Deg!
Kayra ingat tentang kejadian tadi siang dan itu membuatnya takut. Kayra takut mantan suaminya datang kerumah ini, ia takut Nabastala akan merebut kedua putrinya. Sungguh, tidak ada perasaan lain selain takut.
"Semoga itu bukan Nabastala." Gumamnya.
Kayra tidak beranjak dari tempat itu, bahkan setelah siluet orang tadi menghilang Kayra tetap disana. Sedangkan kedua anaknya kini sudah tertidur.
"Permintaanku tidak banyak, Tuhan. Aku ingin anakku bahagia. Setidaknya cukup sampai aku luka itu, anak ku jangan." Kayra menatap ke arah langit yang begitu gelap pekat malam ini.
Kemudian ia beranjak dari sana menuju ranjang yang sudah diisi anak-anaknya.
Ia duduk di antara kedua anaknya. Ia usap rambut keduanya, air mata itu kembali menghiasi pipi mulusnya.
"Nak, maafkan mama. Mama belum bisa menjadi ibu yang baik untuk mu. Maaf jika mama selama ini belum bisa membuat mu bahagia dan bangga. Tapi, perlu kalian tahu sayang, mama sayang sekali pada kalian." Ucapnya.
Sakit sekali rasanya setiap Kayra menatap anaknya yang tengah lelap tertidur. Ada sedikit rasa bersalah dalam dirinya, walaupun Kayra sendiri tidak tahu apa kesalahannya.
***
Hari Minggu adalah hari libur, hari untuk menghabiskan waktu bersama keluarga untuk sebagian orang. Kayra pun tidak mau kalah, ia mengajak kedua anaknya untuk pergi ke taman kota pada minggu pagi ini.
"Mama, kenapa mama ajak kita ke sini?" Tanya Reana.
Kayra menatap anak di sampingnya sembari mengernyit dahi. "Lho, kakak gak suka ya. Kalo gak suka mama bisa lho ajak kalian kemana pun."
Reana menggeleng, ia tersenyum, "Enggak kok. Kakak suka."
Kayra kembali berjalan bersama anaknya. Satu disebelah kiri dan satunya lagi di sebelah kanan.
Namun, baru saja Kayra akan mendudukan bokongnya di salah satu bangku taman, samar-samar Kayra mendengar ucapan dari orang di dekatnya.
"Oh, jadi ini janda yang suka goda suami orang itu?" Ucap salah seorang wanita kepada temannya.
"Iya. Suami teman saya pun dia goda." Ucap wanita itu dengan sinis ke arah Kayra
"Amit-amit ya buk. Kok ada sih wanita pelacur di sekitar kita."
"Stt.. ah nanti dia dengar."
"Baper."
"Hahaha...." Kedua ibu-ibu tertawa.
Kayra menatap sekeliling, tidak ada siapa-siapa lagi disana selain Kayra dan anak kembarnya juga seorang wanita dan temannya yang berbicara tadi.
Kedua anaknya menatap wajahnya yang seketika berubah.
Kayra sadar perkataan ibu-ibu tadi adalah untuk dirinya.
"Menjadi seorang janda bukan ingin ku. Tapi kenapa semua seolah adalah salah ku?" Rintihnya dalam hati kecilnya.
"Mama, Reana laper." Rengek si sulung.
"Reina juga sama."
Kayra menatap putrinya. Ia jadi gemas sendiri melihat dua putrinya yang mengeluh lapar, padahal ini baru pukul sembilan, lagi pula di rumah mereka sudah makan. Tapi, itu bukan masalah. Kayra mengajak keduanya ke stand penjual makanan disana.
"Kakak sama adek mau apa?"
Mata mereka menelisik menatap seluruh penjual disana, tapi tidak ada satupun yang menarik perhatian si kembar. Sampai matanya menatap seorang penjual dengan gerobak di pinggir jalan.
"Aku mau itu aja, Ma!"
"Reina juga."
Kayra menatap ke arah dimana anak-anaknya menunjuk. Ternyata itu adalah penjual gerobak.
"Gak mau yang ini?"
Kedua anaknya menggeleng.
Mereka berjalan menuju abang penjual makanan gerobak itu yang ternyata berjualan cilok. Sesampainya disana Kayra langsung memesan untuk kedua putrinya.
"Mas dua ya, tanpa pedas."
"Baik, Nyonya."
Kayra menunggu di trotoar jalan yang cukup terik juga cuacanya pagi ini.
"Sayang sini berteduh nak." Ucapnya pada kedua anaknya yang asik memperhatikan Abang penjualnya.
"Gak mau ma. Mau lihat ini." Teriak si sulung yang diangguki adiknya.
Kayra ini tipikal ibu yang tidak bisa menolak permintaan anaknya apa pun itu. Ia khawatir, tapi lebih khawatir lagi jika anaknya kecewa.
"Nyonya, ini sudah pesanannya. Dua tanpa pedas."
Kayra menghampiri Abang pedagangnya lalu membayar makanan anak-anaknya itu, tanpa melihat wajah si abang penjualnya.
"Nyonya saya tidak ada kembalian." Ucap Abang penjualnya, karena uang yang di berikan Kayra adalah ia merah sedangkan yang perlu di bayar hanya dua puluh ribu.
"Tidak apa, ambil saja." Ucapnya sambil tersenyum.
"Tapi–-"
Kayra menggeleng.
"Baiklah, terimakasih nyonya."
"Sama-sama."
Setelah membelikan anaknya makanan yang diinginkan, Kayra kembali ke tempat duduknya bersama kembarnya.
***
Sesampainya dirumah, mereka berdua malah menceritakan Abang penjual cilok gerobak itu.
"Kakak tahu tidak, abangnya ganteng lho." Ucap si bungsu antusias.
"Iya adek, kakak lihat."
Kayra yang mendengar itu menyahut. "Tahu dari mana kamu ganteng?"
"Mama harus tahu. Abangnya ganteng." Ucap si sulung.
Kayra menggelengkan kepalanya, rasanya geli saja mendengar anak-anaknya mengatakan kata ganteng, di usianya yang masih kecil ini.
Kayra ikut duduk, "Menang kenapa mama harus tahu?"
"Biar jodoh. hihi..." ucap Reina.
Kayra menatap anak-anaknya.
"Memang kakak sama adek tahu apa itu jodoh?"
"Tahu." jawab Reina. "Jodoh itu takdir untuk Mama."
Haidar membawa Kayra masuk kedalam mobil, ia lantas membuat wanita itu duduk di jok sampingnya. "Ra, kamu yang tenang ya..." Kayra duduk dengan gelisah, ia benar-benar tidak tahu apa yang akan Haidar lakukan. Kayra takut, ia terlalu takut jika Haidar berbuat nekad. Pria itu mendekat dan mengukung tubuh Kayra. "Ra, jangan teriak ya..." Ujar Haidar dengan nada yang berat. Kayra hendak mendorong tubuh pria itu, tapi Haidar lebih dulu menjauh dan tertawa. "Ha ha... Apa sih yang ada dipikiran mu Ra? Ha ha ha..." Kayra memberikan pukulan kecil dibahu laki-laki itu. Ia lantas memalingkan wajahnya, menatap kearah luar. "Nyebelin ih, aku udah takut tahu!" Ketus Kayra. Pria itu mencoba menarik bahu wanita disampingnya, tapi wanita itu menepisnya. "Ngambek nih? Ayolah, orang pemarah cepet tua tahu..." Kayra yang kesal langsung beralih menatap pria itu. "Ngapain ngajak aku masuk?" "Masuk kemana, Ra?" Tanya Haidar sambil menaik turunkan alisnya, menggoda. "Haidar, ish
Malam tiba dan hujan mengguyur kota dengan derasnya."Hujan, Na." Ucap Kayra.Nabastala menoleh kearah wanita itu yang datang membawa teh hangat dan cemilan."Gak papa. Aku bawa mobil, kok."Kayra mengangguk."Anak-anak udah teler, aku mau bawa ke kamar dulu ya." Ujarnya yang diangguki Nabastala.Sepeninggalan Kayra, Nabastala bangkit berdiri dan berjalan kearah jendela. Dari dalam rumah, ia dapat melihat hujan deras diluar sana."Hujannya deras." Gumamnya.Saat Nabastala melihat hujan, Kayra tiba-tiba sudah ikut berdiri disampingnya. Wanita itu bersuara sebelum Nabastala menyapanya."Aku mau nikah sama Haidar." Ucapnya.Nabastala menatap wanita itu, lantas ia tersenyum. "Kenapa bilang sama aku? Kan kita udah bukan siapa-siapa." "Aku cuma minta ijin sama ayah dari anak-anak, bahwa anak-anak akan punya ayah tiri." "Aku gak mungkin halangi kamu bahagia, Ra. Lagipula, kenapa harus ijin? Anak-anak pasti senang kok, kan setahu mereka ayah mereka telah tiada." Ucap Nabastala.Kayra menghe
Malam hari, keluarga Haidar berikut Ravendra tengah duduk diruang tamu setelah makan malam."Jadi, dia bukan Radja?" Tanya mama.Sedari adanya Ravendra, mama terus menatap anak itu dengan penuh binar dimatanya."Bukan ma. Dia namanya Ravendra, kata Haidar. Benarkan?" Tanya papa pada Haidar.Haidar mengangguk. "Iya pa, ma."Mama tersenyum. "Ravendra, kamu tidak usah takut ya. Sekarang Ravendra itu, adiknya kak Haidar. Panggilnya kakak, ya. Jangan Abang." Ucap mama yang diangguki anak itu.Haidar menatap mama dan papa. "Ma, pa." Ucapnya.Mama dan papa menoleh. "Kenapa Haidar?" Tanya papa."Emang bener ya, kalo Ravendra itu semirip itu sama kak Radja."Mama dan papa mengangguk. "Iya, dia itu cuma beda alam aja sama kakak mu. Wajahnya, bibirnya, matanya, bahkan telinga saja sama."Haidar menatap telinga Ravendra yang kini duduk disamping papa. "Telinga itu sama aja, ma."Mama menggeleng. "Tidak sama, telinga kakak mu itu ada tahi lalat dibelakangnya dan telinga Ravendra juga sama." Haida
Hari demi hari Haidar lalui dirumah lamanya. Ia meninggalkan Ravendra sendiri di kontrakan. Namun pria itu tetap membiayai sekolah dan uang jajan dan uang kontrakan Ravendra. Saat sendiri di dalam kamarnya, Haidar menatap kearah luar, disana hujan dan udara pun sangat dingin sore ini. "Apa kabar Ravendra, ya? Aku jadi kangen. Biasanya kalo hujan gini, terus gak ada uang suka masak mie instan satu bungkus dibagi dua." Gumam Haidar. Ia menggeleng lalu terkekeh. Rasanya, kenangan lama itu terputar di kepalanya. Tiga tahun hidup terlunta-lunta dan dua tahun ditemani oleh Ravendra yang ia anggap sebagai adiknya. "Kalo aku bawa kesini, papa sama mama mau terima gak, ya?" Monolognya. Haidar mengambil ponselnya, banyak kenangan tentang Ravendra disana. Tenang saja, sejak awal Haidar menggunakan ponsel mahal jadi tidak akan penuh penyimpanannya hanya untuk menyimpan beberapa foto dan video. "Ponsel ini banyak kenangannya. Tapi, kata papa harus ganti." Gumamnya, sambil menggeser fot
Benar kata Haidar sebelum pulang, Kayra diantar oleh mobil dengan Haidar sebagai supirnya.Sesampainya didalam rumah, Kayra sudah disambut oleh wajah lesu sang mama."Mama Reana Reina, kemana?"Tanya Kayra sambil celingukan mencari anaknya yang tumben sekali tidak menyambutnya.Kayra duduk disebelah sang mama."Anak kamu dijemput papa-nya." Ucapan mama mampu membuat Kayra reflek bangkit. "M-maksud mama, apa? Mama bercanda kan? Mereka gak tahu papa-nya lho ma." Ucap Kayra.Mama mendongkak menatap sang anak. "Mama gak bercanda Kayra. Pas mama lagi bawa mereka jalan-jalan Nabastala datang.""Kok mama ijinkan?""Dia maksa. Mama gak bisa berbuat apa-apa dan mama juga gak tega karena dia nangis berlutut sama mama hanya untuk meminjam anaknya."Kayra memalingkan wajahnya, ia menarik rambutnya kebelakang."Nabastala bawa mereka kemana ma?""Ke rumahnya."Tanpa menunggu mama bersuara lagi, Kayra segera membawa kunci mobil dari lacinya, kemudian dia pergi menuju rumah Nabastala yang tak lain ad
Disisi lain, saat Kayra tengah diintrogasi mama Haidar, Nabastala justru mendatangi rumah orang tua Kayra dengan berani."Permisi." Ucapnya sambil mengetuk pintu.Tanpa menunggu lama, pintu dibuka. Disana terdapat seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah kepala art."Oh tuan muda Nabastala. Ada keperluan apa tuan?" Tanya bibi itu."Apa kabar bi?" Tanya Nabastala ramah.Pria itu tentu sudah mengenal wanita di depannya karena dahulu pria ini adalah menantu dirumah tempat bibi itu bekerja."Baik. Tapi, tuan belum menjawab pertanyaan saya. Ada keperluan apa tuan kesini?" Nabastala tersenyum. Nada bibi bernama Marni didepannya ini tidaklah terdengar santai, mungkin sejak kejadian itu semua orang telah berubah padanya."Saya ingin bertemu ibu. Ada bi?" "Tidak ada. Ibu sedang keluar. Lebih baik sekarang tuan pulang." Ujar bibi itu.Nabastala mengangguk. "Baiklah, saya permisi. " Ucapnya lalu melenggang pergi.Disepanjang perjalanan, Nabastala terus saja merenungi sikap sang kepala ar
Hari ini, adalah hari dimana Haidar akan menawarkan Kayra bertemu dengan orang tuannya."Haidar, kita kesana naik apa?" Tanya Kayra saat Haidar sudah sampai di depan rumahnya."Naik motor ku Ra.""Aman?"Haidar tersenyum. "Aman kok Ra, tenang aja. Tapi, bentar ya aku izin dulu sama mama papa kamu."Kayra menahan pria itu. "Gak usah.""Lho, kenapa? Kalo aku gak izin nanti dikira nyulik dong? Terus anak-anak sama siapa?""Nah, itu kamu nyadar. Mama sama papa gak ada dirumah. Papa kerja, mama bawa anak-anak jalan-jalan. Lagian kamu udah izin kemarin kan?"Haidar mengangguk, lalu tersenyum. "Yaudah kalo gitu. Ayo Ra!""Haidar kenapa gak pake mobil aku aja?""Gak ah, ribet. Siapa tahu pulangnya naik mobil kan.."Kayra tidak mengerti ucapan pria itu, ia hanya mengikuti saja.Selama perjalan, tidak ada percakapan apapun. Haidar diam begitupun dengan Kayra. Hanya suara bising kendaraan disekitar mereka yang terdengar. Ini untuk pertama kalinya bagi Kayra menaiki sepeda motor untuk waktu yang
Hari ini adalah hari dimana Kayra akan membawa Haidar kerumahnya. Dia sudah izin pada sang mama dan papa. "Ayo masuk Haidar." Ucapnya saat sampai didepan rumahnya. Haidar mengangguk. "Ayo Ra." Mereka masuk kedalam rumah orang tua Kayra. Kayra tidak harus memastikan orang tuanya ada atau tidak, karena dia sudah memberi kabar lebih dahulu. Sesampainya didalam rumah. "Mama, papa..." "Kayra duduk nak." Balas papa. Melihat pria tadi hanya berdiri, mama bersuara. "Silahkan duduk nak, jangan segan-segan anggap saja rumah sendiri." Ucap akan ramah. Pria itu tersenyum, lalu ia mendudukan bokongnya disofa. "Jadi, kalian pacaran? sudah berapa lama?" Tanya papa to the point. Mama menepuk paha papa. "Jangan langsung interogasi dong pak." Papa hanya tersenyum kikuk, sedangkan Kayra mati-matian menahan tawanya. Mama menatap Haidar dengan senyum diwajahnya. "Silahkan diminum dulu, biar relax. Soalnya papa si Kayra mukanya tegang." Haidar mangut sopan." Terimakasih Tante." Ucap
Hari-hari berlalu, bahkan sampai dengan detik ini Kayra masih memikirkan ucapan Nabastala tempo hari. Hari ini, Kayra ada dirumah sang mama. Ia akan meminta ijin untuk menikah lagi, jika sudah ada ijin ia akan meminta Haidar menjadi suaminya. "Mama, Kayra mau menikah lagi. Bolehkan?" Tanyanya pada sang mama yang tengah asik menonton tv. Si kembar sengaja dibawa oleh papa ke taman saat Kayra mengatakan akan berbicara serius dengan mama. "Ra sejujurnya mama masih berat. Tapi, apa kamu sudah bertemu dengan seseorang yang baik?" Kayra mengangguk. "Iya ma, Kayra sudah ketemu yang tepat." "Boleh mama bertemu dia dulu?" "Tentu." Kayra merasa senang dalam hatinya, akhirnya setelah sekian lama Kayra mendapat juga ijin dari sang mama. *** Esok harinya, Kayra menghampiri Haidar yang tengah berjualan ditaman kota. "Haidar!" Sapa Kayra saat menemukan Haidar yang tengah duduk di trotoar jalan. Pria itu melambaikan tangannya. Kayra berjalan menghampiri wanita itu. "Gimana j