Share

Bab 2. Singkirkan Anak Itu!

Amelia terbang ke luar negeri bersama seorang bibi dan asisten pribadi utusan dari orangtuanya. Selama di sana, wanita ini kuliah dengan lancar, tetapi semakin lama perutnya semakin buncit. “Bibi dan Kak Amanda jangan katakan apapun pada mama dan papa ya kalau sebenarnya Amei hamil.”

Kedua wanita yang dibawa Amelia hanya saling menatap bingung hingga Amelia kembali berkata, “Amei akan melahirkan anak ini, Amei tidak akan membunuhnya karena anak ini tidak memiliki dosa apapun.”

“Iya Mei, tapi bagaimana dengan sekolah kamu?” tanya wanita bernama Amanda yang usianya lima tahun lebih tua dari Amelia jadi dia sudah menganggapnya sebagai kakak.

“Gampang. Pokoknya kalian harus kerjasama, tidak boleh ada yang membocorkan rahasia ini!” Hingga detik ini Amelia tidak mengetahui kehidupan pria bernama Erland, apakah dia manusia berada seperti dugaannya atau hanya anjing jalanan yang disewa seorang wanita kaya karena bar ekslusif itu dipenuhi oleh organisasi hitam. Tatapan wanita ini mengarah pada kaca besar di atas gedung apartemen sangat tinggi yang sekarang dipijaknya. “Andai kita bertemu lagi, apa kamu akan mengingatku. Erland?”

Kehidupan Amelia di negeri orang sangatlah mulus, bahkan dirinya pikir jika tempat ini adalah syurga untuk menyembunyikan kehamilannya. Maka, beberapa bulan selanjutnya perut berisi bayi semakin membesar saja.

“Mei, kamu tidak akan kuliah di apartemen saja? Aku dengar kamu masih bisa menyelesaikan kuliah walau tidak pergi ke kampus.” Kalimat Amanda yang mengasihani perut besar Amelia yang kini menginjak bulan ketujuh.

“Tidak usah, lagipula aku punya banyak teman di kampus yang juga menyayangi bayi ini.”

“Keputusan ada pada kamu Mei. Lalu, bagaimana dengan pria yang pernah tidur sama kamu, apa dia tahu?”

“Tidak, biarkan saja. Aku akan menemuinya nanti andai situasi tidak terkendali.” Bayangan Erland sangat pekat, bahkan aroma tubuhnya masih menguar di dalam ingatan Amelia hingga membuatnya selalu terbuai dalam jeratan iblis. “Dia begitu sempurna, selama ini aku belum pernah bertemu dengan pria hasil ukiran tangan Tuhan yang begitu indah.” Pipinya kembali merona saat angannya bersama Erland terulang.

“Kamu terlalu baik karena membebaskan pria itu. Aku rasa kamu harus segera mencarinya!” usulan Amanda yang tidak ingin bernasib sama dengan Amelia, apalagi dirinya bukan berasal dari kalangan berada.

“Saat ini aku cuma ingin melihat anakku tumbuh, itu saja. Tolong dukung aku.” Amanda adalah sosok wanita yang paling mengerti Amelia, hingga wnaita ini sangat nyaman berada di sisinya bahkan melebihi perasaannya pada sang ibu.

Di bulan berikutnya Amelia berhasil melahirkan seorang putra bernama Kenzo. Kelahirannya ini sangat dinantikan oleh wanita yang kini sudah hampir memasuki usia dua puluh lima tahun. “Aku akan mengenalkan kamu di saat yang tepat, kita tidak perlu bersembunyi lagi.” Senyuman hangat seorang ibu melengkung indah.

Satu tahun berlalu bagaikan angin. Foto-foto kelulusan Amelia sudah tercetak rapih di dalam album. Namun, sayang sekali di hari spesialnya Amelia hanya bisa berfoto dengan Amanda.

“Mei, kapan pulang? Cepat kembali, lanjutkan usaha papa kamu,” bangga Sopia dalam saluran di udara.

“Siap ma, minggu depan Amei akan pulang, tapi mama harus siap-siap jantungan ya, karena Amei tidak akan pulang sendiri!” kekeh keusilannya sudah mengudara.

“Memangnya siapa yang akan pulang bersama kamu? Jangan bilang calon menantu!”

“Mama akan tahu. Pokoknya jangan sampai tensi darah mama naik tiba-tiba. Hihi ....” Kenzo akan ikut serta dalam perjalanan pulangnya, Amelia tidak sabar menantikan hari itu.

Namun, satu minggu kemudian kala Amelia menghadap orangtuanya kenyataan berkebalikan harus dikatakan penuh duka demi kebaikan putranya, “Ini Kenzo ma. Amei mengurus Kenzo sejak bayi, dia terlantar di jalanan.”

“Mei!” bentak Adhinatha, “apa yang kamu bawa ini, hm!”

“Maaf pa ..., ma ..., Amei tidak tega membiarkan Kenzo kedinginan dan sendirian.” Sebenarnya batin Amelia sangat tersiksa kala dengan sengaja menyangkal anak yang selama ini dinantikannya, tetapi kenyataan jika dirinya hamil di luar nikah mana mungkin dibiarkan tiba di ruang dengar orangtuanya.

“Singkirkan anak itu Mei!” titah tegas Adhinatha.

“Kok begitu pa ..., Kenzo tidak akan menyusahkan, Amei janji!”

“Mungkin anak itu memang tidak akan menyusahkan, tapi bagaimana nanti. Lagipula asal-usulnya saja tidak jelas!” Kekecewaan tersirat di dalam garis-garis wajah Sopia yang selalu meninggikan pelaturan, terutama dalam keseimbangan serta keselarasan keluarganya.

“Kenzo sehat secara fisik dan mental kok ma, Amei rutin membawa Kenzo ke dokter!” Wanita ini harus memaksa demi hak anaknya berada di bawah atap yang sama.

“Apa, rutin membawanya ke dokter? Jadi di sela-sela kegiatan kamu sebagai mahasiswi, kamu juga menghabiskan waktu untuk dia!” Sopia semakin naik darah, “Amanda!” panggilan lantangnya pada asisten pribadi Amelia yang dinilai kurang propesional saat membatasi kegiatan putrinya seperti titahnya.

“Saya di sini, nyonya,” sahut Amanda seiring menundukan wajahnya.

“Apa saja yang kamu lakukan? Dan kenapa tidak melaporkan perbuatan Amelia. Kamu sengaja ya, kalian bersekongkol!”

“Saya meminta maaf yang sebesarnya, nyonya ....” Amanda tidak akan pernah mengatakan yang sebenarnya karena dirinya menyayangi Amelia sebagaimana pada seorang adik walau kenyataannya dirinya hanyalah bawahan.

“Keterlaluan!” Amarah Sopia lebih besar jika dibandingkan Adhinatha karena wanita ini akan membuncai saat ketidak seimbangan hadir dalam ruang lingkup keluarganya.

Kini, giliran Adhinata yang bicara. “Mei, segera singkirkan anak itu karena kami hanya membutuhkan satu orang anak yaitu kamu!” Pria ini berlalu maka Amelia tidak memiliki kesempatan untuk memerotes.

Sopia memandangi Kenzo karena anak yang disebutkan Amelia berasal dari jalanan rupanya memiliki kemiripan dengan putrinya. “Mei. Kapan kamu menemukan anak ini?”

“Eu-tanggal tiga agustus, ma.”

“Dia bayi merah?” penyelidikan segera mencuat.

“I-ya, ma.” Amelia mulai dibuat grogi. Balita berusia satu tahun ini memiliki tubuh lebih kecil jika dibandingkan dengan anak seusianya. Sopia mencoba menggendongnya.

“Beratnya tidak sesuai standar, mama yakin dia memiliki darah yang jelek dari kalangan orang kurang mampu!” Anak dalam pangkuannya menatap bersama wajah polosnya, tetapi Sopia tidak peduli. Segera, anak itu kembali dalam pangkuan Amelia, “mama tidak mau tahu, pokoknya kamu hanya punya waktu sampai besok untuk menyingkirkan anak ini!”

“Ma ..., Amei mohon, mama jangan sekejam ini sama Kenzo. Dia masih bayi, tubuhnya masih sangat rentan, bagaimana kalau Kenzo kedinginan dan pakaiannya basah, popoknya basah, perutnya kosong. Siapa yang akan peduli pada Kenzo selain Amei?”

Sopia memasang tatapan mengiris. “Mei, kamu bukan ibunya. Kamu tidak perlu bertindak sedetail itu pada anak orang lain yang tidak jelas bibit, bebet, bobotnya. Segera singkirkan dan segeralah menjadi wanita karier!”

“Ma ....” Amelia masih memohon.

“Kalau kamu tidak ingin menyingkirkannya, iya sudah biar mama saja yang lakukan!”

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status