Apa?" tanya Mas Zain seolah sedang salah dengar.Deg deg degItu bunyi jantungku yang berdetak begitu keras. Aku tegang, gugup, juga takut. Duuh, bagaimana jika ia tak mengijinkanku tinggal di rumahnya? Tidak ada yang kukenal pula di sini jadi bingung mau tinggal di mana. Aku menatapnya begitu memohon. Farhan ikut memandangnya dengan wajah terlihat berharap."Tolong bunda, Yah."Mas Zain menghela napas dalam, tampak berpikir. Lalu kembali menghela napas dalam. "Orang-orang pasti akan berpikir bahwa kamu dan aku memang seperti yang mereka tuduhkan."Aku menatapnya penuh penyesalan kenapa hal itu bisa terjadi. Farhan mendekati Caca yang menggelendot ketakutan berpegang pada lututku kemudian mengajak adeknya menuju bunga dihinggapi kupu-kupu. Aku menatap Mas Zain dengan gugup."Kenapa tidak kembali ke rumahmu saja?" Ia memicingkan matanya.Dari perkataan juga caranya memandang, terlihat bahwa ia tak menyukaiku. "Hanya sementara, aku akan beli rumah di sekitar sini." Aku memandang sekelil
Aku melirik Mas Zain yang perlahan merebah. Malam semakin larut. Udara juga kian dingin membuatku bersidekap dan sebentar-sebentar mengusap telapak tangan. Sepertinya, besok harus beli selimut yang tebal agar tak kedinginan begini.Aku kembali meliriknya, ia sudah memejamkan mata tidur bersidekap di sebelahku. Mengamatinya berlama-lama, membuat perasanku waswas jadi tak menentu. Jantungku berdetak kencang seperti hendak lompat saja. Bagaimana kalau dia nanti bangun lalu berbuat macam-macam?Kalau dia normal, pasti dia tergiurlah dengan tubuhku yang indah ini, rajin perawatan luar juga sesekali minum jamu tradisional membuat tubuh dan wajah tampak segar berseri. Ngeri. Aku benar-benar takut ia akan berbuat yang tidak-tidak.Aku memperhatikannya lagi dan tersentak kaget saat bertemu tatap dengannya. Aku tersenyum kecil dengan salah tingkah kemudian berbaring miring membelakanginya, mencoba memejamkan mata. Dadaku bergemuruh dan deg-degkan. Coba bayangkan tidur seranjang dengan lelaki as
Neni!" Panggilku sambil berjalan cepat ke arahnya. Ia tersentak kaget, matanya membulat memandangku. "Nen." Lirihku begitu tiba di hadapannya. Masih tak habis pikir bertemu dia di sini."Cin-ta! Kupikir kamu hilang. Ya Allah, Cin, aku gak nyangka bertemu kamu di sini. Tinggal di mana, kamu? Aku sangat cemas, bertanya-tanya pada orang apa ada yang melihatmu sama dua anak kecil di sekitar pasar tapi gak ada yang tau!" Ia mengulurkan kantung plastik sedikit mengembung ke orang yang berdiri di sampingku lalu melambai pada seorang perempuan muda yang langsung mendekat. Neni kemudian mendekatiku dan memelukku dengan gemas. Digesernya kursi kemudian dengan isyarat tangan menyuruhku duduk."Ke mana saja kamu selama ini, Cin? Aku mencarimu ke mana-mana." Diraihnya tanganku, diperhatikannya wajahku dalam-dalam lalu menoleh ke kanan-kiri. "Kamu gak papa, kan? Mana anak-anakmu? Apa yang terjadi sama kamu? Dua harian ini kamu tinggal di mana?" tanyanya bertubi-tubi sampai aku bingung caranya men
Ada apa sebenarnya? Sikap orang-orang saat menatap Mas Zain membuatku terus bertanya-tanya. Aku mengalihkan pandang saat secara tak sengaja bersitatap dengan Mas Zain dari spions. Sepanjang jalan hanya keheningan dan aku yang ketakutan berpegang erat pada bajunya karena ia mengemudi cukup kencang.Ketika tiba di jalan dekat dengan rumahnya, Mas Zain mengurangi laju kecepatan. Tapi ia tak berhenti, melainkan terus melaju pelan menuju gerbang bertulis 'Selamat datang di Sungai Cambai. Ia memarkir motor di bibir jalan mulus cor-cor-ran lalu mengambil alih belanjaanku, meletakkannya di stang motor. Setelah itu, ia melangkah mendekati bibir sungai agak keruh dan melepas tali perahu pada tambatan yang terpacak di tepi sungai. Aku memperhatikannya dengan benak penuh tanya. Mau apa ia dengan perahunya itu?Dengan tatapannya yang tajam mengerikan itu, ia mengisyaratkan agar aku mendekat. Ia sedikit membungkuk di perahu, tangannya terulur hendak membantuku yang ragu-ragu naik."Kita mau ke mana
Takut-takut, aku mendekat. Hanya nyengir kecil saat beradu tatap dengannya. Wajah Mas Zain masih terlihat begitu jengkel."Memangnya ... apa yang kubuang, Mas?"Tangannya mengambil serokan mini lalu menggerakkannya ke comberan. Setelah itu memasukkan hewan-hewan kecil dari serokan ke ember ukuran sedang. Aku mengamati hewan-hewan nyaris tak terlihat jika tak mengamatinya dengan saksama yang bergerak-gerak membuat begidik. Hiii"Memang ... itu buat apa, Mas?" Pandanganku kembali tertuju ke ember berair agak keruh dengan hewan-hewan kecil membuat bergidik. Tanpa mengatakan apa pun, ia menuju dapur. Kok aku dicueki begini, sih? Membuatku merasa semakin bersalah saja. Apa ia marah? Haruskah aku menggantinya? Apa yang kubuang itu adalah sesuatu yang ia jual?Mungkin, lebih baik aku menggantinya dengan uang daripada tak nyaman begini. Akhirnya, aku menuju ke arahnya dengan canggung. Hanya nyengir kecil sambil menggaruk rambut yang tak gatal saat kami beradu tatap. Aku bingung mau memulai pe
Mas Zain mengerutkan kening begitu menyelidik. Tatapannya semakin tajam dan mengerikan. Pelan, kulepas tangannya yang melingkari perutku lalu dengan cepat berdiri. Baru saja mau melangkah pergi, ia kembali menarik tanganku keras. Duduk di pangkuannya begini, aku sama sekali tidak nyaman. Tatapannya lekat ke wajahku. Jangan bayangkan bagaimana tegangnya aku. Keringat dingin bahkan sudah membanjir di tengkuk juga telapak tangan ini.Aku deg deg kan. Juga ...Takut.Ia menyipitkan mata. Duh, Tuhaan. Pleaseee, tolong aku.Deg deg"Bagaimana kamu menemukan ini?"Deg deg. Tatapannya biasa saja apa tak bisa? Tanpa harus membuat orang ketakutan begini. Menghela napas, aku akhirnya berkata dengan gugup. Tanganku meremas androk."Aku ... aku mengambil itu ...." Kutatap sekeliling. Sedikit membeliak karena seprei itu tidak ada di sini. Mas Zain bisa salah faham jika aku tak segera menjelaskan. "Tadi aku mau ganti seprei ini, Mas. La ... lalu itu jatuh dari dalam seprei." Kutatap benda di tanga
POV Cinta"Sudah pulang, Mas?" tanyaku saat lelaki tinggi tegap itu masuk rumah dengan wajah kesal. Ada apa sih dengannya? Apa jangan-jangan dia habis dimarahi oleh perempuan yang meneleponnya pagi-pagi?Mas Zain tak menyahut, hanya memperhatikan wajahku cukup lama, membuatku jadi salah tingkah. Ada apa sih dengannya? Aneh.Atau jangan-jangan, ia masih kesal lagi padaku karena telah memasak ikannya?"Umm, ma-aafin aku ya, Mas? Aku gak tau kalau ikan di kulkas ternyata untuk ... umm ...." Aku menggaruk rambut yang tak gatal. Gugup lah, aku, ditatap terus seperti itu. Ada apa sih dengannya? Pulang-pulang bersikap aneh begitu.Aku mencoba mengusir gugup yang kian menggila dengan tersenyum kecil seolah tak terjadi apa-apa. Tatapannya itu, kenapa tertambat ke wajahku terus, siih? Aku menoleh ke samping memperhatikan Caca yang bermain sendiri, sangat berharap anak itu memanggilku. Setelah tadi terus merengek minta ditelpon kan ayahnya dan kubujuk lalu mengajaknya jalan-jalan di pematang saw
POV CintaWajahku perlahan menghangat saat beradu pandang dengan Mas Zain. Temannya itu menoleh, lantas tersenyum menggoda pada lelaki yang tanpa ekspresi itu. A-duuuh, gimana niih, aku?Akhirnya, aku bergerak menyingkir saat Mas Zain mendekat lalu dengan sedikit membungkuk ia menenggelamkan serok ke dalam air, mendorongnya ke pinggir. Tampak ikan-ikan mini beraneka corak melompat-lompat dalam serok ukuran sedang itu. Saat bersitatap dengan Mas Zain yang menoleh menatapku dengan kening berkerut, aku nyengir kecil. Tanganku terangkat menggaruk rambut yang tak gatal. Lagi, aku kembali nyengir."Yang mana?" Mas Zain kini menatap temannya, menganggap seolah aku tak ada di sini, sepertinya. Sementara temannya itu, sesekali mendongak memperhatikanku. Diulurkan tangan ke arahku dengan bibir menyungging senyum."Yus," katanya. Aku langsung menjabat tangannya diiringi senyum. Sungguh tak nyaman."Cinta."Yus mengangguk. "Siapanya dia?" tanyanya, dengan dagunya menunjuk pada Mas Zain yang tampa