Share

BALAS YANG DIPERJUANGKAN USAI DIBUANG
BALAS YANG DIPERJUANGKAN USAI DIBUANG
Author: Bintu Hasan

Bab 1. Aku Hamil

"Sayang, aku hamil," lirih Alana sambil menunjukkan hasil Test Pack strip pada Albian—kekasihnya.

"Kamu nggak perlu ngasih tahu ke aku, Na. Gugurkan saja kandunganmu itu." Albian menjawab santai tanpa melirik benda itu, lalu bersandar di kepala ranjang.

Mereka sudah tiga tahun menjalin hubungan asmara. Selama itu pula Alana sering melakukan aktivitas yang melewati batas sampai akhirnya curiga ketika dua bulan tidak pernah mendapat tamu bulanan. Dengan sedikit ragu, dia melakukan tes kehamilan dan dua garis merah itu seperti duri yang menusuk jantungnya.

Terutama ketika mendengar jawaban dari Albian. Lelaki itu tidak memiliki tanggungjawab sama sekali. Apa yang harus Alana lakukan sekarang? Mencoba melawan takdir dengan menggugurkan kandungan, mengingat Albian sendiri adalah lelaki pengangguran?

"Aku hanya menidurimu sekali, mustahil kamu bisa langsung hamil," lanjut Albian masih tidak percaya.

Lagi dan lagi Alana melihatnya berbicara tanpa beban. Padahal selama ini dia selalu menolak ketika diajak untuk berhubungan intim karena takut berbadan dua. Akan tetapi, Albian selalu memaksa Alana untuk menyerahkan mahkotanya dengan janji akan menikahi.

Tentu saja semua gadis yang sedang dimabuk cinta akan percaya apalagi jika sudah sering melakukan sentuhan fisik yang sangat jarang dilakukan oleh pasangan lain di luar sana. Semua karena pengaruh Albian, seorang kekasih yang menjadi cinta kedua Alana. Selama ini dia mengira Albian adalah lelaki terbaik, ternyata setelah mendengar jawaban itu, hatinya kini merasakan keraguan yang besar.

"Tapi, Al, kamu sendiri tahu kalau menggugurkan kandungan itu dosa." Alana memegang tangan Albian erat, tetapi lelaki egois itu menepis dengan kasar.

"Lupakan tentang dosa. Perempuan di luar sana bahkan ada yang menanti selama 15 tahun dulu untuk hamil, lalu kamu? Jangan-jangan kamu sudah sering melakukannya sama laki-laki lain?"

Tanpa sungkan, Alana menampar wajah Albian. Bagaimana tidak, saat mereka melakukannya pertama kali, ada darah keperawanan di tempat tidur dan Albian sendiri yang membersihkannya. Melihat tingkah lelaki itu yang sama sekali tidak merasa risih membuat Alana semakin yakin kalau mereka memang ditakdirkan.

"Jaga mulutmu, Al. Kamu mungkin aku anggap cinta pertamaku, tetapi kamu sama sekali nggak punya perasaan. Selama ini aku menurut kalau kamu minta dipeluk, dicium bahkan kita melakukan hal-hal menjijikkan yang mungkin tidak dilakukan pasangan halal di luar sana!" teriak Alana sangat berani.

Di rumah itu, hanya ada mereka berdua karena ibu Alana harus mengajar di sekolah, sebuah pekerjaan yang sudah bertahun-tahun dia tekuni. Namun, dalam kondisi seperti itu, apakah Alana patut disalahkan? Ah, mungkin tidak. Remaja lain di luar sana juga pernah melalukan hal sama meskipun ceritanya berbeda.

"Seorang tamu nggak akan masuk ke dalam rumah jika pemiliknya tidak membuka pintu. Alana, kamu ingat kalau yang kita lakukan kemarin terjadi karena kamu memberi izin, bukan? Jadi, jangan marah dan gugurkan kandungan itu supaya masalah cepat selesai."

"Albian, kemarin aku kasih izin karena selama ini kalau aku menolak, kamu pasti marah dan enggan menemuiku. Lagi pula, sebagai seorang lelaki, harusnya kamu tanggungjawab, dong. Kamu pikir mudah menggugurkan kandungan?"

Naas, Albian memutar badan membelakangi kekasihnya. Dia pasti marah dan meminta untuk dibujuk. Haruskah kembali mengalah dan menuruti keinginannya bahkan ketika Alana harus merasakan sakit yang luar biasa? Entahlah, mungkin dugaan semua orang memang benar kalau Albian tidak pernah mencintainya.

Albian yang keras kepala, entah kenapa Alana sangat sulit untuk meninggalkannya meskipun lelaki itu telah merusak dirinya. Ketika sendiri, gadis berambut sebahu itu selalu memejamkan mata, merenungi segala kesalahan dan dosa yang sudah dia lakukan. Akan tetapi, begitu kembali berdua dengan Albian, maka rasa takut itu seketika memudar.

"Baiklah, aku akan memikirkan itu, kamu jangan marah," kata Alana dengan suara bergetar menahan air mata.

"Sungguh?"

Alana mengangguk mengiyakan begitu kekasihnya kembali memutar badan dan langsung memeluknya. Sebenarnya gadis berbadan dua itu belum merasa tenang, pikirannya sangat terusik antara dua pilihan, yakni meninggalkan Albian dan melupakan segalanya demi anak itu atau menuruti keinginan Albian atas nama cinta.

"Kalau kamu nggak mau gugurin kandungan itu, biar aku yang melakukannya," tambah Albian lagi berhasil membuat jantung Alana berdegup tidak normal.

Benarkah Albian bisa melakukan hal sekejam itu? Padahal tadi Alana berpikir untuk mencari cara lain agar hati kekasihnya luluh dan bersedia menikahinya. Mungkinkah sudah tidak ada harapan untuk bersama? Resah dan gelisah, itu yang Alana rasakan saat ini.

Bukan hanya itu, bagaimana jika ibunya tahu kalau Alana hamil di luar nikah mengikuti jejak sang kakak yang sudah meninggal dibunuh kekasihnya setelah kehamilannya terkuak? Alana bergidik ngeri, dia khawatir sejarah akan terulang padanya dan Alana harus kehilangan ibu tercinta.

"Kenapa diam? Kamu mau ngegugurin kandungan itu, kan? Lagian dia pasti masih sangat kecil, seperti gumpalan darah, jadi nggak usah kasihan. Kita melakukannya tanpa paksaan, nggak usah menyesali apa yang sudah terjadi karena gimana pun kamu sudah bukan perawan lagi."

Alana menelan saliva. "Kalau mama tahu, gimana?"

"Na, papamu sudah nggak ada. Kalian hanya berdua dan semua keluarga melupakan kalian gara-gara tahu perbuatan busuk kakakmu, bukan? Jadi, kalau kehamilan itu diketahui oleh seorang saja, kamu pasti tahu akibatnya, 'kan? Lagian aku juga belum yakin kalau janin itu anak aku, bisa aja anak orang lain, 'kan?"

Perih merebak cepat dalam dada. Alana selalu berhasil dibuat bungkam oleh Albian, dia sendiri tidak tahu kenapa bisa seperti itu. Alana selalu menurut dan mendengarkan kekasihnya ketika mereka sedang bersama sementara saat berpisah, gadis itu selalu menyumpahi Albian.

Saat masih sekolah, mendiang ayahnya selalu mengingatkan Alana untuk menjaga diri agar tidak terpengaruh dengan dunia luar apalagi memiliki niat untuk hidup bebas. Dia berjanji sepenuh hati karena saat itu belum pernah bertemu Albian. Sekarang dia sudah ingkar dan menyesalinya berulang kali. Alana yakin mendiang ayahnya pasti marah dan kecewa.

"Aku nggak tahu cara ngegugurin kandungan, Al. Nggak mungkin kita ke dokter."

"Ribet amat, sih, jadi orang!" bentak Albian menjauh. Dia berkacak pinggang menatap jijik pada Alana padahal mereka baru saja bercumbu. Lelaki sialan itu menghela napas berat, lalu melanjutkan, "tinggal makan nanas muda sama minum sprite. Jangan lupa olahraga sama sering angkat beban berat. Aku nggak peduli kalau itu bahaya asal janin itu gugur. Kalau dalam tiga hari kamu belum berhasil, lebih baik kita putus dan aku nggak bakal ngaku kalau anak itu darah dagingku!" Albian meludah ke lantai sebelum akhirnya meninggalkan Alana yang dirudung penyesalan. Air mata gadis itu kini tidak berarti karena nasi pun telah menjadi bubur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status