แชร์

Part 6

ผู้เขียน: Oscar
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2022-12-19 13:19:32

Kenapa tiba-tiba Mas Aryo bertanya hal seperti itu? Apa karena dia mendengarkan ucapan Mbak super tadi? Kenapa aku sampai tak menyadari kehadirannya.

"Ini, Mas. Sepertinya ada yang cinlok," sahutnya sok imut.

Bersikap sangat manis dan lemah lembut. Tak seperti saat menegur kami barusan.

Sebentar-sebentar. Mas? Dia memanggil suamiku dengan sebutan Mas? Bukannya dia sendiri yang memarahiku barusan karena memanggil dan menyebut nama Fandi? 

Jadi benar, ternyata selama ini hubungan mereka memang sedekat itu. Ternyata selama ini aku memang belum mengenal Mas Aryo seutuhnya. Ternyata meskipun sudah menikah, Mas Aryo belum sepenuhnya menjadi milikku. Masih ada banyak rahasia dan kehidupannya yang belum kuketahui.

"Siapa?" selidik Mas Aryo.

"Sama-sama anak baru dong, Mas. Mereka cocok juga, ya?"

Mas Aryo langsung melirik ke arahku. Lalu kembali menoleh ke arah Mbak super.

"Kenapa kamu bisa menyimpulkan kalau mereka terlibat cinta lokasi? Apa yang mereka lakukan?"

Seketika aku langsung menoleh ke arahnya. Ingin menyaksikan sendiri bagaimana ekspresi wajah suamiku. Ucapannya terlihat tegas dan berwibawa. Sangat berbeda sekali dengan cara bicaranya saat bersamaku. Apakah ini memang karakter aslinya?

"Mereka cuma terlihat akrab kok, Mas. Kalau sampai mereka berbuat yang enggak-enggak, aku pasti udah langsung kasi sangsi sama mereka. Emang begitu peraturannya, kan?"

"Sepertinya anda salah paham, Mbak Sinta. Saya dan Ayu tidak mungkin selancang itu. Apalagi kami sama-sama karyawan baru. Mana mungkin berani bertingkah yang tidak masuk di akal. Sebaiknya Mbak Sinta jangan asal memfitnah." Ucapan Fandi tak kalah tegas.

Benar juga. Meskipun Mbak super lebih dulu bekerja di sini, namun jabatan Fandi lebih tinggi darinya. Seharusnya dia juga ikut menghargai dan menghormati Fandi sebagai atasan. Bukan malah memperlakukan Fandi layaknya karyawan training sepertiku.

Fandi terdengar tak terima dengan tuduhan yang memang tak pernah kami lakukan. Hubunganku dan Fandi sudah berakhir. Meski kurasakan masih ada perhatiannya padaku.

"Eh, begini. Maksud saya...."

"Saya harap Mbak Sinta dan Pak Aryo tidak salah paham lagi. Saya hanya berusaha menegur Ayu yang kedapatan sedang melamun saat sedang bekerja. Apa itu salah?"

Mereka berdua terdiam. Begitu pun aku yang tak sanggup lagi mengatakan apa pun. Entah apa yang ada dalam benakku saat ini. Rasanya ingin menangis saja. Entah karena perihal yang mana. Apakah karena kedekatan Mas Aryo dan Mbak yang tidak mau dipanggil Ibu, atau karena tuduhan dan kecurigaan Mas Aryo padaku.

"Maaf, saya yang salah. Saya minta maaf. Lain kali saya tidak akan berbuat lancang dan tidak sembarangan lagi bersikap tidak sopan pada atasan."

Aku langsung pamit dan berlari ke toilet. Menghidupkan keran air sekencang-kencangnya agar tak ada yang mendengar suara perutku yang dari tadi memang mulas. Tentu saja sambil menangis.

.

Seperti malam-malam sebelumnya, supir pribadi yang bekerja pada Mas Aryo menjemputku untuk segera pulang. Sengaja Mas Aryo menyiapkan sebuah mobil, lengkap dengan supirnya untuk mengantar jemput. Seandainya orang lain bertanya, aku bisa saja mengatakan kalau itu adalah taksi online.

Mereka tak akan mungkin memperhatikan secara detil, bahwa yang mengantarku mobilnya itu-itu saja.

"Mas cuman mau kamu merasa nyaman jadi istri Mas. Mas nggak suka kalau nanti ada karyawan lain yang nawarin diri buat ngantar kamu pulang. Apa lagi karyawan cowok," ucapnya kala itu.

Kata-kata yang saat itu membuatku merasa diperhatikan. Merasa kalau Mas Aryo benar-benar sayang dan takut kehilanganku. Tapi kenyataannya sekarang apa? Dia malah terlihat berbeda dari yang kukenal selama ini.

"Capek, Yu?" Seperti biasa, dia yang sudah bersantai memakai piyama sedang menungguku di tempat tidur.

Mas Aryo memang selalu pulang lebih dulu. Tentu saja karena dia pemiliknya. Sementara karyawan yang lain harus pulang hingga restoran tutup sesuai shift kerja.

"Iya, capek banget!" ketusku. Lalu mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi.

Setelah selesai, aku membaringkan diri ke sampingnya yang tengah duduk di sisi ranjang.

"Kok langsung tidur? Capek banget, ya?" Dia menyentuh dan mulai memijat betisku.

Dengan sigap aku menarik diri dan bergerak agak menjauh. Masih tetap dalam mode diam.

"Kenapa, Yu? Kamu nggak suka lagi kalau Mas nyentuh kamu?"

Lagi-lagi aku diam, dan mencoba memejamkan mata. Kata-katanya kembali seperti Mas Aryo yang kukenal sebagai suamiku. Lembut dan perhatian. Bukan lagi pria tegas dan berwibawa seperti Bos Ayam Kampus di restoran sore tadi.

"Yu? Ada apa? Bukannya seharusnya Mas yang marah atas sikap kamu?" Dia mulai membahas masalah tadi.

"Kenapa diam aja? Mas salah apa? Mas percaya dan tidak mempermasalahkan ucapan Sinta. Bukannya seharusnya kamu mengucapkan sesuatu sama Mas? Seperti terima kasih misalnya."

Aku masih terdiam. Ada yang terasa perih di hati ini. Mataku mulai menghangat.

"Yu?" Dia mencoba menyentuh bahuku. Namun lagi-lagi aku mengelak dan semakin menjauh.

"Kamu benar-benar udah nggak mau bersentuhan lagi dengan Mas? Atau sekarang kamu sedang membayangkan menejer baru itu yang seharusnya ada bersama kamu saat ini?"

"Mas!" Aku langsung berbalik dan membentaknya.

Dengan air mata yang sudah membasahi pipi tentunya. Merasa sakit karena akhirnya dia juga termakan dengan ucapan Mbak super.

"Ayu?" Dia tampak terkejut dengan wajahku yang kini basah oleh air mata. Dia bahkan tak tahu kalau aku sedang menangis.

"Mas jahat! Tega-teganya Mas nuduh Ayu kek gitu. Padahal Mas sendiri yang pacaran sama Mbak super itu. Iya, kan?"

"Mbak super?" Dahinya mengernyit. "Super apa?"

"Supervisor!" tegasku. "Mas Aryo pacaran sama dia kan? Kalau Mas yang selingkuh, kenapa pake nuduh-nuduh Ayu segala? Kalau memang Mas Aryo nggak suka dengan perjodohan ini, seharusnya Mas Aryo bilang. Nggak usah sok baik dan sok mesra sama Ayu. Ayu benci sama Mas. Mas Aryo jahat!" Aku kembali menangis sembari menutup wajahku dengan telapak tangan.

"Ayu...? Siapa yang udah ngomong kek gitu?" tanyanya dengan lembut. Mencoba meraih tangan yang menutupi wajahku.

"Semua karyawan Ayam Kampus tau kalau Mas Aryo dan Mbak super pacaran. Mau nyangkal apa lagi? Sampai kapan Mas mau bohongin Ayu?"

"Itu, nggak benar, Yu. Mas nggak ada hubungan apa-apa dengan Sinta."

"Kalau nggak ada apa-apa, kenapa dia lancang sekali berani manggil Mas Aryo dengan sebutan Mas juga? Kenapa nggak manggil Bapak kayak yang lain? Tadi sore ngapain di kantor berduaan? Apa sebenarnya Mbak super itu juga istrinya Mas Aryo?"

Kulihat dia menelan saliva dengan pertanyaan beruntun dariku.

"Jawab, Mas! Kenapa diam?"

                        ************

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Ayam Kampus Suamiku   Part 30

    Aku dan Mas Aryo sama-sama menoleh, lalu saling berpandangan dengan heran. Para penggibah dan pembuli dari dapur tadi mengejar dan menyusul kami. Dengan wajah memelas, mereka menyesali apa yang sudah mereka perbuat.“Mau apa kalian?” tanya mas Aryo dengan sinis. “Maafkan kami, Pak Aryo. Kami tidak tahu tentang masalah ini sebelumnya,” ucap sang ketua memimpin jawaban.“Terserah!” ketus suamiku. Kemudian kembali merangkul bahuku untuk menaiki anak tangga. “Tunggu, Pak.” Mas Aryo menghentikan langkahnya. “ Ijinkan kami kembali bekerja di sini.”Cih! Dasar tidak tahu malu. Menjilat ludah sendiri. Jorok sekali. Seenaknya saja berkata seperti itu. Aku tidak akan sudi dan tidak akan pernah membiarkannya."Apa kurang jelas yang aku bicarakan tadi? Apa pun yang terjadi, aku tak akan pernah menerima kalian lagi. Jadi, cepat kosongkan dapur sekarang juga!" Mas Aryo kembali merangkul bahuku dan berjalan dengan cepat hingga mereka jauh tertinggal di lantai bawah."Huft... Ayu gemetaran, Mas," r

  • Ayam Kampus Suamiku   Part 29

    Mata nenek sihir itu langsung membelalak. Terperanjat kaget mendengar ucapan tegas dari Mas Aryo. Bukan hanya tegas, akan tetapi terdengar begitu emosi dan marah. “A_apa maksud kamu, Mas? M..maksud saya Pak. Anda sedang bercanda, kan?” Wajahnya langsung memucat seperti buntut ayam yang baru saja direbus. Bibirnya bergetar ketakutan. Aku menarik sudut bibir, melirik ke arahnya yang tadi bersikap sangat angkuh.“Apa aku terlihat sedang bercanda?” Mas Aryo menantang ucapannya dengan tegas.“Ta..tapi....” “Tidak ada tapi-tapian. Tidak ada maaf bagi kamu yang sudah berani menampar Ayu!”“Aku punya alasan, Mas. Kenapa Mas malah membela dia?” Kini nenek sihir kawe super itu tak lagi bicara dengan bahasa formal.Mendengar dari gaya bicaranya, sepertinya mereka memang sudah akrab sejak awal.“Aku tidak menerima alasan apa pun. Kamu sudah sangat keterlaluan. Aku bisa saja terima kalau Ayu dihukum karena kesalahan dalam bekerja. Tapi, tidak dengan urusan pribadinya.”“Tapi dia bukan wanita ba

  • Ayam Kampus Suamiku   Part 28

    Wina mengernyit heran. Memandangi wajahku yang tenang dan tak terlihat gusar seperti biasanya.“Jangan main-main, Yu. Aku serius. Kamu nggak tahu bagaimana Mbak Sinta itu. Dia selalu menggunakan kekuasaan untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak dia suka.” Dia masih saja terlihat cemas.“Eh, tapi ngomong-ngomong, Pak Fandi beneran nggak datang?”“Iya, Yu .Mana nggak ada kabar sama sekali. Kompak banget sih kalian. Suka ngilang tiba-tiba tanpa ngasi tahu,” ledeknya.“Hush! Nanti suamiku dengar lho.” Aku terkikik geli.“Dih, canggih amat suami kamu,sampe masang penyadap segala. Suami kamu mafia, ya?” Kami berdua kembali terkikik.Eh, tapi kenapa Fandi tidak masuk hari ini? Apa karena kejadian tadi pagi? Apa dia begitu shock, hingga tak datang dan menghindari aku dan Mas AryoKan, lagi-lagi aku merasa bersalah. Kenapa sih, Fandi harus mencampur adukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Padahal selama ini Mas Aryo tak pernah melakukan hal yang bukan-bukan untuk mempersulitnya. Pa

  • Ayam Kampus Suamiku   Part 27

    Reaksi macam apa itu? Nggak mungkin Mas Aryo tidak tahu apa yang terjadi saat itu. Bukankah dia selalu mengawasi setiap gerak-gerikku, bahkan seluruh karyawan dari monitor CCTV di ruangannya? Lalu, kenapa dia bersikap seolah-olah baru mendengar semua ini dariku?“Katakan, Ayu. Kapan Sinta melakukan semua itu sama kamu?” Tangannya masih setia berada di pipiku, bekas tamparan Mbak super.“Mas Aryo jangan pura-pura. Semua orang melihatnya.”“Iya, tapi kapan? Sumpah, Sayang. Mas nggak tahu apa-apa soal itu. Sekarang cepat katakan, kapan dan jam berapa dia melalukan itu.”“Kemarin sore. Sebelum Ayu nyerahin uang itu. Jangan bilang, kalau Mas pura-pura nggak liat. Ayu sama sekali nggak percaya.” Emosiku kembali meluap. Lalu menepiskan tangannya dari wajahku.“Sore kemarin Mas sedang keluar, Yu. Dari sebelum kamu datang, Mas sudah berangkat ke kandang, karena ada pertemuan para distributor. Hari hampir senja baru Mas kembali. Itu pun Mas nggak sempat ngecek cctv. Kamu liat sendiri kan, Mas

  • Ayam Kampus Suamiku   Part 26

    Mas Aryo sudah berdiri kokoh dengan wajah tegang di hadapan kami. Matanya terus-menerus menatap tanganku yang masih memegangi lengan Fandi agar tubuhnya tak rubuh. Lalu, aku bergegas menarik peganganku, agar pikirannya tak semakin salah paham sama Fandi."Mas Aryo ngapain di sini? Ayu nggak mau pulang. Mas Aryo nggak punya hak lagi menyuruh Ayu balik ke rumah Mas Aryo. Semua permintaan Mas Aryo udah Ayu turutin. Ayu nggak punya hutang apa-apa lagi, kan?" Aku mengucapkan langsung ke titik permasalahan."Tega kamu, Yu. Mengkhianati Mas dengan cara seperti ini. Atau jangan-jangan, kalian sekongkol ingin mempermainkan Mas selama ini?" tudingnya dengan wajah penuh amarah."Udah la, Mas. Mas Aryo nggak usah cari-cari alasan lagi buat nyalahin Ayu. Mas Aryo boleh bilang apa pun ke orang tua Ayu. Ayu terima semuanya. Tapi setelah ini, Mas Aryo nggak usah nyari-nyari Ayu lagi!"Aku melangkah pergi meninggalkan mereka berdua. Tak jadi masuk ke kampus untuk mengajukan cuti. Lalu tiba-tiba saja t

  • Ayam Kampus Suamiku   Part 25

    Dia sangat kaget dengan kelakuanku. Lalu, memungut amplop tadi. Menghitung lembaran demi lembaran uang merah yang aku berikan. Mas Aryo tampak tercenung sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu, lalu mengangguk.Dia bahkan tak bertanya sama sekali dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu sekejap."Jangan main-main dengan kata cerai, Ayu! Kita selesaikan di rumah saja, nanti!" Dia memasukkan uang itu ke dalam laci. Lalu membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas meja dan menutup laptopnya."Mas tunggu di rumah!" tegasnya kemudian. Dia melangkah pergi meninggalkan ruangan, tanpa memberi penjelasan apa-apa sama sekali. Meninggalkanku sendiri, tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi. Apa dia pikir aku masih mau pulang ke rumah itu, setelah semua yang aku alami beberapa hari ini?.Sepulang kerja, aku langsung menuju tempat kost-kosan yang baru. Masih bisa kutempuh dengan berjalan kaki dari restoran, karena posisinya masih satu lingkungan dengan area kampus. Aku memb

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status