Share

Chapter Tujuh

Penulis: Kinan Larasati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-12 22:49:27

“Kata dokter, selain anemia, asam lambungmu juga naik, Hel. Apa selama ini kamu tidak makan dengan baik?” tanya Nathan dengan tatapan sendu. 

          Saat ini, mereka berada di ruang rawat Rachel. Wanita itu masih memilih bungkam dan menatap keluar jendela ruangan yang menunjukkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan langit yang gelap.

          “Sampai kapan kamu akan mendiamkanku seperti ini, Hel?” tanya Nathan dengan serius menatap Rachel yang terus menghindari tatapannya.

          Nathan belum menanyakan apa pun tentang rekaman cctv yang dia lihat tentang kondisi Rachel. Dia menunggu waktu yang tepat sampai Rachel sehat dan keluar dari rumah sakit.

Rachel masih menatap ke luar jendela, tidak segera menjawab pertanyaan Nathan. Dalam hatinya, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi bibirnya terasa terlalu berat untuk mengucapkannya.

“Aku hanya lelah, Nathan,” gumamnya akhirnya, masih tanpa menoleh.

Nathan menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, memastikan jaraknya cukup dekat tanpa membuat Rachel merasa terpojok.

“Kalau kamu lelah… kenapa kamu tidak bilang?” tanyanya pelan, berusaha menahan gejolak emosinya sendiri.

Rachel tersenyum miris. “Dan kalau aku bilang, apa itu akan mengubah sesuatu?”

Nathan terdiam. Itu adalah tamparan baginya.

Rachel akhirnya menoleh, menatap Nathan dengan mata yang penuh luka. “Aku sudah sering mencoba bicara, Nathan. Aku sudah memberi banyak tanda. Tapi kamu selalu sibuk. Selalu pergi. Selalu punya alasan untuk tidak benar-benar melihatku.”

Napas Nathan tercekat. Kata-kata Rachel menyakitinya lebih dari yang ia duga.

“Aku tidak menyalahkanmu,” lanjut Rachel. “Kamu memang seperti itu sejak dulu. Aku yang salah, karena berharap lebih.”

“Tapi sekarang aku di sini,” kata Nathan dengan suara yang lebih tegas. “Aku di sini, Hel. Aku melihatmu. Aku mendengarkanmu.”

Rachel menatapnya lama, seolah mencari kebohongan dalam tatapan pria itu. Tapi yang ia lihat hanyalah ketulusan dan penyesalan yang begitu dalam.

“Jadi, apa kamu akan tetap pergi terbang besok?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar datar.

Nathan tertegun. Itu bukan pertanyaan biasa. Itu adalah ujian.

Dan ia tahu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada sesuatu yang lebih penting daripada pekerjaannya.

“Aku tidak akan pergi,” jawab Nathan mantap. “Aku akan tetap di sini, bersamamu.”

Rachel yang mendengar jawaban itu, tidak bisa berkata apa-apa selain diam dan tiba-tiba menghela napasnya. 

“Kurasa, aku tidak bisa berharap apapun lagi padamu, Nathan. Harapanku padamu sudah terlalu sering pupus,” jawabnya. 

Kata-kata Rachel menusuk Nathan lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Hatinya mencelos. Ia sudah mengatakan bahwa ia akan tetap di sini, bersamanya. Tapi Rachel... Rachel seolah sudah berhenti percaya.

"Hel, aku serius," ucap Nathan, suaranya lebih pelan, nyaris putus asa. "Aku akan tetap di sini. Aku tidak akan pergi."

Rachel tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak mencerminkan kebahagiaan. "Kamu bilang begitu sekarang, Nathan. Tapi berapa lama? Seminggu? Dua minggu? Lalu setelah itu, pekerjaanmu akan memanggilmu lagi, dan aku... aku akan kembali sendirian."

Nathan menggeleng, mencoba meraih tangan Rachel, tapi wanita itu menarik tangannya lebih dulu.

"Kamu tahu?" Rachel menatap Nathan dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak pernah membenci pekerjaanmu. Aku tahu itu mimpimu. Tapi... aku juga ingin menjadi bagian dari duniamu, bukan hanya seseorang yang kamu tinggalkan dan harapkan tetap menunggumu di rumah."

Nathan meremas tangannya sendiri. "Kamu adalah duniaku, Rachel," suaranya serak. "Dan aku bodoh karena terlalu lama tidak menyadarinya."

Rachel menutup matanya, menahan air mata yang mulai menggenang. "Tapi aku sudah lelah, Nathan..."

"Lalu biarkan aku ada di sini," kata Nathan dengan suara bergetar. "Biarkan aku memperbaiki semuanya. Aku tidak peduli berapa lama waktu yang aku butuhkan, aku akan berusaha."

Rachel menatapnya sekali lagi, dan kali ini, tatapan itu penuh keraguan. Ia ingin percaya, tapi hatinya sudah terlalu sering kecewa.

Jadi, apakah ia masih sanggup berharap?

“Aku tau, tidak mudah untuk mengembalikan kepercayaan. Tidak mudah berharap pada sesuatu yang berkali kali membuatmu kecewa. Tapi, untuk sekarang, jangan pikirkan apapun, ya. Kalau kamu lelah, istirahat dan jangan memikirkan hal yang berat. Aku akan di sini, menemanimu setiap saat. Jangan takut apa pun, Hel. Sekarang cukup nikmati saja dan turutin keinginanmu padaku, jangan melawannya,” ujar Nathan dengan serius hingga tatapan mereka terpaut satu sama lain. “Jangan cemaskan apapun, kamu aman bersamaku, Hel.”

Rachel masih diam, hanya menatap Nathan tanpa ekspresi yang jelas. Kata-kata itu seharusnya bisa menenangkan hatinya, tapi bagian dalam dirinya masih menolak untuk percaya. Terlalu banyak malam yang ia lalui sendirian, terlalu banyak harapan yang ia genggam hanya untuk hancur dalam kekecewaan.

"Apa kamu benar-benar akan tetap di sini?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.

Nathan mengangguk mantap. "Ya. Aku tidak akan pergi ke mana-mana."

Rachel menatapnya lama, seolah mencari kebohongan dalam sorot matanya. Tapi Nathan tetap teguh.

Akhirnya, Rachel menghela napas panjang. Ia tahu dirinya terlalu lelah untuk bertengkar, terlalu lelah untuk terus merasa marah. Jadi untuk saat ini, ia memilih menyerah pada kelelahan itu.

"Baiklah," ujarnya pelan, lalu berbaring kembali, memejamkan mata. "Aku ingin tidur."

Nathan tersenyum tipis, meski hatinya masih diliputi kecemasan. "Tidurlah, aku akan tetap di sini."

Rachel tidak menjawab, hanya membiarkan dirinya tenggelam dalam ketenangan yang mulai merayap pelan.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa cukup aman untuk tidur tanpa rasa takut.

Baru beberapa saat Rachel menutup matanya, wanita itu kembali membuka mata. 

“Ada apa? Kamu tidak bisa terus? Atau merasa gelisah?” tanya Nathan. 

“Aku-” Rachel terdiam cukup lama. 

Tiba-tiba Nathan memegang tangan wanita itu membuatnya menoleh ke arah Nathan dengan kernyitan di dahi. 

“Kalau kamu merasa gelisah. Genggam tanganku dan tidurlah, aku harap itu bisa meringankan kegelisahanmu dan bisa tidur nyenyak,” ucap Nathan tersenyum pada istrinya. 

Rachel menatap tangan Nathan yang menggenggamnya erat, seolah pria itu takut jika ia melepaskan, Rachel akan menghilang. Ada sesuatu dalam tatapan Nathan malam ini—sesuatu yang tulus, sesuatu yang selama ini ia rindukan.

Tapi bisakah ia mempercayainya?

Ia menggigit bibirnya ragu, lalu akhirnya menghela napas pelan. Tangannya sedikit bergerak, jemarinya meremas tangan Nathan dengan lemah.

Nathan tersenyum kecil. "Aku di sini, Hel. Aku tidak akan pergi."

Rachel tidak menjawab. Ia hanya menutup matanya lagi, dan untuk pertama kalinya, genggaman tangan Nathan terasa cukup untuk menenangkannya.

Hanya butuh beberapa menit sebelum napasnya mulai melambat, dadanya naik turun dengan ritme yang lebih tenang.

Nathan mengamati wajah istrinya yang kini tertidur, lalu mengecup punggung tangannya dengan lembut.

Tiba-tiba matanya berkaca-kaca melihat Rachel. 

“Seberat apa trauma kamu, Hel?” batinnya. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (8)
goodnovel comment avatar
Lili Lili
separah itu ternyata kamu Nathan sama Rahel
goodnovel comment avatar
Lily
kamu baru sadar selama ini Natan ... mending kamu gak balik lagi sama rahel
goodnovel comment avatar
Kasma yani
kasihan sekali ya Rahel trauma sekali dia mudah 2 an perkataan Nathan tidak berubah lagi karena Rahel sangat tersiksa sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Sembilan

    Nathan terpaku melihat hasil laporan yang baru saja diberikan oleh dokter Maya. Kertas itu terasa berat di tangannya, seolah angka-angka yang tertera di sana mampu mengguncang seluruh isi dadanya.Depresi: 40 – Sangat BeratKecemasan: 39 – Sangat BeratStres: 32 – BeratLidahnya kelu. Matanya membaca ulang angka-angka itu, berharap ada kesalahan cetak, berharap bahwa semua ini tidak benar. Tapi kenyataan menamparnya telak. Istrinya… perempuan yang selama ini ia peluk setiap malam, yang ia yakinkan akan baik-baik saja, ternyata menyimpan luka yang begitu dalam, jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan.“Apa... ini sudah lama, Dok?” tanyanya dengan suara nyaris tak terdengar, nyaris berbisik.Dokter Maya mengangguk pelan, menatap Nathan dengan penuh empati. “Rachel sudah mengalami gangguan ini sejak lama, mungkin sejak awal trauma itu terjadi. Tapi seperti yang tadi dia ceritakan, semuanya memburuk lagi sejak pelaku dibebaskan. Itu menjadi pemicu utama yang mengguncang kestabilan emosiny

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Delapan

    Langit tampak mendung saat mobil hitam milik Nathan melaju perlahan memasuki area parkir rumah sakit. Rachel duduk di sampingnya dengan wajah muram, kedua tangannya bertaut di atas pangkuan. Meski tubuhnya tampak tenang, dalam hati ia merasa bergemuruh. Hari ini adalah hari di mana ia akan kembali bertemu dengan seorang dokter spesialis kejiwaan.Nathan melirik sekilas ke arah istrinya sebelum mematikan mesin mobil. “Kita sudah sampai, Sayang,” ucapnya lembut, tangan kirinya terulur menyentuh punggung tangan Rachel, memberikan kekuatan dalam diam.“Ya...”“Kamu baik-baik saja?” tanya Nathan memastikan Rachel tidak tertekan.Rachel menoleh ke arah suaminya dengan senyuman kecilnya. “Ya, aku baik-baik saja.”“Syukurlah. Tenang saja, aku akan terus mendampingimu,” ujar Nathan dengan lembut.Rachel mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu mobil dan menjejakkan kaki di pelataran rumah sakit.Langkah mereka perlahan menyusuri koridor demi koridor, diiringi aroma khas

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Tujuh

    “Pagi, Sayang.” Nathan menyapa Rachel dengan senyum lebar dan merekah. Rachel tersenyum manis di sana. Pria itu sedang berdiri di area dapur dengan celemek terpasang di tubuhnya. Cukup lama Rachel memandangi suaminya itu yang menyambutnya dengan senyuman hangat di sana. Wanita itu berjalan perlahan mendekati Nathan. Saat Rachel sudah berdiri di hadapannya, Nathan menyentuh rambut Rachel. “Masih basah? Kamu tidak mengeringkannya?” tanya Nathan. Bukannya menjawab, Rachel malah memeluk tubuh Nathan, menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya dengan Nathan. “Kenapa?” tanya Nathan. Sekali lagi Rachel tidak menjawab, wanita itu semakin erat memeluk Nathan. Dan hal yang membuat Nathan yakin ada yang tidak beres adalah cara Rachel meremas ujung kaos milik Nathan. Wanita itu seperti sedang gelisah, walau Nathan sendiri tidak tahu apa yang membuatnya segelisah itu. Nathan mengusap lembut kepala belakang dan pung

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Enam

    “Minum dulu.” Nathan menyodorkan gelas berisi air mineral pada Rachel yang sudah mulai tenang bersandar di kepala ranjang. “Makasih, ya.” Rachel meneguknya cukup banyak. “Maaf, apa aku mengganggu tidurmu?” Nathan tidak langsung menjawab. Pria itu menatap istrinya dengan tatapan sendu. “Apa itu penting untuk ditanyakan?” tanya Nathan dan Rachel hanya diam di sana. “Aku tidak tahu harus bertanya bagaimana padamu. Kamu kenapa atau apa yang terjadi padamu.” Nathan menatap Rachel dengan sorot mata hangat penuh kesedihan. “Aku hanya ingin melihatmu bahagia, Hel.” “Aku kembali bermimpi buruk,” jawab Rachel. “Kamu nangis sesegukan loh, Hel. Kamu nangis sambil nyebut nama Mama. Apa kamu merindukan Mamamu?” tanya Nathan yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Rachel. “Mungkin aku butuh ketemu Dokter. Udah lama aku tidak mengunjungi Dokter,” ucap Rachel. “Kamu yakin tidak ada yang ingin kamu ceritain sama

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Lima

    Rachel masih menatap layar ponselnya yang berkedip di sana. Dia cukup ragu antara harus mengangkatnya atau tidak. Tetapi, hanya melihat namanya saja, sudah membuat jantung Rachel berdebar kencang dan kegelisahan langsung menyerangnya.Suara dering itu masih menggema di dalam kamar mandi yang hening. Layar ponsel berkedip, menampilkan nama yang sudah lama tidak muncul—Mama.Hanya satu kata, namun cukup untuk mengguncang dunia Rachel yang sedang berusaha ia tata kembali.Jari-jarinya gemetar. Ponsel itu nyaris terjatuh dari genggamannya. Nafasnya tercekat. Sekujur tubuhnya mendadak dingin, seperti disiram air es dari kepala hingga kaki.Kenapa sekarang? Setelah bertahun-tahun tanpa kabar, tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf…Rachel menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang pucat, mata yang masih sembab karena menangis, dan kini—dipenuhi kecemasan. Luka lama yang belum sepenuhnya sembuh, kini disayat lagi oleh satu panggilan tak terduga.Dering berhenti.Layar ponsel

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Empat

    “Sandra? Nathan bahkan tidak pernah menceritakan tentang rekan kerjanya padaku, termasuk sosok wanita yang terlihat akrab tadi. Sebanyak apa, yang tidak aku ketahui dalam kehidupan Nathan?” batin Rachel. Saat ini Nathan dan Rachel sedang ada di dalam mobil untuk kembali ke kediaman mereka. Nathan cukup bingung dengan sikap Rachel yang tidak berbicara sama sekali, dia lebih memilih diam menatap keluar jendela mobil. “Hel... “ panggil Nathan memegang tangan Rachel hingga membuat wanita itu terkejut. “Eh- kenapa?” tanya Rachel melihat ke arah Nathan. “Ada apa? sejak tadi aku perhatiin, kamu diam terus,” tanya pria itu yang sepertinya tidak merasa bersalah dan tidak ingin menjelaskan apa pun tentang sosok Sandra. Rachel tersenyum di sana, “tidak apa-apa, aku hanya lelah,” jawab Rachel dengan jawaban singkat. Tetapi, hal itu jelas tidak memuaskan Nathan. “Kamu beneran tidak apa-apa? atau ada yang mengusik pikiranmu? Tany

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status