Apa dikiranya aku bodoh diam saja dikhianati? Tidak. Aku memang sangat mencintainya, namun aku bukan wanita bodoh yang pasrah atas kelakuan suamiku. Ini adalah pembalasanku, yang tak akan pernah terlupakan olehnya bahkan semenit pun. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Kudekatkan gunting ke arah belalai Mas Yoga dengan dada berdebar. Tatapanku terus tertuju ke arah itu dengan tak tega. Kuhela napas dalam. Kenapa aku harus terus menggunakan perasaan sementara Mas Yoga sudah begitu jahat? Janji manis yang dulu ia ucap hanya akan bersamaku sampai tua, kini hanya tinggal janji. Gunting di tanganku bergerak semakin dekat ke arah sasaran. Maaf Mas, tapi ini adalah salahmu.
Lihat lebih banyak"Mas, ayo, katanya mau bercinta."
Suamiku yang tengah menonton televisi, mengernyit. Dipandangnya aku dengan ekspresi heran."Katanya mau bercinta." Aku memberitahunya. Masa dia lupa."Aku lelah. Besok saja.""Ayolah, Mas. Kan sudah janjian tadi pagi." Aku bergelayut manja di lengannya. Tapi dia tanpa ekspresi. Kuraih remote darinya lalu mematikan televisi."Apa siiih!" katanya dengan jengkel. Ia rebut remote dariku. "Masih seru. Kamu ke kamar saja dulu."Aku mengangguk. "Jangan lama-lama." Lalu aku melangkah menuju kamar. Menunggunya sekian lama tapi ia tak kunjung kemari. Kesal, aku menuju ruang tamu, menghela napas saat melihatnya sudah tertidur sedikit mendengkur.Kenapa denganmu, Mas?Entah kenapa, kepercayaanku padanya mulai terkikis. Akhir-akhir ini ia sering pulang malam, dengan dalih lembur. Aku mendekat padanya, memandangnya dengan jarak dekat. Kurasakan air mata bergulir di pipiku. Mungkin aku lebay, tapi aku merasa begitu sedih dengan sikapnya yang mendadak abay. Ada apa sebenarnya?Tatapanku tertuju pada HP-nya di saku celana. Kusentuh layarnya. Terkunci. Air mataku kembali bergulir turun. Ah, kenapa aku lebay? Setiap kami tak jadi melakukan ritual suami istri padahal sudah janjian, aku akan merasa begitu sedih. Entahlah kenapa aku begitu lebay. ***Tak Tek tak Tek tak Tek. Sreng srengSengit cabai bercampur harum bawang goreng menguar di udara, aku mengaduk-aduk tumis sawi sambil sesekali memukulnya. Mas Yoga yang tengah makan memandangku."Kenapa kamu?""Masak. Masa tak tahu aku sedang masak!" sahutku ketus. Aku masih kesal karena kejadian semalam. Ia menggelengkan kepala dan kembali makan.Tak tak takKupukul-pukul spatula ke penggorengan.Mas Yoga kembali memandangku. "Kamu itu sebenarnya kenapa, sih? Heran, aku.""Ya kamu yang kenapa, Mas."Ia langsung menuding dadanya sendiri dengan ekspresi bingung. Lelaki tidak peka. Masa dia tak ingat semalam ketiduran? Sudah berapa kali ia membatalkan janji membuat anak?"Apa kamu selingkuh, Mas?" kataku spontans. Ia tersentak kaget."Berburuk sangka dosa, Dek.""Alah bilang saja kalau memang iya.""Tidak." Ia menyahut cepat. Dikiranya aku percaya begitu saja, apa?"Kalau kamu selingkuh, Mas. Kamu harus keluar dari rumah ini tanpa membawa apa pun. Ingat ini semua peninggalan almarhum ibuku!" Kuperingatkan ia sambil menatap tajam. Ia tergagap saat kuraih HP di meja lalu menatapnya sinis."Berapa codenya?""Buat apa?" Suaranya bergetar dengan wajah pias."Kamu kenapa sih sayang kok tiba-tiba begini?" Ia berdiri dan merangkulku, membawaku merebah di dadanya. Aku memandangnya dan terisak lirih."Apa kamu udah gak cinta aku, Mas?" tanyaku disela isak tangis."Cinta." Ia memelukku, mengecup keningku. Seperti biasa, aku selalu terbuai olehnya. Yaa. Siapa juga wanita yang tak akan terbuai jika suaminya bersikap lembut begini? Tapi, haruskah aku menyelidikinya? Tapi sepertinya kalau ia selingkuh tak mungkin. Katanya selalu, hanya aku seorang yang dicintainya.Aku menatap ke arah pintu yang perlahan membuka. Mas Yoga masuk membawa jus wortel. Ia duduk di bibir ranjang, sambil tersenyum kecil mengulurkan gelas itu padaku. Aku terus diam menatapnya tanpa ekspresi. Semua tak lagi sama, Mas. Meskipun sekarang kamu bersikap baik, keputusan untuk cerai tak bisa diganggu gugat. Sampai kapan pun, aku tak mau dimadu.Mas Yoga memajukan gelas di tangannya lebih dekat ke arahku. Karena aku terus diam, ia akhirnya menempelkan gelas ke mulutku."Aku selalu ingat hampir tiap pagi dan malam kamu meminum ini." Tatapnya, aku berpaling darinya. Memperhatikan matahari pagi yang menyinari dedaunan."Bundaa!" Itu suara Caca. Aku menegakkan tubuh lalu merentangkan tangan saat putri kecilku itu berlari mendekat. Kucium pipinya dan memangkunya."Caca mau ikut bunda, gak?" Tatapku. Caca memandangku penuh minat."Ke mana, Bun?""Pengadilan agama."Wajah Mas Yoga menegang. Ia menegakkan tubuh. Tangannya meremas gelas cukup kuat. Aku pura-pura tak melihat."Caca tungg
Cinta memandangku dengan wajah jengkel bercampur penasaran. "Apa, Mas? Katakan saja mumpung aku masih mau mendengar."Kugelengkan kepala melihat tingkahnya. Ia bersidekap di dada dan memandangku angkuh."Ayo katakan, Mas?!""Aku menikahi Anita sebenarnya karena ...." Aku menarik napas dalam saat teringat perkataan Mas Yogi tempo hari."Kamu harus menyembunyikan ini dari istrimu. Dia mudah keceplosan. Setelah Anita melahirkan, kamu boleh menceraikannya," kata Mas Yogi kala itu sambil menatap penuh harap."Ayo cepat katakan, Mas.""Cinta, aku ...." Aku menatapnya ragu. Teringat permintaan Mas Yogi agar aku tetap bungkam membuatku bingung. Kalau mengatakannya, aku takut Cinta akan bilang pada Anita bahwa yang dinikahinya bukan Mas Yogi. Anita tipe yang meledak-ledak. Anita bisa saja langsung mendatangai rumah bapak dan mengatakan bahwa ia hamil anak Mas Yogi. Dan bapak pasti akan kecewa dua sekaligus. Pertama karena Mas Yogi berzina sampai berbuah anak di luar pernikahan, lalu kedua kare
"Apa kamu tidak merindukanku, Cin?"Hening cukup lama. Aku dan Mas Yoga saling menatap. Aku rindu, Mas. Sangat rindu. Bahkan saat ini aku sebenarnya ingin sekali memelukmu, tapi menahannya karena semua tak lagi sama. Kembali membuka mati, berarti harus siap menanggung rasa sakit lagi. "Cin?"Ditangkupnya wajahku dengan kedua tangan, tapi aku berpaling menghindari tatap dengannya. Tanganku bergerak pelan menepis tangannya."Di mana Anita?" tanyaku sambil menatap keluar kamar. Mas Yoga mengikuti arah tatapanku. Terlihat jelas bahwa Mas Yoga kecewa dengan sikapku, tapi aku bersikap cuek. Mencoba cuek walau hatiku remuk dan sakit. Perih, andai kamu tahu."Dia sedang ke rumah ibunya.""Kenapa kamu gak mengantar istri kesayanganmu itu?" Nadaku sinis. Mas Yoga memandangku terkejut."Aku sengaja tetap di rumah agar bisa menyambutmu." Ia terlihat menahan kesal.Aku memperhatikannya lama, lalu tersenyum mengejek. "Kamu gak perlu menyambut perempuan jahat sepertiku, Mas." Aku keluar dari kamar.
"Lima belas tahun lalu, aku masih jadi preman pasar bersama Tara dan Redi. Semua orang takut pada kami karena aku tak segan main fisik." Tatapnya."Pistol yang kutemukan itu, apa ...."Ia mengangguk. "Sebelum mengasuh Putri, aku seolah tak punya tujuan hidup, Cinta. Perempuan yang kucintai terus saja menolakku. Aku berbuat semaunya sendiri sampai meresahkan warga. Siapa pun yang berani mengusikku juga keluargaku, dia akan terima akibatnya."Sungguh mengerikan ternyata dia. Aku memilih menatap ke arah lain saat kami beradu tatap. Aku baru menatapnya saat mendengar kekehan kecil."Apa kamu akan mengurungkan niat menikah denganku?" Didongakkannya wajahku menghadapnya. Bertatapan dengan jarak yang begitu dekat, membuatku sangat malu. Aku mengalihkan pandang ke arah lain. Pada rumah-rumah panggung yang terpacak di bibir sunga. Mas Zain naik ke jembatan, ia terlibat pembicaraan pada seorang perempuan tua lalu menerima uang. Mas Zain menuju rumah dengan banyak plastik berisi kerupuk yang dig
Astagaaa, sepertinya aku akan gilaa!" Teriak Neni di pagi hari yang cerah saat aku baru selesai mandi juga memandikan Caca. Caca kini tengah makan tempe goreng sambil menonton televisi. Wajah Caca begitu riang setelah aku mengatakan besok kami akan ke Jakarta bertemu dengan ayahnya. "Ada apa, Nen? Pagi-pagi udah teriak-teriak aja." Aku menatapnya terpana saat ia menuju ke arahku dengan beberapa bunga teratai di tangan. Diulurkannya bunga putih kekuningan itu padaku."Apa ini?""Dari pangeranmu." Luwes sekali ia mengatakan Mas Zain pangeran, astaga. Aku meraih bunga darinya lantas berjalan menuju pintu, tak ada Mas Zain di depan."Dia ke rumah ibunya dulu. Nanti ke sini, katanya. Apa kalian sekarang jadi anak ingusan baru puber yang setiap hari bertemu? Sungguh seperti anak ABG." Ia menggeleng dengan wajah muak.Aku tertawa kecil melihatnya yang pura-pura pingsan di sofa. Kujitak kepalanya sambil duduk lalu menghidu bunga teratai dalam dekapan. Wanginya begitu mendamaikan. Aku terse
Ini yang terakhir aku memintanya padamu. Kamu mau jadi istriku atau tidak?" "Ummp ...."Ia mengerutkan kening. Tanpa mengatakan apa pun, aku menepis tangan agar tak lagi mengungkung tubuhku lalu berjalan ke arah meja, meraih aquarium lalu melangkah cepat meninggalkannya."Aku bertanya bukannya dijawab."Aku tak mengindahkannya."Cinta, ada yang tertinggal," katanya saat aku mencapai ambang pintu. Penasaran apa yang sebenarnya tertinggal, aku pun menoleh. Mas Zain mendekat, ia merebut aquarium dari tanganku dan meletakkan kembali ke meja."Apa yang tertinggal?" Aku menatapnya heran.Mas Zain merogoh saku celananya, lalu dengan cepat menyematkan cincin ke jari manisku. Jantungku berdetak kencang saat kami beradu tatap."Jangan pernah mengembalikan padaku lagi."Aku tak menyahut karena begitu malu. Mas Zain meraih bonsai kelapa juga pisau dan berjalan keluar. Ia menoleh di ambang pintu mengisyaratkan agar aku mengikutinya. Sementara ia duduk di bangku kecil fokus membersihkan serabut ke
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen