Share

6. Ditipu paman sendiri

“Dia jadi pergi?”

“Iyalah, lumayan duitnya puluhan juta. Gaji pabrik saja enggak segitu.”

“Lebih gede dari gaji PNS!”

“Sayang harus jual aqidah! Di sana pasti makan babi!”

“Lha, pakek mikirin aqidah. Keperawanan saja dia kasih gratis. Anaknya saja haram.”

Begitulah ucapan tetangga saat Vinza berangkat ke Taiwan. Dia menjadi bahan cemoohan, bahkan sempat diusir karena dianggap membawa petaka di kampung. Vinza tak mau menyalahkan sikap mereka, dia tahu diri. Di sini dia yang salah dan mungkin apa yang ia lakukan dulu akan dicontoh anak lainnya di kampung itu.

Biarlah, jadi pembelajaran ke depannya untuk Vinza agar berhati-hati memilih pasangan. Pasangan? Yang seperti apa? Apa bisa orang itu menerima dirinya dan Rufy?

“Vin, kamu mau sayur ini?” tawar tetangga. Selama dua tahun tinggal di sini, Vinza mungkin sudah lama lupa rasanya makan daging. Selain takut tanpa sengaja memakan daging babi, ia bersyukur Nenek seorang vegetarian.

“Terima kasih, Bu.” Vinza menerima sayuran itu. Ia melihat jagung muda. Rufy sangat suka sayuran ini menurut cerita yang ia dengar dari ibunya. Vinza ingin lekas pulang ke Cianjur.

Sementara tanpa ia tahu, Romlah sakit-sakitan. Ia datang ke rumah Udin, adik iparnya dengan langkah yang sudah renta sambil menuntun Rufy. Apalagi? Selama ini gaji Vinza dikirim melalui rekening Udin karena Romlah tak tahu bagaimana cara mengurus ke bank. Ia juga tak punya HP. Vinza sudah meminta ibunya membeli HP, Romlah menolak karena tak bisa menggunakan. Selain itu uang yang Vinza kirim tak cukup.

“Ini, cuman sejuta delapan ratus. Kemarin pakai telpon gantiin pulsa dua ratus. Namanya nelpon ke luar negeri, mahal.” Udin berikan uang ratusan ribu pada Romlah.

Romlah tak banyak bertanya. Ia terima saja uang yang diberikan adik iparnya. Romlah yang hanya membantu suaminya meladang dulu, tak tahu jelas berapa gaji Vinza. Walau banyak tetangga bergunjing.

Reni, teman Vinza masa sekolah dulu bekerja di Arab. Ia sudah punya rumah tingkat tiga dan mobil. Padahal mereka berangkat bersama. Romlah tak mau suuzon, ia pikir mungkin karena mereka beda negara. Udin pun sering beralasan.

“Anak kamu lulusan SMP. Pantes gajinya enggak banyak. Selain itu ini juga dipotong untuk agen.”

Uang itu Romlah cukup-cukupi untuk kebutuhan sebulan penuh. Kadang susu Rufy harus ia akali dengan ditambah gula putih agar cukup sebulan.

“Mak, mau jajan?” pinta Rufy.

“Jangan sekarang. Emak mau bayar hutang beras dulu ke Bu Hamid. Enggak cukup uangnya. Rufy sabar, ya? Makan saja yang di rumah. Emak beli opak.”

“Andal Upi ucak, Mak. Beli dangan?”

Tali sandal anak itu robek dan mungkin dalam hitungan hari akan putus. “Mainnya pakai sepatu saja, ya?”

Bu Hamid hari itu tak menyangka menjadi saat terakhir melihat Romlah. Sore itu Rufy berlari ke rumah orang-orang dan mengetuk pintu. “Emak sakit!” teriaknya. Ia kaget ketika bangun dan membangunkan Neneknya setelah tidur siang, Romlah tak juga bangun.

Rufy menangis sejadi-jadinya. “Emak!” panggil anak itu, duduk di atas tempat tidur. Ia mengguncang tubuh Neneknya. “Emak, angun! Dak sakit, Mak!” panggilnya lagi.

Rufy hanya coba memahami sendiri. Ia turun dari tempat tidur dan lari ke rumah tetangganya. Tetangga paling dekat tak mau membuka pintu. Syukur, Bu Hamid pemilik warung mau mengikuti anak itu.

“Innalillahiwainnailaihirojiun,” ucap Pak Hamid sedang Rufy digendong oleh Bu Hamid.

“Kasian ini anak, mau tinggal sama siapa?” tanya Bu Hamid.

Hari itu Romlah langsung dikebumikan. Rufy menjerit dan mengamuk. Dia bahkan tak mau disentuh siapapun. Terpaksa beberapa ibu-ibu menahan tubuh anak itu saat Romlah hendak dibawa ke makam.

“Emak! Emak Upi! Emak Upi angan bawa! Upi mau Emak! Emak!” panggil anak itu lirih. Semua orang yang melihat menatap iba.

“Din, telpon Si Vinza. Suruh pulang. Ini anaknya mau sama siapa?” tanya Pak Hamid yang juga ketua RT di sana.

“Iya, nanti aku telpon. Biar istriku saja Pak yang asuh sementara sampai Si Vinza pulang,” jelas Udin.

Di belahan bumi lain, David yang tengah tertidur mendadak terbangun. Ia seperti jatuh dari ketinggian. Tangannya gemetar dan keringat bercucuran. “Aku mimpi apaan tadi?” pikir David. Ia menarik napas panjang.

“Anda membutuhkan sesuatu, Tuan Muda?” tanya seorang pelayannya.

“Ambilkan air putih saja,” titah David.

Matanya melihat ke luar jendela. Ia akhirnya akan mendarat di bumi Indonesia, negara di mana ia sempat dibuang dan dibesarkan. Terasa nyeri di batin David mengingat masa lalu di mana dia sering dipandang sebelah mata hanya karena anak buangan yang tak jelas asal-usulnya dan tak punya keluarga.

“David!” panggil seorang pria berkaos hitam berdiri tak jauh dari tiang.

David masuk ke ruang VIP, mengganti pakaian dengan kaos dan keluar lewat jalur umum. Di sana ia bertemu dengan pria itu, tak jauh dari pintu masuk.

“Aku bisa ke sana sendiri! Kamu jangan menganggap remeh aku, Ru!”

“Ayolah! Mana mungkin aku biarin penerus satu-satunya Heaven Grouph tersesat di Bandung. Apalagi kalau sampai nyungseb di tukang Cilor. Bahaya!”

Mereka saling menepuk bahu. Sudah sangat lama mereka tak bertemu. Biru baru kembali dari Amerika sedang David tinggal di Hongkong pasca dijemput keluarganya.

“Jadi di sini aku akan kerja apa?” tanya David.

Biru nyengir kuda. “Semaleman aku pikirin posisi yang cocok untuk kamu. Dan satu-satunya itu,” jawab Biru.

“Apa?” tanya David curiga. Ia terlalu kenal Biru dan tahu sahabatnya itu agak .... Isi sendiri titik-titik barusan.

“Sekretarisku. Kebetulan Oom Roni sedang gerilya. Nama kamu David dan aku buat usiamu lebih tua dua tahun dariku. Orang enggak akan curiga. Kelihatannya kayak gitu, kok!”

David menaikan sebelah alis. “Tunggu, bukannya aku lebih muda tiga tahun dari kamu? Gimana caranya ....” Rasanya David tak mampu berkata-kata.

“Aku awet muda soalnya. Kalau aku bilang kamu adik kelasku, bukannya terlalu mengada-ada?”

Karena kesal David tarik kertas di tangan Biru. “Apa ini?” tanya David sambil berjalan ke luar. Tiba di parkiran bandara, David jauh lebih syok lagi.

“Kalau dijemput pakai mobil, pasti bakalan kentara. Jadi aku jemput pakai angkot.”

David menarik napas panjang. “Biru! Kamu tahu apa yang paling aku benci? Sesuatu yang bikin aku ingat masa jadi orang miskin! Termasuk itu!” omel David. Ia menepuk jidat. Tahu begini lebih baik dia urus kepulangannya sendiri.

“Nostalgia, Vid. Inget, empat tahun lalu aku juga pernah miskin.” Biru menepuk bahu David.

“Kalau mau nostalgia dengan kemiskinan, sendiri saja. Jangan ajak-ajak!”

“Kita teman sehidup semati, ingat?”

“Palamu!” David terdengar sewot.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status