"Maksud saya, Bapak belum bisa menjelaskan pembelajaran dengan baik hingga siswa belum ada yang mengerti," jelas Afkar tegas. Sedangkan kami semua sudah merasa merinding. Takut jika tiba-tiba emosi pak Burhan meledak dan menghukum kami semua."Kalau anda protes, silahkan keluar!"Pak Burhan mengarahkan sebelah tangannya ke ambang pintu yang sedikit terbuka. Wajahnya merah padam, giginya bergeletuk dengan sebelah tangan yang terlihat mengepal."Saya memang harus keluar. Tapi, alangkah baiknya jika Bapaklah dulu yang angkat kaki dari kelas ini. Percuma kami datang jauh-jauh ke sini jika penjelasan bapak hanya untuk diri bapak sendiri.""Kamu yang salah! kenapa tidak belajar duluan di rumah?" protes pak Burhan. "seharusnya, kalian belajar lebih dulu di rumah hingga saat pembelajaran di berikan guru kalian sudah faham.""Jika kami mengandalkan belajar di rumah, untuk apa lagi ada bapak di sini?"Pak Burhan terdiam. Dadanya terlihat naik turun menahan gejolak amarah. Dan detik berikutnya,
Bu Meri terdiam. Begitu pun pak Burhan yang wajahnya sudah merah padam. Afkar sama sekali tak gentar mengomentari pak Burhan di hadapan para guru seperti ini, tak biasanya ia mau berbicara tegas dan mengatakan apa adanya mengenai persoalan guru dalam mengajar. "Anak seperti ini harus di skor, bu Meri. Tidak punya adab sama sekali," tunjuk pak Burhan ke arah Afkar setelah lama terdiam. Beliau memukul meja di hadapannya setelah itu hingga membuat kami semua tersentak dan mengangkat kepala."Tidak bisa seperti itu, pak Burhan. Tidak boleh asal menskor siswa sebelum permasalahan sebenarnya terungkap. Bu Meri, mungkin kita bisa tanya sama siswa yang lain apakah tuduhan Afkar tadi benar. Jika ia memang sengaja berbohong karena ingin memfitnah tentu saja itu salah dan harus kita tindak lanjuti. Namun, jika apa yang ia katakan ternyata benar, mungkin kita bisa mempertimbangkan pak Burhan untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah ini," sambut pak Askari yang langsung di setujui bu Meri."Pak A
"Assalamu'alaikum....."Aku membuka pintu rumah yang memang tak pernah di kunci dari dalam jika siang hari. Mungkin, ibu sudah cukup lama menungguku karena jam di tangan sudah hampir menunjukkan pukul dua."Wa'alaikumussalam...."Loh, ramai sekali? Di atas mejapun banyak makanan. Apa ibu kedatangan tamu?Di ruang tamu ada ibu, ayah, Tari dan orangtuanya, serta dua orang bapak-bapak paruh baya yang tidak aku kenal. Namun, melihat jumlah gelas yang terletak di atas meja tampaknya ada satu orang lagi yang tidak ada di sini. Mungkin saja sudah pulang atau karena tengah ke kamar mandi.Mereka hanya memandangku sekilas dengan senyuman. Terlihat sedikit kikuk dan melanjutkan obrolan. Aneh sekali, ada apa ini?Untuk memudarkan rasa canggung ku putuskan untuk menyalami semuanya, lalu turut duduk di dekat ibu agar bisa nimbrung dalam obrolan mereka."Bu, ada acara apa?" bisikku pada ibu yang sedari tadi senyam-senyum mendengarkan cerita salah satu bapak-bapak. Bapak itu memang terlihat sengaja
"Apa maksudmu menuduh saya seperti itu, Ta? Saya tidak ada mengambil ponselmu. Walaupun kamu anggap saya ini anak orang miskin, tapi saya tidak serendah itu." Aku menghampiri Thalita yang hendak berdiri dari kursinya setelah bel istirahat berbunyi. Tadi, aku sudah menahan emosi agar jangan sampai meledak selagi guru pertama dan ke dua masih berada di dalam kelas. Aku biarkan lirikan cemeeh teman-teman sekelas yang pastinya sudah termakan fitnah Thalita. Thalita ini sudah terlalu kejam, akalnya terlalu licik. Bahkan mau melakukan apa saja agar ia selalu berdiri di urutan pertama. Entah siapa yang mengajarinya bersifat demikian, karena pak Fajri sama sekali tak punya karakter yang sama dengannya."Loh, kok kamu datang ke meja saya langsung marah-marah gitu?" ujarnya sok tak mengerti. Padahal aku yakin, seluruh siswa di yayasan ini sudah mengetahui masalah ini akibat termakan fitnahnya. Hal itu terlihat dari cara mereka memandangku setelah tiba di lingkungan sekolah pagi tadi.Ia menged
"Bukan anak ini pelakunya," ujar pak Tarjo yang membuatku langsung berucap syukur. Alhamdulillah, semoga saja masalah ini bisa segera selesai dan Thalita mendapatkan ganjarannya atas tuduhan yang ia buat."Dan tidak pernah ada anak sekolahan yang datang kemari untuk menanyakan barangnya yang hilang. Saya yakin anak itu hanya ingin membuat masalah saja," lanjut pak Tarjo lagi yang membuat para guru saling pandang."Benar gak ada anak sekolahan yang datang kemari, Pak?" ulang bu Meri lagi. Tampaknya, ia tak begitu percaya jika murid kesayangannya berperilaku buruk seperti itu."Ya, tidak ada. Dalam setahun ini bahkan tidak ada anak sekolahan ke sini kecuali ibu-ibu atau remaja dewasa yang meminta pelet jodoh dan meminta obat.""Terimakasih pak Tarjo atas jawabannya. Kami pamit dulu dan ini ada sedikit ucapan terima kasih dari kami," ucap bu Dewi menyerahkan sebuah amplop putih.Setelah keluar dari rumah itu, aku fikir kami akan kembali pulang pada rumah masing-masing. Rupanya, bu Meri b
"Guys!""Ada juragan tanah! Yuk, minta foto bareng!"Kami yang baru saja menyelesaikan pembelajaran di jam pertama mendadak bangkit dan berkerumun ke balkon saat mendengar teriakan Thalita. Tidak ada satupun siswa yang mau ketinggalan, semua berdesak-desakan karena ingin melihat juragan tanah yang di maksud.Dari balkon ini, jelas aku melihat ayah dan bang Rofiq keluar dari dalam mobil Bugatti la voiture noire berwarna kuning. Mobil yang di beli ayah sekitar lima bulan lalu seharga 227,5 Milyar yang membuat geger seluruh indonesia. Mobil itu ayah beli langsung saat pergi ke Molsheim, Prancis bersama ibu. Mereka sengaja berlibur ke sana karena memberi hadiah ulang tahun ibu yang ke 45 tahun. Waktu itu, aku sengaja tidak mau ikut. Sesekali, membiarkan mereka berdua berlibur lebih menyenangkan bagiku. Mana tahu, pulang dari sana ibu sama ayah bisa punya dedek bayi lagi, he...he..."Waww....Keren abis! Mobilnya bagus banget guys. Itukan harganya lebih dari dua ratus milyar. Di Indonesia
Saat aku dan ayah memasuki kantor, pak Fajri dan seluruh majlis guru melongo. Mereka melirikku dan ayah bergantian tanpa ada yang mampu mengeluarkan suara. Pak Askari memberikan kami tempat duduk, setelah itu meletakkan tiga buah aqua di atas meja juga sneck di atas piring."Silahkan di nikmati, Pak. Maaf, Hanya ini yang ada," ucap pak Askari tersenyum.Ayah merogoh sakunya, mengeluarkan dompet yang isinya lembaran kertas berwarna merah semua. Menempelkan lima lembar ke tangan pak Askari, lalu meminta tolong agar memberikan sneck yang lebih banyak agar semua guru ikut menikmati makanan."Tolong belikan sneck lagi ya, Nak," pinta ayah tersenyum yang langsung di angguki pak Askari. Beliau berlalu dari kantor dan beralih ke area parkiran untuk mengambil mobilnya.Thalita juga sudah memasuki kantor. Ia duduk di samping pak Fajri dengan sorot mata yang tak pernah berpaling dariku. Sedang siswa yang lain, terlihat berjejer di luar jendela untuk menyaksikan kegiatan ini."Ma-Maryam....Apa a
POV Thalita"Woi Guys....Ada murid baru, cantik banget!"Doni, ketua kelas berteriak dari balkon saat kami semua menunggu guru jam ke dua. Mendengar itu, seluruh anak kelas berhamburan ke balkon untuk menyaksikan. Ada juga yang turun ke lantai bawah untuk menatap langsung dan berkenalan. Siswi baru itu emang cukup cantik, tinggi badannya cocok banget sama berat badannya yang mungkin hanya sekitar 50 kg. Kulitnya terlihat putih bersih, bibirnya merah walau tanpa lips, rapi, dan murah senyum. Cukup menarik memang, andai ia bersekolah di sini bisa-bisa akan menjadi sainganku."Cantik bener. Baru kali ini liat siswi seperti ini. Kalau kayak gini mah harus cepat-cepat di tembak ini biar gak keduluan orang lain." Afkar yang sedari tadi berdecak kagum terdengar berujar sendiri, membuatku semakin muak saja."Beib, saingan tuh kayaknya." senggol Suri. Aku hanya mencebikkan mulut lalu ikut turun ke lantai bawah. Mungkin, siswi tadi sedang memasuki kantor. Aku harus tahu siapa ia sebenarnya agar