“Kok enggak nyambung, sih?” pikir Vinza. Ia sudah coba menelpon pamannya. Namun, tak juga tersambung. Ia mencoba berpikir apa penyebab yang pas kenapa Udin sulit dihubungi. “Mungkin lagi ke sawah Mang Udinnya.”Vinza menyimpan ponsel di atas nakas dan kembali memasak untuk makanan Nenek sore itu. Sedang di Indonesia, Udin bingung sendiri. Jika ia biarkan Rufy bicara dengan ibunya, Vinza akan tahu soal Romlah dan pulang ke sini. Artinya wanita itu akan tahu gajinya selama ini dilipat oleh Udin untuk biaya hidup keluarganya. “Terus mau gimana? Mana si Upi dari tadi nangis terus. Aku pusing, Kang!” omel Sulastri, istri Udin. “Bawa jajan dulu kenapa? Inget, kita butuh duit ibunya!” “Mau sampai kapan? Nanti kalau sampai si Vinza ngehubungin lewat orang lain gimana? Dia pasti nuntut kita, Kang!” Sulastri sudah ketakutan sendiri. Apalagi bukan sedikit uang yang mereka ambil setiap bulannya. Dari dua belas juta uang Vinza hanya dua juta yang diberikan. Itupun kadang dipotong dengan alasan
Tak ada yang curiga Rufy dibuang di sana. Anak itu malah terpaku akan banyaknya hal yang ia lihat. Ada tukang ayam, ia ikuti. Tak lama ia diam di lapak ikan. “Ouh, auk (lauk=ikan) item!” seru Rufy menunjuk ikan mas. Rufy yang tadinya ditinggal di sisi sepi pasar itu, kini berpetualang ke keramaian pasar. Klotek ... klotek ... Sebuah suara memancing rasa penasaran. Anak itu berbalik dan melihat ada helikopter dari dus dan kayu. Benda itu kalau digesekan ke tanah berbunyik klotek-klotek dan baling-balingnya berputar. “Heli!” seru Rufy menghampiri penjual itu. “Pak, mo eli!” pinta Rufy. “Ibunya mana?” tanya Bapak itu. Rufy mengusap kepala. “Bunda Insa? Dak ada. Tugu sana!” tunjuk Rufy ke kejauhan. Penjual itu melihat ke arah yang Rufy tunjuk. Ada seorang ibu tengah duduk di sisi lapak sayur sambil meminum es kelapa. “Minta uang dulu. Baru nanti dikasih,” jelas penjual heli. “Uang, ya?” pikir Rufy. Ia menggaruk kepala. “Emak dak ada uang.”“Kalo gitu enggak boleh.” Penjual Heli itu
Vinza mencoba menelpon untuk kesekian kali dan tak juga diangkat. Di sana perasaan dia semakin aneh. Vinza lekas menghubungi agennya. “Iya, Mang Udin enggak bisa dihubungi. Tolong, Mbak. Cek kondisi keluargaku di sana. Ini sudah minggu kedua. Aku kerja pun enggak tenang.”Menunggu beberapa hari, Vinza hanya mendapat kabar jika agen sendiri tak menemukan siapa-siapa di rumahnya. Mereka berjanji akan kembali dan menanyakan pada tetangga. “Enggak. Aku gak bisa nunggu. Tolong bantu aku pulang. Kontrakku tahun ini sudah selesai, ‘kan? Bisakah dipercepat? Perasaanku enggak enak, Mbak,” tegas Vinza. “Batalin kontrak itu susah, Vin,” jawab humas agen yang mengirim Vinza ke sana. “Gimana pun caranya. Aku mau pulang. Ada yang enggak beres.”Benar saja, keesokan harinya Vinza dapat kabar jika ibunya meninggal. Di sana Vinza merasa dunianya kembali runtuh. “Ibu! Ya Allah, Ibu! Kenapa enggak ada yang kasih tahu aku? Kenapa?” tanya Vinza. Ia duduk memeluk lutut di sudut ruangan sambil memegang t
“Jadi selama ini Si Udin itu nipu? Astaghfirullah, tega sekali dia. Kok bisa kamu enggak nanyain berapa uang yang ibu kamu terima?” tanya Pak Hamid syok. “Aku pikir Mang Udin enggak gitu. Habis Ibu enggak ngomong apa-apa. Ternyata dia cuman enggak mau bebanin aku. Kasian Ibu. Rufy juga gimana?” Vinza berderai air mata. Ia tepuk-tepuk dadanya. “Kita lapor polisi. Mana kejadiannya sudah lama. Si Udin bilangnya mau diantar ke kamu. Katanya kamu pulang dari Taiwan lanjut kerja di Bandung. Makanya mau bawa Rufy ke sana,” jelas Pak Hamid. Vinza membuat laporan ke polsek setempat. Ia pun bingung hendak mencari Rufy ke mana. Polisi sendiri masih mencoba menyelidiki kasusnya. Selain sudah sangat lama pun tak banyak saksi saat kejadian. Vinza duduk di makam ibunya. “Bu, Rufy belum juga ketemu. Aku takut, Bu. Takut kalau anakku jatuh ke orang yang salah. Gimana kalau dia disakiti?” tangan Vinza mengusap nisan ibunya. Air mata berderai. Hasil kerjanya selama dua tahu lebih lenyap tak bersisa
Mobil itu menepi di sebuah desa. Selama tiga tahun ia pergi, kampung itu tak banyak berubah. Jalanannya masih bebatuan dan rimbun pepohonan tinggi di mana warga mengaitkan kehidupan, ada pohon jati, kemiri, petai, jengkol hingga melinjo. Mengenakan hoodie, ia berjalan menyusuri jalan kampung. Beberapa anak-anak kagum melihat betapa mengkilat mobil yang ia parkir di sana. Hitam dan bersih pun bodynya besar juga garang. Beberapa ada yang berubah. Kandang kambing yang biasa digunakan siswa-siswa SMP dekat kampung itu untuk buang air kini tak ada. Sawah berganti menjadi rumah dan lahan cabe rawit. Kini ia berhenti di depan sebuah rumah yang sudah reot. Kacanya pecah dan halaman terlihat kotor penuh debu dan daun berserakan. “Mereka pindah?” pikir David. Ia berbalik. Kembali David berjalan ke rumah besar tak jauh dari sana. Ada rumah gedung berlantai dua dengan cat jingga. Ada seorang perempuan tengah mengandung. Ia menyapu halaman dengan sapu lidi. “Ini rumah Pak Dedih?” tanya David.
“Assalamu’alaikum, Bu Ifa?” tanya Vinza. “Neng, David ke sini tadi. Dia nitipin surat ke satpam. Tapi Ibu enggak sempat ketemu. Tapi dari surat yang dia tinggalin katanya mungkin nanti ada orangnya datang ke sini kasih sumbangan. Ibu nanti akan titip pesan ke mereka, ya?” ungkap Bu Ifa. “Iya, Bu. Makasih. Sekalian ngomong sama Si Berengsek itu kalau anaknya ilang!” timpal Vinza. “Iya, Neng. Gimana? Belum ada kabar soal Rufy?”“Boro-boro, Bu. Ada yang nelpon malah orang aneh semua. Kemarin Vizna di PHPin. Katanya nemuin Rufy dan ajak ketemuan di alun-alun. Vinza tungguin sampai berjam-jam, orangnya enggak ada, Bu.”“Astaghfirullah. Kasian sekali kamu. Yang tabah, Neng.”“Iya, Bu. Makasih banyak.”Setelah menutup telpon. Vinza menghentakan kaki ke lantai. “Emang enggak tahu diri dia! Harusnya dia tanya-tanya sama orang! Andai saja aku ketemu sama dia! Sudah aku lelepin ke balong (kolam)!” pekik Vinza kesal. David tiba di apartemennya. Ia melepas hoodie dan melempar ke atas meja. Tub
Hari itu diadakan acara makan bersama di rumah Biru. David datang dengan setelan kemejanya. Sudah ada teman-teman Biru di sana. Rencananya David hendak pamitan sebelum pulang ke Hongkong. “Sekarang Ara sudah segede gini, tapi Oomnya masih jomlo saja,” ledek Randy, teman Biru. Jelas itu hantaman terbesar bagi Miki dan Roland, teman mereka. “Itu takdir, woy. Mana mungkin aku bisa melawan,” alasan Rolan. “Inget, Bro. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, tanpa kaum itu merubah nasibnya sendiri,” ceramah Biru. Rolan tak mampu berkata-kata lagi. Ia hanya menerima nasibnya. Jadi jomlo di antara teman yang sudah menikah memang menyakitkan. “Dengar kawan. Bukannya aku tak berjuang merubah nasib. Hanya saja mencari wanita baik itu seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Contoh saja David, kurang apa coba? Ganteng dan mulus kayak panci masih dalam dus, masih jomlo. Apalagi aku yang kayak panci gosong.” Miki bisa saja membuat alasan. Sedang orang yang ia sebut hanya senyum. David sel
David pamitan lebih dulu. Ia berjalan keluar setelah mendengar kedatangan Viane ke Indonesia. “Pastikan jangan sampai dia tahu aku tinggal di mana. Aku tak mau dia ganggu aku!” tegas David. Di teras ia hampir menabrak anak kecil yang tadi mengintip di tiang."Kenapa juga aku harus berurusan dengan bocah?" David memutar bola mata. Tak tahu kenapa dia merasa anak kecil itu ribet dan berisik. Meski dia pernah menjadi anak kecil. Mungkin karena dia tinggal di panti dan terpaksa jadi mandiri, karena itu dia tak memaklumi sikap manja anak lainnya.“Kamu bisa, tidak berkeliaran di rumah ini sembarangan, ‘kan? Kalau aku nabrak kamu, aku bisa disalahkan!” omel David sambil berkacak pinggang. Matanya melotot dengan sedikit merah di bagian bawah kelopak mata.Rufy menunduk. “Maaf,” timpal Rufy. Dia masiu terlalu kecil sehingga mudah merasa takut. Tubuhnya yang mungil dipaksa menghadapi dunia yang penuh dengan orang dewasa yang tinggi dan besar.“Mana orang tua kamu? Biar aku bicara dengan mereka