Amelia membawa Kenzo tidak tentu arah. “Mana mungkin mama buang Kenzo, kalau mama sejahat itu sudah dari dulu mama lakukan.” Wanita ini mengendarai mobilnya sendiri. “Aku harus mencari Erland dan menceritakan semuanya!”
Namun sebelum mencari Erland, Amelia harus mencari ibu asuh untuk Kenzo karena Sopia hanya memberikan waktu sampai besok. “Aku membutuhkan bantuan Kak Amanda.” Panggilan di udara dihubungkan pada Amanda yang masih berada di dalam kediamannya karena selama ini wanita itu adalah asisten pribadi Sopia.
“Bantuan apa Mei, kalau bisa membantu aku akan membantu.”
“Tolong carikan ibu asuh buat Kenzo, siapapun itu walau saudara Kak Amanda.”
“Bagaimana ya Mei. Semua saudara aku bekerja, tidak ada yang diam di rumah.”
“Seorang saja sudah cukup kak.”
“Justru itu, tidak ada seorang pun,” sesal Amanda karena justru di saat paling genting dirinya tidak bisa membantu Amelia dan Kenzo.
“Kak Amanda punya kenalan kan, tolong carikan, siapapun, asalkan orang itu berpengalaman mengurus anak.”
“Entahlah. Aku akan coba tanyakan pada bibi, mungkin bibi punya saudara di kampung.”
“Iya kak, tolong ya.” Amelia menyimpan harapan besar pada orang-orang yang dikenalnya. Ibu satu anak ini menghabiskan siang harinya membawa Kenzo berjalan-jalan seiring menunggu kabar dari bibi. Pada sore harinya barulah dirinya kembali masih dengan Kenzo.
“Astaga Mei ..., Mei. Sepenting apa sih anak itu!” Sopia menggelengkan kepalanya.
“Kan Amei masih punya waktu sama Kenzo. Mama bilang sampai besok, tidak salah dong Amei bawa Kenzo pulang, itung-itung menghabiskan malam terakhir sama Kenzo.” Sendu dilukis dengan pekat.
“Iya sudah, tapi jangan sampai keluarga besar kita tahu. Ini aib Mei!”
“Justru mama akan mendapatkan banyak pahala karena mengurus Kenzo,” gumam Amelia. Namun, gelombang suaranya tetap hinggap di indera pendengaran Sopia.
“Mama mau menerima Kenzo kalau asal-usulnya jelas!”
“Iya ma iya. Tapi kalau misalnya Kenzo anak Amei bagaimana, ma. Apa mama akan membuang cucu mama sendiri?”
“Jangan mengada-ngada. Mana mungkin mama melakukannya, tapi kalau cucu di luar nikah tetap saja mama tidak mau. Bahkan aibnya sangat besar!” Kalimat Sopia membuat Amelia tidak menyimpan sesal sama sekali karena telah merahasiakan identitas Kenzo.
“Amei mau menghabiskan malam sama Kenzo. Amei mohon mama dan papa harus berbaik hati sama Kenzo.”
“Iya, dasar kamu Mei. Di saat orang lain tidak membutuhkan anak, kamu malah memungut anak!” Sopia tetap mengoceh saat meninggalkan Amelia.
Seorang wanita tidak terlalu tua menghampiri Amelia untuk berbisik, “Non Amei, bibi mau bicara sebentar.”
Pun, Amelia menjawabnya dengan bisikan, “Iya bi, di kamar saja ya.” Kini, Amelia menjamu bibi di dalam kamarnya karena selama di luar negeri hubungan yang tadinya selalu bos dan bawahan berubah menjadi lebih insten.
“Non, tidak perlu repot-repot,” tolak bibi karena peran dirinya dan Amelia berkebalikan.
“Tidak apa bi, bibi mau bicara apa? Tapi Amei harap bibi punya solusi atas kebingungan Amei.”
“Iya, bibi ingin membicarakan itu. Tadi Amanda sudah menceritakannya pada bibi, bibi punya adik di kampung, kalau Non Amei mau bibi bisa mencoba menanyakan setujunya mengurus Kenzo.”
“Iya bi, silakan bi, hubungi saja!” Antusias Amelia seolah mendapatkan seberkas cahaya. Jadi, tidak membuang waktu bibi menghubungi saudarinya di kampung. Ternyata wanita itu sanggup menjaga Kenzo, tetapi hanya sekitar dua minggu saja karena dirinya sudah diikat kontrak kerja di luar negeri, wanita ini akan menjadi TKW di sana.
“Begitu katanya non, bagaimana, apa Non Amei mau?” Bibi segera memastikan setelah menceritakan jawaban saudarinya.
Amelia membuang udara tipis. “Sebenarnya sangat tanggung bi kalau cuma dua minggu karena mungkin waktu yang Amei perlukan untuk menemui Erland lebih dari itu!”
“Mau bagaimana lagi, non.”
“Iya sudah bi, tidak apa, asalkan Kenzo aman walau sementara.” Jadi, besok Amelia harus mengantarkan Kenzo ke kampung halaman bibi, tetapi akan berdusta pada ibunya jika dirinya akan mengantarkan Kenzo ke panti asuhan.
Malam ini Kenzo menangis. “Maaf ya mama harus menitipkan Kenzo sementara, mama harus mencari papanya Kenzo sekaligus menjauhkan Kenzo dari nenek.” Embusan udara dibuang dengan berat hati. “Andai nenek dan kakek tidak bersikap seketus itu sama Kenzo, mama tidak akan menitipkan Kenzo sama siapapun.”
“Mei ...,” panggilan lembut Sopia yang sudah membuka pintu kamar putrinya secukup tubuhnya, “makan malam dulu, jangan cuma menghabiskan waktu kamu buat anak orang lain!” Suara lembut tadi secepat kilat sirna.
“Iya ma, sebentar, sepertinya Kenzo tantrum.” Pangkuan Amelia tidak berhenti untuk putranya.
“Kamu bukan ibunya Mei, jangan terlalu meladeni anak itu!” Sopia semakin menumbuhkan kekesalannya hingga sekarang alisnya menukik.
“Kan Amei sudah bilang, Amei mau menghabiskan malam ini sama Kenzo!”
“Sekarang makan dulu. Kasih Kenzo pada Amanda!” tegas Sopia seiring meraih Kenzo.
“Mama mau apakan Kenzo?” Segera, curiga merasuki Amelia saat Kenzo berada dalam pangkuan Sopia.
“Kamu ke bawah saja, biar mama yang panggilkan Amanda.”
“Tapi Kenzo bagaimana, Kenzo masih menangis.” Langkah Amelia begitu berat meninggalkan putranya bersama ibunya yang tidak memiliki rasa sayang pada Kenzo seperti dirinya.
“Anak ini menangis terus kan, tapi kamu tidak bisa menanganinya. Sudah sana, ke ruang makan, jangan biarkan perut kamu kosong. Kamu belum makan sejak tadi, waktu kamu cuma dihabiskan mengurus anak ini!” ketegasan Sopia bertambah kadarnya.
“Iya sudah, titip Kenzo ya ma ....” Tatapannya sangat tidak tenang. Sepeninggalan Amelia, Sopia kembali memerhatikan garis-garis kemiripan Kenzo dan Amelia.
“Saya tidak salah lihat kok, anak ini memang mirip Amei, tapi hanya mata dan bentuk wajahnya saja. Apa Amei hamil selama di luar negeri? Tapi ... mana bisa Amei kuliah dalam keadaan hamil, pasti membuat konsentrasinya buyar, tetapi Amei lulus dengan memuaskan,” heran begitu mencambuk, “astaga ..., kenapa kamu tidak berhenti menangis hm. Amei tidak pernah menangis sampai seperti ini!”
Kenzo dibaringkan, tetapi tangisannya semakin menjadi hingga akhirnya Amanda datang memeriksa. “Nyonya. Maaf, saya lancang. Saya kira tidak ada siapapun di kamar karena Kenzo menangis sangat keras.”
“Kamu urus anak ini. Merepotkan saja!” Sopia bergegas meninggalkan kamar Amelia yang kini berubah sangat berisik.
“Mei, kamu tidak pusing mengurus anak cengeng!” ocehan Sopia di ruang makan.
“Biasa saja sih ma, pasti Amei juga cengeng kan waktu itu. Hihi ....”
Adhinatha berdeham, memutus obrolan istri dan anaknya, “Besok kamu harus sudah mulai ke perusahaan, papa akan mengenalkan bisnis sekaligus politik.”
“Tapi besok Amei mau ke panti asuhan dulu pa, mau menitipkan Kenzo.”
“Biar bawahan papa yang urus, kamu tidak perlu bersusah payah mengurus yang bukan urusan kamu.” Santai Adhinatha, tetapi tentu saja kalimatnya tidak dapat dibantah.
“Tapi pa ....”
“Besok kamu ikut sama papa!” tegas Adhinatha.
Bersambung ....
“Dengarkan perintah papa kamu.” Sopia segera memihak Adhinatha. “Tapi Kenzo gimana Ma, besok hari terakhir Amei sama Kenzo.” Amelia mencoba meminta kebijakan dari orangtuanya. “Mama memberikan waktu sampai besok bukan berarti kamu yang harus menyingkirkan Kenzo. Papa punya banyak antek-antek untuk apa bersusah payah.” Sopia masih mempertahankan sikap tidak pedulinya pada si balita. Selain itu, wanita ini ingin Amelia tetap fokus pada dirinya sendiri demi membangun masa depan cerah. “Pokoknya besok Amei harus menghabiskan waktu sama Kenzo. Amei janji kok tidak akan bawa Kenzo pulang, tapi izinkan Amei yang pilih orang untuk menjadi ibu asuh Kenzo!” Saat ini Amelia memberanikan diri memerotes pada keputusan ayah dan ibunya demi sang buah hati. Namun, sikap Amelia membuat Adhinatha menatap sengit. “Sejak kapan kamu jadi pembangkang!” Saat ini Amelia dibuat tidak tenang sebagaimana seorang anak yang mendapatkan teguran dari ayahnya, tetapi semua yang dilakukannya selalu demi Kenzo. “
Amelia ditemukan setelah mobilnya memasuki kota kelahirannya. Maka, segera wanita ini dihadapkan pada Adhinatha dan Sopia. “Dari mana saja?” tanya wanita ini dengan santai walau tatapannya tetap mengandung kekecewaan. “Menitipkan Kenzo ke panti asuhan.” Wajah Amelia sedikit menunduk guna menyembunyikan kebohongannya. “Panti asuhan mana?” Sopia masih menatap lurus ke arah putrinya. “Mama dan papa tidak perlu tahu yang penting kan Kenzo tidak di sini, itu kan yang mama dan papa mau.” Hampir saja air matanya jatuh jika Amelia tidak mati-matian menahannya. Adhinatha membuang udara pendek. “Iya sudah, kamu siap-siap lalu ikut papa.” Maka, hari ini Amelia disibukan dengan sederet kegiatan yang dikenalkan Adhinatha sebagai jalan masa depan menuju kesuksesannya. Namun, karena berjauhan dengan buah hatinya maka wanita ini sering tidak fokus hingga membuat Adhinatha memberikan teguran kecil. “Kalau kamu bekerja seperti ini, papa yakin tidak akan ada orang hebat yang melirik, bahkan kamu
Amelia tidak bisa berhenti begitu saja, dirinya mencoba mencari informasi dari pihak lain yaitu pedagang kaki lima yang tidak jauh dari kediaman Erland. “Pak, maaf bertanya. Rumah yang banyak benderanya itu rumah siapa ya pak?” “Kalau itu sih rumahnya pengusaha paling hebat neng. Masa neng tidak tahu,” jawaban yang diberikan bapak-bapak ini. “Rumah pengusaha paling hebat.” Amelia tercengang karena ternyata benar dugaannya jika Erland bukanlah orang sembarangan. “Iya neng. Terhebat di negara kita!” “Heuh!” Amelia semakin tercengang saja selama beberapa saat, kemudian terduduk lesu di bangku kayu. “Papa dan mama tidak bisa menerima Kenzo, apalagi keluarganya Erland.” Maka, Amelia kembali ke rumahnya tanpa semangat. “Mei, ada apa?” bisik Amanda kala dirinya sedang tidak berada di bawah perintah Sopia. “Erland putra dari seorang pengusaha hebat di negara ini. Apa menurut Kak Amanda, keluarga Erland akan menerima Kenzo?” “Kalau itu aku juga tidak tahu ....” Amanda ikut terbawa dalam
“Bi, kenapa memberi tahu adiknya bibi kalau Kenzo anaknya Amei?” protesnya disampaikan lewat panggilan di udara karena pasti bibi masih sibuk di dapur. “Bibi tidak mengatakannya, non.” “Yang benar bi ....” “Iya non, bibi berani sumpah.” Wanita ini celingak-celinguk ke persekitaran karena takut jika tuan atau nyonya mendengar percakapannya. “Tapi tadi adiknya bibi bilang, wajar seorang ibu inginkan yang terbaik untuk anaknya. Apa itu artinya kalau adiknya bibi tahu Kenzo anaknya Amei?” “Mungkin menebak dari perhatian Non Amei.” “Iya juga sih ..., hari ini Amei sering menelepon menanyakan Kenzo.” “Coba Non Amei tenang, percayakan Kenzo pada adiknya bibi, adik bibi bisa dipercaya non karena sudah berpengalaman mengurus dua anak,” nasihatnya karena menyayangi Amelia. “Iya bi, mungkin Amei terlalu over. Maaf ya bi.” “Tidak apa non ....” Kalimatnya tidak disahut Amelia karena wanita itu mendapatkan kunjungan tidak terduga dari Sopia. “Ada apa ma, kok tidak ketuk pintu? Amei kan kag
Nitara berpamitan pada Amelia, segera wanita ini meninggalkan gedung untuk menemui kekasihnya yang sudah menunggu di halaman. “Dari kapan di sini?” “Barusan sih. Gimana wawancaranya?” tanya William-putra pengusaha paling hebat di negara ini yang semalam menjadi bahan pencarian Amelia di dalam internet. “Aku keterima kerja, mulai besok aku punya jadwal di sini,” riang Nitara. “Syukurlah ..., tapi tadi papa bilang lagi, katanya papa siap menerima kamu kapanpun.” “Aku di sini saja ya ..., soalnya malu kalau bekerja di perusahaan papa kamu.” “Iya sudah.” William mengusap puncak kepala Nitara sangat lembut dan penuh kasih. Kala mereka berlalu, barulah Amelia keluar dari gedung perusahaan untuk mencari udara segar. “Pusing dan BT. Itu yang Amei rasakan di perusahaan papa. Harusnya papa biarkan Amei melakukan hobby yang dijadikan mata pencaharian!” Wanita ini duduk di kursi taman di halaman gedung. Handphone sudah dirogohnya, tetapi hanya dipandangi saja. “Kalau aku menanyakan Kenzo lag
Amelia tidak dapat menghubungi balik karena nomor telepon Erland tidak tertera dalam panggilan. Wanita ini mondar-mandir gelisah seiring menggigit ujung bibirnya. “Erland ..., Kenzo membutuhkan kamu. Please, jangan bersikap seperti ini!” lirih mencambuk batinnya. Wanita ini memutuskan kembali ke kediaman si pria, tetapi dirinya berpapasan dengan Sopia kala menuruni anak tangga. “Sayang, kamu masih belum mandi dan ganti pakaian? Berantakan sekali anak gadis mama!” omelan segera meluncur dari Sopia. “Ma, Amei akan mandi setelah menyelesaikan urusan.” Kalimat grasah-grusuhnya. “Urusan apa sih? Jangan berpura-pura penting deh Mei. Ayo mandi.” Sopia segera menggiring putrinya kembali, hingga Amelia melangkah mundur. “Ma ..., Amei ada urusan sebentar!” “Mandi Mei, kamu bau busuk, mana ada anak gadis berpenampilan seperti kamu!” “Sebentar saja ma ..., Amei janji kok!” “Kalau sudah mandi, mama izinkan kamu keluar. Lagi pula di halaman sedang banyak tamu papa. Mama malu Mei, kalau kamu s
“Amei minta dipijat ma, badan Amei pegal-pegal.” Untungnya isi kepala Amelia cepat tanggap memproduksi kebohongan yang dapat diterima logika. “Kan ada Amanda. Mama juga suka dipijat sama Amanda.” Sopia membuang kecurigaannya seiring menghampiri Amelia, memeriksa tubuh putrinya, “mana yang sakit?” “Kedua tangan Amei sama pundak.” “Makannya jangan keluar menjelang malam, mungkin kamu masuk angin.” Segera, pijatan sayang Sopia mendarat di bagian tubuh yang disebutkan Amelia, “lain kali kalau pegal lagi panggil saja Amanda jangan bibi, bibi harus memasak membantu bibi yang lain.” “Iya, Amei minta maaf. Tadi sekalian minta bibi bawakan camilan.” Mudah sekali untuk Amelia memperpanjang kebohongannya demi menyelamatkan dirinya dan bibi. “Tadi Amei menemui siapa? Kok cepat sekali, katanya akan bertemu teman-teman.” Pijatan Sopia terasa sangat nyaman di tubuh Amelia karena wanita ini memang pintar memijat sama seperti Amanda. “Banyak teman-teman yang cansel pertemuan, tidak asik jadi kita
William memang berpapasan dengan Nitara, keduanya sempat saling menatap walau kemudian Nitara menundukan wajahnya sebagai tanda hormat, dirinya masih ingin menyembunyikan status yang diinginkan banyak kaum wanita jika mereka adalah sepasang kekasih yang sedang bersiap-siap melangkah ke pelaminan. “Mau apa ya, William di sini?” gumam Nitara kala kekasihnya sudah melewatinya, berjalan bersama salah satu karyawan gedung ini guna mengantarkannya pada ruangan Adhinatha. Beberapa lantai dinaiki si pria hingga saat keluar dari lift, dipijaknya lantai yang sama dengan Amelia. Namun, takdir belum memertemukan mereka di detik ini. Segera, William dan Adhinatha berjabat saat tiba di ruangan yang sama. Kedua pria ini sudah melakukan pertemuan sebanyak dua kali, tetapi baru kali ini terjadi kerjasama bisnis. Adhinatha ingin memanggil Amelia supaya menyaksikan kerjasama bersama orang hebat, apalagi Willian adalah putra pengusaha paling hebat di negara ini. Namun, dirasa tanggung dan terlambat maka