Share

BAB 2: Tamu Di Pagi Hari

Kiara yang mengantuk berjalan perlahan menuju pintu.

"Lama amat sih buka pintunya," ucap wanita paruh baya itu ketus.

"Maaf, Ma," jawab Kiara sambil menunduk.

Wanita itu masuk tanpa dipersilakan, diikuti gadis remaja dengan seragam sekolah.

"Aku mau sarapan, Kak," ucap gadis remaja itu yang tak lain adalah Nadia, adik Dirga.

Kiara mendengus pelan, Nadia sama sekali tidak memiliki sopan santun. Dengan santainya dia memerintah Kiara seperti menyuruh seorang pembantu. Belum lepas kekesalan Kiara dengan sikap adik iparnya yang bossy. Setiba di dapur Nadia berteriak histeris membuat Kiara dan mertuanya berlari menghampiri.

"Ya ampun, ini dapurnya kok berantakan sih? Kulkasnya dimana lagi," Nadia mengomel panjang.

"Kamu kemanakan kulkasnya, Kiara?" tanya sang mertua.

"Kia jual, Ma," jawab Kiara.

"Istri macam apa kamu, bisanya cuma ngejual aja. Sekarang kulkas besok apa lagi yang mau kamu jual. Belum puas kamu menghancurkan usaha anak saya, sekarang juga ingin menghabisi hartanya!" sang mertua berceloteh panjang.

Kiara tertunduk, tak ingin membalas.

Kiara masih sangat menghargai mertuanya, walau ada kesal yang ingin sekali dia tumpahkan. Namun selalu ditahannya.

Dirga yang sedang lelap, terjaga lalu keluar dari kamar,

"Ada apa sih kok ramai banget. Amel baru saja tidur nanti dia bangun lagi." gerutunya.

Asri menghampiri putranya.

"Dirga, tolong kamu ajari istri kamu ini, ya. Masa dia ngejual kulkas. Ini rumah juga berantakan banget. Gak becus banget jadi istri," celoteh Asri panjang.

Dirga mengamati dapur yang masih berantakkan.

"Amel lagi demam, Ma. Jadi Kia ga sempat beres-beres rumah," Dirga membela istrinya di hadapan Asri.

"Soal kulkas, kulkas memang kami jual. Soalnya kami ga punya uang," jelas Dirga lagi.

"Kalau Bang Dirga gak punya uang gimana sekolah aku?" tanya Nadia.

"Bukannya uang sekolahmu sudah abang lunasi," balas Dirga.

Dia masih ingat satu bulan lalu dia sudah melunasi biaya sekolah nadia selama satu tahun ke depan, uang yang diperoleh dari meja judi. Kiara tidak pernah mau menerima uang yang diberikan Dirga jika itu berasal dari meja judi.

Nadia masih merengek meminta uang pada abangnya, begitu juga dengan Asri yang memaksa Dirga untuk menyediakan uang yang dibutuhkan Nadia. Sebetulnya Asri memiliki sebuah rumah makan warisan mendiang suaminya. Mereka tidak benar-benar kekurangan uang. Semua dilakukan semata-mata hanya atas dasar kebenciannya terhadap Kiara. Dulu Asri ingin menjodohkan Dirga dengan anak temannya, tapi Dirga sudah jatuh hati pada Kiara. Namun rencana Asri ditolak mentah-mentah oleh Dirga pada waktu itu.

Dirga tidak bisa memenuhi tuntutan ibu dan adiknya karena dia memang tidak punya uang.

"Kamu ini benar-benar, ya, Kiara. Kamu melarang Dirga memberikan uang untuk adiknya," tuduh Asri pada Kiara yang dari tadi diam saja.

"Kia ga pernah…." belum selesai Kiara menuntaskan kalimatnya, Nadia menarik tangan Asri pulang.

Sebelumnya Nadia meninggalkan cacian pada Kiara yang berdiri di sebelah Dirga. Dia tidak dihargai sebagai kakak ipar juga tidak disayangi sebagai menantu. Dirga pun tidak bereaksi apa-apa melihat istrinya dicaci.

Kiara tertunduk menahan air matanya. Dari kecil tidak pernah sedikitpun dia mendapat kata kasar dari orang tuanya. Akan tetapi, di sini, di tanah perantauan yang jauh dari orang tuanya, dia merasakan kehidupan yang berbanding terbalik.

Kiara yang dulu selalu difasilitasi dengan kehidupan yang menyenangkan. Kini harus mengurus semuanya sendiri, tidak ada lagi pembantu yang akan menyiapkan makanan untuknya atau merapikan pakaiannya. Kiara yang manja dituntut menjadi Kiara yang multitasking, jika Kiara melakukan kesalahan maka Dirga tidak akan segan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan.

Perjalanan ini tidak mudah. Terkadang dia ingin menangis menumpahkan segala gundah dalam hatinya, tetapi dia memilih memeluk lukanya sendirian. Tidak ada yang tahu, terlebih orang tuanya. Kiara selalu menutupi keburukan suaminya. Dia meramu cerita agar terkesan indah untuk dibagikan kepada orang tuanya. Dia juga harus menjadi ibu yang waras agar Amelia tidak kena dampak tekanan psikis.

Waktu terus berjalan, Dirga tak kunjung berubah. Dia masih saja dengan kebiasaan itu, judi. Dirga juga sudah tidak lagi memenuhi kewajibannya sebagai kepala keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Kiara menjadi buruh cuci dan setrika. Pernah dia melamar pada sebuah radio daerah untuk kembali siaran, tapi tidak diterima. Permintaan mengedit video pun sudah tidak ada.

Malam itu seperti biasa, Dirga belum juga pulang padahal jam di dinding sudah menunjukkan pukul satu lebih 20 menit. Kiara bersimpuh di atas sajadah, doa-doanya masih sama berharap sang suami berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Menjadi teladan bagi anaknya, menjadi pembimbing bagi istrinya.

Rencana Tuhan berbeda dengan keinginan manusia. Keadaan menempa Kiara yang manja menjadi Kiara yang dewasa dan tangguh.

Suara ketukan terdengar, Kiara bergegas membukakannya. Dua orang laki-laki membopong Dirga yang tidak sadarkan diri. Badannya penuh luka dan lebam. Kiara mempersilakan dua orang tersebut untuk masuk dan membaringkan Dirga di ruang tamu. Kiara berlari ke dapur mengambil peralatan untuk membersihkan luka. Dua orang laki-laki tadi menceritakan kronologi kejadian setelah Kiara selesai membersihkan luka. Dirga terlibat cekcok dengan rekan bermain judinya dan ketika hendak pulang Dirga dikeroyok hingga babak belur dan pingsan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status