Home / Rumah Tangga / Ayah Mana? / 6. Ditipu paman sendiri

Share

6. Ditipu paman sendiri

Author: Elara murako
last update Last Updated: 2023-01-27 16:52:07

“Dia jadi pergi?”

“Iyalah, lumayan duitnya puluhan juta. Gaji pabrik saja enggak segitu.”

“Lebih gede dari gaji PNS!”

“Sayang harus jual aqidah! Di sana pasti makan babi!”

“Lha, pakek mikirin aqidah. Keperawanan saja dia kasih gratis. Anaknya saja haram.”

Begitulah ucapan tetangga saat Vinza berangkat ke Taiwan. Dia menjadi bahan cemoohan, bahkan sempat diusir karena dianggap membawa petaka di kampung. Vinza tak mau menyalahkan sikap mereka, dia tahu diri. Di sini dia yang salah dan mungkin apa yang ia lakukan dulu akan dicontoh anak lainnya di kampung itu.

Biarlah, jadi pembelajaran ke depannya untuk Vinza agar berhati-hati memilih pasangan. Pasangan? Yang seperti apa? Apa bisa orang itu menerima dirinya dan Rufy?

“Vin, kamu mau sayur ini?” tawar tetangga. Selama dua tahun tinggal di sini, Vinza mungkin sudah lama lupa rasanya makan daging. Selain takut tanpa sengaja memakan daging babi, ia bersyukur Nenek seorang vegetarian.

“Terima kasih, Bu.” Vinza menerima sayuran itu. Ia melihat jagung muda. Rufy sangat suka sayuran ini menurut cerita yang ia dengar dari ibunya. Vinza ingin lekas pulang ke Cianjur.

Sementara tanpa ia tahu, Romlah sakit-sakitan. Ia datang ke rumah Udin, adik iparnya dengan langkah yang sudah renta sambil menuntun Rufy. Apalagi? Selama ini gaji Vinza dikirim melalui rekening Udin karena Romlah tak tahu bagaimana cara mengurus ke bank. Ia juga tak punya HP. Vinza sudah meminta ibunya membeli HP, Romlah menolak karena tak bisa menggunakan. Selain itu uang yang Vinza kirim tak cukup.

“Ini, cuman sejuta delapan ratus. Kemarin pakai telpon gantiin pulsa dua ratus. Namanya nelpon ke luar negeri, mahal.” Udin berikan uang ratusan ribu pada Romlah.

Romlah tak banyak bertanya. Ia terima saja uang yang diberikan adik iparnya. Romlah yang hanya membantu suaminya meladang dulu, tak tahu jelas berapa gaji Vinza. Walau banyak tetangga bergunjing.

Reni, teman Vinza masa sekolah dulu bekerja di Arab. Ia sudah punya rumah tingkat tiga dan mobil. Padahal mereka berangkat bersama. Romlah tak mau suuzon, ia pikir mungkin karena mereka beda negara. Udin pun sering beralasan.

“Anak kamu lulusan SMP. Pantes gajinya enggak banyak. Selain itu ini juga dipotong untuk agen.”

Uang itu Romlah cukup-cukupi untuk kebutuhan sebulan penuh. Kadang susu Rufy harus ia akali dengan ditambah gula putih agar cukup sebulan.

“Mak, mau jajan?” pinta Rufy.

“Jangan sekarang. Emak mau bayar hutang beras dulu ke Bu Hamid. Enggak cukup uangnya. Rufy sabar, ya? Makan saja yang di rumah. Emak beli opak.”

“Andal Upi ucak, Mak. Beli dangan?”

Tali sandal anak itu robek dan mungkin dalam hitungan hari akan putus. “Mainnya pakai sepatu saja, ya?”

Bu Hamid hari itu tak menyangka menjadi saat terakhir melihat Romlah. Sore itu Rufy berlari ke rumah orang-orang dan mengetuk pintu. “Emak sakit!” teriaknya. Ia kaget ketika bangun dan membangunkan Neneknya setelah tidur siang, Romlah tak juga bangun.

Rufy menangis sejadi-jadinya. “Emak!” panggil anak itu, duduk di atas tempat tidur. Ia mengguncang tubuh Neneknya. “Emak, angun! Dak sakit, Mak!” panggilnya lagi.

Rufy hanya coba memahami sendiri. Ia turun dari tempat tidur dan lari ke rumah tetangganya. Tetangga paling dekat tak mau membuka pintu. Syukur, Bu Hamid pemilik warung mau mengikuti anak itu.

“Innalillahiwainnailaihirojiun,” ucap Pak Hamid sedang Rufy digendong oleh Bu Hamid.

“Kasian ini anak, mau tinggal sama siapa?” tanya Bu Hamid.

Hari itu Romlah langsung dikebumikan. Rufy menjerit dan mengamuk. Dia bahkan tak mau disentuh siapapun. Terpaksa beberapa ibu-ibu menahan tubuh anak itu saat Romlah hendak dibawa ke makam.

“Emak! Emak Upi! Emak Upi angan bawa! Upi mau Emak! Emak!” panggil anak itu lirih. Semua orang yang melihat menatap iba.

“Din, telpon Si Vinza. Suruh pulang. Ini anaknya mau sama siapa?” tanya Pak Hamid yang juga ketua RT di sana.

“Iya, nanti aku telpon. Biar istriku saja Pak yang asuh sementara sampai Si Vinza pulang,” jelas Udin.

Di belahan bumi lain, David yang tengah tertidur mendadak terbangun. Ia seperti jatuh dari ketinggian. Tangannya gemetar dan keringat bercucuran. “Aku mimpi apaan tadi?” pikir David. Ia menarik napas panjang.

“Anda membutuhkan sesuatu, Tuan Muda?” tanya seorang pelayannya.

“Ambilkan air putih saja,” titah David.

Matanya melihat ke luar jendela. Ia akhirnya akan mendarat di bumi Indonesia, negara di mana ia sempat dibuang dan dibesarkan. Terasa nyeri di batin David mengingat masa lalu di mana dia sering dipandang sebelah mata hanya karena anak buangan yang tak jelas asal-usulnya dan tak punya keluarga.

“David!” panggil seorang pria berkaos hitam berdiri tak jauh dari tiang.

David masuk ke ruang VIP, mengganti pakaian dengan kaos dan keluar lewat jalur umum. Di sana ia bertemu dengan pria itu, tak jauh dari pintu masuk.

“Aku bisa ke sana sendiri! Kamu jangan menganggap remeh aku, Ru!”

“Ayolah! Mana mungkin aku biarin penerus satu-satunya Heaven Grouph tersesat di Bandung. Apalagi kalau sampai nyungseb di tukang Cilor. Bahaya!”

Mereka saling menepuk bahu. Sudah sangat lama mereka tak bertemu. Biru baru kembali dari Amerika sedang David tinggal di Hongkong pasca dijemput keluarganya.

“Jadi di sini aku akan kerja apa?” tanya David.

Biru nyengir kuda. “Semaleman aku pikirin posisi yang cocok untuk kamu. Dan satu-satunya itu,” jawab Biru.

“Apa?” tanya David curiga. Ia terlalu kenal Biru dan tahu sahabatnya itu agak .... Isi sendiri titik-titik barusan.

“Sekretarisku. Kebetulan Oom Roni sedang gerilya. Nama kamu David dan aku buat usiamu lebih tua dua tahun dariku. Orang enggak akan curiga. Kelihatannya kayak gitu, kok!”

David menaikan sebelah alis. “Tunggu, bukannya aku lebih muda tiga tahun dari kamu? Gimana caranya ....” Rasanya David tak mampu berkata-kata.

“Aku awet muda soalnya. Kalau aku bilang kamu adik kelasku, bukannya terlalu mengada-ada?”

Karena kesal David tarik kertas di tangan Biru. “Apa ini?” tanya David sambil berjalan ke luar. Tiba di parkiran bandara, David jauh lebih syok lagi.

“Kalau dijemput pakai mobil, pasti bakalan kentara. Jadi aku jemput pakai angkot.”

David menarik napas panjang. “Biru! Kamu tahu apa yang paling aku benci? Sesuatu yang bikin aku ingat masa jadi orang miskin! Termasuk itu!” omel David. Ia menepuk jidat. Tahu begini lebih baik dia urus kepulangannya sendiri.

“Nostalgia, Vid. Inget, empat tahun lalu aku juga pernah miskin.” Biru menepuk bahu David.

“Kalau mau nostalgia dengan kemiskinan, sendiri saja. Jangan ajak-ajak!”

“Kita teman sehidup semati, ingat?”

“Palamu!” David terdengar sewot.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ayah Mana?   116. Ingin nonton (tamat)

    “Begini Bu Guru. Hari Minggu ini Rufy punya acara nonton di rumah. Bunda bolehin Rufy untuk nonton hanya setengah jam. Masalahnya ada dua yang mau Rufy tonton. Rufy suka Tayo juga suka Pocoyo. Baiknya Rufy pilih mana?” Bu Guru berpikir. “Mungkin untuk ini, Rufy bisa melakukan undian,” saran guru. “Undian?” Rufy rasanya belum pernah mendengar kata itu.“Iya, begini.” Guru membuat dua sobekan kertas. Ia tulis kedua nama acara itu di kedua kertas yang berbeda. Guru lipat kedua kertas dan memasukan dalam saku lalu memutar tangannya dalam saku agar kedua kertas itu teracak. Setelah itu, dia kembalikan ke atas meja. “Pilih salah satu,” saran guru dengan begitu detailnya.Rufy pilih salah satu kertas dan membacanya. “Tayo! Jadi Rufy nonton Tayo minggu ini. Yeay! Makasih banyak Bu Guru,” ucap Rufy. Dia senang karena apa yang menjadi beban belakangan ini hilang.Hari Minggu pun tiba. Rufy bangun subuh untuk salat subuh. Dia kenakan pakaian koko dan berjamaah dengan kedua orang tuanya. Selesa

  • Ayah Mana?   115. Galau

    Mr. Hang menahan tawa. “Maaf, Pak. Yang keren itu kalau banyak follower, bukan following.”“Iya, kah? Kalau gitu aku berhenti follow saja,” keluh David. “Pasti banyak yang follow anda, Pak. Apalagi anda seorang Chairman perusahaan besar. Anda tinggal umumkan saja pada media,” jelas Mr. Hang. “Benarkah?”“Iya. Apalagi kalau nama akunnya sudah centang biru. Pasti semakin banyak yang follow.”David menganggukan kepala. Ia lekas kembali memeriksa ponselnya. Tak lama dia berpikir. Jadi nama yang centang biru itu populer. Ia intip profil milik Biru Bamantara yang bercentang Biru. Di sana timbul rasa iri di hati David. “Dia pikir aku enggak bisa kayak dia apa!” Sore itu David pulang ke rumah. Dia sudah disambut pelayan dan istrinya di depan pintu. “Gimana kerjaan hari ini? Kamu sibuk terus main Instragram,” omel Vinza. “Maklum, soalnya akun aku ‘kan centang biru,” jawab David. Vinza menaikan alis. “Follower kamu baru empat biji, gimana bisa centang biru?” tanya Vinza bingung. Saking pen

  • Ayah Mana?   114. postingan

    “Aplod ini, ah!” seru Rufy saat dirinya selesai membuat vlog pribadi saat sedang mengerjakan PR. Dia punya akun instagram sendiri yang terhubung dengan akun Vinza. Jadi, Vinza bisa mengawasi penggunaan media sosial putranya. Zaman semakin maju, bukan artinya anak tak boleh memakai gadget bukan juga boleh memakai gadget. Untuk anak seusia Rufy yang baru menginjak kelas TK, penggunaan gadget hanya boleh selama lima belas menit sehari. Namun perlu diingat, orang tua harus lebih pintar dalam menggunakan teknologi dari pada putranya. Jangan seperti Koko Dapit. “Upload apa?” David mengintip ke layar ponsel Rufy. “Tadi Upi bikin vlog buat PR sendiri. Followers Rufy sudah banyak, Yah,” jawab Rufy. “Ouh. Vlog itu apa?” tanya David. David bukannya gaptek. Dia bisa melakukan peretasan, menggunakan tagar sebagai media komunikasi, bahkan merancang aplikasi. Hanya saja dia tak tahu bahasa media sosial kekinian karena dia hanya punya twitter. Itu pun tidak pernah membuat cuitan. Apalagi instagr

  • Ayah Mana?   113. ageisme

    “Penting bagi kita menambah wawasan dalam berbagai bidang. Ini membantu mencari peluang bisnis baru apalabila bisnis lama terpuruk. Jangan sampai kita main dalam kubangan sampai kita tak sadar seluruh tubuh kita kotor dan kemungkinan badan kita sakit,” jelas David saat ditanya tentang sektor baru yang kini tengah ditekuni Heaven Grouph saat jam rehat seminar. Pengisi seminar itu adalah salah satu pengusaha sukses Indonesia yang perusahaannya sudah menjadi perusahaan kelas dunia di Amerika. Karena itu David sangat bersemangat untuk datang. “Pasti wawasanmu luas sekali ya dengan usia segitu? Sepertinya Papamu sering ajak kamu jalan-jalan ke luar negeri,” ucap salah satu tamu undangan yang juga pengusaha. David melirik sumber suara. “Maaf?” tanya David bingung. “Iya, kadang bicara perubahan memang mudah. Apalagi bagi anak muda yang jiwanya masih menggebu. Hanya saja strategi kalau sedang tak untung ya pasti rugi besar. Banyak yang ingin mencoba sektor baru, justru malah bangkrut. Leb

  • Ayah Mana?   112. Berkembang

    “Bu,” panggil Cyan. “Apa?” tanya Vinza. Cyan menunjuk ke pintu. David sudah berdiri di depan pintu cattery. Kandang kucing Vinza ada di rumah keluarga Lau dan memiliki arena main sendiri. Ruangannya full AC dan ada keeper yang merawat setiap hari. “Assalamu’alaikum,” salam David. “Wa’alaikusalam, Yah,” jawab Rufy dan Vinza. Cyan berdiri lalu berlari mengulurkan tangan minta Ayahnya gendong. David lekas menggendong Cyan dan menciumnya. Lalu menghampiri Rufy pun mencium kening putranya. “Kakak gimana kabarnya?” tanya David. “Baik, Yah. Tadi Upi di sekolah dapat piala. Semua dapat piala, sih. Yang mau bikin origami dikasih piala,” cerita Rufy. “Alhamdulillah. Kakak senang dong di sekolah? Hebat anak Ayah mau belajar bikin origami,” puji Ayahnya. Rufy berjalan ke belakang David dan memeluk Ayahnya dari belakang. “Ayah baru pulang kerja?” tanya Rufy. “Sudah dari tadi. Ke rumah dulu, mandi, ganti baju baru ke sini. Kalau habis dari luar kan kita harus mandi dulu dan ganti baju.”“Iy

  • Ayah Mana?   111. kucing

    “Kucing yang ini sudah dibawa untuk diperiksa belum?” tanya Vinza memastikan kucing peliharaannya. Dia punya rumah kucing sendiri, di mana dia bisa memelihara dan breeding aneka kucing ras. Kucing yang ia pelihara awalnya hanya lima ekor dengan usia satu tahun. Vinza punya dua pasang kucing persia dan tiga ekor Scottish fold berbulu pendek. Kucing-kucing mahal itu David belikan karena tahu istrinya suka memelihara hewan. Benar saja, saat kucing Vinza berusia lebih dari setahun, mereka langsung berkembang biak dan memiliki masing-masing dua anak. Hanya ada satu kucing masih jomlo hingga Vinza jodohkan dengan kucing milik kenalan David. “Cyan, liat Unyil guling-guling,” seru Rufy menunjuk kucing scottish warna abu-abu yang masih berusia tiga bulan. Cyan mencoba berdiri meraih kucing itu, tetapi kucing berlari. Dengan langkah yang masih belum tegar, Cyan masih berusaha menangkap kucing. Akhirnya dia dapat kucing persia jingga. Dipeluk kucing itu, sayang karena salah peluk, kucingnya me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status