Share

Dongeng Cinderella

Braakk ...

Diana terkejut begitu pintu dibuka dengan begitu kasar oleh Diaz. Ia baru saja selesai memasukkan pakaiannya di dalam koper kecil nan lusuh miliknya. Koper yang dulu ia bawa masuk ke kediaman Megantara dengan pakaian seadanya dan biasa saja sampai akhirnya kehidupan Diana berubah jadi bergelimang harta.

Diana yang dulunya hanya gadis sederhana dengan dandanan seadanya. Pakaian biasa dari barang yang bisa dikatakan entah bahkan versi ke berapa. Belum lagi tubuhnya yang polos tanpa hiasan perhiasan mahal, imitasi pun tak punya karena hidup Diana memang hanya cukup untuk makan sehari-hari dan membiayai kuliahnya yang tidak selesai karena lamaran dadakan dari keluarga Megantara.

Saat ijab kabul terucap, saat itu pula kehidupan Diana berubah, dari yang sederhana menjadi mewah dan elegan. Dari yang tidak punya perhiasan kini setiap saat selalu mendapat perhiasan terbaik dengan harga yang mahal. Entah datang dari suaminya, mertuanya atau dari klien suaminya yang memberikan hadiah.

Semua yang Diana pikir adalah keberuntungan ternyata hanyalah tipuan belaka. Ia dinikahi bukan untuk dicintai. Ia dulunya merasa begitu jumawa, gadis biasa sepertinya mendadak jadi Cinderella. Ya, ini adalah dongen Cinderella, hanya indah dalam khayalan saja karena dongeng tetaplah dongeng yang tidak akan pernah menjadi kenyataan.

"Di, nggak gini," ucap Diaz mencoba menarik koper milik Diana.

Mata Diaz tak sengaja melirik ke arah meja rias dimana di atas meja tersebut terdapat beberapa kartu yang ia pernah berikan pada Diana. Black card, kartu kredit, ATM darinya dan juga ATM untuk keperluan rumah yang diberikan mertuanya yang digunakan untuk belanja keperluan dan juga menggaji karyawan di rumah.

Diaz menatap Diana dengan sendu, istrinya bahkan melepaskan semuanya dan tidak membawa apapun selain koper jadul miliknya dan Diaz yakin benar di dalam lemari perhiasan Diana tidak mengambil apapun juga.

"Jangan halangi aku, Mas. Udah cukup kamu bohongi aku dan udah cukup selama lima tahun ini aku jadi istri yang kamu bodohi. Aku tahu kamu nggak cinta sama aku dan aku pun sadar aku bukan wanita sempurna karena aku tidak bisa memberikan kamu anak. Mari bercerai, Mas. Aku tidak akan menuntut apapun, aku hanya ingin lepas dari kamu," ucap Diana tanpa air mata. Ia sudah lelah menangis sepanjang jalan.

"Kita bicara dulu, Di. Semua nggak seperti yang kamu pikirkan. Nggak seperti itu Di," pinta Diaz, ia tidak bisa kehilangan wanita ini, baginya menikah hanya sekali walaupun dibelakang Diana ia sudah selingkuh berkali-kali.

Diana menatap Diaz tanpa ekspresi kemudian ia menggelengkan kepalanya. Ia sudah tidak mau lagi bicara dengan pria yang sudah membuatnya hancur dan berharap begitu tinggi. Diana menyesali dirinya yang begitu terbuai oleh lamaran yang datang dari keluarga Megantara dahulu. Ia merasa begitu beruntung karena dari sekian banyaknya wanita yang pernah keluar masuk kantor Megantara khususnya di ruangan Diaz, ia lah yang menjadi pemilik lelaki sempurna itu.

Tapi itu dulu, dulu sekali sampai akhirnya ia tahu ... oh tidak, bahkan Diana tidak tahu apa alasan Diaz menikahinya. Mendadak melamarnya dan memintanya menjadi pendamping hidup tanpa pendekatan selama ini. Bahkan Diaz sering lupa namanya dan tidak begitu memperhatikan anak magang dari kampus waktu itu.

Lantas mengapa Diaz menikahinya? Apakah karena balas Budi? Tentu Diana ikhlas menolong nyonya Megantara dulu tanpa berharap dibalas dengan menjadi menantu.

Bahkan jika bisa dan jika memang itu alasannya, mereka tidak perlu menjadikannya menantu, cukup jadikan ia pegawai tetap. Memikirkannya membuat Diana tersenyum kecut.

'Ya, aku memang dijadikan pegawai tetap. Menjadi istri ternyata adalah sebuah pekerjaan, bukan sebuah status. Aku yang terlalu naif menyangka diriku bisa menjelma menjadi Cinderella,' gumam Diana dalam hati.

"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Mas. Aku sudah mendengar semuanya dan memangnya apa yang ada dalam pikiranku? Apa yang saat ini sedang aku pikirkan? Mengapa kamu begitu ketakutan?"

Diaz terdiam mendengar ucapan Diana. Sudah berkali-kali Diana membuat mulutnya terbungkam hari ini, entah kemampuannya bersilat lidah yang sudah tidak berfungsi lagi atau memang di hadapan wanita ini ia sudah takluk. Tapi sejak kapan? Apakah sejak wanita ini meminta untuk diceraikan?

Diaz pun tidak tahu dan tidak menyadarinya, ia hanya tahu ia tidak ingin kehilangan sosok Diana yang begitu mampu mengimbangi dirinya dan juga mengurus kehidupannya dengan baik. Baginya hanya Diana yang sempurna untuk menjadi istrinya.

"Tapi Di ...."

"Lepaskan Mas. Setelah ini aku akan mengirim gugatan perceraian ke pengadilan dan aku harap kamu mau bekerja sama denganku agar jalan kita sama-sama mulus. Aku ingin bebas dari hubungan beracun ini dan kamu bisa bebas menikahi wanita mana saja yang kamu cintai. Oh ya, juga jangan lupa bertanggung jawab pada anak yang sedang dikandung wanita itu, mungkin saja memang benar aku bukanlah wanita yang tepat untukmu karena tidak bisa memberikan penerus bagi keluarga Megantara. Aku pamit Mas, jaga dirimu baik-baik."

Diaz terdiam melihat Diana melepas tangannya yang sedang menahan koper tersebut dan akhirnya berjalan keluar dari kamar mereka. Kamar yang menjadi saksi di mana Diaz pernah memadu kasih serta saksi ketulusan cinta sang istri untuknya.

'Apakah jika aku mengaku cinta padanya dia akan kembali? Tapi bisa aku lihat dari matanya, Diana begitu membenciku. Aku harus bagaimana? Aku juga tidak ingin kehilangannya sementara mengubah sifatku itu adalah hal yang mendekati mustahil! Aku harus bagaimana?'

Pintu kamar tertutup dan itu artinya Diana sudah keluar meninggalkannya. Diaz membuang egonya, ia harus bisa meraih hati istrinya kembali karena hanya Diana yang pantas menjadi menantu keluarga Megantara.

Namun langkah Diaz terhenti ketika ponselnya berdering. Ia merogoh saku jasnya dan melihat ID pemanggil adalah sang kakak. Diaz awalnya tidak mau menerima panggilan tersebut karena ia harus bisa mengejar sang istrinya yang hendak kabur dan menggugat cerai dirinya. Namun perasaan Diaz menjadi tidak tenang karena kakaknya ini menghubunginya sudah sejak tadi, hanya saja ia yang tidak menggubrisnya karena mengira itu adalah telepon dari perusahaan.

"Ya Kak, ada apa? Kenapa kakak sejak tadi menghubungiku? Aku sedang sibuk dan sekarang aku sama Diana lagi—"

Ponsel Diaz terjatuh di lantai begitu mendengar suara kakaknya dari seberang sana yang memotong ucapannya. Diaz terdiam sesaat kemudian ia dengan cepat berlari dan membuka pintu itu dengan sangat kasar. Ia harus bisa mengejar Diana sebelum istrinya itu pergi.

"Di tunggu!!" teriak Diaz ketika ia menemukan istrinya itu sudah membuka pintu taksi online yang sepertinya sudah ia pesan sejak tadi.

Diana memberikan Diaz waktu untuk bicara lebih dulu karena ia tahu tanpa izin suaminya sebenarnya ia berdosa meninggalkan rumah ini. Tetapi hati Diana sudah terlalu lelah dan tidak bisa lagi berada satu atap dengan suaminya yang sangat manipulatif.

"Di jangan pergi dulu," ujar Diaz sambil mengatur napasnya yang ngos-ngosan karena berlari mengejar Diana dari lantai dua kamar mereka sedangkan bangunan rumah begitu luas.

"Maaf Mas, tapi ini sudah menjadi keputusanku. Tolong hargai keputusanku, Mas. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik buat kamu. Aku min—"

"Di, papa meninggal!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status