Amelia terbang ke luar negeri bersama seorang bibi dan asisten pribadi utusan dari orangtuanya. Selama di sana, wanita ini kuliah dengan lancar, tetapi semakin lama perutnya semakin buncit. “Bibi dan Kak Amanda jangan katakan apapun pada mama dan papa ya kalau sebenarnya Amei hamil.”
Kedua wanita yang dibawa Amelia hanya saling menatap bingung hingga Amelia kembali berkata, “Amei akan melahirkan anak ini, Amei tidak akan membunuhnya karena anak ini tidak memiliki dosa apapun.”
“Iya Mei, tapi bagaimana dengan sekolah kamu?” tanya wanita bernama Amanda yang usianya lima tahun lebih tua dari Amelia jadi dia sudah menganggapnya sebagai kakak.
“Gampang. Pokoknya kalian harus kerjasama, tidak boleh ada yang membocorkan rahasia ini!” Hingga detik ini Amelia tidak mengetahui kehidupan pria bernama Erland, apakah dia manusia berada seperti dugaannya atau hanya anjing jalanan yang disewa seorang wanita kaya karena bar ekslusif itu dipenuhi oleh organisasi hitam. Tatapan wanita ini mengarah pada kaca besar di atas gedung apartemen sangat tinggi yang sekarang dipijaknya. “Andai kita bertemu lagi, apa kamu akan mengingatku. Erland?”
Kehidupan Amelia di negeri orang sangatlah mulus, bahkan dirinya pikir jika tempat ini adalah syurga untuk menyembunyikan kehamilannya. Maka, beberapa bulan selanjutnya perut berisi bayi semakin membesar saja.
“Mei, kamu tidak akan kuliah di apartemen saja? Aku dengar kamu masih bisa menyelesaikan kuliah walau tidak pergi ke kampus.” Kalimat Amanda yang mengasihani perut besar Amelia yang kini menginjak bulan ketujuh.
“Tidak usah, lagipula aku punya banyak teman di kampus yang juga menyayangi bayi ini.”
“Keputusan ada pada kamu Mei. Lalu, bagaimana dengan pria yang pernah tidur sama kamu, apa dia tahu?”
“Tidak, biarkan saja. Aku akan menemuinya nanti andai situasi tidak terkendali.” Bayangan Erland sangat pekat, bahkan aroma tubuhnya masih menguar di dalam ingatan Amelia hingga membuatnya selalu terbuai dalam jeratan iblis. “Dia begitu sempurna, selama ini aku belum pernah bertemu dengan pria hasil ukiran tangan Tuhan yang begitu indah.” Pipinya kembali merona saat angannya bersama Erland terulang.
“Kamu terlalu baik karena membebaskan pria itu. Aku rasa kamu harus segera mencarinya!” usulan Amanda yang tidak ingin bernasib sama dengan Amelia, apalagi dirinya bukan berasal dari kalangan berada.
“Saat ini aku cuma ingin melihat anakku tumbuh, itu saja. Tolong dukung aku.” Amanda adalah sosok wanita yang paling mengerti Amelia, hingga wnaita ini sangat nyaman berada di sisinya bahkan melebihi perasaannya pada sang ibu.
Di bulan berikutnya Amelia berhasil melahirkan seorang putra bernama Kenzo. Kelahirannya ini sangat dinantikan oleh wanita yang kini sudah hampir memasuki usia dua puluh lima tahun. “Aku akan mengenalkan kamu di saat yang tepat, kita tidak perlu bersembunyi lagi.” Senyuman hangat seorang ibu melengkung indah.
Satu tahun berlalu bagaikan angin. Foto-foto kelulusan Amelia sudah tercetak rapih di dalam album. Namun, sayang sekali di hari spesialnya Amelia hanya bisa berfoto dengan Amanda.
“Mei, kapan pulang? Cepat kembali, lanjutkan usaha papa kamu,” bangga Sopia dalam saluran di udara.
“Siap ma, minggu depan Amei akan pulang, tapi mama harus siap-siap jantungan ya, karena Amei tidak akan pulang sendiri!” kekeh keusilannya sudah mengudara.
“Memangnya siapa yang akan pulang bersama kamu? Jangan bilang calon menantu!”
“Mama akan tahu. Pokoknya jangan sampai tensi darah mama naik tiba-tiba. Hihi ....” Kenzo akan ikut serta dalam perjalanan pulangnya, Amelia tidak sabar menantikan hari itu.
Namun, satu minggu kemudian kala Amelia menghadap orangtuanya kenyataan berkebalikan harus dikatakan penuh duka demi kebaikan putranya, “Ini Kenzo ma. Amei mengurus Kenzo sejak bayi, dia terlantar di jalanan.”
“Mei!” bentak Adhinatha, “apa yang kamu bawa ini, hm!”
“Maaf pa ..., ma ..., Amei tidak tega membiarkan Kenzo kedinginan dan sendirian.” Sebenarnya batin Amelia sangat tersiksa kala dengan sengaja menyangkal anak yang selama ini dinantikannya, tetapi kenyataan jika dirinya hamil di luar nikah mana mungkin dibiarkan tiba di ruang dengar orangtuanya.
“Singkirkan anak itu Mei!” titah tegas Adhinatha.
“Kok begitu pa ..., Kenzo tidak akan menyusahkan, Amei janji!”
“Mungkin anak itu memang tidak akan menyusahkan, tapi bagaimana nanti. Lagipula asal-usulnya saja tidak jelas!” Kekecewaan tersirat di dalam garis-garis wajah Sopia yang selalu meninggikan pelaturan, terutama dalam keseimbangan serta keselarasan keluarganya.
“Kenzo sehat secara fisik dan mental kok ma, Amei rutin membawa Kenzo ke dokter!” Wanita ini harus memaksa demi hak anaknya berada di bawah atap yang sama.
“Apa, rutin membawanya ke dokter? Jadi di sela-sela kegiatan kamu sebagai mahasiswi, kamu juga menghabiskan waktu untuk dia!” Sopia semakin naik darah, “Amanda!” panggilan lantangnya pada asisten pribadi Amelia yang dinilai kurang propesional saat membatasi kegiatan putrinya seperti titahnya.
“Saya di sini, nyonya,” sahut Amanda seiring menundukan wajahnya.
“Apa saja yang kamu lakukan? Dan kenapa tidak melaporkan perbuatan Amelia. Kamu sengaja ya, kalian bersekongkol!”
“Saya meminta maaf yang sebesarnya, nyonya ....” Amanda tidak akan pernah mengatakan yang sebenarnya karena dirinya menyayangi Amelia sebagaimana pada seorang adik walau kenyataannya dirinya hanyalah bawahan.
“Keterlaluan!” Amarah Sopia lebih besar jika dibandingkan Adhinatha karena wanita ini akan membuncai saat ketidak seimbangan hadir dalam ruang lingkup keluarganya.
Kini, giliran Adhinata yang bicara. “Mei, segera singkirkan anak itu karena kami hanya membutuhkan satu orang anak yaitu kamu!” Pria ini berlalu maka Amelia tidak memiliki kesempatan untuk memerotes.
Sopia memandangi Kenzo karena anak yang disebutkan Amelia berasal dari jalanan rupanya memiliki kemiripan dengan putrinya. “Mei. Kapan kamu menemukan anak ini?”
“Eu-tanggal tiga agustus, ma.”
“Dia bayi merah?” penyelidikan segera mencuat.
“I-ya, ma.” Amelia mulai dibuat grogi. Balita berusia satu tahun ini memiliki tubuh lebih kecil jika dibandingkan dengan anak seusianya. Sopia mencoba menggendongnya.
“Beratnya tidak sesuai standar, mama yakin dia memiliki darah yang jelek dari kalangan orang kurang mampu!” Anak dalam pangkuannya menatap bersama wajah polosnya, tetapi Sopia tidak peduli. Segera, anak itu kembali dalam pangkuan Amelia, “mama tidak mau tahu, pokoknya kamu hanya punya waktu sampai besok untuk menyingkirkan anak ini!”
“Ma ..., Amei mohon, mama jangan sekejam ini sama Kenzo. Dia masih bayi, tubuhnya masih sangat rentan, bagaimana kalau Kenzo kedinginan dan pakaiannya basah, popoknya basah, perutnya kosong. Siapa yang akan peduli pada Kenzo selain Amei?”
Sopia memasang tatapan mengiris. “Mei, kamu bukan ibunya. Kamu tidak perlu bertindak sedetail itu pada anak orang lain yang tidak jelas bibit, bebet, bobotnya. Segera singkirkan dan segeralah menjadi wanita karier!”
“Ma ....” Amelia masih memohon.
“Kalau kamu tidak ingin menyingkirkannya, iya sudah biar mama saja yang lakukan!”
Bersambung ....
Amelia membawa Kenzo tidak tentu arah. “Mana mungkin mama buang Kenzo, kalau mama sejahat itu sudah dari dulu mama lakukan.” Wanita ini mengendarai mobilnya sendiri. “Aku harus mencari Erland dan menceritakan semuanya!” Namun sebelum mencari Erland, Amelia harus mencari ibu asuh untuk Kenzo karena Sopia hanya memberikan waktu sampai besok. “Aku membutuhkan bantuan Kak Amanda.” Panggilan di udara dihubungkan pada Amanda yang masih berada di dalam kediamannya karena selama ini wanita itu adalah asisten pribadi Sopia. “Bantuan apa Mei, kalau bisa membantu aku akan membantu.” “Tolong carikan ibu asuh buat Kenzo, siapapun itu walau saudara Kak Amanda.” “Bagaimana ya Mei. Semua saudara aku bekerja, tidak ada yang diam di rumah.” “Seorang saja sudah cukup kak.” “Justru itu, tidak ada seorang pun,” sesal Amanda karena justru di saat paling genting dirinya tidak bisa membantu Amelia dan Kenzo. “Kak Amanda punya kenalan kan, tolong carikan, siapapun, asalkan orang itu berpengalaman mengur
“Dengarkan perintah papa kamu.” Sopia segera memihak Adhinatha. “Tapi Kenzo gimana Ma, besok hari terakhir Amei sama Kenzo.” Amelia mencoba meminta kebijakan dari orangtuanya. “Mama memberikan waktu sampai besok bukan berarti kamu yang harus menyingkirkan Kenzo. Papa punya banyak antek-antek untuk apa bersusah payah.” Sopia masih mempertahankan sikap tidak pedulinya pada si balita. Selain itu, wanita ini ingin Amelia tetap fokus pada dirinya sendiri demi membangun masa depan cerah. “Pokoknya besok Amei harus menghabiskan waktu sama Kenzo. Amei janji kok tidak akan bawa Kenzo pulang, tapi izinkan Amei yang pilih orang untuk menjadi ibu asuh Kenzo!” Saat ini Amelia memberanikan diri memerotes pada keputusan ayah dan ibunya demi sang buah hati. Namun, sikap Amelia membuat Adhinatha menatap sengit. “Sejak kapan kamu jadi pembangkang!” Saat ini Amelia dibuat tidak tenang sebagaimana seorang anak yang mendapatkan teguran dari ayahnya, tetapi semua yang dilakukannya selalu demi Kenzo. “
Amelia ditemukan setelah mobilnya memasuki kota kelahirannya. Maka, segera wanita ini dihadapkan pada Adhinatha dan Sopia. “Dari mana saja?” tanya wanita ini dengan santai walau tatapannya tetap mengandung kekecewaan. “Menitipkan Kenzo ke panti asuhan.” Wajah Amelia sedikit menunduk guna menyembunyikan kebohongannya. “Panti asuhan mana?” Sopia masih menatap lurus ke arah putrinya. “Mama dan papa tidak perlu tahu yang penting kan Kenzo tidak di sini, itu kan yang mama dan papa mau.” Hampir saja air matanya jatuh jika Amelia tidak mati-matian menahannya. Adhinatha membuang udara pendek. “Iya sudah, kamu siap-siap lalu ikut papa.” Maka, hari ini Amelia disibukan dengan sederet kegiatan yang dikenalkan Adhinatha sebagai jalan masa depan menuju kesuksesannya. Namun, karena berjauhan dengan buah hatinya maka wanita ini sering tidak fokus hingga membuat Adhinatha memberikan teguran kecil. “Kalau kamu bekerja seperti ini, papa yakin tidak akan ada orang hebat yang melirik, bahkan kamu
Amelia tidak bisa berhenti begitu saja, dirinya mencoba mencari informasi dari pihak lain yaitu pedagang kaki lima yang tidak jauh dari kediaman Erland. “Pak, maaf bertanya. Rumah yang banyak benderanya itu rumah siapa ya pak?” “Kalau itu sih rumahnya pengusaha paling hebat neng. Masa neng tidak tahu,” jawaban yang diberikan bapak-bapak ini. “Rumah pengusaha paling hebat.” Amelia tercengang karena ternyata benar dugaannya jika Erland bukanlah orang sembarangan. “Iya neng. Terhebat di negara kita!” “Heuh!” Amelia semakin tercengang saja selama beberapa saat, kemudian terduduk lesu di bangku kayu. “Papa dan mama tidak bisa menerima Kenzo, apalagi keluarganya Erland.” Maka, Amelia kembali ke rumahnya tanpa semangat. “Mei, ada apa?” bisik Amanda kala dirinya sedang tidak berada di bawah perintah Sopia. “Erland putra dari seorang pengusaha hebat di negara ini. Apa menurut Kak Amanda, keluarga Erland akan menerima Kenzo?” “Kalau itu aku juga tidak tahu ....” Amanda ikut terbawa dalam
“Bi, kenapa memberi tahu adiknya bibi kalau Kenzo anaknya Amei?” protesnya disampaikan lewat panggilan di udara karena pasti bibi masih sibuk di dapur. “Bibi tidak mengatakannya, non.” “Yang benar bi ....” “Iya non, bibi berani sumpah.” Wanita ini celingak-celinguk ke persekitaran karena takut jika tuan atau nyonya mendengar percakapannya. “Tapi tadi adiknya bibi bilang, wajar seorang ibu inginkan yang terbaik untuk anaknya. Apa itu artinya kalau adiknya bibi tahu Kenzo anaknya Amei?” “Mungkin menebak dari perhatian Non Amei.” “Iya juga sih ..., hari ini Amei sering menelepon menanyakan Kenzo.” “Coba Non Amei tenang, percayakan Kenzo pada adiknya bibi, adik bibi bisa dipercaya non karena sudah berpengalaman mengurus dua anak,” nasihatnya karena menyayangi Amelia. “Iya bi, mungkin Amei terlalu over. Maaf ya bi.” “Tidak apa non ....” Kalimatnya tidak disahut Amelia karena wanita itu mendapatkan kunjungan tidak terduga dari Sopia. “Ada apa ma, kok tidak ketuk pintu? Amei kan kag
Nitara berpamitan pada Amelia, segera wanita ini meninggalkan gedung untuk menemui kekasihnya yang sudah menunggu di halaman. “Dari kapan di sini?” “Barusan sih. Gimana wawancaranya?” tanya William-putra pengusaha paling hebat di negara ini yang semalam menjadi bahan pencarian Amelia di dalam internet. “Aku keterima kerja, mulai besok aku punya jadwal di sini,” riang Nitara. “Syukurlah ..., tapi tadi papa bilang lagi, katanya papa siap menerima kamu kapanpun.” “Aku di sini saja ya ..., soalnya malu kalau bekerja di perusahaan papa kamu.” “Iya sudah.” William mengusap puncak kepala Nitara sangat lembut dan penuh kasih. Kala mereka berlalu, barulah Amelia keluar dari gedung perusahaan untuk mencari udara segar. “Pusing dan BT. Itu yang Amei rasakan di perusahaan papa. Harusnya papa biarkan Amei melakukan hobby yang dijadikan mata pencaharian!” Wanita ini duduk di kursi taman di halaman gedung. Handphone sudah dirogohnya, tetapi hanya dipandangi saja. “Kalau aku menanyakan Kenzo lag
Amelia tidak dapat menghubungi balik karena nomor telepon Erland tidak tertera dalam panggilan. Wanita ini mondar-mandir gelisah seiring menggigit ujung bibirnya. “Erland ..., Kenzo membutuhkan kamu. Please, jangan bersikap seperti ini!” lirih mencambuk batinnya. Wanita ini memutuskan kembali ke kediaman si pria, tetapi dirinya berpapasan dengan Sopia kala menuruni anak tangga. “Sayang, kamu masih belum mandi dan ganti pakaian? Berantakan sekali anak gadis mama!” omelan segera meluncur dari Sopia. “Ma, Amei akan mandi setelah menyelesaikan urusan.” Kalimat grasah-grusuhnya. “Urusan apa sih? Jangan berpura-pura penting deh Mei. Ayo mandi.” Sopia segera menggiring putrinya kembali, hingga Amelia melangkah mundur. “Ma ..., Amei ada urusan sebentar!” “Mandi Mei, kamu bau busuk, mana ada anak gadis berpenampilan seperti kamu!” “Sebentar saja ma ..., Amei janji kok!” “Kalau sudah mandi, mama izinkan kamu keluar. Lagi pula di halaman sedang banyak tamu papa. Mama malu Mei, kalau kamu s
“Amei minta dipijat ma, badan Amei pegal-pegal.” Untungnya isi kepala Amelia cepat tanggap memproduksi kebohongan yang dapat diterima logika. “Kan ada Amanda. Mama juga suka dipijat sama Amanda.” Sopia membuang kecurigaannya seiring menghampiri Amelia, memeriksa tubuh putrinya, “mana yang sakit?” “Kedua tangan Amei sama pundak.” “Makannya jangan keluar menjelang malam, mungkin kamu masuk angin.” Segera, pijatan sayang Sopia mendarat di bagian tubuh yang disebutkan Amelia, “lain kali kalau pegal lagi panggil saja Amanda jangan bibi, bibi harus memasak membantu bibi yang lain.” “Iya, Amei minta maaf. Tadi sekalian minta bibi bawakan camilan.” Mudah sekali untuk Amelia memperpanjang kebohongannya demi menyelamatkan dirinya dan bibi. “Tadi Amei menemui siapa? Kok cepat sekali, katanya akan bertemu teman-teman.” Pijatan Sopia terasa sangat nyaman di tubuh Amelia karena wanita ini memang pintar memijat sama seperti Amanda. “Banyak teman-teman yang cansel pertemuan, tidak asik jadi kita