Nampaknya Mas Haidar sempat menimbang waktu. Ia melirik arloji di pergelangan tangannya.
"Aku gak lama kok, Zara.""Emangnya bantu gendong Haura atau Hanum menghabiskan waktu berapa jam, Mas?" Tembakku, bertambah sebal padanya."Dalam dua puluh empat jam, apa kamu sempat menyisihkan waktu untuk mereka?""Jangan sampai Haura dan Hanum kehilangan sosok ayah dalam hidupnya!"Aku melayangkan teguran bertubi-tubi. Tak peduli dosa yang akan kudapatkan karena membentak suami, batin ini terlanjur gondok."Kalau begini jadinya, buat apa kamu jadi ayah, Mas? Gendong mereka aja, anti sekali!"Mas Haidar masih saja bergeming di tempat. Beberapa detik kemudian, akhirnya dia maju beberapa langkah. Mengambil Hanum yang semula berada dalam gendonganku sebelah kiri.Gerakannya mengikutiku. Saat kuayunkan Haura ke kanan dan kiri, Mas Haidar melakukan hal yang sama. Nampak sekali saat ia menggendong masih kaku. Bisa terhitung jari"Zara, kamu sedang apa? Masih lama? Aku mau berangkat, lho." Terdengar suara Mas Haidar di balik pintu kamar mandi yang tertutup rapat.Di dalam ruangan kecil luas satu meter ini, aku tengah duduk di atas kloset sembari memainkan gawai. Sekadar melihat postingan orang yang berlomba memamerkan kepunyaannya."Aku mulas, Mas. Sebentar lagi. Sakit ini juga," sahutku dari dalam, pura-pura mengaduh sekaligus menahan tawa.Kubiarkan ayah dari anak-anakku itu mengasuh Hanum dan Haura di kamar sendirian. Kalau menangis, itu urusannya. Aku cuma mau memberikan dia pelajaran.Saat tangis salah satu dari mereka terdengar, aku merasa menjadi ibu yang keterlaluan. Membiarkan mereka bersama seorang lelaki yang tak paham bagaimana caranya mengurus bayi. Namun, bukankah awalnya aku juga begitu? Karena sudah terbiasa dan memberanikan diri, akhirnya bisa."Zara, Haura pup," lapor Mas Haidar sedikit berteriak.Ya ampun! Aku kira menangis karena apa.
Belum selesai pekerjaan yang baru saja kusentuh beberapa menit lalu, kedua anakku menangis secara bersamaan. Tiba-tiba, aku merasa dongkol. Kenapa mereka selalu kompak dalam hal menangis? Tanganku cuma ada dua. Kalau bisa menawar, janganlah bersamaan terus seperti itu.Tergesa mencuci beras, kumasukkan beberapa sendok ke dalam dua botol susu berbeda. Mematikan air yang telah mendidih, dan menuangkannya ke dalam botol bercampur air dingin. Setelahnya, kunanak nasi ke dalam magic com.Kembali ke kamar dengan perasaan getir karena membiarkan Haura dan Hanum menangis terlalu lama. Saat kugendong Haura, tersadar bahwa celananya lengket dan basah. Aku menghela napas kasar. Baru saja dimandikan, dua bocah ini sudah mengotori diri mereka lagi. Ya, keduanya pup secara bersamaan. Kompak banget, kan?Kepalaku mulai pening mendengar tangis yang melengking. Terlebih, saat melihat tekstur kotoran kedua bayiku yang agak keras dan hanya keluar sedikit. Mereka mengejan dan
Setelah melakukan semua saran Mama, aku kembali memeluk kedua bayiku. Namun, tak ada perubahan pada keduanya. Seakan lupa bahwa akupun masih belum pulih, terus kutimbang sembari melantunkan lagu Nina Bobo seperti yang sering Mama lakukan dulu padaku.Sempat kuhubungi nomor Mas Haidar, tetapi malah tidak aktif. Mencoba menelepon Tio, lajang itu tak mengangkat telepon dariku. Kuurai keperihan lewat tangis tak berkesudahan. Bingung. Aku harus bagaimana? Bukan aku saja yang menderita, tetapi Haura dan Hanum merasakan hal sama.Pikiranku mulai melayang kembali. Sepertinya, aku memang benar-benar harus memberikan kedua bayiku ke panti asuhan atau kepada orang yang sudah siap menjadi calon ibu. Aku memang ibu yang tak berguna.Rasanya ingin menyerah saja. Haura dan Hanum seperti sedang berlomba untuk merusak gendang telingaku. Ingin sekali membawanya ke bidan, tapi apakah harus sendirian? Jalanku masih gontai, merayap seperti kura-kura. Perih sekali di kulitku, m
Diam. Aku hanya melamun memandangi jendela yang gordennya tersisih. Sepertinya, tubuhku sudah tak bertenaga untuk menggendong mereka."Zara! Kamu dengar Ibu gak, sih? Lihat, dong, anak kamu menjerit kayak gini kenapa cuek gitu?" Kali ini, nada bicara Ibu meninggi.Susah payah, kuangkat tubuh beranjak menuju kamar. Menuruti perintah Ibu untuk menggendong Hanum yang masih terbaring di atas kasur. Tangisnya menusuk telingaku. Pada saat itu juga, kesabaranku rasanya mau habis. Pada bayi kecil yang kini ada dalam gendonganku, ingin sekali kucubit pipi gempal itu agar diam. Tak bisakah ia berhenti?Gejolak emosi terus berperang dengan kasih yang tersemat dalam jiwa. Masa muda yang indah berseliweran dalam ingatan. Harusnya aku tak menikah dulu. Kalaupun menikah, harusnya aku menunda memiliki anak sampai aku dan Mas Haidar siap menjadi orang tua.Kutahan genangan yang entah keberapa kali menumpuk di pelupuk mata. Ingat, Zara. Ada Ibu di sini. J
Terpaksa, kuikuti keinginan Ibu yang tetap pada pendiriannya. Haura dan Hanum kami bawa ke rumah Mak Iroh menaiki taksi online yang sudah kupesan sebelumnya.Nenek dari bayiku itu bercerita betapa hebatnya dukun beranak dalam mengatasi masalah penyakit pada bayi. Entah untuk merayuku atau perkataannya memang benar."Kalau ada apa-apa, Ibu dulu selalu ke Mak Iroh. Waktu Haidar pernah jatuh dari kasur, Ibu langsung bawa ke Mak Iroh untuk dipijit. Untung saja langsung ditangani. Kalau gak, bisa saja Haidar ada kelainan di tulang bahunya."Tak kurespons penjabaran Ibu tentang keahlian dukun beranak lainnya. Aku hanya merasa zaman dulu dan sekarang sangat berbeda. Jika pilihan Ibu dan aku tak sama, harusnya ia terima. Bukan malah memaksa kehendaknya sendiri.Lima belas menit kami sampai di sebuah rumah tipe duduk jendela. Sebagian dindingnya tembok, sebelah lain triplek dan bilik berukir. Rumah yang bagus pada zamannya.Tak perlu menunggu lama
Sebelum pergi, Ibu menyelipkan sebuah amplop pada Mak Iroh. Entah diisi berapa, akan kutanyakan nanti di rumah dan kuganti uangnya. Setelah dirasa Hanum dan Haura membaik-menurut Ibu dan Mak Iroh-akhirnya kami pamit pulang.Puluhan nasihat Ibu lontarkan saat berada masih dalam mobil. Saat kudengar Ibu nyerocos, kata-katanya memang masuk telinga kananku, tetapi keluar lagi dari telinga kiri.Di saat seperti ini, aku tak membutuhkan nasihat. Aku hanya ingin ditemani dan diberi semangat. Setiap dengan Ibu, memang selalu diberi solusi. Walaupun pendapatnya harus dipenuhi, tak pernah menimbang bagaimana menurutku sebagai ibu Haura dan Hanum, setidaknya aku bisa sedikit bernapas lega. Walaupun batin dan pikiranku tersiksa karena sikap Ibu, tetapi ragaku bisa sedikit beristirahat karena ada yang menggendong salah satu bayiku.Satu hal yang membuatku kaget saat kami telah sampai rumah kembali, Ibu memberi saran yang membuatku naik darah."Makanya, kata Ib
Saat pintu terbuka, tradisi wanita antara kami terjadi. Jeni memelukku erat sekali. Perempuan itu paling dekat denganku semasa kerja. Disusul yang lain, mereka mengucapkan selamat dan cipika-cipiki.Kupersilakan mereka masuk ke dalam. Tampak seorang pria berdiri paling ujung, memandangku datar, lalu tertunduk. Saat pandangan kami beradu, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan."Haura dan Hanum sedang tidur. Kalian masuk ke kamar aja, ya. Tapi, jangan terlalu berisik, mereka baru saja terlelap," ujarku sembari merayap ke dalam.Karena langkahku sangat pelan, alhasil teman-teman mengikuti gerakku dari belakang. Jeni mendampingiku berjalan ke dalam."Wah, kamu tau aja kita suka berisik," timpal Nova, temanku paling ceriwis. Kami menahan tawa bersama. Langkah sudah masuk ke dalam kamar dan tampaklah dua malaikat kecilku tengah terpejam dengan wajah imutnya.Mereka seperti terpesona melihat wajah ayu kedua bayiku. Beberapa di ant
"Boro-boro ngurus diri, Nova. Yang ada setelah punya bayi, apalagi kembar waktu kita sebagai ibu akan tersita, lho. Gak ada waktu buat diri sendiri," bela Jeni, seperti bisa menangkap perasaan yang menimpa hatiku."Dari mana kamu tahu, Jeni? Kayak udah nikah aja," celah Nova. Meski tujuannya bercanda, tetapi ucapannya terkesan meremehkan."Yey, aku kan punya adik banyak. Tahu lah seluk-beluk gimana ribetnya jadi ibu. Makanya, sampai sekarang belum nikah. Ya, walaupun mau, tapi mentalku belum siap.""Gak laku kali. Ha ha ha."Pluk. Jeni melempar teman lelaki yang mencoba menjahilinya. Sejenak, tawa mereka membahana. Hal itu membuat Haura dan Hanum kaget hingga bangun.Meski perhatian telah beralih pada kedua bayiku, pikiranku masih saja berisi tentang ucapan Nova. Apa seburuk itu penampilanku? Apa aku terlihat seperti orang gila?Untung saja Jeni langsung membela. Dia paham bagaimana susahnya menjadi seorang ibu, meskipun belum me