Tok tok tok
Laela membuka pintu rumah pagi itu, ekspresi terlihat tenang tanpa ada keterkejutan, karena tidak ada lagi tempat untuk Rachel sembunyi selain di tempat ini.
“Pagi, Tante. Apa Rachel ada di sini?” tanya Nathan.
“Rachel masih tidur, apa perlu Tante bangunkan?” tanya Laela.
Nathan menggeleng pelan. “Tidak perlu, Tante. Aku bisa menunggunya.”
Laela menatap Nathan sejenak sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar, mempersilakannya masuk. “Silakan duduk. Mau teh atau kopi?”
“Kopi saja, Tante. Terima kasih.”
Nathan melangkah masuk, matanya menyapu ruangan dengan cepat. Suasana rumah yang lebih tenang, dibanding rumahnya yang dia tempati bersama Rachel, mungkin lebih tepatnya, tempat untuk Rachel tempati sendiri.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Nathan duduk di sofa, jemarinya saling menggenggam, pikirannya berkecamuk. Saat suara langkah kaki terdengar dari tangga, ia langsung menoleh.
Rachel muncul, masih mengenakan pakaian tidur, rambutnya berantakan. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan sesaat saat melihat Nathan di ruang tamu. Namun, tatapan itu segera berubah menjadi datar, seperti seseorang yang sudah terlalu lelah untuk merasa terkejut.
Padahal, Nathan cukup terpesona melihat Rachel yang baru bangun tidur. Menurutnya, kondisi Rachel saat bangun tidur terlihat lucu dan menggemaskan.
“Kamu datang,” ucap Rachel dengan suara pelan.
Nathan berdiri, matanya menatap Rachel penuh makna. “Aku harus memastikan kamu baik-baik saja.”
Rachel tersenyum kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. “Aku selalu baik-baik saja. Bukankah selama ini aku selalu seperti itu?”
Nathan terdiam. Kata-kata Rachel seperti sentilan halus yang membuat dadanya terasa sesak. “Rachel, kita perlu bicara.”
Rachel menghela napas, lalu berjalan ke dapur. “Kalau begitu, biarkan aku membuat kopi dulu. Aku butuh sesuatu yang bisa menenangkan pikiranku sebelum mendengar apa pun yang ingin kamu katakan.”
Nathan mengikuti langkah Rachel dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi memilih menahan diri.
Suara gemericik air terdengar saat Rachel menuangkan kopi ke dalam cangkir. Tangannya terlihat tenang, tapi di balik itu semua, ada perasaan yang ia sembunyikan.
Rachel menyerahkan satu cangkir kopi pada Nathan sebelum duduk di seberangnya.
“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyanya, suaranya terdengar tenang, tapi sorot matanya menunjukkan kewaspadaan.
Nathan menghela napas. “Kenapa kamu pergi dari rumah tanpa memberitahuku?”
Rachel tertawa kecil, getir. “Rumah? Tempat yang kamu sebut rumah itu, adalah neraka bagiku, kamu tau?”
Nathan merasakan sesuatu menghantam dadanya. Kata-kata Rachel seperti pisau tajam yang mengiris perlahan.
“Aku membeli rumah itu, dan memintamu mendekor sesuai keinginan kamu. Semua itu aku lakukan demi kenyamanan kamu, Hel,” ujar Nathan yang merasa tersinggung dengan kata-kata Rachel.
Rachel memegang gelas kopi dengan kedua tangannya dan pandang yang tetap tertuju pada Nathan. “Kamu tau bukan rumahnya yang aku maksud,” ucap Rachel.
Nathan menundukkan kepalanya, tampak kebingungan di sana. “Baiklah, aku akan mengambil cuti, berhenti marah padaku dan tarik kembali gugatan cerai itu. Aku akan mengajakmu liburan, ke manapun yang kamu inginkan. Aku akan berikan waktuku untukmu sekarang,” ujar Nathan di sana.
Rachel tersenyum pahit, dia menggigit bibirnya sendiri dan tangannya memegang gelas dengan erat supaya tidak kembali bergetar.
“Aku lelah, Nathan. Aku sangat lelah,” ucap Rachel tanpa sadar meneteskan air matanya di sana.
“Hel, aku harus gimana? Aku tidak ingin bercerai denganmu. Kumohon, berhentilah marah padaku. Apapun yang kamu mau, aku akan berikan, asal tidak dengan bercerai,” ucap Nathan di sana.
Rachel menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosi yang selama ini ia pendam. Ia menatap Nathan yang kini terlihat putus asa, sesuatu yang jarang ia lihat dari pria itu.
“Apa kamu benar-benar mengerti, Nathan?” Rachel bertanya dengan suara yang nyaris bergetar. “Ini bukan soal liburan atau waktu sesaat yang kamu berikan setelah semuanya terlambat. Aku butuh kamu dalam keseharianku, dalam kebahagiaan dan kesedihanku. Aku butuh suami yang hadir, bukan hanya seseorang yang membayar tagihan dan mengira itu cukup.”
Nathan mengepalkan tangannya di atas meja. “Aku tahu aku salah. Tapi aku benar-benar tidak ingin kehilanganmu.”
Rachel menunduk, menatap cangkir kopinya yang hampir habis. “Aku juga tidak pernah ingin kehilanganmu. Tapi aku sudah kehilangan diriku sendiri dalam pernikahan ini.”
Suasana kembali hening. Nathan merasa seolah ada sesuatu dalam dirinya yang runtuh. Ia pikir masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya, tetapi melihat Rachel saat ini, ia sadar luka yang ia buat mungkin sudah terlalu dalam.
“Apa kamu masih mencintaiku?” tanya Nathan pelan, hampir seperti bisikan.
Rachel terdiam lama sebelum akhirnya menjawab, “Mungkin aku masih mencintaimu, tapi aku tidak yakin apakah cinta itu masih cukup untuk aku tetap bertahan.”
Nathan merasakan dadanya semakin sesak. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar takut kehilangan Rachel.
“Beri aku kesempatan, okey? Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Dan tolong beritahu aku, apa yang harus aku lakukan untuk menebus semuanya?” tanya Nathan.
Rachel menatap Nathan dengan mata yang berkaca-kaca. Ada keinginan dalam hatinya untuk percaya, untuk memberi Nathan kesempatan, tetapi ada juga ketakutan bahwa semua hanya akan berulang, bahwa setelah beberapa waktu, Nathan akan kembali larut dalam dunianya sendiri, sementara ia kembali merasa kesepian.
“Kamu ingin menebus semuanya?” Rachel mengulang kata-kata Nathan dengan suara lirih. Ia mengusap wajahnya, berusaha mengendalikan emosinya. “Bukan aku yang harus memberitahumu, Nathan. Kamu sendiri yang harus tahu apa yang seharusnya kamu lakukan. Jika kamu benar-benar peduli, kamu akan mengerti.”
Nathan terdiam. Ia tahu Rachel benar. Kalau ia harus bertanya, berarti selama ini ia memang tidak benar-benar memahami apa yang Rachel butuhkan.
Rachel berdiri, seolah ingin mengakhiri percakapan ini. “Aku butuh waktu, Nathan.”
“Tapi kita tidak punya banyak waktu, Hel.” Suara Nathan terdengar putus asa.
Rachel tersenyum kecil, senyum yang penuh luka. “Kalau begitu, mungkin inilah akhirnya.”
Nathan berdiri dengan cepat, menggenggam tangan Rachel. “Jangan katakan itu. Aku masih mencintaimu. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu.”
Rachel menatap tangannya yang digenggam erat oleh Nathan. “Kalau kamu benar-benar mencintaiku, Nathan… buktikan. Tapi kali ini, aku tidak akan menunggu lagi.”
Ia perlahan melepaskan genggaman Nathan, lalu melangkah pergi, meninggalkan pria itu dalam keheningan yang lebih mencekam daripada sebelumnya.
***
Nathan terpaku melihat hasil laporan yang baru saja diberikan oleh dokter Maya. Kertas itu terasa berat di tangannya, seolah angka-angka yang tertera di sana mampu mengguncang seluruh isi dadanya.Depresi: 40 – Sangat BeratKecemasan: 39 – Sangat BeratStres: 32 – BeratLidahnya kelu. Matanya membaca ulang angka-angka itu, berharap ada kesalahan cetak, berharap bahwa semua ini tidak benar. Tapi kenyataan menamparnya telak. Istrinya… perempuan yang selama ini ia peluk setiap malam, yang ia yakinkan akan baik-baik saja, ternyata menyimpan luka yang begitu dalam, jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan.“Apa... ini sudah lama, Dok?” tanyanya dengan suara nyaris tak terdengar, nyaris berbisik.Dokter Maya mengangguk pelan, menatap Nathan dengan penuh empati. “Rachel sudah mengalami gangguan ini sejak lama, mungkin sejak awal trauma itu terjadi. Tapi seperti yang tadi dia ceritakan, semuanya memburuk lagi sejak pelaku dibebaskan. Itu menjadi pemicu utama yang mengguncang kestabilan emosiny
Langit tampak mendung saat mobil hitam milik Nathan melaju perlahan memasuki area parkir rumah sakit. Rachel duduk di sampingnya dengan wajah muram, kedua tangannya bertaut di atas pangkuan. Meski tubuhnya tampak tenang, dalam hati ia merasa bergemuruh. Hari ini adalah hari di mana ia akan kembali bertemu dengan seorang dokter spesialis kejiwaan.Nathan melirik sekilas ke arah istrinya sebelum mematikan mesin mobil. “Kita sudah sampai, Sayang,” ucapnya lembut, tangan kirinya terulur menyentuh punggung tangan Rachel, memberikan kekuatan dalam diam.“Ya...”“Kamu baik-baik saja?” tanya Nathan memastikan Rachel tidak tertekan.Rachel menoleh ke arah suaminya dengan senyuman kecilnya. “Ya, aku baik-baik saja.”“Syukurlah. Tenang saja, aku akan terus mendampingimu,” ujar Nathan dengan lembut.Rachel mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu mobil dan menjejakkan kaki di pelataran rumah sakit.Langkah mereka perlahan menyusuri koridor demi koridor, diiringi aroma khas
“Pagi, Sayang.” Nathan menyapa Rachel dengan senyum lebar dan merekah. Rachel tersenyum manis di sana. Pria itu sedang berdiri di area dapur dengan celemek terpasang di tubuhnya. Cukup lama Rachel memandangi suaminya itu yang menyambutnya dengan senyuman hangat di sana. Wanita itu berjalan perlahan mendekati Nathan. Saat Rachel sudah berdiri di hadapannya, Nathan menyentuh rambut Rachel. “Masih basah? Kamu tidak mengeringkannya?” tanya Nathan. Bukannya menjawab, Rachel malah memeluk tubuh Nathan, menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya dengan Nathan. “Kenapa?” tanya Nathan. Sekali lagi Rachel tidak menjawab, wanita itu semakin erat memeluk Nathan. Dan hal yang membuat Nathan yakin ada yang tidak beres adalah cara Rachel meremas ujung kaos milik Nathan. Wanita itu seperti sedang gelisah, walau Nathan sendiri tidak tahu apa yang membuatnya segelisah itu. Nathan mengusap lembut kepala belakang dan pung
“Minum dulu.” Nathan menyodorkan gelas berisi air mineral pada Rachel yang sudah mulai tenang bersandar di kepala ranjang. “Makasih, ya.” Rachel meneguknya cukup banyak. “Maaf, apa aku mengganggu tidurmu?” Nathan tidak langsung menjawab. Pria itu menatap istrinya dengan tatapan sendu. “Apa itu penting untuk ditanyakan?” tanya Nathan dan Rachel hanya diam di sana. “Aku tidak tahu harus bertanya bagaimana padamu. Kamu kenapa atau apa yang terjadi padamu.” Nathan menatap Rachel dengan sorot mata hangat penuh kesedihan. “Aku hanya ingin melihatmu bahagia, Hel.” “Aku kembali bermimpi buruk,” jawab Rachel. “Kamu nangis sesegukan loh, Hel. Kamu nangis sambil nyebut nama Mama. Apa kamu merindukan Mamamu?” tanya Nathan yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Rachel. “Mungkin aku butuh ketemu Dokter. Udah lama aku tidak mengunjungi Dokter,” ucap Rachel. “Kamu yakin tidak ada yang ingin kamu ceritain sama
Rachel masih menatap layar ponselnya yang berkedip di sana. Dia cukup ragu antara harus mengangkatnya atau tidak. Tetapi, hanya melihat namanya saja, sudah membuat jantung Rachel berdebar kencang dan kegelisahan langsung menyerangnya.Suara dering itu masih menggema di dalam kamar mandi yang hening. Layar ponsel berkedip, menampilkan nama yang sudah lama tidak muncul—Mama.Hanya satu kata, namun cukup untuk mengguncang dunia Rachel yang sedang berusaha ia tata kembali.Jari-jarinya gemetar. Ponsel itu nyaris terjatuh dari genggamannya. Nafasnya tercekat. Sekujur tubuhnya mendadak dingin, seperti disiram air es dari kepala hingga kaki.Kenapa sekarang? Setelah bertahun-tahun tanpa kabar, tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf…Rachel menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang pucat, mata yang masih sembab karena menangis, dan kini—dipenuhi kecemasan. Luka lama yang belum sepenuhnya sembuh, kini disayat lagi oleh satu panggilan tak terduga.Dering berhenti.Layar ponsel
“Sandra? Nathan bahkan tidak pernah menceritakan tentang rekan kerjanya padaku, termasuk sosok wanita yang terlihat akrab tadi. Sebanyak apa, yang tidak aku ketahui dalam kehidupan Nathan?” batin Rachel. Saat ini Nathan dan Rachel sedang ada di dalam mobil untuk kembali ke kediaman mereka. Nathan cukup bingung dengan sikap Rachel yang tidak berbicara sama sekali, dia lebih memilih diam menatap keluar jendela mobil. “Hel... “ panggil Nathan memegang tangan Rachel hingga membuat wanita itu terkejut. “Eh- kenapa?” tanya Rachel melihat ke arah Nathan. “Ada apa? sejak tadi aku perhatiin, kamu diam terus,” tanya pria itu yang sepertinya tidak merasa bersalah dan tidak ingin menjelaskan apa pun tentang sosok Sandra. Rachel tersenyum di sana, “tidak apa-apa, aku hanya lelah,” jawab Rachel dengan jawaban singkat. Tetapi, hal itu jelas tidak memuaskan Nathan. “Kamu beneran tidak apa-apa? atau ada yang mengusik pikiranmu? Tany