Share

3. Putri Kecilku, Dania

"Saya ingin Anda menginput dokumen-dokumen yang ada di gudang." Ujar Zain sambil melihat Rose sekilas, lalu menunduk kembali mengerjakan dokumen yang ada di depannya.

"Baik, akan saya lakukan Pak!" Rose tidak membantah. Ia takut jika Zain masih mengenalinya.

Buru-buru ia keluar dari ruangan CEO, setelah tubuhnya sedikit membungkuk saat berpamitan.

Rose berlari kecil menuju meja kerjanya. Ia mengambil sesuatu yang akan dibutuhkan di gudang. Lekas ia mengerjakan apa yang diperintahkan oleh sang atasan. Sepertinya, hari ini Rose akan terlihat sangat sibuk. 

***

"Kamu lagi ngerjain apa, Rose?" tanya manager divisi saat melewati kubikel milik, Rose.

"Tugas dari bos besar, Pak!" jawabnya dengan mengangguk sekilas. Buru-buru ia meminta izin untuk melanjutkan kembali pekerjaannya.

"Tugas? Tugas apa? Proyek Kita masih baru jalan, Rose. Belum ada kelanjutan untuk masalah marketing, iklan dan lain-lain." Penjelasan dari manager tersebut membuat Rose memanyunkan bibirnya.

"Saya diberikan tugas untuk menginput dokumen-dokumen yang ada di dalam gudang, Pak!" Rose mendekap sebagian berkas yang hendak di bawa ke gudang guna mendata semua dokumen di dalam sana.

"A-Apa?!" manager tersebut terkejut, sehingga nampak kelopak matanya membuka dengan lebar.

"Kenapa bisa begitu? Ini masalah tidak main-main, Rose. Kamu karyawan baru di sini. Seharusnya si bos tidak sembarangan memberi wewenang bagi sembarang orang." Terangnya dengan dahi yang berkerut, sehingga terlihat dengan samar garis halus di sekitar keningnya.

"Maaf Pak, saya hanya menjalankan tugas." Ujar perempuan itu dengan wajah yang ditekuk.

"Iya, saya mengerti. Kamu tidak bersalah, Rose. Seharusnya, si bos membicarakan dulu dengan kepala divisi." sang manager tidak ingin Rose merasa tertekan.

"Maaf Pak, saya permisi dulu." Perempuan itu berpamitan. Ia sudah membuang waktunya beberapa menit saat bersitegang dengan managernya.

"Iya, silahkan." Manager tersebut memberi jalan pada, Rose. Ia melihat perempuan tersebut berjalan keluar ruangan.

"Aneh, tidak biasanya Pak Zain bersikap demikian. Apa ada sesuatu di balik semua ini?" ia bergumam sambil mengamati kepergian, Rose.

***

Rose berjalan sedikit tergesa, ia harus bisa memanfaatkan waktu dengan baik. 

Dibukanya pintu gudang, ia meminta kuncinya pada petugas pantry sebelum pergi. Kesan pertama saat ia berhasil membuka pintu itu adalah—pengap.

Rose terbatuk ketika menjejakkan kaki pertamanya. Gudang penyimpanan dokumen terlihat gelap dan berdebu.

Ia mencoba untuk mencari dokumen yang diinginkan oleh, Zain. Kemudian, dokumen-dokumen itu diletakkan pada sebuah bangku panjang yang berada di pinggir ruangan.

"Huft …." ia tercengang ketika melihat betapa banyaknya tumpukan dokumen yang akan dikerjakan. 

"Sudah siang begini. Apa bisa selesai sore nanti?" ia berkacak pinggang. Entah kenapa punggungnya terasa nyeri setelah mengambil dokumen yang cukup banyak.

Ia memindahkan secara bertahap dokumen-dokumen tersebut ke atas meja kerjanya. Hingga dokumen itu terlihat penuh dan menghalangi pandangan.

"Rose, sudah waktunya makan siang. Makan dulu, yuk! Aku yang traktir deh …." Nadine menghampirinya, ia merasa kasihan pada sahabatnya yang sudah bernasib sial di hari pertama kerja.

"Maaf, Dine. Aku masih belum menyelesaikan semua ini. Kamu ke kantin saja dulu, ya." Jawabnya tanpa menoleh ke arah, Nadine.

"Aku bungkusin, ya. Mau nggak?" Nadine menawarkan kembali.

"Nggak dulu, Dine. Daripada nanti nggak kemakan." Ujarnya kali ini dengan wajah terangkat.

"Ya sudah kalau begitu. Aku ke kantin dulu, ya." Nadine mengalah, ia sangat tahu jika Rose sedikit keras kepala seperti ayahnya.

"Maaf, ya!" Rose mencoba menunjukkan segaris senyuman.

"Jaga kondisimu, Rose! Kamu bukan robot." Pesan Nadine yang membuat Rose mengangguk kecil.

"Iya, makasih banyak bawel!" kelakar Rose agar sahabatnya itu lekas pergi dari meja kerjanya.

Nadine melambaikan tangannya lalu menghilang di balik pintu. Ia meninggalkan Rose dengan setumpuk pekerjaan yang tak kunjung usai.

Waktu berlalu begitu cepat. Hingga satu persatu karyawan PT. Garmen Angkasa Jaya, meninggalkan tempat kerja mereka. 

Rose melihat jam tangan di pergelangan kiri. Jarumnya menunjuk di angka 6 sore. Ia melihat di atas mejanya masih ada beberapa dokumen yang belum diinput.

"Oke, Rose. Tenanglah! Semua ini akan terlihat sangat mudah, jika Kamu mengerjakannya dengan senang." Rose menyemangati diri sendiri. 

Ia mengambil sebuah headset di dalam tas. Tak lama kemudian, alunan musik terdengar dan bisa membangkitkan kekuatan baru dalam dirinya.

Jarum jam bergeser maju lebih cepat. Tak terasa, tumpukan dokumen sebanyak itu bisa diselesaikan tepat jam 7 malam. 

Rose melihat sekeliling, sepi. Tak ada siapapun kecuali dirinya. Ia bergegas untuk segera pulang. Putri kecilnya pasti sudah merindukan kehadirannya.

Sengaja ia melepas sepatu hak tinggi yang dikenakan dengan sebuah sandal. Rose berlari kecil menuju area parkir yang berada di sisi timur.

Ia menyalakan mesin mobil dengan cekatan. Kali ini tujuannya cuma satu, menjemput putrinya untuk lekas pulang.

30 menit kemudian, Rose sudah sampai di sebuah rumah bergaya minimalis. Suasana rumah tersebut sepi ketika Rose sampai di depan teras.

"Dania, ini mama Sayang!" Rose memanggil putrinya yang sengaja ia titipkan pada seorang pengasuh. 

"Eh, Rose. Sudah pulang? Masuklah dulu, Nak!" namanya ibu Martha, pengasuh yang dipercaya oleh Rose sejak Dania masih berusia satu tahun.

"Makasih Bu, Dania sudah tidur?" Rose duduk di kursi teras depan rumah.

"Lagi main di kamar. Seharian ini anaknya murung, tidak seperti biasanya. Ibu sudah mencoba untuk membujuknya supaya Dania mau makan. Tapi …." 

"Mama …." 

Kalimat yang diucapkan ibu Martha terpotong. Putri kecilnya itu muncul dari balik pintu dan langsung menghambur ke arahnya.

"Hai, bagaimana kabar hari ini? Apakah Dania senang?" Rose mengusap rambut Dania dengan penuh kelembutan

Gadis itu mengerucutkan bibirnya. Wajahnya langsung ditekuk. Sehingga membuat Rose sedikit mendekat, untuk memastikan jika kondisi putrinya baik-baik saja.

Rose menoleh ke arah ibu Martha. Wanita paruh baya itu menganggukkan kepala dengan pelan. 

"Dania sedih, mama …." kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya yang mungil.

"Sedih? Sedih kenapa?" Rose meraih dagu Dania lalu mengulas senyuman.

"Teman Dania di sekolah semuanya punya papa. Mereka diantar dan dijemput sama orang tua mereka. Kenapa Dania nggak punya papa. Kan seru kalau ada papa …." 

Deg!

Rose menghela napas perlahan. Ia melirik kembali ke arah ibu Martha. Wanita itu memandang dirinya dengan wajah kasihan.

"Siapa bilang Dania nggak punya papa?" Rose menangkupkan telapak tangannya pada pipi chubby, Dania.

"Dania punya papa. Papa Dania ada, tapi masih belum bisa berkumpul sama Kita sekarang." Jelas Rose secara sederhana, anak sekecil itu mana tahu urusan orang dewasa.

"Kenapa? Dania kan pengen diantar ke sekolah, seperti yang lain." Tanya gadis cilik itu dengan wajah menggemaskan.

"Nanti, kalau sudah waktunya,

kita pasti akan bisa bertemu sama papa." 

"Benarkah? Mama janji?"

Rose mengangguk kecil, ketika gadis cilik itu meminta dirinya untuk berjanji.

"Jadi, papa mana Ma?" ujar anaknya sambil menitikkan air mata.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nani Mulyani
Masih menyimak, dan mengikuti alur ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status