Share

Chapter Delapan

Penulis: Kinan Larasati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-13 21:52:26

Rachel membuka matanya saat sinar matahari masuk ke celah jendela. Dia menolehkan kepalanya dan cukup terkejut kalau dia bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk dan rasa cemas yang biasa dia rasakan. Sudah beberapa minggu sejak Nathan pergi bertugas dan Rachel tinggal di rumah Tantenya, dia tidak tidur dengan nyenyak dan bahkan semalaman tidak bisa tidur. Tetapi, sekarang dia bisa tidur dengan lelap tanpa perasaan gelisah lagi.

          Wanita itu menyadari sesuatu yang sedang dia genggam dengan cukup kuat. Wanita itu menundukkan pandangannya dan langsung melihat genggaman tangan Nathan. Pria itu dengan setia menggenggam tangannya semalaman, bahkan dia tidur dengan posisi duduk di kursi yang ada di samping brankar dan menyandarkan kepalanya ke brankar.

          Tidak bisa dipungkiri, kalau Rachel terharu dengan apa yang dilakukan Nathan. Tetapi, rasa kecewa dan sakitnya terlalu dalam, sampai dia terus menepis perasaan itu. Rachel tidak mau berharap lagi pada Nathan karena sudah berkali-kali mendapat kekecewaan dari pria itu.

Rachel menarik napas pelan, menatap wajah Nathan yang tertidur di sampingnya. Wajah pria itu tampak lelah, kantung matanya terlihat jelas, dan nafasnya teratur dalam tidurnya. Jemarinya masih erat menggenggam tangannya, seolah tidak ingin melepaskan.

Untuk sesaat, hatinya terasa hangat.

Tapi kemudian, rasa sakit itu kembali menyeruak, mengingatkannya pada semua luka yang pernah ia rasakan.

Rachel menatap langit-langit kamar, pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang sama, Apakah Nathan benar-benar akan berubah?

Ia ingin percaya.

Tapi, bagaimana jika ini hanya sesaat? Bagaimana jika Nathan kembali mengutamakan pekerjaannya dan meninggalkannya lagi? Rasa trauma yang membuat Rachel tidak bisa mempercayainya, Dia ketakutan, takut rasa kesepian dan overthingking yang terus mengusiknya setiap saat. Dia takut kembali sesak napas saat sendirian, dia takut gerdnya kambuh dan tidak ada siapapun yang bisa membantunya.

Padahal, Rachel masih sangat mencintai suaminya. Tapi, keadaan tidak bisa membuat mereka tetap bersama.

Rachel menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi yang berkecamuk di dadanya. Matanya menelusuri wajah Nathan sekali lagi, pria yang dulu menjadi dunianya, tempatnya bersandar. Tapi sekarang, ia tidak yakin apakah ia masih bisa menggantungkan harapan pada pria yang sama.

Ia ingin mempercayai Nathan, ingin meyakini kata-katanya. Tapi luka di hatinya terlalu dalam. Rasa takut itu nyata, takut dikecewakan lagi, takut ditinggalkan lagi.

Rachel menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu, jika terus seperti ini, ia hanya akan menyakiti dirinya sendiri.

Dia harus membuat keputusan.

Tetap bertahan dan mencoba percaya lagi? Atau menyerah sebelum kembali terluka?

Rachel tidak sadar, jemarinya sedikit bergerak, mencoba melepaskan genggaman tangan Nathan. Namun, saat ia melakukannya, Nathan menggenggam lebih erat seolah sadar meski masih dalam tidurnya.

Rachel terdiam.

Hatinya berperang antara keinginan untuk tetap menjaga jarak atau memberi pria itu kesempatan sekali lagi.

          “Hel? Kamu sudah bangun?” tanya Nathan bangun dari posisinya sambil mengusap tengkuknya yang terasa sakit dan berat.

          “Ya,” jawab Rachel yang dengan cepat menarik tangannya dari genggaman Nathan.

          “Apa kamu butuh sesuatu? Mau minum atau sarapan buah, kamu biasa sarapan buah atau sayur, kan?” tanya Nathan.

Rachel menghela napas pelan, menatap Nathan sekilas sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

"Aku tidak butuh apa-apa," jawabnya datar.

Nathan mengusap tengkuknya lagi, merasa canggung dengan jarak yang masih terasa begitu nyata di antara mereka. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin meyakinkan Rachel bahwa kali ini ia benar-benar akan berubah. Tapi ia tahu, kata-kata saja tidak akan cukup.

"Aku tahu aku banyak salah," ujar Nathan akhirnya. "Tapi aku ingin memperbaikinya, Hel. Aku ingin jadi seseorang yang bisa kamu andalkan."

Rachel tetap diam. Hatinya masih berdebat, masih menimbang-nimbang.

"Setidaknya, biarkan aku merawatmu sampai kamu benar-benar sehat," lanjut Nathan, suaranya lebih lembut. "Setelah itu, jika kamu masih ingin aku pergi, aku akan menurut."

Rachel menoleh, menatap Nathan dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Kamu serius?" tanyanya akhirnya.

Nathan mengangguk, matanya tidak lepas dari Rachel. "Setelah kamu keluar dari rumah sakit. Kita akan bicara dan semua keputusan, ada di tanganmu,” ucap Nathan menatap Rachel dengan tatapan berkaca-kaca.

Untuk pertama kalinya, Rachel melihat kesungguhan itu di mata Nathan. Tapi apakah itu cukup?

          Entah kenapa, hatinya ikut sakit mendengar dan melihat sorot mata Nathan. Rachel segera menundukkan kepalanya untuk bisa mengendalikan perasaannya sendiri.

          “Aku akan ambilkan air hangat untukmu dan mengupas buah, tunggu sebentar,” ucapnya.

Nathan bangkit dari kursinya, berjalan menuju meja kecil di sudut ruangan untuk menuangkan air hangat ke dalam gelas. Rachel masih duduk di ranjangnya, menatap kosong ke arah selimut yang menutupi kakinya. Hatinya berdebar tidak karuan, bukan karena sakit, tapi karena perasaan yang selama ini ia coba abaikan.

Nathan kembali dengan segelas air hangat dan sepiring buah yang telah dikupas. Ia meletakkan semuanya di meja kecil di samping tempat tidur Rachel, lalu duduk kembali di kursinya.

"Minumlah, ini akan membuatmu merasa lebih baik," ujarnya pelan.

Rachel mengambil gelas itu tanpa banyak bicara. Ia menyesap air hangat tersebut perlahan, mencoba menenangkan pikirannya.

Nathan mengamati Rachel dalam diam. Wanita itu tampak rapuh, lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya sebelum berangkat bertugas. Nathan ingin melakukan sesuatu, ingin menghapus semua rasa sakit yang ia sebabkan. Tapi ia tahu, tidak ada cara instan untuk itu.

"Hel," panggil Nathan lembut.

Rachel tidak langsung menjawab, tapi akhirnya menoleh.

"Apa?" tanyanya singkat.

Nathan terdiam beberapa saat, ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Um... bukan apa-apa. Kita bahas nanti saja. Sebaiknya sekarang kamu sarapan buah. Um... apa lambungmu masih terasa sakit atau mual?” tanya Nathan khawatir.

Rachel menatap Nathan beberapa detik sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Tidak terlalu," jawabnya singkat.

Nathan mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi kegelisahan. Ia tahu Rachel sedang menjaga jarak, dan meskipun itu menyakitkan, ia tidak bisa menyalahkannya. Semua ini adalah akibat dari keputusannya sendiri di masa lalu.

Rachel mengambil potongan apel dari piring dan menggigitnya pelan. Rasanya manis, tapi entah kenapa terasa hambar di mulutnya. Bukan karena buahnya, tapi karena pikirannya yang penuh dengan berbagai emosi yang bertabrakan.

Nathan memperhatikan setiap gerakannya, memastikan bahwa Rachel benar-benar makan. "Kalau merasa tidak enak badan, bilang saja. Aku bisa minta dokter untuk—"

"Aku baik-baik saja," potong Rachel, suaranya terdengar datar namun tegas.

Nathan menutup mulutnya, memilih untuk tidak membantah. Ia hanya ingin memastikan Rachel nyaman, tapi ia juga tidak ingin membuatnya semakin tertekan.

Rachel menatap pria itu sekilas. Ada yang berbeda, kali ini Nathan tidak banyak berbicara, tidak menuntut apa pun dan tidak juga memaksa Rachel. Entah apa yang terjadi dengan pria itu, Rachel ingin mengabaikannya, tapi itu cukup mengganggu pikirannya.

Rachel meletakkan garpu yang dipegangnya, lalu menarik napas pelan. "Nathan..." panggilnya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.

Nathan langsung menoleh, matanya penuh harapan. "Ya?"

Rachel menggigit bibirnya sejenak, lalu menatap Nathan dengan serius. "Kalau aku memilih untuk tidak kembali... kamu benar-benar akan pergi?" tanyanya pelan.

Nathan terdiam. Pertanyaan itu seperti pukulan telak di dadanya. Tapi setelah beberapa detik, ia menarik napas dalam dan mengangguk pelan.

"Ya," jawabnya dengan suara berat. "Aku akan menepati janjiku. Jika itu yang kamu inginkan, aku akan pergi. Tapi, setelah kita bicara."

Rachel menatapnya lama. Entah kenapa, jawaban itu justru membuat dadanya terasa sesak.

“Bicara apa? apa yang mau kamu bicarakan denganku?” tanya Rachel. “Kenapa kamu tidak mengatakannya sekarang saja?”

“Sekarang, aku ingin merawatmu dan memastikan kamu baik-baik saja. Jadi, kita bicara lagi setelah kamu keluar dari rumah sakit,” ucapnya.

Rachel masih diam di sana sebelum akhirnya menjawab dengan anggukan kepala. “Baiklah,” jawab Rachel.

Saat itu, pihak rumah sakit datang mengantar sarapan dan Nathan mengambilkannya.

“Kebetulan sudah datang. Sarapan dulu, ya,” ucap Nathan. “Biar aku suapin.”

“Aku bisa sendiri, Nathan,” tolak Rachel.

“Aku masih suami kamu, Hel. Jadi, biarkan aku yang melakukannya. Aku ingin menyuapimu,” ujar Nathan tak terbantahkan dan akhirnya Rachel hanya diam saja tanpa ada penolakan lagi.

Nathan mengambil sendok, menyendokkan bubur hangat ke dalamnya, lalu meniupnya perlahan sebelum menyodorkannya ke mulut Rachel.

Rachel menatapnya sejenak, ada keraguan di hatinya, tapi ia tetap membuka mulut dan menerima suapan pertama. Rasanya tidak terlalu buruk, tapi bukan karena buburnya. Ada perasaan hangat yang muncul di dadanya melihat perhatian Nathan kali ini. Dan tidak bisa dipungkiri, kalau momen seperti ini sangat dirindukan oleh Rachel selama ini.

Nathan tersenyum kecil, melanjutkan menyuapinya dengan sabar. “Pelan-pelan saja. Jangan sampai tersedak,” ujarnya lembut.

Rachel hanya mengangguk kecil.

Kehangatan ini terasa asing baginya, berbeda dari sebelumnya. Nathan yang dulu tidak seperti ini. Ia sering mengutamakan pekerjaannya, sering menghilang dan tidak ada saat Rachel membutuhkannya. Tapi yang sekarang, Nathan ada di sini, menatapnya penuh perhatian, memperlakukannya seakan dirinya adalah hal yang paling berharga di dunia.

Mungkinkah Nathan benar-benar berubah?

Rachel menepis pikirannya sendiri. Tidak. Ia tidak bisa begitu saja percaya lagi. Ia harus tetap berhati-hati.

Tapi, entah mengapa, setiap suapan yang Nathan berikan, perlahan meruntuhkan tembok yang sudah ia bangun selama ini.

          “Enak?” tanya Nathan.

          “Lumayan,” jawab Rachel.

          Nathan tersenyum di sana dan tiba-tiba saja mengusap lembut kepala Rachel membuat wanita itu terkejut.

          “Jangan sampai sakit lagi. Cepatlah sehat. Kamu tahu, melihatmu sakit, hatiku rasanya seperti sedang dicabik-cabik,” ucap Nathan menahan rasa sesak di dadanya. Dia terus teringat rekaman cctv bagaimana Rachel merasa hancur dan harus berjuang seorang diri melawan rasa sakitnya.

          “Jangan sakit, Hel. Aku akan berikan semua yang kamu inginkan, asalkan kamu tidak sakit,” ucap Nathan dengan sorot mata memerah menahan tangisnya.

          Rachel cukup bingung dengan perkataan dan sorot mata Nathan. Padahal Rachel hanya sakit anemia dan asam lambung naik saat ini. Tapi, respon Nathan seakan mengetahui kondisi Rachel yang lain.

Rachel mengerutkan keningnya, menatap Nathan dengan bingung. "Nathan... kenapa kamu bilang begitu?" tanyanya pelan.

Nathan terdiam sejenak, menyadari bahwa dirinya hampir kehilangan kendali atas emosinya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Karena aku nggak mau kamu merasa sendirian lagi," jawabnya akhirnya. "Aku tahu aku pernah gagal, pernah mengecewakanmu... dan aku nggak bisa memutar balik waktu. Tapi yang bisa kulakukan sekarang adalah memastikan kamu nggak perlu melalui semua ini sendirian lagi."

Rachel masih menatap Nathan dengan sorot mata penuh keraguan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada sesuatu yang mulai melembut, sesuatu yang selama ini ia coba abaikan.

"Jangan berpikir terlalu banyak, Hel," lanjut Nathan dengan suara lebih lembut. "Yang penting sekarang, kamu fokus sembuh dulu, ya?"

Rachel menunduk, menggigit bibirnya sendiri. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan. Ada banyak hal yang ingin ia pastikan. Tapi untuk saat ini, mungkin Nathan benar—ia harus sembuh dulu.

"Baiklah," ucap Rachel akhirnya.

Nathan tersenyum kecil dan kembali menyuapinya. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah tetap di sini, merawat Rachel, dan berharap bahwa suatu hari, Rachel akan memberinya kesempatan sekali lagi padanya.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (8)
goodnovel comment avatar
Lili Lili
sangat pantas kalau Rahel ragu dg sikap Natan
goodnovel comment avatar
Kasma yani
Semoga Rahel dan Natan tidak jadi bercerai dan semoga mereka mendapatkan jalan keluarnya dan Rahel bisa memberikan kesempatan pada Natan untuk membuktikan bahwa dirinya mau berubah
goodnovel comment avatar
Reny Yunita
ayo Nathan semngat lagi dong lebih banyak lagi ksih perhatian ke Rachel agar Rachel percaya klw Lo bner serius ingin memperbaiki hubungan rumah tangga Lo Nathan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Sembilan

    Nathan terpaku melihat hasil laporan yang baru saja diberikan oleh dokter Maya. Kertas itu terasa berat di tangannya, seolah angka-angka yang tertera di sana mampu mengguncang seluruh isi dadanya.Depresi: 40 – Sangat BeratKecemasan: 39 – Sangat BeratStres: 32 – BeratLidahnya kelu. Matanya membaca ulang angka-angka itu, berharap ada kesalahan cetak, berharap bahwa semua ini tidak benar. Tapi kenyataan menamparnya telak. Istrinya… perempuan yang selama ini ia peluk setiap malam, yang ia yakinkan akan baik-baik saja, ternyata menyimpan luka yang begitu dalam, jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan.“Apa... ini sudah lama, Dok?” tanyanya dengan suara nyaris tak terdengar, nyaris berbisik.Dokter Maya mengangguk pelan, menatap Nathan dengan penuh empati. “Rachel sudah mengalami gangguan ini sejak lama, mungkin sejak awal trauma itu terjadi. Tapi seperti yang tadi dia ceritakan, semuanya memburuk lagi sejak pelaku dibebaskan. Itu menjadi pemicu utama yang mengguncang kestabilan emosiny

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Delapan

    Langit tampak mendung saat mobil hitam milik Nathan melaju perlahan memasuki area parkir rumah sakit. Rachel duduk di sampingnya dengan wajah muram, kedua tangannya bertaut di atas pangkuan. Meski tubuhnya tampak tenang, dalam hati ia merasa bergemuruh. Hari ini adalah hari di mana ia akan kembali bertemu dengan seorang dokter spesialis kejiwaan.Nathan melirik sekilas ke arah istrinya sebelum mematikan mesin mobil. “Kita sudah sampai, Sayang,” ucapnya lembut, tangan kirinya terulur menyentuh punggung tangan Rachel, memberikan kekuatan dalam diam.“Ya...”“Kamu baik-baik saja?” tanya Nathan memastikan Rachel tidak tertekan.Rachel menoleh ke arah suaminya dengan senyuman kecilnya. “Ya, aku baik-baik saja.”“Syukurlah. Tenang saja, aku akan terus mendampingimu,” ujar Nathan dengan lembut.Rachel mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu mobil dan menjejakkan kaki di pelataran rumah sakit.Langkah mereka perlahan menyusuri koridor demi koridor, diiringi aroma khas

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Tujuh

    “Pagi, Sayang.” Nathan menyapa Rachel dengan senyum lebar dan merekah. Rachel tersenyum manis di sana. Pria itu sedang berdiri di area dapur dengan celemek terpasang di tubuhnya. Cukup lama Rachel memandangi suaminya itu yang menyambutnya dengan senyuman hangat di sana. Wanita itu berjalan perlahan mendekati Nathan. Saat Rachel sudah berdiri di hadapannya, Nathan menyentuh rambut Rachel. “Masih basah? Kamu tidak mengeringkannya?” tanya Nathan. Bukannya menjawab, Rachel malah memeluk tubuh Nathan, menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya dengan Nathan. “Kenapa?” tanya Nathan. Sekali lagi Rachel tidak menjawab, wanita itu semakin erat memeluk Nathan. Dan hal yang membuat Nathan yakin ada yang tidak beres adalah cara Rachel meremas ujung kaos milik Nathan. Wanita itu seperti sedang gelisah, walau Nathan sendiri tidak tahu apa yang membuatnya segelisah itu. Nathan mengusap lembut kepala belakang dan pung

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Enam

    “Minum dulu.” Nathan menyodorkan gelas berisi air mineral pada Rachel yang sudah mulai tenang bersandar di kepala ranjang. “Makasih, ya.” Rachel meneguknya cukup banyak. “Maaf, apa aku mengganggu tidurmu?” Nathan tidak langsung menjawab. Pria itu menatap istrinya dengan tatapan sendu. “Apa itu penting untuk ditanyakan?” tanya Nathan dan Rachel hanya diam di sana. “Aku tidak tahu harus bertanya bagaimana padamu. Kamu kenapa atau apa yang terjadi padamu.” Nathan menatap Rachel dengan sorot mata hangat penuh kesedihan. “Aku hanya ingin melihatmu bahagia, Hel.” “Aku kembali bermimpi buruk,” jawab Rachel. “Kamu nangis sesegukan loh, Hel. Kamu nangis sambil nyebut nama Mama. Apa kamu merindukan Mamamu?” tanya Nathan yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Rachel. “Mungkin aku butuh ketemu Dokter. Udah lama aku tidak mengunjungi Dokter,” ucap Rachel. “Kamu yakin tidak ada yang ingin kamu ceritain sama

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Lima

    Rachel masih menatap layar ponselnya yang berkedip di sana. Dia cukup ragu antara harus mengangkatnya atau tidak. Tetapi, hanya melihat namanya saja, sudah membuat jantung Rachel berdebar kencang dan kegelisahan langsung menyerangnya.Suara dering itu masih menggema di dalam kamar mandi yang hening. Layar ponsel berkedip, menampilkan nama yang sudah lama tidak muncul—Mama.Hanya satu kata, namun cukup untuk mengguncang dunia Rachel yang sedang berusaha ia tata kembali.Jari-jarinya gemetar. Ponsel itu nyaris terjatuh dari genggamannya. Nafasnya tercekat. Sekujur tubuhnya mendadak dingin, seperti disiram air es dari kepala hingga kaki.Kenapa sekarang? Setelah bertahun-tahun tanpa kabar, tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf…Rachel menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang pucat, mata yang masih sembab karena menangis, dan kini—dipenuhi kecemasan. Luka lama yang belum sepenuhnya sembuh, kini disayat lagi oleh satu panggilan tak terduga.Dering berhenti.Layar ponsel

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Empat

    “Sandra? Nathan bahkan tidak pernah menceritakan tentang rekan kerjanya padaku, termasuk sosok wanita yang terlihat akrab tadi. Sebanyak apa, yang tidak aku ketahui dalam kehidupan Nathan?” batin Rachel. Saat ini Nathan dan Rachel sedang ada di dalam mobil untuk kembali ke kediaman mereka. Nathan cukup bingung dengan sikap Rachel yang tidak berbicara sama sekali, dia lebih memilih diam menatap keluar jendela mobil. “Hel... “ panggil Nathan memegang tangan Rachel hingga membuat wanita itu terkejut. “Eh- kenapa?” tanya Rachel melihat ke arah Nathan. “Ada apa? sejak tadi aku perhatiin, kamu diam terus,” tanya pria itu yang sepertinya tidak merasa bersalah dan tidak ingin menjelaskan apa pun tentang sosok Sandra. Rachel tersenyum di sana, “tidak apa-apa, aku hanya lelah,” jawab Rachel dengan jawaban singkat. Tetapi, hal itu jelas tidak memuaskan Nathan. “Kamu beneran tidak apa-apa? atau ada yang mengusik pikiranmu? Tany

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status