Share

Bab 3. Harus Menitipkan Kenzo

Amelia membawa Kenzo tidak tentu arah. “Mana mungkin mama buang Kenzo, kalau mama sejahat itu sudah dari dulu mama lakukan.” Wanita ini mengendarai mobilnya sendiri. “Aku harus mencari Erland dan menceritakan semuanya!”

Namun sebelum mencari Erland, Amelia harus mencari ibu asuh untuk Kenzo karena Sopia hanya memberikan waktu sampai besok. “Aku membutuhkan bantuan Kak Amanda.” Panggilan di udara dihubungkan pada Amanda yang masih berada di dalam kediamannya karena selama ini wanita itu adalah asisten pribadi Sopia.

“Bantuan apa Mei, kalau bisa membantu aku akan membantu.”

“Tolong carikan ibu asuh buat Kenzo, siapapun itu walau saudara Kak Amanda.”

“Bagaimana ya Mei. Semua saudara aku bekerja, tidak ada yang diam di rumah.”

“Seorang saja sudah cukup kak.”

“Justru itu, tidak ada seorang pun,” sesal Amanda karena justru di saat paling genting dirinya tidak bisa membantu Amelia dan Kenzo.

“Kak Amanda punya kenalan kan, tolong carikan, siapapun, asalkan orang itu berpengalaman mengurus anak.”

“Entahlah. Aku akan coba tanyakan pada bibi, mungkin bibi punya saudara di kampung.”

“Iya kak, tolong ya.” Amelia menyimpan harapan besar pada orang-orang yang dikenalnya. Ibu satu anak ini menghabiskan siang harinya membawa Kenzo berjalan-jalan seiring menunggu kabar dari bibi. Pada sore harinya barulah dirinya kembali masih dengan Kenzo.

“Astaga Mei ..., Mei. Sepenting apa sih anak itu!” Sopia menggelengkan kepalanya.

“Kan Amei masih punya waktu sama Kenzo. Mama bilang sampai besok, tidak salah dong Amei bawa Kenzo pulang, itung-itung menghabiskan malam terakhir sama Kenzo.” Sendu dilukis dengan pekat.

“Iya sudah, tapi jangan sampai keluarga besar kita tahu. Ini aib Mei!”

“Justru mama akan mendapatkan banyak pahala karena mengurus Kenzo,” gumam Amelia. Namun, gelombang suaranya tetap hinggap di indera pendengaran Sopia.

“Mama mau menerima Kenzo kalau asal-usulnya jelas!”

“Iya ma iya. Tapi kalau misalnya Kenzo anak Amei bagaimana, ma. Apa mama akan membuang cucu mama sendiri?”

“Jangan mengada-ngada. Mana mungkin mama melakukannya, tapi kalau cucu di luar nikah tetap saja mama tidak mau. Bahkan aibnya sangat besar!” Kalimat Sopia membuat Amelia tidak menyimpan sesal sama sekali karena telah merahasiakan identitas Kenzo.

“Amei mau menghabiskan malam sama Kenzo. Amei mohon mama dan papa harus berbaik hati sama Kenzo.”

“Iya, dasar kamu Mei. Di saat orang lain tidak membutuhkan anak, kamu malah memungut anak!” Sopia tetap mengoceh saat meninggalkan Amelia.

Seorang wanita tidak terlalu tua menghampiri Amelia untuk berbisik, “Non Amei, bibi mau bicara sebentar.”

Pun, Amelia menjawabnya dengan bisikan, “Iya bi, di kamar saja ya.” Kini, Amelia menjamu bibi di dalam kamarnya karena selama di luar negeri hubungan yang tadinya selalu bos dan bawahan berubah menjadi lebih insten.

“Non, tidak perlu repot-repot,” tolak bibi karena peran dirinya dan Amelia berkebalikan.

“Tidak apa bi, bibi mau bicara apa? Tapi Amei harap bibi punya solusi atas kebingungan Amei.”

“Iya, bibi ingin membicarakan itu. Tadi Amanda sudah menceritakannya pada bibi, bibi punya adik di kampung, kalau Non Amei mau bibi bisa mencoba menanyakan setujunya mengurus Kenzo.”

“Iya bi, silakan bi, hubungi saja!” Antusias Amelia seolah mendapatkan seberkas cahaya. Jadi, tidak membuang waktu bibi menghubungi saudarinya di kampung. Ternyata wanita itu sanggup menjaga Kenzo, tetapi hanya sekitar dua minggu saja karena dirinya sudah diikat kontrak kerja di luar negeri, wanita ini akan menjadi TKW di sana.

“Begitu katanya non, bagaimana, apa Non Amei mau?” Bibi segera memastikan setelah menceritakan jawaban saudarinya.

Amelia membuang udara tipis. “Sebenarnya sangat tanggung bi kalau cuma dua minggu karena mungkin waktu yang Amei perlukan untuk menemui Erland lebih dari itu!”

“Mau bagaimana lagi, non.”

“Iya sudah bi, tidak apa, asalkan Kenzo aman walau sementara.” Jadi, besok Amelia harus mengantarkan Kenzo ke kampung halaman bibi, tetapi akan berdusta pada ibunya jika dirinya akan mengantarkan Kenzo ke panti asuhan.

Malam ini Kenzo menangis. “Maaf ya mama harus menitipkan Kenzo sementara, mama harus mencari papanya Kenzo sekaligus menjauhkan Kenzo dari nenek.” Embusan udara dibuang dengan berat hati. “Andai nenek dan kakek tidak bersikap seketus itu sama Kenzo, mama tidak akan menitipkan Kenzo sama siapapun.”

“Mei ...,” panggilan lembut Sopia yang sudah membuka pintu kamar putrinya secukup tubuhnya, “makan malam dulu, jangan cuma menghabiskan waktu kamu buat anak orang lain!” Suara lembut tadi secepat kilat sirna.

“Iya ma, sebentar, sepertinya Kenzo tantrum.” Pangkuan Amelia tidak berhenti untuk putranya.

“Kamu bukan ibunya Mei, jangan terlalu meladeni anak itu!” Sopia semakin menumbuhkan kekesalannya hingga sekarang alisnya menukik.

“Kan Amei sudah bilang, Amei mau menghabiskan malam ini sama Kenzo!”

“Sekarang makan dulu. Kasih Kenzo pada Amanda!” tegas Sopia seiring meraih Kenzo.

“Mama mau apakan Kenzo?” Segera, curiga merasuki Amelia saat Kenzo berada dalam pangkuan Sopia.

“Kamu ke bawah saja, biar mama yang panggilkan Amanda.”

“Tapi Kenzo bagaimana, Kenzo masih menangis.” Langkah Amelia begitu berat meninggalkan putranya bersama ibunya yang tidak memiliki rasa sayang pada Kenzo seperti dirinya.

“Anak ini menangis terus kan, tapi kamu tidak bisa menanganinya. Sudah sana, ke ruang makan, jangan biarkan perut kamu kosong. Kamu belum makan sejak tadi, waktu kamu cuma dihabiskan mengurus anak ini!” ketegasan Sopia bertambah kadarnya.

“Iya sudah, titip Kenzo ya ma ....” Tatapannya sangat tidak tenang. Sepeninggalan Amelia, Sopia kembali memerhatikan garis-garis kemiripan Kenzo dan Amelia.

“Saya tidak salah lihat kok, anak ini memang mirip Amei, tapi hanya mata dan bentuk wajahnya saja. Apa Amei hamil selama di luar negeri? Tapi ... mana bisa Amei kuliah dalam keadaan hamil, pasti membuat konsentrasinya buyar, tetapi Amei lulus dengan memuaskan,” heran begitu mencambuk, “astaga ..., kenapa kamu tidak berhenti menangis hm. Amei tidak pernah menangis sampai seperti ini!”

Kenzo dibaringkan, tetapi tangisannya semakin menjadi hingga akhirnya Amanda datang memeriksa. “Nyonya. Maaf, saya lancang. Saya kira tidak ada siapapun di kamar karena Kenzo menangis sangat keras.”

“Kamu urus anak ini. Merepotkan saja!” Sopia bergegas meninggalkan kamar Amelia yang kini berubah sangat berisik.

“Mei, kamu tidak pusing mengurus anak cengeng!” ocehan Sopia di ruang makan.

“Biasa saja sih ma, pasti Amei juga cengeng kan waktu itu. Hihi ....”

Adhinatha berdeham, memutus obrolan istri dan anaknya, “Besok kamu harus sudah mulai ke perusahaan, papa akan mengenalkan bisnis sekaligus politik.”

“Tapi besok Amei mau ke panti asuhan dulu pa, mau menitipkan Kenzo.”

“Biar bawahan papa yang urus, kamu tidak perlu bersusah payah mengurus yang bukan urusan kamu.” Santai Adhinatha, tetapi tentu saja kalimatnya tidak dapat dibantah.

“Tapi pa ....”

“Besok kamu ikut sama papa!” tegas Adhinatha.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status