejujuran

    Biarkan aku menemuinya! Biarkan aku masuk ke dalam sana, sebentar saja. Aku mohon ….” Zain berusaha menerobos penjagaan di sel tahanan sementara khusus laki-laki. Setelah mendapatkan informasi dari Rose soal kakaknya, ia langsung kembali ke gedung tahanan kota Perth.“Maaf Tuan, Anda harus mematuhi jam berkunjung. Apakah Anda adalah keluarganya? Tolong tenanglah, Tuan!” cegah salah satu petugas itu dengan menarik pergelangan tangan, Zain. Ia tidak mengizinkan pria itu untuk masuk begitu saja tanpa izin.“Bagaimana aku bisa tenang, jika yang ada di dalam sana adalah kakakku. Kakak tiriku yang telah dinyatakan telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Aku harus memastikan kalau yang ada di dalam sel tahanan itu adalah orang yang sama.” Zain menatap tajam pada petugas itu. Dari cara pandangnya, Zain menunjukkan keseriusan.“Aku hanya ingin melihatnya, Opsir. Aku ingin memastikannya, itu saja. Aku yakin jika Anda memiliki keluarga yang telah dinyatakan menghilang atau meninggal. Kalian ak

  • Ayah Dari Anakku Adalah Sang CEO Arogan   97. Mimpi

    “Mau apa kamu ke sini? Apa belum puas kalian menyakitiku? Belum puaskah kamu sudah mengambil putriku?” Zain menghentikan langkahnya. Benar saja, Rose menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Ada banyak luka dan dendam yang tidak bisa dibicarakan secara transparan. “Jika kamu datang hanya untuk menyakitiku, maka kamu datang di waktu yang tidak tepat. Pergilah dari hadapanku!” Rose telah mengusirnya dengan cara yang tidak hormat.“Dengarkan dulu, Rose! Aku mohon,” Zain mencoba untuk bisa mendapatkan kesempatan kembali. Tapi sayang, Rose sudah terlanjur sangat kecewa kepadanya.“Jangan mendekat!” tunjuk Rose dengan tatapan yang sengit. Rose berusaha untuk menghentikan niat, Zain. Ia sudah muak selalu dicekoki oleh janji manis yang tidak berujung. “Kalian berdua sama saja,” gumamnya sambil melengos. Zain menghentikan langkahnya, ia memiringkan kepala dengan dahi yang berkerut. “Apa maksudmu, Rose? Siapa yang kamu samakan denganku? Apa yang kamu bicarakan saat ini adalah dokter, Frans?

  • Ayah Dari Anakku Adalah Sang CEO Arogan   96. Datang Untuk Menyakiti

    “Apa kamu sudah tidak laku? Sampai dirimu merebutnya dariku?” Kalimat itu, masih diingatnya dengan baik. Ia menatap dokter Frans dengan menitikkan air mata. Ucapan dokter Rhea Zalina kala itu, membuat Rose melayangkan sebuah tamparan yang cukup keras. Ia tidak bermaksud merebut siapapun, hingga terjadi miss komunikasi di antara keduanya.“Dokter ….” Rose memanggilnya berulang kali setelah ia mengusap titik embun di sudut kelopak matanya.Dokter Frans terkesiap, ia menoleh ke arah Rose yang menatapnya dengan bola mata berkaca-kaca. Tujuannya menyusul ke Australia untuk membebaskan Rose dari segala tuduhan, ia sangat yakin jika perempuan itu tidak bersalah meski sifatnya sedikit keras kepala. Tapi apa yang didapatinya setelah sampai di tujuan? Perempuan itu seperti telah menolaknya mentah-mentah.“I-Iya, maafkan aku. Tidak seharusnya aku berada di sini, aku hanya ….”“Terima kasih banyak, Dok. Dokter telah menyelamatkan hidupku untuk yang kedua kalinya.” Rose menyela ucapan dokter, Fr

  • Ayah Dari Anakku Adalah Sang CEO Arogan   95. Potongan Memori Yang Hilang

    “A-Ampun! Tolong ampuni saya!” Alex mencoba untuk bangkit, tapi ia kesulitan. Kerumunan itu tiba-tiba terbentuk dengan sendirinya. Rose dan Alex sudah berada di dalam lingkaran. Rose mengambil alih kembali, ia melayangkan bogem mentahnya pada Alex.“Hei ….! Berhenti! Apa yang sedang kalian lakukan, hah?! Bukankah kalian itu seharusnya saling menyemangati demi kepulanganmu Nona.” Salah satu petugas itu pun menyusup masuk ke dalam lingkaran. Ia melihat ada dua orang tengah adu kekuatan di antara tahanan yang lain.“Huuu ….” suara sorak sorai disertai tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Mereka berkumpul di satu titik yang dianggap sangat menarik. Bagi mereka, sudah lama tidak ada tontonan yang membuat mereka terlihat sangat bergairah seperti saat ini. Apalagi posisi Rose yang berada di atas tubuh, Alex. Para tahanan itu semakin memberinya semangat untuk meneruskan aksi heroiknya.“Apa-apaan kau ini, Nona?! Ikutlah denganku!” tarik salah satu petugas yang sudah menggenggam erat le

  • Ayah Dari Anakku Adalah Sang CEO Arogan   94. Jangan Menyebut Namanya!

    “Suster, tenanglah ….!” dokter Frans berusaha mencegah agar suster Karina menghentikan aksinya. “Tiba-tiba mataku sakit saat melihat suster mondar mandir seperti layangan putus,” ujar dokter Frans dengan menghembuskan napasnya dengan perlahan. Sepertinya ucapan dokter Frans sangat manjur, suster Karina langsung menghentikan aksinya. Ia memandang dokter Frans dengan tatapan yang — entah. “Apa ….?” ia memiringkan wajahnya sedikit. Suster Karina merasa aneh dengan apa yang diucapkan oleh dokter, Frans. Apa benar dokter Frans saat ini sedang sakit mata? Bisa-bisa rencana kepergian mereka gagal hanya karena sakit mata. “Eh, apa-apaan ini, Sus? Apa yang kamu lakukan, hah ….?” tanya dokter Frans yang menyadari jika suster Karina mendekat padanya hanya berjarak sepuluh sentimeter. “Dokter sakit ….? Apa perlu saya ambilkan obat? Kalau sedang sakit mata, jangan dibiarkan begitu saja! Bisa semakin bahaya nantinya, Dok.” Ujar gadis perawat itu memberikan sebuah penjelasan. “Ish, apa sih, S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status