Share

7. CERITA DOKTER ILHAM

Suara ayam berkokok terdengar dari arah kebun milik tetangga sebelah.

Seorang gadis tampak menjempur pakaian di halaman samping rumahnya. Rambutnya yang basah tergelung handuk ke atas.

"Rin, airnya kok mati?" Teriak sebuah suara lain dari arah dapur.

Seorang lelaki tampak melongokkan kepala ke arah luar kamar mandi dengan kepala penuh busa dan matanya yang terpejam.

Gadis bernama Arini itu beranjak ke dapur dan menengok ke arah token listrik di rumahnya yang ternyata habis. "Listriknya mati, Mas, semalam Rini lupa isi, ini baru mau beli, tunggu ya,"

Sementara Rini berlari ke depan, si lelaki tadi hanya menggerutu sendiri di dalam kamar mandi. Mengusap kedua matanya dengan handuk agar tidak perih dan terpaksa menunggu kran showernya hidup.

Tak lama berselang, kran shower itu kembali mengalirkan air. Lelaki itu pun lekas melanjutkan kegiatannya di kamar mandi.

"Huh! Pikun!" Keluhnya gemas sembari menoyor kepala adik perempuannya di dapur.

"Ya namanya orang lupa kan nggak inget, Mas! Kayak sendirinya juga nggak pikun! Masa, kacamata di kepala masih dicari ke lemari, hahaha," ujar Rini sambil menghangatkan nasi goreng yang dia buat shubuh tadi untuk disajikan pada Dokter Fadli, kakak yang sangat dia banggakan.

"Sejak kapan kamu pinter ngeles?" Balas Fadli yang masih berdiri di ambang pintu dapur sambil menggosok-gosok kepalanya dengan handuk.

"Sejak Mas Fadli jadi pikun, haahha,"

Fadli hanya tertawa dan berlalu dari dapur untuk lekas berpakain. Dia baru saja menerima pesan dari Suster yang bertugas menjadi asistennya hari ini di rumah sakit yang memberitahu bahwa pasien yang mendaftar untuk berobat hari ini cukup banyak.

"Mas nasi gorengnya udah Rini hangatkan di meja dapur ya," teriak Arini dari luar.

Tak lama Fadli keluar dari kamarnya dengan penampilannya yang sudah rapi. Kemeja biru dan celana bahan hitam. Aroma citrus yang menguar dari tubuh sang Kakak membuat Arini langsung menutup hidung.

"Mau ke rumah sakit aja pakai minyak wangi segalon, ujung-ujungnya tetap aja wangi obat,"

"Emang nyengat banget ya wanginya? Ini parfum hadiah dari teman soalnya, sayang kalau nggak dipakai," Fadli mengendus ke arah lengan pakaiannya.

"Parfumnya nggak pantes dipake buat ke rumah sakit, kalau mau kencan sama cewek tuh baru pas," saran Arini yang menilai bahwa aroma parfum yang dipakai sang Kakak memang terlalu berlebihan. Terlalu menyengat. "Lagian, umur udah tua, udah pikun juga, tapi masih aja jomblo," sindir Arini yang saat itu masih mundar mandir dari kamar ke ruang tengah.

Fadli membawa sepiring nasi goreng buatan adiknya ke meja makan yang menjadi satu ruangan dengan ruang TV, dan duduk di sana. "Udah tua gimana? Baru kemarin rayain ulang tahun yang ke tujuh belas, lupa kamu?" Balasnya sambil cengengesan.

"Pret!" Balas Arini keki. "Masa kalah sama Rini. Rini aja yang masih muda pacarnya banyak, hahaha,"

"Heh, Mas tuh nggak ganjen kayak kamu ya! Tukang ngibul!"

"Ih biarin aja, selagi bisa dimanfaatkan kenapa nggak? Lumayan buat jadi tukang ojek Rini antar jemput ke kampus, kan duit ongkosnya jadi bisa ditabung buat nambahin bayar biaya kuliah. Lagian Rini juga nggak sepenuhnya kok bohongin mereka, mereka tahu kalau Rini punya pacar, tapi tetep aja deketin Rini, jadi siapa yang salah?"

"Yang salah Mas, karena nggak bisa mendidik kamu jadi perempuan yang berpendirian!"

Mendengar ucapan serius Fadli, mulut Arini yang terus berkicau langsung kicep.

"Salah Mas, karena Mas yang belum bisa memenuhi semua kebutuhan hidup kamu dengan baik,"

Hati Arini mencelos mendengar ucapan Fadli selanjutnya. Mendadak jadi merasa bersalah. Lagian, tumben banget kakaknya itu baperan pagi-pagi begini? Gumam Arini membatin.

"Rini nggak maksud begitu kok, Mas," ucap Arini pada akhirnya. Dia beranjak ke arah meja makan dan duduk di kursi samping Fadli.

Fadli tersenyum sumringah. Menggenggam sebelah jemari adiknya. "Rin, selama ini Mas nggak melarang kamu pacaran, tapi Mas harap kamu tau batasannya. Dan jangan pernah berbuat jahat pada lelaki apalagi berpikir untuk memanfaatkan mereka untuk kepentingan pribadi kita. Hukum karma itu berlaku loh, memangnya seandainya kamu di posisi mereka, suka sama orang lain, tapi ternyata orang yang kamu suka mau dekat sama kamu cuma untuk memanfaatkan kamu aja, gimana perasaan kamu kalau digituin? Enak nggak?"

Kepala Arini menunduk, tanda dia mengakui kesalahannya dan menyesalinya.

"Masalah biaya kuliah, kamu nggak perlu memikirkannya. Itu jadi tanggung jawab Mas sepenuhnya. Mas sudah berjanji sama Almarhumah Ibu untuk menjaga kamu baik-baik. Tugasmu sekarang, kuliah yang bener, belajar yang giat, udah itu aja, eh, ada lagi, jangan lupa urusin kerjaan rumah kalau Mas nggak sempat, hehehe,"

Bibir mungil Arini mengerucut. Kakaknya ini, bisa-bisanya masih bercanda setiap kali mereka sedang bicara serius.

"Selama ini, Mas itu udah banyak berkorban buat Rini, sampai-sampai hubungan Mas dengan Mba Sandra hancur gara-gara Rini. Gimana Rini bisa diem aja, ngeliat Mas banting tulang sendirian untuk memenuhi semua biaya hidup kita. Belum bayar cicilan rumah ini, Rini tuh juga kepingin bantuin Mas, tapi Mas nggak juga kasih izin buat Rini kerja. Seenggaknya kalau Rini kerja, Mas nggak perlu lagi jadi tukang ojek Online kalau pulang dari rumah sakit. Mas jadi punya waktu untuk diri Mas, cari cewek sana..."

Lagi-lagi Fadli hanya tertawa. "Buat apa cewek di cari? Toh kalau udah jodohnya juga bakal dateng sendiri, iyakan?"

"Atau jangan-jangan, Mas bertahan jomblo bertahun-tahun karena Mas masih cinta sama Mba Sandra? Apa perlu Rini datengin Mba Sandra supaya Mba Sandra mau menerima Mas lagi?"

Kepala Fadli menggeleng. "Semua ini nggak ada hubungannya sama Sandra. Mas udah mengikhlaskan dia mencari apa yang memang dia inginkan dalam hidupnya. Gaya hidup Sandra itu terlalu tinggi, kamu tau itukan? Jadi, untuk apa Mas mempertahankan dia jika dalam hati Mas sendiri merasa tertekan melakukannya. Jadi, keputusan Mas berpisah dengan Sandra itu bukan kesalahan kamu karena kami yang memang sudah nggak cocok, Rin. Jangan menyalahkan dirimu lagi tentang hal itu ya? Mas aja udah lama kok lupa, kamu masih aja inget-inget,"

"Iya maaf. Oh ya Mas," ucap Rini tiba-tiba. Gadis itu beranjak dari sisi Fadli, mengambil sesuatu dari kamarnya dan memperlihatkannya pada Fadli.

"Apa ini?"

"Itu surat penerimaan magang Rini di perusahaan Agra Corporation, milik Regi Haidar Zaim, CEO ganteng itu loh, yang wajahnya sering muncul di majalah bisnis,"

Mendengar nama Regi berserta perusahaan besarnya itu, seketika ingatan Fadli tertuju pada wajah seorang wanita yang akhir-akhir ini menarik perhatiannya.

"Kamu yakin mau magang di sana?" Tanya Fadli meragu.

"Iya dong Mas, itukan perusahaan terbesar kedua di Indonesia, selain karena CEO nya yang ganteng, Rini juga ada teman untuk magang ke sana, jadi nggak sendirian banget,"

Fadli mengembalikan kertas di tangannya ke Arini yang masih tersenyum sumringah dan beranjak kembali ke kamarnya.

Lelaki itu terdiam di tempatnya duduk, menatap piring nasinya yang sudah kosong.

Sekelebat ucapan rekan kerjanya di rumah sakit yang bernama Dokter Ilham kembali terngiang dalam benak Fadli.

"Regi Haidar Zaim, dia itu teman dekatku sewaktu kuliah dulu, Fad. Kami sudah lama tidak berhubungan semenjak lulus kuliah karena Regi sibuk dengan bisnis keluarganya. Sampai akhirnya, kami kembali bertemu saat Regi tiba-tiba meneleponku malam-malam, suaranya panik dan seperti orang ketakutan. Regi memohon-mohon padaku untuk datang ke rumahnya saat itu juga, dia bilang, istrinya pingsan. Saat aku memberi saran untuk membawa istrinya ke rumah sakit, Regi bilang tidak bisa dan dia tetap memaksaku untuk datang ke rumahnya. Sejak itulah aku tahu apa yang tengah terjadi di kediaman Regi. Untungnya, aku datang tepat waktu, mungkin jika tidak, nyawa istri Regi sudah melayang karena kondisinya yang benar-benar parah,"

"Kebetulan, waktu itu, aku mengalami kesulitan financial setelah istriku di vonis mengidap kanker darah. Dan Regi yang membantuku membiayai pengobatan istriku sampai ke luar negeri. Itulah sebabnya, aku bersedia membantunya untuk memanipulasi hasil pemeriksaan kesehatan istri Regi selama ini. Tolong, demi aku, jangan pernah mengungkap hal ini ke publik, Fadli. Aku percayakan nasibku dan nasib keluargaku padamu..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status