Share

Chapter Dua

last update Last Updated: 2025-02-23 21:58:46

Nathan memasukkan kode ke layar sentuh di pintu rumahnya. Dengan bunyi klik halus, kunci otomatis terbuka, dan dia mendorong pintu cukup lebar untuk masuk sambil menarik koper kecilnya.

Begitu melangkah ke dalam, udara dingin langsung menyergapnya. Rumah besar itu terasa hampa, sepi, dan menyesakkan. Tidak ada suara langkah ringan Rachel, tidak ada aroma teh favoritnya yang biasa menyambutnya setiap pulang.

Dia menarik napas dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai merayapi dadanya. Langkah kakinya menggema di lantai marmer saat ia berjalan menuju ruang tamu. Sepasang sepatu hak tinggi yang dulu sering berserakan di dekat sofa sudah tidak ada. Bantal favorit Rachel yang biasa ia peluk saat menonton film juga menghilang.

Nathan menghela napas, melemparkan jas pilotnya ke sandaran kursi dan menjatuhkan diri ke sofa. Dia menatap langit-langit untuk beberapa saat, membiarkan pikirannya berkelana.

Rachel benar-benar pergi.

Matanya melirik meja di sudut ruangan. Sebuah pot kecil berisi bunga lavender masih berdiri di sana, satu-satunya jejak yang tersisa dari kehadiran Rachel.

Tangannya terulur, menyentuh kelopak bunga yang mulai layu. Dia ingat betul bagaimana Rachel selalu mengganti bunga itu setiap minggu. Sekarang, tanpa Rachel, bunga-bunga itu mulai kehilangan nyawanya, sama seperti rumah ini.

“Sejak kapan, dia keluar dari rumah ini?” gumam Nathan menatap sendu bunga lavender yang mulai layu. 

Nathan kembali mengamati amplop di tangannya, dia mengeluarkan kertas. Jelas tertera di sana, surat gugatan cerai Rachel padanya. 

Nathan menatap lembaran kertas di tangannya, dadanya terasa semakin sesak. Tulisan tangan Rachel yang rapi memenuhi halaman pertama, dan di bagian atasnya, jelas tertulis dua kata yang membuat perutnya terasa seperti diaduk, Gugatan Cerai.

Matanya menyusuri tiap kata di surat itu, tapi pikirannya melayang ke kenangan mereka. Malam-malam ketika Rachel tertidur di sofa sambil menunggu kepulangannya. Percakapan-percakapan yang selalu ditunda karena kelelahan. Tatapan kecewa Rachel yang selalu ia abaikan dengan dalih Aku akan menebusnya nanti.

Tapi sekarang, tidak ada nanti.

Nathan menghela napas panjang, menyandarkan kepalanya ke sofa. “Rachel…” bisiknya, seolah berharap suara itu bisa memanggilnya kembali.

“Haruskah seperti ini?” gumamnya dengan suara lirih. 

***

“Kamu gak pulang?” tanya Laela, adik dari ibunya Rachel. 

“Tidak, aku nginap lagi di sini, gak apa-apa kan, Tante?” tanya Rachel. 

“Ya gak apa-apa, Tante ya seneng aja kamu di sini nemenin Tante. Toh, anak-anak Tante pada sibuk semua,” ujar Laela di sana. 

Rachel tersenyum kecil pada Laela. Wanita itu termenung dengan menatap kosong ke arah kucing yang sedang bermain di depannya. 

Laela yang memperhatikan Rachel, menghela napasnya sambil bertanya. “Dia sudah kembali, kan?” 

“Ya. Aku juga sudah memberikan surat gugatan cerai itu. Sekarang hanya tinggal tunggu jadwal persidangan,” jawab Rachel. 

“Tante tanya sekali lagi. Kamu serius mau bercerai dengan Nathan? Bukannya kalian masih saling mencintai?” tanya Laela. 

Rachel menundukkan kepala, mengusap jemarinya sendiri seolah mencari ketenangan di sana. Laela menatapnya lekat-lekat, mencari jawaban yang mungkin masih disembunyikan keponakannya.

"Cinta saja tidak cukup, Tante," jawab Rachel akhirnya, suaranya lirih tapi tegas. "Aku sudah terlalu lama merasa sendirian dalam pernikahan ini. Dia yang fokus dengan hal yang dia sukai, sedangkan aku disini menunggu tanpa kepastian dan kesepian,” jawab Rachel terlihat berkaca-kaca di sana. 

Laela menghela napas, duduk di samping Rachel dan menggenggam tangannya. "Tapi, Rachel... apakah Nathan tahu seberapa dalam luka yang kamu rasakan? Atau dia hanya menganggap ini sebagai keputusan mendadak?"

Rachel menggeleng pelan. "Aku sudah memberi Nathan banyak kesempatan, Tante. Aku sudah berbicara, sudah menunggu, sudah berharap. Tapi dia tetap sama, lebih memilih pekerjaan dibanding aku."

Kucing di depan mereka berguling malas, seolah tak peduli dengan percakapan berat yang terjadi di antara dua perempuan itu.

"Tapi kamu masih mencintainya," kata Laela, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan.

Rachel tersenyum pahit. "Mungkin, tapi apa gunanya mencintai seseorang yang selalu pergi? Aku butuh dia ada disisiku, aku juga ingin anak, tapi dia hanya fokus dengan pekerjaannya. Dan aku semakin merasa diabaikan dan kesepian,” ucap Rachel. 

Laela tak langsung membalas. Hanya angin malam yang masuk melalui jendela, membawa aroma hujan yang masih tersisa di udara.

"Kalau begitu, kamu harus siap menerima apa pun yang terjadi setelah ini," ujar Laela akhirnya. "Jangan sampai ada penyesalan, Rachel."

Rachel mengangguk pelan. "Aku hanya ingin mengakhiri ini sebelum aku membenci Nathan."

Laela tak bisa membantah. Dia hanya bisa meremas tangan Rachel sedikit lebih erat, berharap keponakannya cukup kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

“Apa tidak sebaiknya kalian bicara dulu, Hel? Jangan ambil keputusan sendiri, Tante malah makin khawatir melihat kondisimu juga,” ujar Laela menghela napasnya. “Apa Nathan tau kondisimu sekarang?”

Rachel menggelengkan kepalanya. “Dia gak pernah peduli padaku, Tante. Yang dia pedulikan hanya pekerjaan, dan memberiku uang yang banyak. Hal lain yang aku butuhkan, tidak dia berikan. Aku sadar, aku egois. Tapi, aku hanya ingin merasakan adanya sosok suami di sisiku yang bisa memperhatikan dan mengayomiku setiap saat,” ujar Rachel. 

Laela menatap Rachel dengan sorot mata lembut namun penuh pertimbangan. “Hel, ingin diperhatikan oleh pasangan itu bukan egois. Itu wajar,” katanya pelan.

Rachel menunduk, memainkan ujung lengan bajunya dengan gelisah. “Tapi aku juga tidak bisa memaksa Nathan untuk berubah kalau dia sendiri tidak sadar apa yang hilang.”

Laela menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Lalu, kalau kamu benar-benar mengakhiri ini, apa kamu sudah siap dengan semua konsekuensinya?”

Rachel terdiam. Ia sudah memikirkan ini berulang kali, tetapi pertanyaan itu tetap membuat hatinya bergetar.

“Aku hanya ingin menemukan kembali diriku sendiri, Tante,” jawab Rachel akhirnya. “Aku lelah menjadi istri yang tidak dijadikan rumah, melainkan hanya persinggahan sementara. Aku lelah berbicara dengan dinding yang tak pernah benar-benar mendengarku.”

Laela menggenggam tangan Rachel, memberikan kehangatan yang tak bisa ia dapatkan dari suaminya sendiri.

“Kalau begitu, pastikan kamu kuat, Hel,” ucap Laela. “Dan kalaupun kamu memutuskan pergi, jangan pergi dalam keadaan marah atau benci. Pergilah dengan hati yang damai.”

Rachel mengangguk pelan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia bertanya-tanya, apakah perpisahan benar-benar satu-satunya jalan?

*** 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Lili Lili
apapun keputusan kamu yg terbaik Rachel
goodnovel comment avatar
Lily
apapun keputusan kamu yg terbaik Rachel kamu yang merasakan selama ini
goodnovel comment avatar
Yanti Wijaya
Kalian masih saling mencintai tp tak saling mengerti.Nathan baru terasakan hampa drmh sendiri.Rachel dh berusaha ngasih kesempatan dan ingin bicara namun waktu mu terlalu sibuk untuk bekerja,nampaknya lebih sayang pekerjaan dari pd jd suami yg baik.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Sembilan

    Nathan terpaku melihat hasil laporan yang baru saja diberikan oleh dokter Maya. Kertas itu terasa berat di tangannya, seolah angka-angka yang tertera di sana mampu mengguncang seluruh isi dadanya.Depresi: 40 – Sangat BeratKecemasan: 39 – Sangat BeratStres: 32 – BeratLidahnya kelu. Matanya membaca ulang angka-angka itu, berharap ada kesalahan cetak, berharap bahwa semua ini tidak benar. Tapi kenyataan menamparnya telak. Istrinya… perempuan yang selama ini ia peluk setiap malam, yang ia yakinkan akan baik-baik saja, ternyata menyimpan luka yang begitu dalam, jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan.“Apa... ini sudah lama, Dok?” tanyanya dengan suara nyaris tak terdengar, nyaris berbisik.Dokter Maya mengangguk pelan, menatap Nathan dengan penuh empati. “Rachel sudah mengalami gangguan ini sejak lama, mungkin sejak awal trauma itu terjadi. Tapi seperti yang tadi dia ceritakan, semuanya memburuk lagi sejak pelaku dibebaskan. Itu menjadi pemicu utama yang mengguncang kestabilan emosiny

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Delapan

    Langit tampak mendung saat mobil hitam milik Nathan melaju perlahan memasuki area parkir rumah sakit. Rachel duduk di sampingnya dengan wajah muram, kedua tangannya bertaut di atas pangkuan. Meski tubuhnya tampak tenang, dalam hati ia merasa bergemuruh. Hari ini adalah hari di mana ia akan kembali bertemu dengan seorang dokter spesialis kejiwaan.Nathan melirik sekilas ke arah istrinya sebelum mematikan mesin mobil. “Kita sudah sampai, Sayang,” ucapnya lembut, tangan kirinya terulur menyentuh punggung tangan Rachel, memberikan kekuatan dalam diam.“Ya...”“Kamu baik-baik saja?” tanya Nathan memastikan Rachel tidak tertekan.Rachel menoleh ke arah suaminya dengan senyuman kecilnya. “Ya, aku baik-baik saja.”“Syukurlah. Tenang saja, aku akan terus mendampingimu,” ujar Nathan dengan lembut.Rachel mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu mobil dan menjejakkan kaki di pelataran rumah sakit.Langkah mereka perlahan menyusuri koridor demi koridor, diiringi aroma khas

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Tujuh

    “Pagi, Sayang.” Nathan menyapa Rachel dengan senyum lebar dan merekah. Rachel tersenyum manis di sana. Pria itu sedang berdiri di area dapur dengan celemek terpasang di tubuhnya. Cukup lama Rachel memandangi suaminya itu yang menyambutnya dengan senyuman hangat di sana. Wanita itu berjalan perlahan mendekati Nathan. Saat Rachel sudah berdiri di hadapannya, Nathan menyentuh rambut Rachel. “Masih basah? Kamu tidak mengeringkannya?” tanya Nathan. Bukannya menjawab, Rachel malah memeluk tubuh Nathan, menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya dengan Nathan. “Kenapa?” tanya Nathan. Sekali lagi Rachel tidak menjawab, wanita itu semakin erat memeluk Nathan. Dan hal yang membuat Nathan yakin ada yang tidak beres adalah cara Rachel meremas ujung kaos milik Nathan. Wanita itu seperti sedang gelisah, walau Nathan sendiri tidak tahu apa yang membuatnya segelisah itu. Nathan mengusap lembut kepala belakang dan pung

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Enam

    “Minum dulu.” Nathan menyodorkan gelas berisi air mineral pada Rachel yang sudah mulai tenang bersandar di kepala ranjang. “Makasih, ya.” Rachel meneguknya cukup banyak. “Maaf, apa aku mengganggu tidurmu?” Nathan tidak langsung menjawab. Pria itu menatap istrinya dengan tatapan sendu. “Apa itu penting untuk ditanyakan?” tanya Nathan dan Rachel hanya diam di sana. “Aku tidak tahu harus bertanya bagaimana padamu. Kamu kenapa atau apa yang terjadi padamu.” Nathan menatap Rachel dengan sorot mata hangat penuh kesedihan. “Aku hanya ingin melihatmu bahagia, Hel.” “Aku kembali bermimpi buruk,” jawab Rachel. “Kamu nangis sesegukan loh, Hel. Kamu nangis sambil nyebut nama Mama. Apa kamu merindukan Mamamu?” tanya Nathan yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Rachel. “Mungkin aku butuh ketemu Dokter. Udah lama aku tidak mengunjungi Dokter,” ucap Rachel. “Kamu yakin tidak ada yang ingin kamu ceritain sama

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Lima

    Rachel masih menatap layar ponselnya yang berkedip di sana. Dia cukup ragu antara harus mengangkatnya atau tidak. Tetapi, hanya melihat namanya saja, sudah membuat jantung Rachel berdebar kencang dan kegelisahan langsung menyerangnya.Suara dering itu masih menggema di dalam kamar mandi yang hening. Layar ponsel berkedip, menampilkan nama yang sudah lama tidak muncul—Mama.Hanya satu kata, namun cukup untuk mengguncang dunia Rachel yang sedang berusaha ia tata kembali.Jari-jarinya gemetar. Ponsel itu nyaris terjatuh dari genggamannya. Nafasnya tercekat. Sekujur tubuhnya mendadak dingin, seperti disiram air es dari kepala hingga kaki.Kenapa sekarang? Setelah bertahun-tahun tanpa kabar, tanpa penjelasan, tanpa permintaan maaf…Rachel menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang pucat, mata yang masih sembab karena menangis, dan kini—dipenuhi kecemasan. Luka lama yang belum sepenuhnya sembuh, kini disayat lagi oleh satu panggilan tak terduga.Dering berhenti.Layar ponsel

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Empat

    “Sandra? Nathan bahkan tidak pernah menceritakan tentang rekan kerjanya padaku, termasuk sosok wanita yang terlihat akrab tadi. Sebanyak apa, yang tidak aku ketahui dalam kehidupan Nathan?” batin Rachel. Saat ini Nathan dan Rachel sedang ada di dalam mobil untuk kembali ke kediaman mereka. Nathan cukup bingung dengan sikap Rachel yang tidak berbicara sama sekali, dia lebih memilih diam menatap keluar jendela mobil. “Hel... “ panggil Nathan memegang tangan Rachel hingga membuat wanita itu terkejut. “Eh- kenapa?” tanya Rachel melihat ke arah Nathan. “Ada apa? sejak tadi aku perhatiin, kamu diam terus,” tanya pria itu yang sepertinya tidak merasa bersalah dan tidak ingin menjelaskan apa pun tentang sosok Sandra. Rachel tersenyum di sana, “tidak apa-apa, aku hanya lelah,” jawab Rachel dengan jawaban singkat. Tetapi, hal itu jelas tidak memuaskan Nathan. “Kamu beneran tidak apa-apa? atau ada yang mengusik pikiranmu? Tany

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status