Share

BAB 1: Sebuah Permulaan

Kiara perempuan muda, cantik dan kreatif. Seorang penulis, content creator juga penyiar. Hidupnya berjalan penuh dengan keceriaan. Senyum manis dan mata yang teduh mampu memberi rasa tenang bagi siapa saja yang memandangnya. Mandiri, cantik, cerdas membuatnya menjadi idaman banyak pria. Akan tetapi hatinya telah terpaut pada seorang pemuda. Pemuda biasa, bukan penulis dengan sajak cinta, seperti teman-teman di komunitasnya. Bukan pula seorang bersuara menyenangkan seperti teman seprofesinya, penyiar. Pun bukan seorang dengan puluhan ide di kepalanya layaknya content creator.

Tidak ada yang pernah menyangka tentang sebuah perjalanan hidup. Begitu pula dengan Kiara, kehidupannya berubah 180 derajat. Segala keceriaan di wajahnya berubah jadi sendu. Hilang sudah senyumnya, sirna pula cahaya keteduhan di matanya. Bahkan dia nyaris menyayat urat nadinya. Dia terpuruk dalam luka yang begitu dalam. Segala ekspektasinya tentang indahnya romansa cinta berubah menjadi nestapa. Menangis dalam pekatnya malam adalah hal yang sudah biasa. Dirga adalah cikal bakal duka yang menimpa Kiara.

***

Pemuda tinggi berkulit sawo matang itu memasuki pekarangan rumah Kiara. Dia melangkah pasti, kemeja navy yang dikenakannya menambah sisi maskulin. Kiara masih di dalam kamar. Dia sedang bersiap-siap untuk menemani Dirga menghadiri sebuah acara.

Suara pintu diketuk dari luar, Bik Murni melangkah cepat untuk membukakan pintu.

"Ow… Mas Dirga," ucap bik Murni saat mengetahui siapa tamu yang datang.

"Masuk, Mas. Biar bibi panggilkan non Kiara dulu," tambahnya kemudian berlalu.

Dirgantara Alykas memasuki ruang tamu yang di sana tengah duduk Pratama Abimanyu dan Retno Prameswari, orang tua Kiara. Dirga tidak canggung bertemu orang tua Kiara, sebab selama empat tahun mereka pacaran, Dirga sudah sering berkunjung. Meskipun mereka berbeda kota, Dirga selalu meluangkan waktu barang sebulan sekali untuk menemui Kiara.

"Bagaimana, Nak Dirga. Kapan kamu ingin meresmikan hubunganmu dengan Kiara?" tanya Pratama setelah saling menanyakan kabar.

"Saya tergantung Kiara, Om. Jika Kiara sudah siap saya akan membawa orang tua saya ke sini," jawab Dirga yakin.

Kiara keluar dari kamarnya dan menuju ruang tamu. Dia segera duduk di samping Retno, ibunya.

"Ada apa, sih. Kok pada lihatin aku?" tanyanya heran.

Tama mengajukan pertanyaan yang sama pada Kiara, "Kapan kamu dan Dirga mau meresmikan hubungan kalian?"

Kiara yang mendapat pertanyaan mendadak seketika melirik pada Dirga. Dirga hanya tersenyum sambil mengangkat bahu.

"Tadi papa sudah menanyakan hal ini pada Dirga. Dan Dirga hanya menunggu keputusan dari kamu," jelas Pratama lagi.

Kiara terdiam sejenak, lalu menjawab yakin. "Baiklah, Kiara sudah siap."

Tidak perlu waktu lama bagi Kiara untuk berfikir. Empat tahun kebersamaannya dengan Dirga membuatnya merasa sudah cukup mengenal Dirga.

Dirga tersenyum senang begitu juga Pratama dan Retno. Sesuai kesepakatan bahwa minggu depan Dirga dan keluarganya akan datang untuk melamar Kiara.

***

Kita adalah manusia yang punya banyak rencana dan mimpi tapi semuanya kembali pada takdir Tuhan. Terkadang Tuhan memberikan ujian agar kedepannya kita lebih kuat dan tangguh atau mungkin Tuhan rindu pada kita. Rindu doa lirih kita di malam yang sunyi.

Seperti malam-malam sebelumnya, Kiara bersimpuh di atas sajadahnya. Sajadah yang menjadi mahar pada pernikahannya enam tahun lalu. Sajadah itu tidak lusuh, hanya mukenah yang awalnya putih kini berubah menguning. Dalam isak yang dia tahan karena tidak ingin membangunkan putrinya, Amelia yang berusia lima tahun.

***

Dua bulan setelah proses lamaran, sebuah resepsi pernikahan sederhana dilaksanakan. Hanya keluarga dan kerabat dekat saja yang hadir. Kiara tampak cantik dengan kebaya putih ditambah mahkota kecil yang menghias kepalanya, rambut hitamnya disanggul. Begitu juga dengan Dirga tampak gagah dengan setelan jas berwarna sama dengan Kiara.

Pratama Abimanyu menjabat tangan Dirga, sambil melafalkan ijab. Kemudian dengan satu tarikan nafas Dirga menjawab ijab hingga para saksi mengatakan sah.

Tuntas sudah tugas Pratama Abimanyu. Dia telah menyerahkan tanggung jawab atas putrinya pada Dirgantara Alykas. Harapan yang sama dengan para ayah di seluruh dunia bahwa lelaki di hadapannya ini mampu menjadikan putrinya sebagai ratu di istana yang akan mereka bangun berdua.

Kiara mengusap ujung matanya, begitu juga dengan Retno. Putri kecilnya yang dulu masih bermain boneka kini telah menjadi istri. Retno pun tidak ubahnya dengan ibu-ibu di luar sana, berharap anaknya mendapat nahkoda yang mampu membawa dan membimbing dalam menjalani biduk rumah tangga.

Satu minggu setelah resepsi sederhana itu, Dirga meminta izin untuk membawa Kiara ke kediamannya di luar kota. Tama maupun Retno tak bisa menolak, sebab Kiara telah sah menjadi istri Dirga. Seorang istri harus mendampingi suaminya. Kiara mencium punggung tangan kedua orang tuanya, meminta ridho. Retno melepas putrinya dengan berurai air mata. Begitu pula dengan Tama, dia mengamanahkan putri semata wayangnya pada Dirga. Dirga mengangguk, berjanji akan membahagiakan Kiara lahir dan batin.

***

Kiara masih di atas sajadahnya melangitkan doa untuk Dirga, suaminya. Belum berujung pada aamiin segala pengharapan Kiara, tiba-tiba Amelia berteriak memanggil ayahnya. Kiara segera menghampiri putrinya. Suhu badan Amelia tinggi, dia terus memanggil sang ayah yang sudah tiga hari tidak pulang ke rumah, Kiara tidak bisa menghubungi suaminya dikarenakan ponsel Dirga tidak aktif.

Dirga bukanlah pebisnis atau karyawan di perusahaan besar yang mengharuskannya meninggalkan rumah dalam waktu lama. Dirga adalah seorang pedagang di sebuah pusat perbelanjaan.

Sebetulnya Kiara tahu kemana sang suami dan sangat bisa baginya untuk menemui Dirga, tapi Kiara tidak mau melakukannya. Sebab Dirga akan marah besar jika Kiara menyusulnya. Perempuan itu tidak ingin Amelia melihat orang tuanya bertengkar.

Dia berusaha agar Amelia tumbuh dalam keluarga yang sehat. Hal itulah yang membuat Kiara selalu diam dengan kebiasaan Dirga. Sebab jika saja Kiara protes atau bahkan bertanya sekalipun, maka Dirga tak segan-segan mengeluarkan sumpah serapah.

***

Amelia terus menangis dalam gendongan Kiara. Perempuan yang memiliki mata bulat itu pun beberapa kali menyeka air matanya. Jam di dinding menunjukkan pukul dua pagi. Kiara sudah menguap beberapa kali sedangkan Amelia masing enggan dibaringkan di atas kasur.

Perjalanan hidup tidak ada yang bisa menduganya, begitu juga Kiara. Tidak ada perempuan yang membayangkan tentang rumah tangga yang bagai neraka seperti ini. Ternyata hubungan jarak jauh yang selama empat tahun mereka jalin, belum cukup membuat Kiara mengenal lelakinya.

Semenjak menikah dan punya anak Kiara full menjadi ibu rumah tangga. Segala kebutuhan hanya bersumber dari Dirga dan kini sang suami pun tidak lagi berdagang, usahanya bangkrut. Untuk memenuhi kebutuhan Amelia, Kiara mengandalkan dari bayaran yang diberikan oleh teman-teman atas jasa mengedit vidio, Itupun tidak selalu ada, dan bayarannya juga tidak besar.

Suara ketukan pintu membuat Kiara bergegas keluar, masih dengan Amelia dalam gendongannya.

"Dari mana saja?" tanya Kiara pelan.

Dirga sontak melotot, tapi Kiara mengusap kepala Amelia membuat Dirga segera memegang kepala putrinya.

"Demam?" tanyanya cemas, Kiara mengangguk.

"Kenapa gak kasih tahu?" tanyanya lagi.

"Ponselmu gak aktif," jawab Kiara dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kita bawa ke dokter, " ucap Dirga.

Kiara menggeleng, "Kita gak punya uang untuk ke dokter."

Dirga menarik nafas, berjalan lemah menuju sofa. Lelaki itu terduduk lemah, pandangannya menerawang ke seisi rumah.

Adzan sudah berkumandang, Amelia kembali mengigau, memanggil Ayahnya. Dirga yang mendengar, segera mengambil Amelia dari gendongan Kiara.

"Iya, sayang. Ini Papa."

Amelia memeluk erat ayahnya sambil menangis. Dalam tangisnya dia sempatkan bertanya kemana ayahnya selama tiga hari ini.

"Ayah cari uang, Nak. Untuk jajan Amel," jawab Dirga.

"Sekarang Amel tidurnya di kasur ya, sayang, kan Papa udah pulang," bujuk Kiara.

Gadis kecil itu mengangguk tanpa melepaskan pelukannya. Kiara masih tak mampu bertanya banyak hal pada Dirga, karena itu akan kembali memancing emosi Dirga dan akan membuat Amelia mendengar mereka bertengkar.

***

Kiara adalah perempuan yang periang. Namun, senyum di wajahnya sudah hilang sejak Amel berusia satu tahun. Tidak ada lagi kedamaian dalam rumah tangga yang dibinanya bersama Dirga.

Rumah yang diharapkan bagai istana ternyata berubah laksana neraka. Penyiksaan batin bertubi-tubi dirasakan Kiara. Dirga yang gila judi juga kerap melontarkan kata-kata kasar, belum lagi tekanan yang dia dapat dari mertua.

Kiara dipaksa tegar demi memberi keluarga yang utuh bagi Amelia. Andai saja bukan karena Amelia mungkin Kiara sudah meninggalkan neraka itu.

Amelia sudah tertidur pulas juga dengan Dirga. Kiara menggelar kasur tipis di lantai. Kepalanya terasa sakit, dia juga butuh tidur setelah hampir semalaman terjaga. Baru saja dia ingin memejamkan mata, suara pintu diketuk dari luar. Kiara melangkah lemah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status