"Lha, Mbak Zara gak pakai kemben, ya?" Bu Sarinah memandangku dengan dengan lekat.
Aku menghela napas. Dari pertama kedatanganku ke sini, beliau memang sering mengomentari apa yang kulakukan. Dari mulai makanan yang disantap, kebiasaan tidur pagi dan siang, masih di luar rumah saat waktu ashar tiba dan larangan-larangan lain yang selalu dihubungkan dengan hal mistis."Enggak, Bu. Pengap," jawabku santai."Nanti buncit lho perutnya," seru Bu Sarinah heboh sendiri."Mbak Zara, Ibu punya anak tujuh, tapi perut Ibu enggak tuh bergelambir kayak ibu-ibu zaman sekarang. Karena Ibu selalu pakai kemben abis lahiran." Bu Sarinah malah curhat tentang dirinya, aku serasa dipojokkan karena punya pilihan sendiri."Aku biasa olahraga, kok Bu. Nanti, kalau udah bener-bener pulih, aku pasti olahraga. Bukan hanya perut yang harus dijaga, Bu, tapi seluruh badan. Kalau olahraga rutin, bukan hanya perut yang bakal langsing, tapi seluruh badan.""MbaPoV HaidarKepulangan Zara ke rumah Ibu membuatku lebih tenang. Aku bisa lebih leluasa mengatur waktu istirahat tanpa ada yang memanggil, lalu menyuruh banyak hal. Hanya satu saja yang kurang, hati betapa rindu wajah lucu kedua bayiku. Sayangnya, aku tak bisa melihat mereka setiap hari karena mereka harus tinggal sementara di rumah Ibu.Teman-teman juga tak canggung untuk nonton bareng acara bola saat di rumah tak ada Zara. Mau tidur jam berapapun, tak ada yang protes.Seringkali, kuajak mereka menghabiskan malam untuk taruhan nonton klub bola kesukaan atau main Play Station di ruang tamu.Jangan menduga, jika aku tak cinta dan peduli pada istriku! Dengan keputusanku seperti ini, adalah bukti cinta padanya. Lebih baik kubiarkan ia bersama Ibu, belajar bagaimana baiknya menjadi orang tua, daripada terus bersamaku dengan segunung amarah yang terus dilampiaskan padaku, sebagai imam di hidupnya. Sebab, saat bersamaku, rasanya apapun yang kulakukan sel
"Jadi, bagaimana solusinya, Hanin?""Ya, solusinya kamu sendiri. Jadilah orang paling siaga buat istri kamu. Yang dia butuhkan saat ini adalah dukungan dan bantuan. Tolonglah mengerti dengan kehidupannya yang berubah seratus delapan puluh derajat itu. Sudah kukatakan, dokter Zara yang sesungguhnya adalah kamu, suaminya sendiri.""Apa menurut kamu aku kurang mengerti padanya? Uangku selalu kuberikan,"Tut. Tut. Tut.Panggilan tiba-tiba terputus dan layar gawaiku tak lagi menyala. Sial! Baterainya habis.Setelahnya, aku tak bertanya lagi pada Hanin, dia pun sepertinya enggan lagi menghubungi. Namun, kali ini aku mulai berpikir kembali, kapankah bisa kulihat Zara yang penyayang? Yang menimbang anak-anaknya dengan ikhlas tanpa berang. Sebuah perasaan menggangguku kembali. Aku harus berbicara empat mata dengan Hanin, sebagai psikolog ia pasti tahu solusinya bagaimana. Aku tak mau hubunganku dengan Zara akan terus seperti ini.
"Zara, ini Haura nangis. Kayaknya haus. Agak cepat di kamar mandinya, ya," teriak Ibu dari arah dapur.Aku yang tengah menunaikan hajat mendengkus kesal. Bagaimana tidak? Baru saja kususui Hanum, kini Haura sudah meraung-raung lagi. Tak bisakah aku sedikit mengistirahatkan tubuh? Satu atau dua jam saja. Bagaimana pun aku butuh waktu istirahat. Terlebih, puting sebelah kananku lecet karena belum keluar ASI sedikit pun."Zara, cepat, dong!" Sekali lagi, suara Ibu melengking mengetuk gendang telinga. Ingin rasanya kusumpal kedua telingaku agar tangisan kedua bayi itu tak terus menerorku.Haura dan Hanum, anak kembar yang baru saja kulahirkan tiga hari yang lalu. Tangisan mereka silih berganti memenuhi pendengaran. Mengganggu waktu tidurku di malam hari dan mengusik ketenanganku ketika siang. Bahkan saat aku di kamar mandi seperti ini, mereka masih saja mengganggu. Tapi, aku tak bisa kabur dari tanggung jawab ini. Menyadari, statusku saat ini sudah berubah menjadi seorang ibu."Zara! Nga
Maafkan aku, Bu. Bukan maksud hati ini tidak menghargai nasihat Ibu. Tapi aku tak mau pikiranku tambah berat. Maka, kupilih saja menutup telinga untuk menghempaskan semua ocehanmu.Aku membatin sendiri. Terlihat Ibu bolak-balik ke dapur dan kamar mandi untuk menanak nasi. Ini pertama kalinya beliau mengerjakan hal itu di rumahku. Aku paham, yang dia khawatirkan bukanlah aku, tetapi kedua cucunya. Ibu kembali ke kamar setelah selesai menyambung colokan penanak nasi ke stopkontak. Ia duduk terlentang di atas kasur lantai, di samping si kecil Hanum. Meluruskan kakinya, yang mungkin mulai terasa pegal karena rematiknya kambuh. "Maaf, ya, Bu. Aku jadi merepotkan. Ibu kalau pegel, biar aku panggil tukang pijit aja." Aku mulai melepas earphone yang sedari tadi bertaut di kedua telingaku.Musik kumatikan. Bersamaan dengan itu, akhirnya Haura melepas rekatan bibirnya. Segera kuletakan tubuh mungil Haura berdampingan dengan saudara kembarnya. Bersyukur se
Tiba-tiba saja perutku mulas kembali saat hendak membuka kemasan bakso. Akhirnya, tamu tak diundang itu datang lagi. Terpaksa, kuseret kakiku ke kamar mandi dengan malas. Kututup kegiatan di kamar mandi, sekalian membersihkan diri. Mumpung dua makhluk kecilku tertidur pulas.Selesai berganti baju, kulihat tumpukan popok di atas ember. Ya, ampun. Ternyata, pekerjaanku sungguh masih banyak. Sementara, kinerjaku saat ini benar-benar lelet. Kukira, semua ibu duamelahirkan akan merasakan hal sama denganku. Terlebih, hanya baru tiga hari proses lahiran itu.Nanti, akan kuminta Mas Haidar membelikan mesin cuci agar aku tak kesulitan. Saat ini, biarlah kukerjakan cucian dengan manual. Terpaksa, saat tubuhku audah bersih dan wangi, kucuci popok, bedongan dan baju si kembar, lalu dijemur di halaman belakang.Tiba saatnya, aku akan menikmati camilanku. Begitu bersemangat saat aku melangkahkan kaki kembali ke dalam rumah. Duduk terlentang di ruang tamu, aku memindahka
Samar terdengar suara langkah kaki bersahutan dengan langkah tergesa. Entah ini mimpi atau bukan, untuk membuka mata rasanya berat sekali. Saat sebuah jarum menusuk lenganku, akhirnya aku tersadar. Kuedarkan pandang menuju sekeliling.Dimana aku? Perlahan, kuingat kembali apa yang terjadi beberapa saat lalu. Kompor yang menyala. Api yang membara. Menciptakan kepulan asap mengudara di dapur. Lalu, Haura dan Hanum yang kuletakkan di atas kasur. Dimana mereka? Seorang bidan dan dua asistennya tengah sibuk menempelkan alat-alat ke tubuhku. Saat ingatanku telah pulih, refleks tubuhku berusaha untuk terangkat. Namun, sayangnya, rasa sakit di bekas jahitan itu merambat. Kepalaku seperti ditimpa batu besar dan dijatuhkan berkali-kali."Mbak Zara, tenang, ya. Kami akan obati luka jahitan bekas lahiran kemarin dengan mengulang proses menjahitnya. Sobeknya lumayan besar." Bu bidan mencoba menahanku yabg terus memaksa bangkit dari ranjang periksa.Setelah kurasakan sa
"Aku menyesal menjadi ibu, Mas."Pernyataanku membuat kepala Mas Haidar bertanduk. Raut tak suka ia tunjukkan saat aku mengeluh."Istighfar, Zara. Kalimat yang baru saja kamu ucapkan adalah kalimat yang banyak orang lain sesalkan. Ada banyak perempuan yang tak bisa melahirkan bayi dari rahimnya sendiri. Banyak sekali yang menginginkan sepertimu. Seharusnya, kamu lebih bersabar dan mempertebal iman. Bukan bicara ngawur seperti ini."Kupandangi langit lewat kaca jendela mobil. Begitulah. Kalau ada sesuatu yang kukeluhkan, Mas Haidar selalu cepat menyalahkanku. Tak pernah sekalipun ia menghibur hati. Di matanya, aku adalah perempuan berhati sempit dan tidak pandai bersyukur.Sementara, ia ingin aku menjadi wanita sempurna. Perempuan yang ikhlas menerima apapun, perempuan tanpa amarah layaknya peran protagonis di sinetron layar kaca. Tak melawan, tak bertindak. Hanya menangis dalam doa.Bukan, aku bukan wanita seperti itu. Layaknya manusia ya
Kedua bayi kecilku tengah bermain saat azan maghrib berkumandang. Aku sengaja memanfaatkan waktu senggang untuk menghabiskan makanan tadi pagi yang kupesan. Siomay tahu ikan tenggiri yang sudah dingin dan sepotong bakso sisa pagi masih tersisa.Awet sekali bila menghabiskan makanan akhir-akhir ini. Lumayan juga, mengirit uang jajanku. Tak lupa, sayur bening daun katuk buatan ibu mertua kuhabiskan sampai tak bersisa. Sepiring nasi yang kupesan dari warteg tersaji bercampur sayur. Syukurku terpanjat kala bisa makan enak tanpa tergesa. Hal ini menjadi momen yang sangat sulit kucari setelah melahirkan. Setelah seluruh piring, mangkuk dan gelas kosong, aku menepikan semuanya ke sudut kamar. Biar saja kubersihkan besok.Dering gawaiku berbunyi, aku segera mengangkatnya. Salam terucap dari lisan Mas Haidar yang berbicara lewat sambungan telepon. Lekas, kujawab salam dengan berbisik agar tak menganggu tidur Haura dan Hanum."Zara, malam ini temen-temen k